0

THE IMPLEMENTATION OF TRAVELLER PROTECTION REGULATIONS FOR TOURISTS DURING COVID-19 PANDEMIC

Author: Nirma Afianita
Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
  3. Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

REFERENSI:

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  2. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  3. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  4. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  5. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  6. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  7. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  8. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  11. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  12. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  13. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

Kata pariwisata secara etimologi merupakan gabungan dari kata pari dan wisata dalam bahasa Sansekerta.  Pari memiliki arti semua, seluruh, penuh, sedangkan wisata berarti perjalanan.  Maka dari penggabungan keduanya dihasilkan kata pariwisata yang dapat diartikan sebagai perjalanan penuh. Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini tidaklah dapat terlepas dari peran pariwisata.  Kini pariwisata merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat, yang setiap kegiatannya memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan sosial dan ekonomi.[1]

United Nation World Tourism Organizations (UNWTO) dalam laporannya menyatakan bahwa pada Januari 2020, kedatangan wisatawan internasional di seluruh dunia naik 4% dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 1,5 miliar.[2] Angka tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sektor pariwisata telah menjadi industri yang memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di dunia.

Di Indonesia sendiri, pariwisata merupakan salah satu sektor yang menjadi andalan dalam perkembangan ekonomi. Badan Pusat Statistik mengemukakan bahwa terdapat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 5,85% pada bulan Januari 2020 apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada bulan Januari 2019.[3] Dengan berbagai macam budaya dan segala kekayaan alam yang dimiliki, potensi yang dimiliki Indonesia dalam bidang pariwisata sangatlah besar.

Pengaturan mengenai kepariwisataan termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor  11  Tahun  2020  tentang  Cipta  Kerja  sebagai  “Keseluruhan  kegiatan  yang  terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai  wujud  kebutuhan  setiap  orang  dan  negara  serta  interaksi  antara  wisatawan  dan  masyarakat  setempat,  sesama  wisatawan,  pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  pengusaha”. Berdasarkan hal tersebut, penting bagi Indonesia untuk memperhatikan pembangunan   pariwisata   di   era   modern   ini   dengan   senantiasa   memperbarui   kebijakan-kebijakan terkait kepariwisataan, agar dapat terus meningkatkan kualitas dan mempertahankan eksistensi pariwisatanya di mata dunia.[4]

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap wisatawan. Perkembangan pariwisata suatu negara tentu saja tidak dapat terlepas dari jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke negara tersebut.  Maka guna meningkatkan jumlah tersebut, adanya jaminan bagi keamanan serta keselamatan wisatawan sangatlah diperlukan. Andai kata suatu negara yang menjadi tujuan wisata gagal dalam membuat wisatawan merasa aman dan menyediakan pelayanan yang baik, hal tersebut tentu saja akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan pariwisata di negara tersebut.[5]

Beranjak   dari   paragraf   sebelumnya, maka   tampak   mengapa   hukum   perlindungan konsumen mendapatkan perhatian yang besar di tengah pesatnya perkembangan   zaman   ini.   Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen menentukan   bahwa “perlindungan konsumen merupakan segala usaha yang memastikan terjaminnya kepastian hukum guna memberikan perlindungan kepada konsumen”.  Hal ini merupakan   wujud   tameng   bagi   konsumen   dari   kesewenangan   pelaku   usaha   dalam mengutamakan kepentingannya di era perdagangan bebas.[6] Konsumen memiliki posisi yang lemah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, maka dari itu dibutuhkan perlindungan hukum yang bersifat mengatur dan melindungi, mengingat kompleksnya permasalahan perlindungan konsumen yang kian muncul di era dimana perkembangan zaman tidak mengenal kata henti.[7]

Pada   12   Maret   2020, World Health Organization   resmi   menetapkan   mewabahnya COVID-19 sebagai pandemi global.[8] Wabah ini menyebar hingga ke lintas negara dengan sangat cepat dan telah meluas ke berbagai belahan dunia. Penyebaran virus Corona mau tidak mau mempengaruhi berbagai aktivitas global, tidak terkecuali sektor pariwisata. UNWTO melaporkan bahwa dalam merespons pandemi ini, 96% dari destinasi wisata di dunia menerapkan larangan perjalanan wisata, baik bagi seluruh negara maupun beberapa negara tertentu.[9]

Indonesia   merupakan   satu   dari   sekian   banyak   negara   yang   merasakan   dampak pandemi ini pada sektor pariwisata. Dalam upayanya mencegah dan mengendalikan penyebaran virus ini, Presiden menerbitkan ketentuan baru yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang mana penerapannya diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Dengan diterapkannya kebijakan tersebut, masyarakat dihadapkan dengan kebiasaan baru yang mengharuskan segala kegiatan untuk dilakukan di dalam rumah dengan adanya imbauan physical distancing dan isolasi mandiri, dengan harapan orang-orang dapat menghindari bepergian keluar apabila tidak ada kepentingan yang mendesak.[10]

Kebijakan ini tentu saja berdampakpula pada penutupan objek wisata di Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit dengan adanya anjuran bagi masyarakat untuk menghindari keramaian guna mencegah penularan virus Corona.[11]

Kemudian   seiring   berjalannya   waktu,  pemerintah   terus   memperbarui   kebijakannya dengan memperhatikan keadaan perputaran roda ekonomi Indonesia yang tidak dapat dibiarkan berhenti begitu saja.  Sektor pariwisata sebagai salah satu   industri   yang   memberikan   kontribusi   cukup   besar   bagi   perekonomian   Indonesia merupakan salah satu yang memerlukan perhatian khusus. Maka dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020/ tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), era new normal resmi berlaku d Indonesia dengan  tetap  memperhatikan  ketentuan-ketentuan  yang  ada  dalam  keputusan  menteri  tersebut. Tempat-tempat wisata di beberapa wilayah di Indonesia diizinkan untuk kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan pembatasan kapasitas pengunjung.  Hal ini bertujuan agar perekonomian dapat tetap berjalan dan memberikan dampak baik khususnya bagi industri pariwisata yang bergantung pada wisatawan domestik.[12]

Selama ini, pengusaha pariwisata diwajibkan untuk senantiasa memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan serta keselamatan untuk wisatawan, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 26 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kewajiban ini secara tidak langsung dimaksudkan guna memberikan jaminan dalam penggunaan jasa pariwisata yang diperoleh  wisatawan,  sehingga  wisatawan  sebagai  konsumen  dapat  terhindar  dari  kerugian  apabila  mengkonsumsi  jasa  pariwisata.[13]

Adapun kewajiban setiap pengusaha pariwisata berdasarkan Pasal 67 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai berikut:

Pasal 67

4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1)Setiap pengusaha pariwisata wajib:

a.menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b.memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;

c.memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;

d.memberikan kenyamanan, keramahan, pelindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;

e.memberikan pelindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;

f.mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;

g.mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;

h.meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

i.berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;

j.turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;

k.memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;

l.memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;

m.menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan

n.memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat”.

Dalam penerapannya, perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili perlindungan hukum bagi konsumen dengan wujud asas-asas dan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.[14] Perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 1   yang   menyatakan bahwa:

Pasal 1

  1. perlindungan   konsumen   adalah   segala   upaya   yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Segala upaya tersebut memiliki tujuan yang menjadi target akhir yang wajib terwujud dalam pelaksanaannya, sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bunyinya:

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan:

a.meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b.mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c.meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d.menciptakan    sistem    perlindungan    konsumen    yang    mengandung    unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e.menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f.meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen”.

Dalam pemenuhan enam tujuan tersebut, tentu saja erat kaitannya dengan asas-asas hukum yang berlaku.  Asas hukum dipahami sebagai nilai-nilai yang lahir dari pikiran dan hati nurani manusia dalam membedakan antara baik dan buruk, yang menjadi dasar tumpuan atau latar belakang dari pembentukan suatu peraturan hukum yang berlaku demi tercapainya ketertiban dalam masyarakat.[15]

Bentuk lain dari perlindungan bagi wisatawan adalah dengan dilakukannya sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) pada sektor pariwisata oleh pemerintah. Sertifikasi tersebut dibuat untuk memastikan penerapan protokol kesehatan dalam pengendalian virus Corona. Kegiatan sertifikasi pada dasarnya bersifat sukarela untuk hotel dan usaha pariwisata lainnya dan tidak dipungut biaya. Kegiatan sertifikasi ini pada sektor wisata diantaranya mencakup hotel, restoran, destinasi daya tarik, homestay, usaha perjalanan wisata, pemandu, SPA, MICE, serta wisata minat khusus. Sementara untuk ekonomi kreatif yakni menjangkau bioskop, seni pertunjukan, musik, seni rupa, fesyen, kuliner, kriya, fotografi, dan permainan. Tim sertifikasi selain dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bakal melibatkan Kementerian Kesehatan, serta sejumlah asosiasi seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia. Selain itu, tim provinsi dan kabupaten kota juga ikut dilibatkan serta lembaga sertifikasi yang nantinya bertugas menjadi asesor atau auditor.[16]

Selain itu pemerintah juga telah mengupayakan perlindungan konsumen dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019. Di dalam peraturan tersebut memerintahkan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota untuk menyusun dan menetapkan peraturan gubernur/peraturan bupati/wali kota yang memuat ketentuan antara lain:
1) kewajiban mematuhi protokol kesehatan antara lain meliputi:

a) perlindungan kesehatan individu yang meliputi:

(1) menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya;

(2) membersihkan tangan secara teratur;

(3) pembatasan interaksi fisik (physical distancing); dan

(4) meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);

b) perlindungan kesehatan masyarakat, antara lain meliputi: (1) sosialisasi, edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19);

(2) Penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses dan memenuhi standar atau penyediaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer);

(3) Upaya penapisan dan pemantauan kesehatan bagi setiap orang yang akan beraktivitas;

(4) Upaya pengatur jaga jarak;

(5) Pembersihan dan disinfeksi lingkungan secara berkala;

(6) Penegakan kedisiplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko dalam penularan dan tertularnya Corona Virus Desease 2019 (COVID-19); dan

(7) Fasilitasi dalam deteksi dini dan penanganan kasus untuk mengantisipasi penyebaran Corona Virus Desease 2019 (COVID-19).

2) Kewajiban mematuhi protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada angka 1) dikenakan kepada perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

3) Tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), meliputi: a)perkantoran/tempat kerja, usaha, dan industri;

b)sekolah/institusi pendidikan lainnya;

c)tempat ibadah;

d)stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandar udara;

e)transportasi umum;

f)kendaraan pribadi;

g)toko, pasar modern, dan pasar tradisional;

h)apotek dan toko obat;

i)warung makan, rumah makan, cafe, dan restoran;

j)pedagang kaki lima/lapak jajanan;

k)perhotelan/penginapan lain yang sejenis;

l)tempat pariwisata;

m)fasilitas layanan kesehatan;

n)area publik, tempat lainnya yang dapat menimbulkan kerumunan massa; dan

o)tempat dan fasilitas umum dalam protokol kesehatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), wajib memfasilitasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9).

5)memuat sanksi terhadap pelanggaran penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9) yang dilakukan oleh perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 5) berupa:

a.Teguran lisan atau teguran tertulis;

b.Kerja sosial;

c.Denda administratif; atau

d.Penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.

Pandemi ini menyebabkan bergesernya orientasi segmen pasar pariwisata yang sebelumnya wisatawan mancanegara menjadi wisatawan nusantara. Pergeseran ini diakibatkan belum pulihnya arus penerbangan internasional sepenuhnya. Maka dari itu, dibutuhkan suatu strategi khusus dari pemerintah dalam menghadapi imbas dari kondisi ini terhadap sektor pariwisata agar tidak membuatnya semakin terpuruk dan dapat segera bangkit kembali. Pariwisata Indonesia haruslah beradaptasi di era new normal dengan selalu memberi perhatian khusus pada aspek kebersihan, keselamatan, dan keamanan.  Implementasi protokol kesehatan di setiap destinasi pariwisata haruslah diusahakan agar terwujud secara maksimal. [17]

Selama ini, menjaga jarak dengan orang lain, menghindari kerumunan, menjauhi keramaian, dan tidak berdesakan bukanlah kebiasaan yang umumnya ada di suatu destinasi pariwisata, khususnya pada masa-masa tertentu seperti pada saat liburan dan akhir pekan. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menjadi ancaman bagi keamanan, kesehatan, serta keselamatan wisatawan dan lebih lanjut akan berdampak kepada bagaimana suatu destinasi wisata akan bertahan di kemudian hari.[18] Sehingga sebagai bentuk perlindungan hukum bagi wisatawan di masa pandemi COVID-19, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dijadikan payung hukum untuk menghindarkan wisatawan dari kerugian, terkhusus kerugian kesehatan yaitu tertular virus Corona.  Pengusaha pariwisata selaku pelaku usaha wajib  memberikan  jaminan  atas  mutu  dan  kondisi  jasa  pemenuhan  kebutuhan  bagi  wisatawan  dan  penyelenggaraan  pariwisata  yang  disediakan.  Caranya adalah dengan memberikan informasi dan keterangan yang benar, jelas dan jujur mengenai bagaimana suatu destinasi pariwisata itu dikelola saat pandemi COVID-19 masih berlangsung. Pengusaha pariwisata juga wajib memastikan senantiasa dipatuhinya protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bentuk pelayanan yang benar dan pemenuhan hak yang dimiliki wisatawan sebagai konsumen. Di lain sisi, wisatawan selaku konsumen juga berkewajiban untuk menaati kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengusaha pariwisata selama masa pandemi COVID-19 demi keamanan dan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Kewajiban konsumen ini perlu ditekankan karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya dapat memberikan perlindungan secara efektif dan maksimal apabila kesadaran hukum dari masyarakat dalam hal ini wisatawan selaku konsumen telah terwujud.[19]


[1] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indo-nesia 2020), hal. 42.

[2] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 883.

[3] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 884.


[1] Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.

[2] Republika.co.id, https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022



[1] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.cit.



[1] Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011), hal 2.

[2] Beritasatu.com, https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.

[3] Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).

[4] Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021, hal. 865.

[5] Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya, hal. 2.

[6] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017), hal. 1.

[7] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018), hal. 13.

[8] Kompas.com, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.

[9] Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.

[10] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 866

[11] Finance.detik.com, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022

[12] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 867

[13] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 868.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection
  2. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism
  3. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation

REFERENCES: 

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  1. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  2. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  3. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  4. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  5. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  6. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  7. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  8. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  11. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  12. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

The word tourism is etymologically a combination of the words pari and tourism in Sanskrit. Pari means all, whole, full, while tourism means journey. Therefore the combination of the two, the word tourism can be interpreted as a full trip. The development of the world economy today cannot be separated from the role of tourism. Today, tourism is an important element in people’s lives, whose activities are closely related to social and economic growth.

United Nations World Tourism Organizations (UNWTO) in its report stated that in January 2020, international tourist arrivals worldwide rose 4% from the previous year, which was 1.5 billion. This number is a proof that the tourism sector has become an industry that has a major influence on economic growth in the world.

In Indonesia itself, tourism is one of the mainstay sectors in economic development. The Central Statistics Agency stated that there was an increase in the number of foreign tourist arrivals by 5.85% in January 2020 when compared to the number of visits in January 2019. With a variety of cultures and all the natural resources it has, Indonesia’s potential in the tourism sector is very large.

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism certainly cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. Therefore in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country’s tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will certainly have a negative impact on the development of tourism in that country.

Proceeding from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is the form of protection to traveller from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Traveller has a weak position in relation to business actors, therefore it is necessary to have a legal protection that regulates and protects traveller, considering the complexity of traveller protection problems that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know the word stop.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, people are faced with a new habit that requires all activities to be carried out at home with the advice of physical distancing and self-isolation, this is done in the hope that people can avoid traveling outside if there is no urgent need.

This policy certainly also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

As time goes by, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07 / MENKES / 382/2020 / concerning Health Protocols for The Public in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

During this time, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism, of course, cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. So in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country that is a tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will of course have a negative impact on the development of tourism in that country.

Moving on from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is a form of shield for consumers from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Consumers have a weak position in relation to business actors, therefore legal protection is needed that is regulating and protecting, given the complexity of consumer protection issues that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know stopping.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, the community is faced with new habits that require all activities to be carried out at home with the appeal of physical distancing and self-isolation, with the hope that people can avoid traveling out if there is no urgent need.

This policy, of course, also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

Then over time, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07/MENKES/382/2020/ concerning Protocols for Public Health in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

So far, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Copyrights. Work. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists, so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

“Article 67

4. The provisions of Article 26 are amended to read as follows:

Article 26

(1)    Every tourism entrepreneur shall:

a.    maintain and respect religious norms, customs, culture, and values that live in the local community;

b. provide an accurate and responsible information;

c. provide non-discriminatory services;

d. provide a comfort, hospitality, security and safety to traveller;

e. provide an insurance protection to tourism businesses with high-risk activities;

f. develop partnerships with local micro, small, and cooperative enterprises that mutually require,strengthen, and profitable each other;

g. prioritize the use of local community products, domestic products, and provide opportunities for local work force;

h. improving the competence of the work force through training and education;

i. play an active role in infrastructure development efforts and community empowerment programs;

j. participate in preventing all forms of acts that violate decency and unlawful activities in the environment where the business is located;

k. maintain a healthy, clean and beautiful environment;

l. maintain the sustainability of the natural and cultural environment;

m. maintain the image of Indonesia through responsible tourism business activities; and

n. comply the business licenses from the central government”.

In its application, traveller protection is a term used to represent legal protection for traveller in the form of principles and rules that regulate and protect traveller interests. Traveller protection is regulated in Article 1 Number 1 Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states that:

“Article 1

consumer protection is all efforts that guarantee legal certainty to provide protection to consumers”.

All of these efforts have objectives that are the final target that must be realized in their implementation, as regulated in Article 3 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states:

“Article 3

Consumer protection aims:

a. increase consumer awareness, ability and independence to protect themselves;

b. elevating the dignity of consumers by preventing them from the negative excesses of the use of goods and/or services;

c.          increasing the empowerment of consumers in choosing, determining, and demanding their rights as consumers;

d. create protection system consumer that contains elements of legal certainty and information disclosure as well as access to information;

e. raise awareness of business actors regarding the importance of consumer protection so that an honest and responsible attitude in doing business grows;

f. improve the quality of goods and/or services that ensure the continuity of the business of producing goods and/or services, health, comfort, security, and safety of consumers”.

In fulfilling these six objectives, it is closely related to the principles of applicable law. Legal principles are understood as values ​​born from the mind and conscience of human in distinguishing between good and bad, which are the basis or background of the formation of an applicable legal regulation for achievement of order in society.

Another form of protection for tourists is to carry out CHSE certification (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) in the tourism sector by the government. The certification was made to ensure the implementation of health protocols in controlling the coronavirus. Certification activities are basically voluntary for hotels and other tourism businesses and are free of charge. This certification activity in the tourism sector includes hotels, restaurants, attraction destinations, homestays, travel businesses, guides, SPA, MICE, and special interest tours. Meanwhile, for the creative economy, it covers cinema, performing arts, music, fine arts, fashion, culinary, crafts, photography, and games. The certification team apart from the Ministry of Tourism and Creative Economy will involve the Ministry of Health, as well as a number of associations such as the Indonesian Hotel and Restaurant Association and the Association of Indonesian Travel Companies. In addition, provincial and district-city teams are also involved as well as certification bodies who will later serve as assessors or auditors.

In addition, the government has also sought consumer protection by issuing Presidential Instruction No. 6 of 2020 concerning Improvement of Discipline and Law Enforcement of Health Protocols in the Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019. The regulation instructs the Governor, Regent, and Mayor to prepare and stipulate a governor/regent/mayor regulation which contains provisions, among others:

1) The obligations to comply with health protocols includes:

a) protection of infividual health which includes:

  1. use personal protective equipment in the form of a mask that covers the nose and mouth to the chin, if you have to leave the house or interact with other people whose health status is unknown;
  2. clean hands regularly;
  3. physical distancing; and
  4. increase endurance by implementing clean and healthy living behaviors;
  5. b)public health protection, including:
  1. socialization, education, and the use of various information media to provide understanding of the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
  2. Provision of hand washing facilities with soap that are easily accessible and meet standards or provision of hand sanitizer;
  3. Health screening and monitoring efforts for everyone who will have an activity;
  4. Social distancing measures;
  5. Periodic cleaning and disinfection of the environment;
  6. Enforcement of discipline on community behavior that is at risk in the transmission and contraction of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); and
  7. Facilitation in early detection and handling of cases to anticipate the spread of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

2) The obligation to comply with health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) as referred to in number 1) is imposed on individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

3) Public places and facilities as referred to in number 2), including:

a. offices/workplaces, businesses, and industries;

b. schools/ other educational institutions;

c.place of worship;

d.stations, terminals, ports, and airports;

e.public transport;

f.private vehicles;

g.shops, modern markets, and traditional markets;

h.pharmacies and drugstores;

i.food stalls, cafes, and restaurants;

j.street vendors/snack stalls;

k.hospitality/other similar hospitality;

l.tourism places;

m.health care facilities;

n.public areas, other places that can cause crowds; and

o.public places and facilities in other health protocols in accordance with the provisions of laws and regulations.

4) individuals, business actors, managers, organizers, or person in charge of public places and facilities as referred to in number 2), shall facilitate the implementation of prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

5) Contains sanctions for violations of the application of health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) carried out by individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

6) The sanctions as referred to in number 5) are in the form of: a)verbal warning or written warning;

b)Social work;

c)Administrative fines; or

d)Termination or temporary closure of business operations.

This pandemic has caused a shift in the orientation of the tourism market segment from foreign tourists to domestic tourists. This shift is due to the fact that international flight flows have not fully recovered. Therefore, a special strategy is needed from the government in dealing with the impact of this condition on the tourism sector so as not to make it worse and can immediately bounce back. Indonesian tourism must adapt to the new normal era by always paying special attention to aspects of cleanliness, safety and security. The implementation of health protocols in every tourism destination must be endeavored to be realized to the fullest.

During this time, keeping a distance from other people, avoiding crowds, staying away from crowds, and not being overcrowded are not habits that generally exist in a tourism destination, especially at certain times such as holidays and weekends. This certainly has the potential to be a threat to the security, health, and safety of tourists and will further have an impact on how a tourist destination will survive in the future.

Therefore as a form of legal protection for tourists during the COVID-19 pandemic, Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can be used as a legal basis to prevent tourists from losses, especially health losses due to contracting the Corona virus. Tourism entrepreneurs as business actors are obliged to provide guarantees for the quality and condition of services to meet the needs of tourists and the provision of tourism services. The way that can be done is to provide true, clear and honest information about how a tourism destination is managed while the COVID-19 pandemic is still ongoing. Tourism entrepreneurs are also required to ensure that the health protocols set by the government are always adhered to as a form of correct service and the fulfillment of the rights of tourists as consumers. On the other hand, tourists as consumers are also obliged to obey the policies that have been set by tourism entrepreneurs during the COVID-19 pandemic for the safety and security of themselves and others. This consumer obligation needs to be emphasized because Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can only provide protection effectively and optimally if legal awareness of the public, in this case tourists as consumers, has been realized.

0

Penerapan Regulasi Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co-author: Ilham M. Rajab

Transportasi umum kini menawarkan bentuk kenyamanan bagi konsumen, yaitu sebuah peningkatan keadaan yang lebih melayani pengguna dan driver transportasi umum sehingga membentuk hal-hal yang dapat memfasilitasi segala kebutuhan bagi driver dan penumpangnya.[1] Selain driver dan penumpangnya sudah tentu menjadi sebuah dampak yang positif dalam bidang pengangkutan. Pengangkutan adalah proses dari orang yang mampu mengikatkan diri untuk mengadakan perpindahan barang dan/atau orang dari satu titik tempat ke tempat tujuan tertentu dengan keadaan seperti semula.[2] Adapun pengertian dari pengangkutan adalah kegiatan menaikan penumpang atau barang pada sebuah alat pengangkut, kegiatan memindahkan penumpang atau barang pada tempat tujuan dengan alat pengangkut, dan menurunkan penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang disepakati.[3]

Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 1

3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang
dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”.

Ojek online merupakan suatu kegiatan pengangkutan karena mampu melakukan kegiatan perpindahan baik orang maupun barang dari satu tempat ke tempat lain dalam keadaan semula dengan menggunakan Kendaraan dalam berlalu lintas di jalan. Dengan kemampuan ojek online melakukan kegiatan pengangkutan tersebut, dasar hukum penyelenggaraannya ojek online pada pasal 137 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 137

(2) Angkutan orang yang menggunakan kendaraan bermotor berupa sepeda motor, mobil penumpang, atau bus”.

Saat ini Kementerian Perhubungan memutuskan aturan baru mengenai penyesuaian tarif ojek online. Aturan tersebut rencananya akan dilakukan pada 29 Agustus 2022 dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi ditetapkan pada 4 Agustus 2022, Kementerian Perhubungan membuat kebijakan perubahan tarif, baik tarif minimal maupun rentang tarif per kilometer untuk jasa transportasi online berbasis kendaraan bermotor roda dua.[4]

Adapun kenaikan tarif ojek online sebagaimana dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, sebagai berikut:[5]

Daftar tarif baru ojek online di Indonesia:

Zona I (Sumatera, Jawa dan Bali)

Biaya jasa batas bawah Rp 1.850/km, batas atas Rp 2.300/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 9.250-Rp 11.500.

Zona II (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.600/km, batas atas Rp 2.700/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 13.000-Rp 13.500.

Zona III (Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.100/km, batas atas Rp 2.600/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 10.500-Rp 13.000.

Sementara itu tarif ojek online yang berlaku per 16 Maret 2020

Zona I

Tarif batas bawah: Rp 1.850/km
Tarif batas atas: Rp 2.300/km
Biaya jasa minimal 4 km pertama Rp 7.000-Rp 10.000

Zona II

Tarif batas bawah: Rp 2.250/km
Tarif batas atas: Rp 2.650/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 9.000 hingga 10.500

Zona III

Tarif batas bawah: Rp 2.100/km
Tarif batas atas: Rp 2.600/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 7.000 hingga Rp 10.000

Dari kenaikan tarif ojek online yang ada tentu memilik dampak terhadap masyarakat, menurut salah satu Non-Governmental Organization yang bergerak di bidang ekonomi dampak dari kenaikan tarif ojek online tersebut antara lain pertama dampak negatif kenaikan tarif sebesar itu pertama adalah dari sisi konsumen, kedua menurutnya adalah dari sisi driver ojek online, dan dampak ketiga, adalah dari sisi ekonomi.[6] Dampak lainnya, terjadi peningkatan biaya transportasi untuk mengirimkan barang. “Sektor lain akan terpukul. Ada dampak turunan, karena transportasi ini menghubungkan antar sektor, bukan hanya mengantarkan orang, tapi juga barang, namun niat baik pemerintah untuk menyejahterakan driver ojek online melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi.[7]

Sementara itu dengan adanya kenaikan tarif ojek online menurut pengamat transportasi berpendapat bahwa kenaikan terlalu tinggi akan mengurangi permintaan penggunaan ojek online dari konsumen yang berpindah ke moda transportasi lain. Kenaikan tarif ini bisa membuat penjualan makanan melalui aplikasi turun, terutama membuat pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah terdampak dan kesulitan berusaha, Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tapi mitra (pengemudi) tetap tidak sejahtera jika tarif terlalu murah, yang senang hanya penumpang. Tetapi apabila kenaikan harga terlalu mahal, akan membebankan konsumen, sehingga hanya pihak pengemudi dan pengembang aplikasi yang diuntungkan. Mengenai permasalahan tersebut sudah semestinya terdapat jalan tengah dari pemerintah bagi seluruh pihak yang bersangkutan.[8]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi

Refrensi:

Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016;

Purwosutjipto H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000;

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013

https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah
https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732
https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi

[1] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[3] kontan https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi diakses pada tanggal 22 Agustus 2022



[1] tirto.id https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] cnbc https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2022


[1] Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016

[2] Purwosutjipto H.M.N, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, h.10

[3]Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 4

1

Implementasi Pengurangan Sampah oleh Produsen di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

Pada tanggal 16 Agustus 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadakan event yang bertema The Rising Tide-A Grassroot Movement for Sustainability (The Rising Tide). Kegiatan tersebut mengampanyekan kesadaran lingkungan, dengan menciptakan ekosistem pengelolaan sampah rumah tangga berkelanjutan. Misinya adalah menggugah kesadaran masyarakat dan para pihak, betapa masalah lingkungan terutama sampah plastik perlu mendapatkan perhatian serius. Sebagaimana diketahui, KLHK sejak awal mendukung kampanye The Rising Tide, dan secara konsisten mendorong produsen agar menyusun road map pengurangan sampah dengan target pengurangan 30 persen timbulan sampah per Desember 2029. Strategi pengurangan sampah plastik industri sudah diuraikan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah. Produsen juga didorong untuk memproduksi kemasan plastik yang lebih besar (size up) mengutamakan kemasan besar, untuk membantu pemerintah mengejar target pengurangan timbulan sampah plastik. Sebagai tindak lanjut dari gerakan The Rising Tide, para stakeholders menyerukan komitmen bersama bertajuk “Indonesia Stop Wariskan Sampah”. Komitmen ini melibatkan pemerintah yang diwakili KLHK, produsen, industri daur ulang, dan komunitas penggerak lingkungan.[1]

Kampanye The Rising Tide mengasilkan sebuah komitmen yang disepakati bersama sebagai berikut:[2]

Pemerintah:

  1. Memberikan dukungan terkait dengan kebijakan pengelolaan sampah oleh masyarakat, produsen dan pemda, mendorong regulasi daerah tentang pengelolaan sampah serta memfasilitasi peran industri daur ulang dalam pengurangan sampah;
  2. Mendukung pulau Bali sebagai proyek pengembangan awal dari gerakan The Rising Tide;
  3. Mendukung mata rantai sistem daur ulang di Indonesia, mulai dari hulu sampai hilir yaitu masyarakat/produsen, dari after consumption hingga produksi bahan daur ulang untuk menekan angka impor recycled plastic nasional;
  4. Mendorong percepatan penyusunan peta jalamn pengurangan sampah oleh produsen melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019, untuk melakukan Extended Producers Responsibility (EPR) serta mendorong upsizing sebagai usaha untuk mengurangi timbulan sampah;
  5. Mendukung gerakan sirkular ekonomi dalam pengelolaan sampah di Indonesia.

Produsen:

  1. Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah;
  2. Bekerja sama dan mendukung aktivitas yang dilakukan oleh stakeholders yang dapat meningkatkan angka collection rate dan recycling rate;
  3. Berkomitmen untuk terus melakukan gerakan ekonomi sirkular sebagai bagian dari EPR;
  4. Berkomitmen untuk melakukan produksi yang bertanggung jawab dan sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019, dengan melakukan Upsizing Product sebagai usaha untuk mengurangi timbulan sampah.

Industri Daur Ulang:

  1. Memperkuat infrastructure collection dan proses daur ulang;
  2. Mendukung produsen untuk melaksanakan EPR;
  3. Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/ konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah.

Komunitas Penggerak Lingkungan:

  1. Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/ konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah;
  2. Terus menginisiasi gerakan akar rumput yang membawa dampak positif bagi lingkungan, dengan melanjutkan The Rising Tide sebagai ajang tahunan, dan kegiatan Triumph of Us pada 2025;
  3. Mendukung dan menjadi partner pemerintah dan produsen untuk mengurangi timbulan sampah dengan berbagai aktivitas edukasi;
  4. Mendukung EPR produsen dengan berbagai aktivitas untuk meningkatkan collection rate.

Peningkatan jumlah sampah plastik setiap tahun naik drastis. Akar dari permasalahan ini adalah produsen yang masih terus menggunakan bahan plastik pada produk mereka. Selama ini, permasalahan sampah masih dibebankan hanya pada tanggung jawab konsumen. Sementara pihak produsen masih nyaris tak tersentuh kewajiban untuk bertanggung jawab atas produk yang mereka hasilkan. Ketimpangan tanggung jawab semacam ini harus segera diruntuhkan.[3] Pemerintah sebenarnya telah memiliki landasan hukum yang mengatur pengurangan sampah produsen terutama sampah yang sulit diurai dan tidak dapat diguna ulang, seperti kemasan plastik. Dasar hukum tersebut yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari tahun 2020 sampai tahun 2029. Peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah seperti dimandatkan dalam pasal 15. Adapun bunyi dari pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah:

Pasal 15

Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”.

Dalam perkembangan prinsip hukum lingkungan hal ini dikenal dengan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR). Prinsip ini merupakan suatu pendekatan kebijakan lingkungan dimana tanggung jawab produsen terhadap sebuah produk diperluas sampai kepada tahap pasca konsumen dari siklus hidup produk tersebut. Jika hal ini dapat diterapkan secara efektif maka tentunya instrumen ini dapat mengurangi sampah plastik secara maksimal karena diselesaikan langsung dari akar masalahnya.[1]Pengurangan timbulan sampah oleh produsen ini dilakukan melalui penggunaan bahan produk dari material yang mudah diurai, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah yang wajib dilakukan. Selain itu, dalam rangka pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi dengan penarikan kembali sampah yang disertai dengan penyediaan fasilitas penampungan.[2] Berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, disebutkan bahwa:

Pasal 4

(1) Pengurangan Sampah dilakukan terhadap produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang:

a. sulit diurai oleh proses alam;

b.tidak dapat didaur ulang; dan/atau

c.tidak dapat diguna ulang

Produk, kemasan produk, dan/atau wadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.plastik;

b.kaleng alumunium;

c.kaca; dan

d.kertas”.

Upaya pengurangan sampah oleh produsen dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Pengurangan Sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan melalui:

a.pembatasan timbulan sampah;

b.pendauran ulang sampah; dan

c.pemanfaatan kembali sampah.

(2) Pembatasan timbulan Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara:

a.menggunakan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan Sampah sesedikit mungkin; dan/atau

b.tidak menggunakan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang sulit diurai oleh proses alam.

(3) Pendauran ulang Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara:

a.menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang; dan/atau

b.menggunakan bahan baku produksi hasil daur ulang.

(4) Pemanfaatan kembali Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara menggunakan bahan baku produksi yang dapat diguna ulang”.

Tak cukup pada penggunaan material yang tepat, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan dalam rangka pengurangan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Selain itu, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi kepada konsumen agar turut berperan dalam pengurangan sampah. Pemerintah juga dapat memberikan penghargaan dan juga publikasi kinerja tidak baik kepada produsen.[1]

Pertanggungjawaban produsen untuk mengelola sampah dari kemasan yang mereka produksi bukanlah hal yang mustahil diterapkan di Indonesia. Diperlukan upaya hukum yang lebih jelas dalam skema yang lebih variatif untuk memudahkan perusahaan/produsen dalam upaya pengelolaan sampah yang mereka produksi. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah memasukkan skema tanggung jawab produsen ini sebagai salah satu syarat dipenuhinya izin lingkungan. Hal ini bisa dimasukkan dalam komponen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) yang menjadi kewajiban dari perusahaan. Sehingga dengan serta merta menjadi tanggung jawab dengan prosedur yang jelas dan dapat dilakukan evaluasi secara berkala oleh instansi pemerintah.[2]

Tentu ini bukan hal yang mudah, karena secara naluriah bertentangan dengan prinsip dasar dari perusahaan untuk memperoleh laba secara maksimal, dengan menambah biaya produksi. Tapi ini haruslah dilakukan untuk usaha yang berkelanjutan, untuk memastikan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan masih memungkinkan untuk kegiatan manusia kedepannya. Sehingga segala upaya yang mungkin dilakukan perlu dicoba untuk memaksimalkan upaya dalam mengatasi permasalahan sampah plastik yang telah menjadi masalah global saat ini.[3]

Selanjutnya mengenai pengenaan sanksi terhadap pengelolaan sampah sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat pengaturan mengenai sanksi administratifyang dapat dikenakan sebagaimana berbunyi:
Pasal 32

(1) Bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif kepada pengelola sampah yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a.paksaan pemerintahan;

b.uang paksa; dan/atau

c.pencabutan izin.

Ketentuan lebihlanjut mengenai penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Sementara itu, terdapat juga pengaturan mengenai sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Hal tersebut terkandung pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatakan:

Pasal 40

Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[1]

Secara normatif, Indonesia telah memiliki sejumlah produk hukum peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum dan rujukan dalam mendorong pelibatan perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha dalam tata kelola sampah khususnya sampah plastik hasil akhir atau buangan produk mereka. Indonesia bahkan telah memiliki Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Namun, implementasi tanggung jawab produsen berdasarkan peta jalan tersebut agaknya masih akan menemui berbagai tantangan. Diperlukan upaya hukum yang lebih jelas dalam skema yang lebih variatif untuk memudahkan perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha dalam upaya pengelolaan sampah hasil akhir produk mereka. Dengan mengadopsi dan extended producer responsibility (EPR), salah satu alternatif upaya yang dapat ditempuh adalah dengan memasukkan kewajiban pengelolaan sampah khususnya sampah plastik di dalam komponen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) sebagai syarat yang harus dipenuhi perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha. Dengan demikian, juga dapat dilakukan evaluasi secara berkala oleh instansi pemerintah.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen

Referensi:

detik.com, https://news.detik.com/berita/d-6240509/klhk-dorong-produsen-perbesar-kemasan-plastik, diakses pada 19 Agustus 2022.

aliansizerowaste.id, https://aliansizerowaste.id/2021/02/19/permen-lhk-nomor-75-tahun-2019-solusi-jitu-pengurangan-sampah-produsen/, diakses pada 19 Agustus 2022.

Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Tinjauan Normatif Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Produsen dalam Pengaturan Tata Kelola Sampah Plastik di Indonesia, dalam Jurnal Bina Hukum Lingkungan Vol. 6, No. 2, Februari 2022.


[1] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah


[1] aliansizerowaste.id, Loc.cit.

[2]Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Op.cit., hal. 197

[3]Loc.cit


[1] Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Tinjauan Normatif Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Produsen dalam Pengaturan Tata Kelola Sampah Plastik di Indonesia, dalam Jurnal Bina Hukum Lingkungan Vol. 6, No. 2, Februari 2022, hal. 186-187

[2] aliansizerowaste.id, Loc.cit.


[1] Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah



[1] detik.com, https://news.detik.com/berita/d-6240509/klhk-dorong-produsen-perbesar-kemasan-plastik, diakses pada 19 Agustus 2022.

[2] Loc.cit.

[3] aliansizerowaste.id, https://aliansizerowaste.id/2021/02/19/permen-lhk-nomor-75-tahun-2019-solusi-jitu-pengurangan-sampah-produsen/, diakses pada 19 Agustus 2022.

0

Pembangunan Bandar Udara Tetap Berjalan di Tengah Proses Hukum Sengketa Pengadaan Tanah

Author : Nirma Afianita
Co-author : Ilham M. Rajab

Tahapan pembangunan bandar udara telah dimulai sejak 2016.[1] Namun, pembangunan terus tertunda sampai sekarang. Terlebih lagi, pengadaan tanah untuk pembangunan bandar udara tersebut terlibat dalam persengketaan dan tengah diproses hukum di Mahkamah Agung. Padahal, sertifikat tanah menjadi syarat utama yang dipersyaratkan Kementerian Perhubungan dan Bappenas untuk memulai pembangunan fisik bandar udara baru.[2]

Mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terjamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU Pengadaan Tanah”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).

Pemerintah secara normatif mengatur bidang pertanahan yang mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[3] Yang mana pembangunan bandar udara sejatinya merupakan kepentingan umum. Hal ini juga didasari sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU Pengadaan Tanah yang diubah dengan UU Cipta Kerjayang berbunyi:

Pasal 10

Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

  • pertahanan dan keamanan nasional;
  • jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
  • waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
  • pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  • infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
  • pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/atau distribusi tenaga listrik;
  • jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
  • tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  • rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • fasilitas keselamatan umum;
  • permakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
  • cagar alam dan cagar budaya;
  • kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa;
  • penataan permukiman kumuh perkotaan danfatau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus;
  • prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • pasar umum dan lapangan parkir umum;
  • kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai danlatau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Fusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan;
  • kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.[4]

Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, serta dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.[5] Hal tersebut juga diafirmasi oleh Pasal 18 UUPA bahwa pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian.[6] Pada umumnya, pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung kepada pihak yang berhak.[7] Akan tetapi, apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) UU Pengadaan Tanah. Kemudian, putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.[8]

Meskipun pengadaan tanah masih dalam proses hukum, Badan Pertanahan menyebut bahwa pembangunan bandar udara dapat tetap berjalan, termasuk penyiapan dana untuk ganti rugi tanah oleh pemerintah daerah.[9] Akan tetapi, pembayaran ganti rugi tanah baru bisa dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut sebagaimana ketentuan mengenai penitipan ganti kerugian yang tertuang dalam Pasal 42 UU Pengadaan Tanah sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja, yang berbunyi:

Pasal 42

  • Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerrrgian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
  • Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap:
  • Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau
  • Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
  • sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
  • masih dipersengketakan kepemilikannya;
  • diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
  • menjadi jaminan di Bank.
  • Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) Hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat”.

Berdasarkan ketentuan di atas, sepanjang dana ganti rugi telah dititipkan kepada pengadilan, pemerintah daerah dapat meminta pengadilan melakukan eksekusi manakala ada pihak-pihak yang mencoba menghalangi tahapan yang sedang berjalan. Hal ini mengingat pembangunan bandar udara yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan umum yang harus dijunjung tinggi.

Dalam rapat koordinasi Satgas Pengadaan Tanah lokasi bandara, diputuskan Satuan Tugas Pengadaan tanah bandara yang diperkarakan ini dipimpin Kepala Kantor Pertanahan dan diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan pekerjaan.[10] Selanjutnya, tim appraisal atau penilai independen akan menilai berapa nilai ganti rugi tanah juga tanaman tumbuh yang harus dibayarkan pemerintah daerah kepada pemilik tanah. Penilaian tersebut bukan mengacu pada peraturan daerah, peraturan bupati, maupun Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang berlaku di Wondama, melainkan menggunakan Nilai Penggantian Wajar (“NPW”), yakni nilai untuk kepentingan pemilik yang didasarkan kepada kesetaraan dengan nilai atau harga pasar dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian nonfisik yang diakibatkan dari pengambilan hak atas properti yang diambil.[11] Penggantian yang wajar tersebut ditujukan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pembangunan di daerah. Sebagai konsekuensi hukumnya, apabila pemberian ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri, maka kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku, serta tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, sebagaimana diatur di dalam Pasal 43 UU Pengadaan Tanah. Pada akhirnya, kesepakatan pelepasan tanah oleh masyarakat pemilik hak ulayat diharapkan menjadi langkah yang progresif dan berimplikasi positif sehingga pembangunan bandar udara yang tertunda dapat segera terealisasi.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Referensi:

Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 26 Juli 2022.


[1] Pikiranrakyat, https://portalpapua.pikiran-rakyat.com/lokal/pr-1301854989/bandar-udara-domine-i-s-kijne-kabupaten-teluk-wondama-siap-dibangun, diakses 27 Juli 2022.

[2] Ibid

[3] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945.

[4] Pasal 123 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

[5] Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[6] Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

[7] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[8] Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[9] Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 26 Juli 2022.

[10] Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 27 Juli 2022.

[11] Pikiranrakyat, https://portalpapua.pikiran-rakyat.com/lokal/pr-1301854989/bandar-udara-domine-i-s-kijne-kabupaten-teluk-wondama-siap-dibangun, diakses 27 Juli 2022.


0

DEFAULT IN CONSTRUCTION SERVICES FOR INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT

Author : Nirma Afianita
Co-author : Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

REFERENSI: 

  1. Hendra Andy Mulia Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
    1. Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
    1. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
    1. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
      2007.
    1. Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019.

Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya untuk meningkatkan kesejahteraan secara adil dan merata, hasil-hasil dari pembangunan itu harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut.[1]

Pemerintah telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga dan dana untuk pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. hasil pembangunan dapat dilihat di seluruh wilayah Indonesia meskipun terdapat ketimpangan yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antar satu daerah dengan daerah lainnya.[2]

Selain peran pemerintah tentu terdapat peran swasta dalam melakukan pembangunan infrastruktur dimana swasta tidak hanya diserahi sebagai investor dan pembangun, melainkan juga sebagai pengelola.[3] Pihak Pengguna Jasa tentunya menghendaki pihak kontraktor akan bertanggungjawab melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Begitu juga sebaliknya, pihak kontraktor tentunya menghendaki Pihak Pengguna Jasa bertanggungjawab melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.[4]

Perjanjian sebagaimana pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

                               “Pasal 1313

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Berkaitan dengan perjanjian itu sendiri dianggap sah jika perjanjian memenuhi syarat sebagaimana Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Pasal 1320

Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu hal tertentu;suatu sebab yang halal”.

Dalam hal perjanjian konstruksi sering juga disebut dengan perjanjian pemborongan, Pasal 1601 b KUHPerdata memberikan pengertian mengenai perjanjian pemborongan yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak pertama, yaitu pemborong, mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain, yaitu bhouweer, dengan harga yang telah ditentukan.[5]

Berkaitan dengan jasa konstruksi pemerintah telah menjamin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, pengertian Jasa Konstruksi itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaa., liorrstruksi”.

Sementara perjanjian konstruksi dengan kontrak kerja konstruksi disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 1

8. Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen
kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna
Jasa dan penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi”.

Dalam suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan terdapat salah satu pihak yang tidak memenuhi perjanjian tersebut, atau biasa disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.[6]

Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.[7] Adapun dasar hukum dari wanprestasi sendiri dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Pasal 1243

penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Sengketa konstruksi dapat terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik maupun tepat waktu dan mungkin dapat terjadi karena tidak memiliki dukungan pendanaan yang cukup. Dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi mungkin timbul karena salah satu pihak melakukan tindakan cidera janji atau wanprestasi.[8]

Sebagaimana diketahui bahwa sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bagian:[9]

  1. Sengketa precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar;
  2. Sengketa contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi;
  3. Sengketa pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun.

Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak, dalam menyelesaikan sengketa di bidang jasa kontstruksi, para pengguna jasa dan penyedia jasa lebih banyak memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur nonlitigasi seperti negosiasi, mediasi maupun arbitrase yang harus dicantumkan di perjanjian.[10]

Adapun cara penyelesaian sengketa terjamin pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 88

  • Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk  mencapai kemufakatan.
  • Dalam hal musyawarah para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menemiuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
  • Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
  • Tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:mediasi;konsiliasi; danarbitrase.
  • Selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, paa pihak dapat membentuk dewan sengketa.
  • Dalam hal-upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

Selain terdapat penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga memberikan sanksi administratif kepada penyelenggara konstruksi, terdapat dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 90

  • setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi tidak memiliki sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  • dendaadministratif;
  • penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
  • pencantuman dalam daftar hitam
  • Setiap asosiasi badan usaha yang tidak melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa:
  • peringatan tertulis;
  • pembekuan akreditasi;
  • dan/atau pencabutan akreditasi”.

Untuk mempercepat pembangunan itu sendiri perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta, yang mana harus berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian yang dibuat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan perjanjian juga tidak menutup kemungkinan akan memunculkan sengketa, setiap sengketa yang terjadi pada pemberi jasa konstruksi dan penerima jasa konstruksi maka bisa diselesaikan dengan cara litigasi maupun non litigasi sebagaimana isi dari perjanjian yang telah disepakati. Selain berkaitan dengan perjanjian tentu terdapat sanksi bagi penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki sertifikasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya hal tersebut sebagaimana ketentuan Peraturan Perundang-undangan.


[1] Panjaitan, Hendra Andy Mulia, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019, 44.

[2] Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.

[3] Ibid

[4] Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019, hlm. 42.

[5] Ibid

[6] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008, hlm. 180.

[7] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
2007, hlm. 74.

[8] Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019, hlm. 44.

[9] Ibid

[10] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Civil Code;
  2. Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services.

REFERENCE:

  1. Hendra Andy Mulia Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
    1. Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
    1. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
    1. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
      2007.
    1. Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019.

Development is an effort to create prosperity and welfare of the people. Therefore, in order to improve welfare in a fair and equitable manner, the results of the development must be enjoyed by the entire community in accordance with the development objectives.

The government has spent a lot of time, energy and funds for development in all parts of Indonesia. The results of development can be seen in all regions of Indonesia, although there are disparities that indicate differences in the speed of development between one region and another.

In addition to the role of the government, of course, there is a role for the private sector in carrying out infrastructure development where the private sector is not only entrusted as investors and builders, but also as managers. The Service User certainly wants the contractor to be responsible for carrying out his obligations in accordance with the agreement. Vice versa, the contractor certainly wants the Service User to be responsible for carrying out its obligations in accordance with the agreement.

Agreement as referred to in Article 1313 of the Civil Code, which states:

“Article 1313

An agreement is an act in which one or more people bind themselves to one or more other people”.

In relation to the agreement itself, it is considered valid if the agreement meets the requirements as stipulated in Article 1320 of the Civil Code, which states:

“Article 1320

For the validity of the agreement, four conditions are required:

1. agree on those who bind themselves;

2. the ability to make an engagement;

3. a certain thing;

4. a lawful cause”.

In the case of a construction agreement which is often also referred to as a contracting agreement, Article 1601 b of the Civil Code provides an understanding of a contracting agreement, which is an agreement in which the first party, namely the contractor, binds himself to complete a job for another party, namely bhouweer, at a predetermined price.

With regard to construction services, the government has guaranteed in Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, the definition of Construction Services itself is contained in Article 1 number 1 of Law Number 2 of 2017, which states:

“Article 1

1. Construction Services are construction and/or construction consulting services and construction works”.

Meanwhile, the construction agreement with the construction work contract is stated in the provisions of Article 1 point 8 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 1

8.Construction Work Contract is the entire document a contract that regulates the legal relationship between users Services and service providers in the provision of services Construction”.

In an agreement, it is possible that one of the parties does not fulfill the agreement, or commonly referred to as a default. Default is not fulfilling or failing to carry out obligations as specified in the agreement made between the creditor and the debtor.

Default or non-fulfillment of promises can occur either intentionally or unintentionally. The legal basis for the default itself is in Article 1243 of the Civil Code, which states:

“Article 1243

reimbursement of costs, losses and interest due to non-fulfillment of a the engagement, then it begins to be obligated, if the debtor, after is declared negligent in fulfilling its engagement, continues to neglect it, or if something is to be given or made, it can only be given or made, can only be given or made in the elapsed time.”

Construction disputes can occur if service users do not carry out management tasks properly and on time and may occur because they do not have sufficient funding support. It can be said that a construction dispute may arise because one of the parties commits an act of default or default.

As it is known that the construction service dispute consists of 3 (three) sections:

1. Pre-contractual disputes, namely disputes that occur before a contractual agreement exists, and are in the stage of the bargaining process;

2. Contractual disputes, namely disputes that occur during the construction work;

3. Post-contractual disputes, namely disputes that occur after the building has operated or been used for 10 (ten) years.

Construction disputes can arise, among others, due to claims that are not served, such as late payments, late completion of work, differences in the interpretation of contract documents, technical and managerial incompetence of the parties, in resolving disputes in the field of construction services, service users and service providers prefer to resolve disputes through non-litigation channels such as negotiation, mediation or arbitration which must be included in the agreement.

The method of dispute resolution is guaranteed in Article 88 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 88

  •  Disputes that occur in the Construction Work Contract are resolved with the basic principle of deliberation to reach consensus.
    • In the event that the deliberation of the parties as referred to in paragraph (1) cannot reach an agreement, the parties shall go through the stages of dispute resolution efforts as stated in the Construction Work Contract.
    • In the event that the dispute resolution efforts are not listed in the Construction Work Contract as referred to in paragraph (2), the parties to the dispute shall make a written agreement regarding the dispute resolution procedure to be chosen.
    • The stages of dispute resolution efforts as referred to in paragraph (2) include:

   a. mediation;

   b.conciliation;
      and

    c. arbitration.

(5) In addition to the dispute resolution efforts as referred to in paragraph (4) letter a and letter b, the parties may form a dispute council.

(6) In the event that dispute resolution efforts are carried out by establishing a dispute council as referred to in paragraph (5), the election of board membership is carried out based on the principle of professionalism and does not become part of either party.

(7) Further provisions regarding dispute resolution as referred to in paragraph (1) shall be regulated in a Government Regulation”.

In addition to dispute resolution in Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, it also provides administrative sanctions to construction operators, contained in Article 90 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 90

  • every business entity that performs Construction Services does not have a Business Entity certificate as referred to in Article 30 paragraph (1) is subject to administrative sanctions in the form of:
    • administrative fines;
      • temporary suspension of Construction Services activities; and/or
      • blacklisting

(2) Any business entity association that does not perform its obligations in accordance with the provisions of the legislation as referred to in Article 30 paragraph (6) shall be subject to administrative sanctions in the form of:

a. written warning;

b. suspension of accreditation;

c. and/or revocation of accreditation”.

Every dispute that occurs between the provider of construction services and the recipient of construction services can be resolved by litigation or non-litigation according to the contents of the agreed agreement. In addition, there are sanctions for construction service providers who do not have certification in carrying out their business activities as stipulated in the Laws and Regulations.

To accelerate development itself, there is a need for cooperation between the government and the private sector, which must be based on an agreement in an agreement made in accordance with the applicable laws and regulations.

In the implementation of the agreement, it is also possible that a dispute will arise, any dispute that occurs between the construction service provider and the construction service recipient can be resolved by litigation or non-litigation according to the contents of the agreed agreement.

In addition to being related to the agreement, of course there are sanctions for construction service providers who do not have certification in carrying out their business activities as stipulated in the legislation.

1 2 3 4 5 6 11
Translate