0

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT PEMESANAN KENDARAAN (SPK) DAN KWITANSI

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri

Suatu negara tidak lepas akan adanya suatu isu permasalahan hukum. Permasalahan yang sering terjadi di Indonesia salah satunya ialah pemalsuan. Pemalsuan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan menggunakan cara yang melawan hukum. Salah satu contohnya adalah kasus penipuan yang dilakukan oleh Sales dealer atas pembelian mobil oleh konsumen. Penipuan dilakukan oleh sales resmi yang melakukan rangkaian kebohongan terhadap korban. Setelah korban memutuskan untuk membeli barang tersebut, Ia diminta untuk mengirimkan sejumlah uang yang kemudian diterima kepada Ia Surat Pemesanan Kendaraan. Kemudian korban dimintai uang dengan diiming-imingi pesanannya cepat dikirim ke rumah. Lalu, sales mengirimkan kwitansi DP kepada korban. Padahal uang tersebut dikirim ke rekening pribadi sales dan bukti-bukti surat berupa Surat Pemesanan Kendaraa bukti kwitansi beserta cap adalah palsu.[1] Akibatnya, konsumen mengalami kerugian materil sebesar Rp. 37.000.000 (tiga puluh tujuh juta rupiah).[2] Atas kasus ini, perlu kita ketahui bagaimana pengaturan hukum pelaku tindak pidana pemalsuan surat serta implikasinya terhadap korban yang menggunakan surat palsu.

SPK merupakan suatu surat yang menjadi bukti pelunasan booking fee yang juga menjadi tanda dimulainya pembayaran sejumlah tagihan atas pembelian suatu kendaraan, sementara kwitansi merupakan salah satu bentuk surat yang umum digunakan sebagai tanda bukti transaksi penerimaan sejumlah uang yang dilengkapi dengan rincian lain seperti tujuan transaksi, jumlah transaksi, serta tempat dan tanggal terjadinya transaksi.[3] Surat Pemesanan Kendaraan dan Kwitansi merupakan akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat di hadapan pejabat hukum atau notaris. Surat yang berisi suatu perikatan akan melahirkan suatu hal. Sama halnya dengan kwitansi dan Surat Pemesanan Kendaraan yang berisikan penyerahan sejumlah uang dalam hal dan dalam hubungannya terkait jual-beli. Dalam kasus ini, surat-surat tersebut berkaitan dengan jual-beli, maka melahirkan hak penjual untuk menerima uang pembayaran, dan melahirkan hak pembeli untuk menerima barang yang dibelinya. [4]

Sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang tindak pemalsuan surat:

Pasal 263 ayat (1)

Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”[5]

Bahwa unsur-unsur pasal di atas meliputi:[6]

  1. Barang siapa, orang atau badan hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakannya;
  2. Suatu surat tersebut dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan;
  3. Memalsukan surat yaitu mengubah dengan sedemikian mungkin sama seperti yang asli;
  4. Surat yang dapat menimbulkan suatu hak, periikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal;
  5. Perbuatan pemalsuan surat tersebut menimbulkan kerugian.

Pemalsuan surat juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan. Perbuatan memalsukan surat masuk ke dalam golongan tindak pidana penipuan apabila seseorang memberikan gambaran mengenai suatu keadaan atas suatu barang seakan-akan itu asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran tersebut, orang lain menjadi terperdaya dan mempercayai bahwa barang tersebut adalah benar atau asli.[7] Dalam kasus ini, dealar resmi ini berpakaian lengkap dengan seragamnya dan id card, selain itu juga transaksi tersebut dilakukan di dealer resmi yang diketahui bahwa atribut tersebut adalah palsu. Alat penggerak penipuan ini ialah tipu muslihat yang digunakan untuk menghilangkan rasa ragu dan tidak terpikirkan oleh korban bahwa Surat Pemesanan Kendaraan dan Kwitansi yang diberikannya tersebut adalah palsu Perbuatan tersebut dilakukan yang maksud dan tujuan pemalsuan suratnya tersebut untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melawan hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 378

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”[8]

Sebab apabila dikaji unsur-unsur tindak pidana penipuan berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dapat dilihat bahwa dalam kasus ini memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Unsur Objektif:
  2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;
  3. Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat palsu/keadaan palsu, tipu mulihat dan rangkaian kebohongan);
  4. Menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi utang, atau menghapus utang.
  5. Unsur Subjektif
  6. Dengan maksud (met het oogmerk);
  7. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
  8. Dengan melawan hukum.[9]

Berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku tindak pidana penipuan dapat dikenakan hukuman dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Bagaimana hukumnya kepada orang yang menggunakan atau diserahkan kepada mereka ialah surat palsu? Sebab diatur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa:

“Pasal 263 ayat (2)

Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.”[10]

Berdasarkan pasal di atas, meskipun seseorang tidak memalsukan dan hanya menggunakan dengan sepengetahuan, kesengajaan, dan kehendaknya, maka bagi pelaku tersebut diancam dengan pidana yang sama dengan orang yang memalsukan surat tersebut yaitu dengan pidana penjara paling lama enam tahun.[11]

Sehingga, yang dihukum tidak hanya yang melakukan pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam ayat (1), tetapi juga yang dengan sengaja menggunakan surat palsu sebagaimana diatur dalam ayat (2). Sengaja artinya bahwa orang tersebut harus benar-benar mengetahui bahwa surat yang digunakannya itu palsu. Apabila tidak, maka tidak dapat dihukum. Sebab dianggap menggunakan ialah apabila menyerahkan surat tersebut kepada orang lain yang harus mempergunakkan lebih lanjut atau menyerahkannya di tempat dimana surat tersebut dibutuhkan. Kemudian, penggunaan surat palsu pun harus dibuktikan bahwa orang tersebut bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, yang atas hal tersebut mendatangkan kerugian.[12]

Dasar Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi

Bustomi, M. I., Sales Diler Honda MT Haryono Gunakan Ulang Hasil Tipu Konsumen buat Buka Bengkel di Jakut, retrieved from https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/26/16264661/sales-diler-honda-mt-haryono-gunakan-uang-hasil-tipu-konsumen-buat-buka

Ferdian, dan Harun Rasyid, Konsumen Ketipu Sales Abal-abal di Dealer Resmi, SPK Brio Palsu, Ratusan Juta Lenyap, retrieved from https://otomotifnet.gridoto.com/amp/read/233178070/konsumen-ketipu-sales-abal-abal-di-dealer-resmi-spk-brio-palsu-ratusam-juta-lenyap?page=2

Hasanudin, Konsultasi Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, retrieved from https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=2534

Eko Adi Susanto, Gunarto, dan Maryanto, Pertanggungjawaban Pidana yang Memakai Surat Palsu ditinjau dari Pasal 263 ayat (2) KUHP, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018

Dudung Mulyadi, Unsur-Unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP dikaitkan dengan Jual Beli Tanah, Jurnal Online Universitas Galuh, Vol. 5, No. 2, 2017

Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung: Alumni, 1980

Wayan Sentosa, Interpretasi Kerugian dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat, Udayana Master Law Journal, Vol. 5, No. 1


[1] Ferdian, dan Harun Rasyid, Konsumen Ketipu Sales Abal-abal di Dealer Resmi, SPK Brio Palsu, Ratusan Juta Lenyap, retrieved from https://otomotifnet.gridoto.com/amp/read/233178070/konsumen-ketipu-sales-abal-abal-di-dealer-resmi-spk-brio-palsu-ratusam-juta-lenyap?page=2

[2] Muhammad Isa Bustomi, Sales Diler Honda MT Haryono Gunakan Ulang Hasil Tipu Konsumen buat Buka Bengkel di Jakut, retrieved from https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/26/16264661/sales-diler-honda-mt-haryono-gunakan-uang-hasil-tipu-konsumen-buat-buka

[3] Hasanudin, Konsultasi Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, retrieved from https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=2534

[4] Eko Adi Susanto, Gunarto, dan Maryanto, Pertanggungjawaban Pidana yang Memakai Surat Palsu ditinjau dari Pasal 263 ayat (2) KUHP, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1, No. 1, 2018, p. 6

[5] Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[6] Wayan Sentosa, Interpretasi Kerugian dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat, Udayana Master Law Journal, Vol. 5, No. 1, p. 5

[7] Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung: Alumni, 1980, p. 23

[8] Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[9] Dudung Mulyadi, Unsur-Unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP dikaitkan dengan Jual Beli Tanah, Jurnal Online Universitas Galuh, Vol. 5, No. 2, 2017, p. 214

[10] Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[11] Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[12] Eko Adi Susanto, Gunarto, dan Maryanto, Op. Cit., p. 9

0

Pengawasan Pegawai Internal pada Lembaga Jasa Keuangan di Era Digital

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-author : Robby Malaheksa

Perkembangan digitalisasi di Indonesia saat ini telah berkembang pesat dari waktu ke waktu dan tak hentinya, inovasi-inovasi berbasis teknologi informasi terus dikembangkan untuk memperoleh kemudahan dalam aktivitas sehari-hari. Menurut Studi yang di lakukan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2021 menunjukkan bahwa daya saing digital antar provinsi di Indonesia saat ini semakin merata. Pemerataan tersebut dapat di lihat dari kenaikan skor median indeks daya saing digital (EV-DCI) dari 27,9 % pada 2020 menjadi 32,1 pada 2021.[1]

Seiring dengan meningkatnya digitalisasi di Indonesia, industri keuangan juga harus mengikuti sikap dalam hal keaktifan dan kecepatan untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital saat ini. Sebab, apabila mengalami ketertinggalan dalam mengikuti ekosistem digital di era ini dapat berujung pada kegagalan bersaing di industri keuangan. Terlebih, dengan adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk melakukan transaksi secara digital.

Pengaturan mengenai dasar kewenangan serta tugas pengaturan dan pengawasan dalam sektor lembaga jasa keuangan, diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi:

“Pasal 8

  1. menetapkan peraturan pelaksanaan
  2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
  4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
  5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
  6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
  7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
  8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
  9. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[2]

“Pasal 9

  1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
  2. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
  3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  4. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
  5. melakukan penunjukan pengelola statuter;
  6. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
  7. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
  8. memberikan dan/atau mencabut:
  9. izin usaha;
  10. izin orang perseorangan;
  11. efektifnya pernyataan pendaftaran;
  12. surat tanda terdaftar;
  13. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
  14. pengesahan;
  15. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
  16. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[3]

Terdapat perpindahan kewenangan dalam pelaksanaan pengawasan di zona pelayanan keuangan, Pemerintah membentuk suatu lembaga negara yang secara khusus mengawasi sektor industri keuangan tersebut. Perihal ini bermaksud agar pengawasan menjadi terintegrasi dan menyeluruh. Perlindungan hukum bagi Nasabah terhadap praktek Fraud Lembaga Jasa Keuangan dan juga sebaliknya, merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan kewenangan. Sehingga, dapat meningkatkan tugas, pokok, fungsi nya untuk menciptakan kemananan dan jaminan bagi Nasabah serta Lembaga Jasa Keuangan. Masih terjadi-nya praktek Fraud [4] yang di lakukan pegawai Intenal di Lembaga Jasa Keuangan, sehingga perlu terobosan baru untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya praktek Fraud dari oknum-oknum tak bertanggung jawab dengan menggunakan jabatan dan nama baik Lembaga Jasa Keuangan itu sendiri.

Penerapan Manajemen Resiko dalam mengendalikan resiko terjadinya Fraud bagi Bank Umum dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39 Tahun 2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum, yang dilakukan penguatan dalam beberapa aspek, antara lain :

Pasal 5 ayat (2)

  1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris
  2. Kebijakan dan Prosedur
  3. Struktur Organisasi dan pertanggung jawaban
  4. Pengendalian dan Pemantauan.[5]

Terdapat beberapa kasus yang berkaitan dengan bank umum ialah masalah fraud tersebut, misalnya terdapat penipuan oleh bank umum itu sendiri dengan menawarkan kepada calon nasabah untuk melakukan penyimpanan berupa rekening berjangka dengan bungan simpanan yang tinggi dibanding produk simpanan bank yang dikeluarkan pada umumnya. Akan tetapi, setelah uang disetorkan oleh calon nasabah, pihak bank umum tidak langsung menyetorkan uang tersebut melainkan melakukan penyebaran dana kepada pihak-pihak internal lainnya di lembaga jasa keuangan tersebut yakni bank umum, dengan anggapan uang tersebut dapat digunakan dalam bentuk investasi lainnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, akan tetapi tanpa sepengetahuan dari pemilik dana/ pemilik simpanan tersebut.

Contoh kasus meningkatkan kesadaran masyarakat serta pemerintah akan pentingnya pengawasan pegawai internal di Lembaga Jasa Keuangan. Penyebab kasus sebagaimana di atas muncul disebabkan oleh beberapa alasan, Pertama, peraturan yang masih kurang lengkap mengenai pengendalian internal bank, serta lembaga yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi lembaga jasa keuangan belum memiliki peraturan yang tepat perihal pengawasan terhadap pegawai internal perusahaan dimaksud. Kedua, tindakan pada pelanggaran yang dilakukan jika ada laporan atau keluhan dari korban. Serta, melakukan tindakan secara mandiri pada pelanggaran yang berasal dari data sekunder (laporan keuangan, dan lain-lain).[6]

Pencegahan terhadap resiko untuk menghindari terjadinya pengulangan perbuatan yang sama, maka pembuat regulasi (regulator) dan pengawas Lembaga Jasa Keuangan dapat membuat kebijakan yang mengharuskan semua karyawan bank, tidak terkecuali untuk mengisi laporan terkait apa yang di lakukan karyawan tersebut. Laporan bisa memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang, contohnya dalam membuat laporan harus memuat database terintegrasi yang berfungsi menyimpan laporan tersebut. Laporan tersebut dilaporkan secara berkala, misal satu minggu sekali. Laporan berupa Transaksi perbankan yang dilakukan serta logbook kegiatan yang dilakukan karyawan selama periode tersebut. Selain itu, dapat dilakukan pengawasan pada rekening pribadi milik karyawan. Hal ini diperlukan agar pengawas lembaga jasa keuangan tersebut dapat melihat adanya transaksi tidak wajar yang masuk ke rekening pribadi milik karyawan, dan bisa langsung melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan. Sehingga, dapat ditindaklanjuti apabila transaksi tersebut terbukti terjadi pelanggaran.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
  2. Peraturan OJK Nomor 39 Tahun 2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum

REFERENSI

  1. East Ventures, “Pemerataan Transformasi Digital Indonesia Terakselerasi di Tengah Pandemi”, (https://east.vc/bahasa/daya-saing-digital-indonesia-ev-dci-2021/, diakses tanggal 10 Maret 2022)
  2. Jurnal Entrepreneurship Bisnis Manajemen Akuntansi(E-BISMA), “Usulan kebijakan pencegahan risiko perbankan di era digital”.

[1] East Ventures, “Pemerataan Transformasi Digital Indonesia Terakselerasi di Tengah Pandemi”, (https://east.vc/bahasa/daya-saing-digital-indonesia-ev-dci-2021/, diakses tanggal 10 Maret 2022)

[2] Pasal 8 Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

[3] Pasal 9 Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

[4] Fraud adalah berbagai bentuk tindakan curang baik di lakukan secara sengaja atau tidak sengaja yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak atau perusahaan

[5] Pasal 5 ayat (2) Peraturan OJK Nomor 39 Tahun 2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum

[6] Jurnal Entrepreneurship Bisnis Manajemen Akuntansi (E-BISMA), “Usulan kebijakan pencegahan risiko perbankan di era digital” hlm. 22

Translate