PROTECTION AGAINST CYBERCRIME IN BANKING

Author: Nirma Afianita
Co-author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

REFERENSI: 

  1. Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021.
  2. Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan
    dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016.
  3. Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
  4. Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security
    Dan Forensik Digital, 1(2).
  5. Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015
  6. Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022

Ketergantungan terhadap pemanfaatan teknologi pada hampir semua kegiatan manusia sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang mengikuti pesatnya teknologi informasi berkembang.[1]

Perkembangan teknologi seperti ini telah menimbulkan revolusi komunikasi yang menyebabkan kehidupan masyarakat di berbagai negara tidak bisa terlepas dan bahkan telah ditentukan oleh informasi dan komunikasi.[2]

Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi, dari dampak tersebut terdapat dampak positif dan negatif dan oleh karena itu para pelaku bisnis harus mampu beradaptasi dengan mengantisipasi dampak negatif tersebut secara mengantisipasi ancaman dan menjaga kepercayaan konsumen untuk memberikan kenyamanan konsumen dan
perlindungan konsumen dalam bertransaksi.[3]

Semakin canggihnya suatu teknologi akan selalu berbanding lurus dengan kejahatan pada dunia maya. Sehingga akan selalu bermunculan jenis–jenis kejahatan baru yang mengikuti cybercrime tersebut. Metode yang sering digunakan oleh pelaku cybercrime pada sektor perbankan
dengan memanfaatkan teknologi informasi diantaranya adalah:[4]

  1. Skimming, yakni suatu bentuk kejahatan cyber dengan cara mencuri informasi nasabah pada saat bertransaksi menggunakan Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
  2. Malicious Software (Malware) , yakni perangkat lunak berbahaya untuk mencuri data, merusak sistem serta perangkat komputer;
  3. Hacking, yakni suatu bentuk kejahatan cyber dengan cara penyerangan terhadap program komputer dan mengeksploitasi komputer milik orang pribadi atau perusahaan yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun orang lain secara melawan hukum.

Bentuk–bentuk kejahatan cyber tersebut jelas berpotensi merugikan secara finansial bagi nasabah. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan bahwa hukum melalui instrumen–instrumennya harus dapat melindungi nasabah yang menjadi korban dari cybercrime. Nasabah bank dalam hal ini berkedudukan sebagai konsumen dari badan usaha bidang perbankan dilindungi oleh hukum sebagaimana pada Pasal 1 angka 1 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan:

“Pasal 1

  1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
    kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Kemudian dalam dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri memiliki asas dan tujuan hal tersebut terjamin pada Pasal 2 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan:

“Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Masalah kedudukan yang seimbang secara jelas dan tegas terdapat dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, kesimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Dengan berlakunya undang-undang tentang perlindungan konsumen, memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan oleh karenanya bank dalam memberikan layanan kepada nasabah dituntut untuk:[5]

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. Memberikan informasi yang benar dan jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin kegiatan usaha perbankannya berdasarkan ketentuan standard perbankan yang berlaku dan beberapa aspek lainnya.

Adapun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur perbuatan yang dilarang, yang terdapat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menyatakan:

“Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”.

Sementara itu perbankan harus menjaga kerahasiannya dalam menjalankan kegiatannya hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

“Pasal 1

28. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”.

Dengan berkembangya teknologi di dunia perbankan maka dalam rangka mewujudkan kemudahan serta keamanan dan kenyamanan dalam transaksi e-commerce. e-banking sebagai media pembayaran dari tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian. Pada dasarnya, media pembayaran e-banking menyediakan jasa transaksi pembelian barang dari konsumen kepada pelaku usaha.[6]

Mengenai e-banking sendiri tentu terjamin dalam Pasal 29 ayat (4) dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

Pasal 29

(4)Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”.

Pasal 40

(1)Bank Wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, dan
Pasal 44A.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi”.

Berkaitan dengan data-data kerahasiaan dalam perbankan itu terdapat sanksi, hal tersebut terdapat dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

“Pasal 47

(1)Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)”.

(2)Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.

Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.

Melihat dari pasal yang di atas, dugaan pelanggaran yang dimaksud adalah terkait dengan permintaan rahasia bank oleh orang yang memaksa pihak bank atau pihak afiliasi untuk kepentingan perpajakan, piutang bank, dan kepentingan pengadilan untuk perkara pidana.

Perkembangan teknologi informasi dalam sektor perbankan di satu sisi memberikan kemudahan bagi industri perbankan dan juga nasabah, pada sisi lain berpotensi munculnya risiko cybercrime yang dapat merugikan nasabah secara finansial.

Industri perbankan sebagai suatu layanan jasa keuangan yang berlandaskan prinsip kepercayaan dari masyarakat maka harus tetap meningkatkan keamanan dari segi cyber security untuk selalu dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat tersebut.

Bentuk perlindungan hukum bagi nasabah atas kejahatan dunia maya telah diatur melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, sangat penting adanya regulasi yang secara tujuannya lebih mengarah kepada upaya preventif sehingga tidak lebih dahulu mendatangkan kerugian kepada konsumen, mengingat secara tingkat kerumitan penyelesaian dan pengungkapan suatu kejahatan dunia maya. Perlindungan yang diberikan oleh bank sangat penting untuk menimbulkan
kepercayaan dan kenyaman nasabah. Karena resiko yang ditimbulkan dalam layanan ini sangat tinggi, ada kemungkinan
nasabah menderita kerugian karena disadap, Selain itu juga pihak bank demi menjaga
kerahasiaan identitas dan semua informasi keuangan nasabah pengguna.[7]


[1] Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021, hal 123.

[2] Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016, hal 21.

[3] Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
https://www.researchgate.net/profile/Nashrudin-Setiawan/publication/327335383_Impact_of_cybercrime_in_e-
business_and_trust/links/60559c8f92851cd8ce52afe8/Impact-of- cybercrime-in-e-business-and-trust.pdf

[4] Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security Dan Forensik Digital, 1(2), 57–61.

[5] Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015, hal 152.

[6] Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021, hal 129.

[7] Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022, hal 81

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 10 of 1998 concerning Banking;
  2. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection;
  3. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transaction

REFERENCE:

  1. Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021.
  2. Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan
    dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016.
  3. Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
  4. Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security
    Dan Forensik Digital, 1(2).
  5. Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015
  6. Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022

Dependence on the use of technology in almost all human activities has become a daily necessity. The banking sector is one of the sectors that follows the rapid development of information technology.

The Development of technology has led to a communication revolution that has caused people’s lives in various countries to be inseparable from and have even been determined by information and communication.

The rapid information and technology development today is the impact of the increasingly complex human need for information, in which there are positive and negative results, and therefore business people must adapt by anticipating these negative results. Business people must anticipate threats and maintain consumer trust to provide customer convenience and protection in transactions.

The more advanced technology will always be directly proportional to cyberspace crime. There will always be new types of crimes that follow cybercrime. Methods that are oftenly used by cybercrimecriminals in the banking sector by utilizing information technology include:

  1. Skimming, is a cybercrime by stealing customer information when transacting using Automated Teller Machines (ATM);
  2. Malware (malicious software), namely malicious software to steal data, damage computer systems and devices;
  3. Hacking, is a cybercrime by attacking computer programs and exploiting the computers owned by private persons or companies that are used for their own or other people’s interests against the law.

These forms of cybercrime clearly have the potential to be financially detrimental to customers. Therefore, it is imperative that the law through its instruments protect customers who becomes the victim of cybercrime. Bank customers in this case are consumers of banking business entities are protected by law as in Article 1 number 1 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, which states:

“Article 1

  1. Consumers protection defines every effort which means to guarantee the aim of legal certainty  in its provision to the protection of consumers”.

Then the Consumer Protection Law itself has a principle and purpose that is guaranteed in Article 2 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, which states:

“Article 2

Consumer protection is based on benefits, justice, balance, security and consumer safety, and legal certainty”.

Regarding the balanced position matter between consumer and bank is clearly and unequivocally contained in Article 2 which states that consumer protection is based on benefits, justice, balance, security and consumer safety as well as legal certainty. With the enactment of the law on consumer protection, it provides logical consequences for banking services, therefore banks in providing services to customers are required to:

  1. Have good intentions in carrying out their business activities;
  2. Provide true and clear information, and be honest about the conditions and guarantees of the services it provides;
  3. Treat or serve consumers correctly, honestly, and non-discriminatory;
  4. Ensuring its banking business activities are based on the provisions of applicable banking standards and several other aspects.

Meanwhile, Article 30 Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions regulates prohibited acts, which states:

“Article 30

(1)Any person intentionally and without right or against the law accessing Computers and/or Electronic Systems belonging to other Persons in any way.

(2)Any person intentionally and without rights or against the law accesses a computer and/or Electronic System in any way with the aim of obtaining Electronic Information and/or Electronic Documents.

(3)Any person intentionally and without rights or against the law accessing a computer and/or Electronic System in any way by violating, breaking through, exceeding, or breaking into the security system”.

Meanwhile, banks must maintain confidentiality in carrying out their activities, this is contained in Article 1 number 28 of Law Number 10 of 1998 concerning Banking, which states:

“Article 1

28. Bank secrecy is everything related to information regarding depositors and their deposits”.

With the development of technology in the banking world, in order to realize practicality, security and convenience in e-commerce. e-banking as a payment medium for actions that can result in losses. Basically, e-banking provides transaction services for purchasing goods from consumers to business actors.

Regarding e-banking itself, consumer information confidentiality is guaranteed in Article 29 paragraph (4) and Article 40 of Law Number 10 of 1998 concerning Banking, which states:

“Article 29

(4)For the benefit of customers, banks are required to provide information regarding the possible risk of loss in connection with customer transactions made through banks”.

Article 40

(1)Banks are required to keep information regarding Depositors and their deposits confidential, except in the case as referred to in Article 41, Article 41A, Article 42, Article 44, and Article 44A.

(2)The provisions as referred to in paragraph (1) shall also apply to Affiliated Parties”.

There are sanctions applicable for bank customer’s data confidentiality breach. Article 47 paragraph (1) and paragraph (2) of Law Number 10 of 1998 concerning Banking states:

“Article 47

(1)Whoever, without carrying written order or permission from the Management of Bank Indonesia as referred to in Article 41, Article 41A, and Article 42, intentionally forcing the bank or Affiliated Party to provide information as referred to in Article 40, is punishable by imprisonment of at least 2 (two) years and a maximum of 4 (four) years and a fine of at least Rp. 10,000,000,000.00 (ten billion rupiah) and a maximum of Rp. 200,000,000,000.00 (two hundred billion rupiah)”.

(2)Members of the Board of Commissioners, Board of Directors, bank employees or other Affiliated Parties who intentionally provide information that must be kept confidential according to Article 40, are threatened with imprisonment of at least 2 (two) years and a fine of at least Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah) and a maximum of Rp. 8,000,000,000.00 (eight billion rupiah)”. 

Based on the article above, the alleged violation is related to a request for bank secrecy by a person who forces the bank or affiliated parties for tax purposes, bank receivables, and court interests for criminal cases.

The development of information technology in the banking sector on the one hand provides convenience for the banking industry and customers. On the other hand, it has the potential for the emergence of cybercrime that can harm customers financially.

The banking industry, as a financial service based on the principle of trust from the public, must continue to improve cyber security to always be able to maintain credibility in the public’s eye. The forms of legal protection for customers against cybercrimes have been regulated through the Consumer Protection Act, Banking Law, Information and Electronic Transaction Law. Therefore, it is very important to have a regulation that aims more towards preventive efforts so that it does not cause harm to consumers, considering the level of complexity of solving and disclosing a cybercrime.

The protection provided by the bank is very important to create customer trust and convenience. The risk posed in this service is very high, there is a possibility that the customer will suffer losses due to being tapped. In addition, the bank also protects the confidentiality of the identity and every financial information of the user’s customer.

Kebijakan Penggunaan Kendaraan Listrik Sebagai Kendaraan Dinas

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Megarini Adila Putri Lubis

Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai bentuk konsistensi dalam hal percepatan transisi energi menuju penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT).[1] Dengan adanya Inpres ini, pemerintah pusat dan daerah diinstruksikan untuk segera menyusun dan  menetapkan regulasi dan/atau kebijakan untuk mendukung percepatan pelaksanaan program penggunaan kendaraan listrik untuk kendaraan dinas. Arahan mengenai penggunaan kendaraan bermotor listrik merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mengatasi solusi atas permasalahan global dalam hal mendukung pemulihan ekonomi serta upaya menekan emisi global.[2] Berkaitan dengan pengisian kendaraan listrik yang dilakukan di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dalam pelaksanaan tugasnya diberikan oleh pemerintah kepada Perusahaan Listrik Negara, hal tersebut terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Hal lain yang juga memprakarsai dikeluarkannya inpres ini yaitu adanya krisis keamanan global karena konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada kenaikan harga minyak dunia dan akhirnya juga berdampak pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak di dalam negeri, sehingga urgensi terkait transisi energi ke EBT juga berkaitan tidak hanya dengan sektor ekonomi dan lingkungan tetapi juga berkaitan dengan sektor pertahanan, keamanan serta kedaulatan negara.[3]

Komitmen Indonesia dalam percepatan transisi energi menuju penggunaan energi terbarukan ditandai dengan Perjanjian Paris 2015, yang mana hampir 200 negara menyepakati untuk membuat Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) yang berisi target pengurangan emisi karbon.[4] Indonesia berkomitmen pada periode pertama, mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian.[5] Komitmen ini juga dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.[6] Melalui PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pemerintah juga menetapkan target kontribusi EBT dalam Bauran Energi Primer Nasional yang ditetapkan minimal sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.[7] Dengan target resmi yang dimiliki Indonesia, pencapaiannya masih jauh dari yang diharapkan. Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Sahid Junaidi mengatakan, dari potensi energi terbarukan di Indonesia yang sebanyak 3.600 gigawatt (GW), pemanfaatannya baru 11,15 GW atau sebesar 3% dari total potensi energi terbarukan.[8] Maka dari itu sangat diperlukan teknologi dan regulasi yang memadai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan energi terbarukan ini.

Instruksi Presiden atas Penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) sebagai kendaraan dinas operasional dan/atau kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat dan pemerintahan daerah merupakan salah satu upaya pemerintah tetap konsisten dan berkomitmen dengan target pembangunan nasional dalam hal percepatan transisi energi menuju energi terbarukan (EBT). Instruksi Presiden ini khusus memberikan instruksi kepada Para Menteri Kabinet Indonesia Maju; Sekretaris Kabinet; Kepala Staf Kepresidenan; Jaksa Agung Republik Indonesia; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Para Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian; Para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara; Para Gubernur; dan Para Bupati/Wali Kota, sesuai dengan tugas, pokok, dan kewenangannya mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan percepatan pelaksanaan program dalam Inpres ini. Peraturan mengenai percepatan program kendaraan bermotor berbasis listrik telah diatur pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Pasal 1 Angka 3 Perpres Nomor 55 Tahun 2019, dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 1

3. Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BatteryElectric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar”.

Pelaksanaan percepatan transisi energi melalui program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai ini memiliki rintangan yang besar karena perlu kerja sama antar instansi pemerintahan pusat dan daerah serta perusahaan industri dalam hal penelitian, pengembangan dan inovasi industri, yang dijelaskan pada Pasal 7 ayat 2 Perpres Nomor 55 Tahun 2019 yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 7

(2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan perusahaan industri dapat bersinergi untuk melakukan penelitian, pengembangan, dan inovasi teknologi industri KBL Berbasis Baterai”.

Walaupun disebutkan sebagai energi ramah lingkungan, terdapat rintangan dalam isu lingkungan atas konsumsi penggunaan listrik dan komponen kendaraan listrik yang tantangan terbesarnya terletak kepada pengisian dan pelepasan energi di baterai. Menurut Ketua Ikatan Alumni RISET-Pro, terdapat 4 (empat) dampak negatif pada industrialisasi kendaraan listrik, antara lain bahan berbahaya dan beracun (B3), konsumsi energi massif sepanjang proses produksi, jejak air (water footprint) yang besar, dan kerusakan kepada ekosistem. Dampaknya kepada manusia bisa terjadi pada waktu tidak dikelola dengan baik, karena material B3 dapat terakumulasi dan mengendap pada perairan, tanah, udara, dan juga kepada manusia. Hal ini karena substansi seperti logam berat, arsenik, sodium dichromate dan hydrogen fluoride (umumnya dihasilkan dari aktivitas pertambangan), pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan barang elektronik seperti baterai memiliki dampak yang cukup spesifik di dalam ekosistem. Terlebih lagi, dalam proses pembuatan baterai dan kendaraan listrik melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, manufaktur membutuhkan energi dan air bersih yang sangat besar. Eksploitasi material-material dari alam dapat menyebabkan kerusakan kepada ekosistem, terutama terkait kepada substansi dan limbah berbahaya yang dikeluarkannya.[1]

Infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk mendukung kebijakan ini, yaitu sarana pengisian tenaga listrik bagi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, juga belum memadai. Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) masih jarang ditemukan, belum lagi tipe mobil yang berbeda akan membutuhkan Plug Socket Outlet yang berbeda pula, sehingga menemukan SPKLU yang cocok dengan tipe mobil masing-masing bisa dikatakan sulit.[2] Pada tahun 2020, telah didirikan 53 unit charging station di 35 lokasi yang tersebar di Jakarta, Bandung, Tangerang, Semarang, Surabaya dan Bali. Data ini membuktikan bahwa perkembangan infrastruktur untuk menyokong penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai masih terpusat di Pulau Jawa dan masih sangat sedikit dibandingkan dengan target jumlah SPKLU pada tahun yang sama yaitu 180 unit. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan jumlah SPKLU di Indonesia, yaitu:[3]

  1. Investasi pengembanagn SPKLU membutuhkan modal yang tergolong tinggi, khususnya untuk DC Fast Charger;
  2. Kekosongan pengaturan mengenai Tata Niaga SPKLU;
  3. Kurangnya lahan yang strategis untuk SPKLU;
  4. Harga mobil listrik sendiri masih tergolong mahal;
  5. Model bisnis pengembangan SPKLU yang belum teruji;
  6. Miskonsepsi masyarakat terhadap mobil listrik.

Melihat situasi Indonesia yang baru pulih dari krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Maka, pelaksanaan Inpres No. 7 Tahun 2022 akan terbilang sulit. Melihat banyak daerah sedang disibukkan dengan pemulihan ekonomi masyarakat pasca pandemi COVID-19, maka penganggaran tentang pengadaan kendaraan dinas berbasis baterai akan memberatkan APBD dari masing-masing daerah. Tentu saja hal ini berpotensi menimbulkan keberatan dari Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Maka, pengadaan kendaraan dinas berbasis baterai tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap tersebut juga meliputi persiapan infrastruktur, pengawasan terhadap produksi, pemakaian, dan pembuangan agar tidak membahayakan lingkungan, serta perhitungan anggaran yang tepat. Terhadap hambatan-hambatan yang menghalangi implementasi Instruksi Presiden mengenai Battery Electric Vehicle tersebut, pemerintah berupaya untuk tetap mendorong segala pihak yang dapat dilibatkan untuk mendukung kebijakan tersebut. Kebijakan-kebijakan termasuk insentif bagi para pihak yang menyediakan infrastruktur SPKLU[4] dan perjanjian kerja sama dengan PT PLN Persero selaku penyedia tenaga listrik[5] merupakan solusi yang dapat mendukung percepatan transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan.


[1] RISET-Pro, “Dampak Negatif Kendaraan Listrik Terhadap Lingkungan,” https://risetpro.brin.go.id/web/2021/10/07/dampak-negatif-kendaraan-listrik-terhadap-lingkungan/, diakses pada 26 September 2022.

[2] Direktorat Jenderal Kelistrikan, “Bahan Paparan Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik dan Tarif Tenaga Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai”, disampaikan dalam acara “Bedah Buku: Peluang dan Tantangan Pengembangan Mobil Listrik Nasional”, Jakarta, 6 Agustus 2020.

[3] M. Ikhsan Asaad, Tim Pengembangan Infrastruktur Kendaraan Listrik PT. PLN, Persero, “Road Map Pengembangan Infrastruktur Kendaraan Listrik 2020-2024”, Jakarta, 1 September 2020

[4] ndonesia, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, Pasal 17.

[5] Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Nomor 13 Tahun 2020, Pasal 19.

[1] “Kewajiban Kendaraan Dinas Pakai Mobil Listrik Bentuk Komitmen Percepatan Transisi Energi.” SINDOnews.com, 20 September 2022, https://ekbis.sindonews.com/read/890775/34/kewajiban-kendaraan-dinas-pakai-mobil-listrik-bentuk-komitmen-percepatan-transisi-energi-1663704562?_gl=1*54079f*_ga*ZzFLR3l6LVFZRnkxemFFeVE4WWFMYk8wMjhGYTRucC16blR3d3A3YWsyX2hjZ3A1dHlYZWQxdGQ3Q21vbDhNSA. Diakses 25 September 2022.

[2] “Forum Transisi Energi G20 Bali Jadi Pondasi Percepatan Transisi Energi G20 – G20 Presidency of Indonesia.” G20.org, 1 September 2022, https://g20.org/id/forum-transisi-energi-g20-bali-jadi-pondasi-percepatan-transisi-energi-g20/. Diakses 25 September 2022.

[3] SINDOnews.com, loc.cit.

[4] “Geliat Pemanfaatan Energi Terbarukan – Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM.” Pslh Ugm, 21 February 2022, https://pslh.ugm.ac.id/geliat-pemanfaatan-energi-terbarukan/. Diakses 25 September 2022.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Vita Puji Lestari. “Ringkasan Permasalahan dan Tantangan Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru dan Terbarukan Dalam Bauran Energi Nasional.” DPR RI, PUSAT KAJIAN AKN BADAN KEAHLIAN DEWAN DPR RI, 2021, https://berkas.dpr.go.id/puskajiakn/analisis-ringkas-cepat/public-file/analisis-ringkas-cepat-public-21.pdf. Diakses 25 September 2022.

[8] “Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM.” Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM, 11 February 2022, https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/02/14/3083/pemerintah.dorong.peran.daerah.dukung.percepatan.transisi.energi.di.indonesia. Diakses 25 September 2022.

THE IMPLEMENTATION OF ONLINE DISPUTE RESOLUTION IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

REFERENSI:

  1. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006.
  2. Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Online Dispute Resolution in Consumer Disputes, Jurisprudencia, Mykolas Romeris University, 2011.
  3. UNCITRAL Technical Notes on Online Dispute Resolution, 2017. Diakses dari https://uncitral.un.org/sites/uncitral.un.org/files/media-documents/uncitral/en/v1700382_english_technical_notes_on_odr.pdf pada tanggal 18 September 2022.
  4. Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace. San Fransisco: Jossey Bass, 2001.
  5. Faiz Aziz, M., & Arif Hidayah, M. (2020). Perlunya Pengaturan Khusus Online Dispute Resolution (ODR) Di Indonesia Untuk Fasilitasi Penyelesaian Sengketa E-Commerce. Jakarta Selatan: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
  6. Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Analisis Pentingnya Implementasi Penyelesaian Sengketa Online di Indonesia, Legalitas: Jurnal Hukum, Juni 2021.
  7. Meline Gerarita Sitompul, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan, Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia, dalam Jurnal Renaissance Vol. 1, No. 02, Agustus 2016.
  8. Ahkhan, Alma, dan Irwansyah, Eksistensi The International Chamber of Commerce Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, dalam Jurnal Analisis, Vol. 4, No.1, Juni 2015.

Prinsip dasar hukum adalah hukum selalu ditempatkan sebagai Ultimum Remedium[1] atau upaya terakhir yang ditempuh ketika upaya-upaya lain tidak bisa menyelesaikan suatu masalah. Banyaknya sengketa dan permasalahan yang muncul harus diselesaikan secara cepat dan tepat. Dalam konteks tersebut maka lahirlah mekanisme penyelesaian secara damai yang dituangkan dalam proses-proses non-hukum. Praktik ini disebut sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR), sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Pasal 1

10. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

Hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat, dinamika perkembangan masyarakat membantu menghantarkan reformasi hukum modern (modern legal reform) yang dalam hal ini segala sesuatunya selalu menggunakan teknologi. Penggunaan teknologi ini juga merambah hingga pada pola alternatif penyelesaian sengketa yang dalam hal ini mulai berkembang dengan baik. Online Dispute Resolution (ODR) biasa juga disebut sebagai Internet Dispute Resolution (iDR), ataupun juga Electronic Dispute Resolution (eDR), Electronic ADR (sADR) hingga Online ADR (oADR) adalah satu diantaranya.[1] Namun, masih banyak yang belum mengerti tentang mekanisme Online Dispute Resolution ini termasuk orang-orang yang bekerja pada bidang hukum itu sendiri.

Online Dispute Resolution (ODR) adalah cabang penyelesaian sengketa yang mana menggunakan fasilitas teknologi untuk memberikan penyelesaian terhadap sengketa antara para pihak. Yang mana dalam hal ini menggunakan negosiasi, mediasi atau arbitrase ataupun kombinasi diantara ketiganya. Dalam hal ini ODR dikategorikan sebagai bagian dari Alternative Dispute Resolution (ADR). Bedanya adalah bahwa ODR merubah pandangan tradisional dengan penggunaan teknik yang inovatif dan teknologi online pada prosesnya.[2]

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur ODR itu dilakukan secara online tanpa mengharuskan kedua belah pihak yang bersengketa yang berada di wilayah lintas batas untuk bertemu secara langsung atau bertatap muka. Dengan demikian, Online Dispute Resolution diharapkan dapat membantu serta mengatasi dalam menangani situasi yang timbul dari transaksi perdagangan lintas batas, yang mana mekanisme peradilan yang tradisional kemungkinan tidak menawarkan solusi atau bantuan hukum yang memadai untuk mengatasi sengketa e-Commerce lintas batas (cross-border).[3]

ODR lahir dari sinergisme antara Alternative Disputes Resolution (ADR) dan Information of Computer Technology (ICT) sebagai metode atau langkah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam proses online yang mana penyelesaian secara tradisional sangat tidak efektif dan tidak memungkinkan. Kerangka pihak yang bersengketa (dalam ODR) antara lain:

  1. Pihak yang bersengketa 1;
  2. Pihak yang bersengketa 2;
  3. Fasilitator;
  4. ICT “Information and Computer Technology” Assistance.[4]

ODR ini bisa diartikan penyelesaian melalui metode ADR, yang asumsinya bahwa sengketa tertentu (e-disputes) dapat diselesaikan secara cepat, mudah, melalui media internet. Bisa dikatakan ODR adalah penyelesaian ADR dengan penggunaan teknologi internet. Dalam hal tersebut, terdapat 4 tipe ODR:[5]

  1. Online Settlement, sistem otomatis canggih yang mampu menyelesaikan masalah sengketa finansial;
  2. Online Arbitration, penggunaan website sebagai media arbitrase dengan dukungan dari arbitrator yang berkualifikasi;
  3. Online Resolution of Consumer Complaints, menggunakan media e-mail untuk menyelesaikan masalah komplain dari konsumen;
  4. Online Mediation, penggunaan website sebagai tempat mediasi dengan dukungan dari mediator yang berkualifikasi.

ODR dalam hal ini dilihat dari tipe-tipe penyelesaian sengketa, hanya berkutat pada penyelesaian commercial law (perdagangan) yang itu harus dapat diselesaikan secara damai, yurisdiksinya adalah meliputi kewenangan untuk menangani kasus-kasus hukum dagang yang hasilnya dapat berupa win-win solution ataupun win-lose solution dari proses e-adjudication (Online Arbitration).

Secara umum, ODR memiliki empat komponen (semacam syarat sahnya ODR):[6]

  1. Sama seperti ADR, kedua belah pihak yang bersengketa harus bersepakat untuk menyelesaikan kasusnya di luar pengadilan. Bedanya adalah menggunakan internet dalam proses penyelesaiannya;
  2. Terdapat panduan dari professional yang mengarahkan para pihak untuk menjalankan proses ADR dengan menggunakan internet;
  3. Pengaturan mengenai ADR berlaku pada pelaksanaan penyelesaian melalui internet;
  4. Software digunakan sebagai alat untuk bertukar informasi di internet. (Meet Online, Access Database, Send document and Hold Meetings with Voice and Video Conference).

Di Indonesia sebenarnya telah ada undang-undang yang mengatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun pengaturan-pengaturan yang dimaksudkan pada undang-undang ini meliputi pengaturan tentang penyelesaian sengketa seputar perbedaan pendapat antara pihak yang bersengketa karena adanya hubungan hukum tertentu maupun karena timbulnya kerugian dikarenakan adanya hukum-hukum tersebut. Jadi, cakupan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini yaitu penilaian ahli, arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi dan konsiliasi termasuk proses beracara dan prosedur yang berlaku pada arbitrase dan/atau upaya alternatif penyelesaian sengketa serta putusan dan pelaksanaan putusannya.[7]

Sementara itu, hubungan antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan ODR, walaupun ODR dapat diimplementasikan, namun belum ada keterkaitan yang mencakup pengaturan mengenai ODR. Maka dari itu, akibat dari timbulnya perselihan yang pada umumnya timbul karena adanya perjanjian, para pelaku bisnis yang berperkara dapat dengan bebas dalam menentukan forum dalam perjanjian tersebut termasuk penggunaan ADR maupun ODR. Meski demikian, prosedur beracaranya tetap mengaplikasikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta peraturan lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.[8]

Disamping itu, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga dapat digunakan sebagai dasar pengaplikasian ODR spesifiknya untuk permasalahan e-Commerce. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya seperti tertera dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi:

Pasal 18

(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”.

Ketentuan ini cenderung menunjukan bahwa konsumen harus benar-benar mencermati apakah kontrak yang akan disepakati sudah menetapkan forum pengadilan, arbitrase ataupun lembaga penyelesaian sengketa alternatif. Karena forum-forum inilah yang nantinya muncul sebagai ruang untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha. Maka dari itu, perlu ditambahkan pula adanya forum penyelesaian sengketa secara online.[9]

Penyelesaian sengketa e-Commerce dapat dilakukan secara online dengan menggunakan ODR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang berbunyi:

Pasal 72

(1)Dalam hal terjadi sengketa dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.

(2)Penyelesaian sengketa Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan secara elektronik (online dispute resolution sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Maksud dari ODR pada Peraturan Pemerintah e-Commerce yaitu Lembaga yang terakreditasi atau lembaga pemerintahan yang berwenang yang menyelenggarakan ODR harus didukung oleh pendukung yang profesional seperti mediator atau advokat. Adapun pemilihan forum ODR itu ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang melakukan transaksi atau perdagangan bisnis secara online termasuk pilihan forum serta hukum dalam penyelesaian sengketa lintas batas. Namun, asas hukum perdata internasional berlaku apabila para pihak tidak menentukan forum serta hukum sekiranya terjadi sengketa.[10]

Salah satu lembaga internasional yang dapat menerapkan ODR adalah International Chamber of Commerce (ICC). Kedudukan ICC sangat penting sebagai salah satu choice of forum oleh para pihak, dan lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa bisnis internasional. Terdapat dua cara penyelesaian sengketa yang disediakan oleh ICC, cara pertama yakni dengan menggunakan badan arbitrase ICC, dan cara kedua dapat juga sengketa tersebut diselesaikan melalui badan konsiliasi ICC, kedua cara penyelesaian tersebut yang membuat ICC berbeda dengan lembaga atau badan penyelesaian sengketa bisnis internasional yang lain.[11] Jadi, dengan hadirnya regulasi ADR dan e-Commerce di Indonesia telah menunjukkan bahwa setidaknya ODR telah mempunyai dasar regulasi yang dapat mendukung pelaksanaannya. Meskipun belum ada pengaturan yang spesifik sehubungan ODR, aturan-aturan yang sebagaimana telah dijabarkan diatas telah dapat menjadi patokan dalam membuat peraturan-peraturan mengenai ODR secara lebih mendetail. Hal ini dikarenakan pentingnya peraturan-peraturan yang secara khusus mengatur tentang ODR agar ODR dapat menjadi pilihan bagi para pelaku praktik perdagangan bisnis khususnya pada penyelesaian sengketa antara para pihak yang bersengketa.[12]


[1] Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Online Dispute Resolution in Consumer Disputes, Jurisprudencia, Mykolas Romeris University, 2011, hal. 5.

[2] Ibid, hal. 2.

[3] UNCITRAL Technical Notes on Online Dispute Resolution, 2017. Diakses dari https://uncitral.un.org/sites/uncitral.un.org/files/media-documents/uncitral/en/v1700382_english_technical_notes_on_odr.pdf pada tanggal 18 September 2022.

[4] Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace. San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hal. 9.

[5] Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Op Cit, hal. 4.

[6] Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Op Cit, hal. 5.

[7] Faiz Aziz, M., & Arif Hidayah, M. (2020). Perlunya Pengaturan Khusus Online Dispute Resolution (ODR) Di Indonesia Untuk Fasilitasi Penyelesaian Sengketa E-Commerce. Jakarta Selatan: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

[8] Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Analisis Pentingnya Implementasi Penyelesaian Sengketa Online di Indonesia, Legalitas: Jurnal Hukum, Juni 2021, hal. 22.

[9] Meline Gerarita Sitompul, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan, Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia, dalam Jurnal Renaissance Vol. 1, No. 02, Agustus 2016, hal. 79.

[10] Loc. cit

[11] Ahkhan, Alma, dan Irwansyah, Eksistensi The International Chamber of Commerce Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, dalam Jurnal Analisis, Vol. 4, No.1, Juni 2015, hal. 79

[12] Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Ibid.



[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006, hal. 126.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternatif Dispute Resolution
  2. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
  3. Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems

REFERENCES: 

  1. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006.
  2. Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Online Dispute Resolution in Consumer Disputes, Jurisprudencia, Mykolas Romeris University, 2011.
  3. UNCITRAL Technical Notes on Online Dispute Resolution, 2017. Diakses dari https://uncitral.un.org/sites/uncitral.un.org/files/media-documents/uncitral/en/v1700382_english_technical_notes_on_odr.pdf pada tanggal 18 September 2022.
  4. Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace. San Fransisco: Jossey Bass, 2001.
  5. Faiz Aziz, M., & Arif Hidayah, M. (2020). Perlunya Pengaturan Khusus Online Dispute Resolution (ODR) Di Indonesia Untuk Fasilitasi Penyelesaian Sengketa E-Commerce. Jakarta Selatan: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
  6. Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Analisis Pentingnya Implementasi Penyelesaian Sengketa Online di Indonesia, Legalitas: Jurnal Hukum, Juni 2021.
  7. Meline Gerarita Sitompul, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan, Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia, dalam Jurnal Renaissance Vol. 1, No. 02, Agustus 2016.
  8. Ahkhan, Alma, dan Irwansyah, Eksistensi The International Chamber of Commerce Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, dalam Jurnal Analisis, Vol. 4, No.1, Juni 2015.

The basic principle of law is that the law is always placed as the Ultimum Remedium or a last resort taken when other efforts have failed to solve a problem. The number of disputes and problems that arise must be resolved quickly and accurately. In this context, a peaceful settlement mechanism was born which was outlined in non-legal processes. This practice is referred to as Alternative Dispute Resolution(ADR), as defined in Article 1 number 10 of Law Number 30 of 2019 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution which states:

Article 1

  1.  Alternative dispute resolution is a dispute resolution institution or difference of opinion through a procedure agreed upon by the parties, namely an out-of-court settlement by means of consultation, negotiation, mediation, conciliation, or expert judgment”.

The law always follows the society progress, the dynamics of that development helps to deliver modern legal reforms, which these days everything always uses technology. The use of this technology has also penetrated into alternative dispute resolution patterns which is growing well. Online Dispute Resolution (ODR), also known as Internet Dispute Resolution (IDR), or Electronic Dispute Resolution (EDR), Online ADR (OADR) is one of them. However, there are still many who do not understand about the Online Dispute Resolution, including people who work in the legal field itself.

ODR is a type of dispute resolution which uses online system to provide disputes resolution between parties. In this case, negotiation, mediation,  arbitration, or a combination of the three is used. ODR is categorized as part of the Alternative Dispute Resolution (ADR). The difference is that ODR changes the traditional view by using innovative techniques and online facilities in the process.

As already mentioned, the dispute resolution through the ODR channel is carried out online without requiring the two disputing parties in cross-border areas to meet face-to-face or face to face. Thus, the Online Dispute Resolution is expected to be able to assist and overcome in dealing with situations arising from cross-border trade transactions, where traditional judicial mechanisms may not offer adequate solutions or legal assistance to resolve e-Commerce cross-border

ODR was born from the synergism between Alternative Disputes Resolution (ADR) and Information of Computer Technology (ICT) as a method or step to resolve disputes that arise in the online where traditional settlement is very ineffective and impossible. The framework of the disputing parties (in ODR) includes:

  1. Disputing parties 1;
  2. Disputing parties 2;
  3. Facilitator;
  4. ICT “Information and Computer Technology” Assistance.

This ODR can be interpreted as a settlement through the ADR method, which assumes that certain disputes (e-disputes) can be resolved quickly, easily, through the internet. It can be said that ODR is the settlement of ADR with the use of internet technology. In this case, there are 4 types of ODR:

  1. Online Settlement, a sophisticated automated system capable of resolving financial disputes;
  2. Online Arbitration, the use of the website as an arbitration media with the support of a qualified arbitrator;
  3. Online Resolution of Consumer Complaints, media e-mail to resolve complaints from consumers
  4. Online Mediation, using the website as a mediation site with the support of a qualified mediator.

ODR in this case is seen from the types of dispute resolution, only dwelling on the settlement of commercial law (trade) which must be resolved peacefully, its jurisdiction includes the authority to handle commercial law cases whose results can be in the form of a win-win solution or win-lose solution of the e-adjudication process (Online Arbitration).

In general, ODR has four components (a kind of legal requirement for ODR):

  1. Just like ADR, both parties to the dispute must agree to settle the case out of court. The difference is using the internet in the completion process;
  2. There is a guide from a professional that directs the parties to carry out the ADR process using the internet;
  3. Regulations regarding ADR apply to the implementation of settlements via the internet;
  4. Software is used as a tool to exchange information on the internet. (Meet Online, Access Database, Send document and Hold Meetings with Voice and Video Conference).

In Indonesia, there is actually a law that regulates alternative dispute resolution, namely Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution. The regulations referred to in this law include arrangements for resolving disputes regarding differences of opinion between the disputing parties due to certain legal relationships or due to the occurrence of losses due to the existence of these laws. So, the scope regulated in Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution is expert judgment, arbitration, consultation, negotiation, mediation and conciliation including the proceedings and procedures applicable to arbitration and/or alternative dispute resolution efforts. as well as decisions and implementation of decisions.

Meanwhile, the relationship between Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution and ODR, although ODR can be implemented, but there is no link that includes arrangements regarding ODR. Therefore, as a result of the emergence of disputes that generally arise due to the existence of an agreement, the business actors who are litigating can freely determine the forum in the agreement, including the use of ADR and ODR. However, the proceedings still apply Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution as well as regulations on arbitration institutions and alternative dispute resolution.

In addition, Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions which was later amended by Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions and Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems can also be used as the basis for the application of ODR specifically in e-Commerce. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions confirms that the parties have the authority to establish court forums, arbitrations or settlement institutions that may arise from international electronic transactions made as stated in Article 18 paragraph (4) which states:

Article 18

(4) The parties have the authority to establish court forums, arbitration, or other alternative dispute resolution institutions that are authorized to handle disputes that may arise from international electronic transactions they make”.

This provision tends to show that consumers must really pay attention to whether the contract to be agreed upon has established a court forum, arbitration or alternative dispute resolution institution. Because these forums will emerge as a space to resolve consumer and business disputes. Therefore, it is also necessary to add an online.

Using ODR in accordance with the provisions of laws and regulations can provide e-commerce disputes resolution. This can be found in Article 72 paragraphs (1) and (2) of Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems which states:

Article 72

(1)In the event of a dispute in trade through electronic system, the parties may resolve the dispute through the courts or through other dispute resolution mechanisms.

(2) Dispute resolution of trade through electronic systems as referred to in paragraph (1) can be conducted electronically online dispute resolution in accordance with the provisions of the laws and regulations”.

Dispute resolution of trade through electronic systems as referred to in paragraph (1) can be conducted electronically online dispute resolution in accordance with the provisions of the laws and regulations”.

Based on the Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems, ODR is an accredited institution or authorized government agency that organizes disputes resolution by online system and consist of professionals such mediators or advocates. Furthermore, ODR forum is determined beforehand by the parties whom agreed upon a selection of dispute resolution forum and the ruling law in case of cross-border dispute. However, the principles of international private law will be applied if the parties do not specify the forum and law in case of dispute.

One of the international institutions that can implement ODR is the International Chamber of Commerce (ICC). The position of the ICC is very important as a choice of forum by the parties, and an institution that can resolve international business disputes. There are two ways of resolving disputes provided by the ICC, the first way is by using the ICC arbitration body, and the second way the dispute can also be resolved through the ICC conciliation body. So, the presence of ADR and e-Commerce in Indonesia has shown that at least ODR has a regulatory basis that can support its implementation. Although there are no specific regulations regarding ODR, the rules as described above have been able to become a benchmark in making regulations regarding ODR in more detail. This is due to the importance of regulations that specifically regulate ODR so that ODR can be an option for business trade practitioners, especially in dispute resolution between the disputing parties.

Kendala Kekayaan Intelektual sebagai Objek Jaminan Utang

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Made Indra

Pemerintah Indonesia secara resmi menjadikan kekayaan intelektual para pelaku ekonomi kreatif nasional sebagai salah satu jaminan untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan.[1] Dalam pengaturannya pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif (“PP Ekonomi Kreatif”) menjelaskan bahwa objek jaminan utang berbasis kekayaan intelektual dapat dilaksanakan dalam bentuk, antara lain (a) jaminan fidusia atas kekayaan intelektual; (b) kontrak dalam kegiatan ekonomi kreatif; dan/atau (c) hak tagih dalam kegiatan ekonomi kreatif. Pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah tersebut menyebabkan pelaku usaha untuk dapat menjadikan Kekayaan Intelektualnya sebagai objek jaminan atas utangnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 PP ekonomi kreatif yang disebut sebagai Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut:

“Pasal 1

6. Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra”.

Dengan Peraturan Pemerintah tersebut, sekarang Kekayaan Intelektual yang timbul maupun lahir karena kemampuan intelektual manusia, baik di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dapat dijadikan objek jaminan utang. Walaupun dinilai dapat membantu pelaku ekonomi kreatif, masih terdapat banyak tantangan dalam penerapan Kekayaan Intelektual sebagai objek jaminan utang di Indonesia. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tantangan tersebut bagi Usaha Mikro Kecil Menengah berbasis kekayaan intelektual untuk bisa masuk pasar dan mengakses modal dari pihak eksternal, serta Kekayaan Intelektual juga dinilai sebagai sektor dengan produktivitas yang rendah dan memiliki fluktuasi pada return atau value yang tinggi. Sehingga dalam melakukan pembiayaan, bank perlu untuk menyiapkan cadangan yang lebih besar dalam praktiknya. Lebih lanjut, menurutnya belum terdapatnya bentuk perikatan yang dipersyaratkan dan Lembaga penilai khusus untuk menilai Kekayaan Intelektual sebagai acuan bank menyebabkan bank kesulitan untuk mendapatkan pengembalian atas kredit/pembayaran yang telah diberikan.[2]

Dalam pengaturannya, PP Ekonomi Kreatif tersebut memberikan peluang bagi pelaku ekonomi kreatif untuk mengajukan utang dengan memberikan jaminan berupa Kekayaan Intelektualnya. Pengajuan utang tersebut dengan menggunakan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang bagi Lembaga keuangan bank maupun non-bank. Untuk dapat melakukan pengajuan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, hal tersebut terdapat dalam Pasal 7 PP Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 7

(1)Pembiayaan berbasis kekayaan intelektual diajukan
oleh Pelaku Ekonomi Kreatif kepada lembaga
keuangan bank atau lembaga keuangan non bank.

(2)Persyaratan pengajuan Pembiayaan berbasis
Kekayaan Intelektual paling sedikit terdiri atas:

a. proposal Pembiayaan;

b. memiliki usaha Ekonomi Kreatif;

c. memiliki perikatan terkait Kekayaan Intelektual
produk Ekonomi Kreatif; dan

d. memiliki surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual”.

Sementara dalam Pasal 10 PP Ekonomi Kreatif, terdapat pengaturan atas Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang dengan dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 10

Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang berupa:

a.Kekayaan Intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan

b.Kekayaan Intelektual yang sudah dikelola baik secara sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain”.

Berdasarkan Pasal tersebut, maka untuk dapat menjadi objek jaminan utang harus terlebih dahulu tercatat atau terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kekayaan Intelektual sudah dikelola oleh sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain, setelah melakukan pengajuan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, maka Lembaga keuangan bank maupun Lembaga keuangan non-bank akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:[3]

  1. Verifikasi terhadap usaha ekonomi kreatif;
  2. Verifikasi surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual;
  3. Penilaian Kekayaan Intelektual yang dijadikan agunan;
  4. Pencairan dana kepada pelaku ekonomi kreatif; dan
  5. Penerimaan pengembalian biaya dari pelaku usaha kreatif sesuai perjanjian

Terhadap nilai kekayaan intelektual yang bersifat fluktuatif, maka perlu adanya dukungan peran Lembaga penilai aset. Dibutuhkannya Lembaga tersebut juga karena perbankan dan non-bank tidak memiliki pengalaman untuk menilai aset kekayaan intelektual. Sehingga Lembaga negara, seperti BI, OJK, Menteri Keuangan, Badan pariwisata dan Ekonomi Kreatif, DJKI, Lembaga Litbang, Universitas, serta Lembaga swasta perlu membentuk Lembaga penilai aset kekayaan intelektual. Lembaga Penilai Aset tersebut, juga harus disertifikasi dan diakreditasi oleh kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan terdaftar juga di Bank Indonesia jika melakukan valuasi Kekayaan Intelektual atas efek atau surat utang berjangka kurang dari 1 (satu) tahun.[4]

Mengenai kekayaan intelektual, dapat disimpulkan bahwa penerapan aturan atas kekayaan intelektual menjadi objek jaminan masih memiliki banyak tantangan dalam pelaksanaannya. Hal ini dilihat dari masih banyaknya aturan yang belum diatur ataupun diperjelas, misalnya terkait kepada metode penilaian Kekayaan Intelektual dan teknik pelaksanaan eksekusi. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan kebingungan atau bahkan sengketa bagi pihak bank dan/atau non-bank yang memberikan pinjaman dengan pelaku usaha ekonomi kreatif di Indonesia. Memang terkait adanya sengketa telah diatur dalam Pasal 40 PP Ekonomi Kreatif dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 40

(1)Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

(2)Penyelesaian sengketa pada lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank di luar pengadilan dilakukan oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.”

Adanya suatu sengketa terkait kepada ekonomi kreatif dapat diselesaikan melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan dengan sengketa pada lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank dilakukan oleh lembaga alternatif yang mendapatkan persetujuan dari OJK. Walaupun begitu, masih kurangnya kejelasan terkait skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual menyebabkan perlunya untuk OJK mengeluarkan aturan pelaksana yang lebih jelas lagi. OJK tengah menyusun kerangka regulasi yang mengatur kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang di sektor perbankan. Melalui aturan yang sedang disusun oleh tim pengaturan, diharapkan dapat mendukung implementasi kekayaan intelektual sebagai salah satu obyek jaminan utang dan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian serta manajemen risiko yang baik.[5]

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif

Referensi


[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20220719081748-4-356605/aturan-jokowi-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang, diakses pada 11 September 2022.

[2] Novina Putri Bestari, “OJK Ungkap Banyak Tantangan KEKAYAAN INTELEKTUAL Jadi Jaminan Utang,” https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220902110306-37-368746/ojk-ungkap-banyak-tantangan-Kekayaan Intelektual-jadi-jaminan-utang, diakses pada 11 September 2022.

[3] Dian Cahyaningrum, “Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang Pelaku Ekonomi Kreatif,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI (Agustus 2022), hlm 4.

[4] Koran Sindo, “Sudah Siapkah Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang,” https://nasional.sindonews.com/read/837191/16/sudah-siapkah-kekayaan-intelektual-sebagai-jaminan-utang-1658812035?showpage=all, diakses pada 11 September 2022.

[5] Ferrika Sari, “OJK Susun Aturan Agar Hak Kekayaan Intelektual Menjadi Jaminan Kredit di Perbankan,” https://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-susun-aturan-agar-hak-kekayaan-intelektual-menjadi-jaminan-kredit-di-perbankan, diakses pada 19 September 2022.

Pembaharuan Kepatuhan Emiten dalam Prosedur Stock Split dan Reverse Stock

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Fikri Fatihuddin

Dewasa ini, Perusahaan Terbuka (Emiten) akan dilarang melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split) atau penggabungan nilai nominal saham (reverse stock) selama dua tahun sejak IPO (Initial Public Offering). Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2022 tentang Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham oleh Perusahaan Terbuka (POJK 15/2022)[1], namun peraturan ini baru akan diberlakukan 6 (enam) bulan sejak peraturan ini disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam POJK No. 15/2022 Perusahaan Terbuka dilarang melakukan Pemecahan Saham atau Penggabungan Saham dalam jangka waktu:

a. 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal pencatatan saham dalam rangka Penawaran Umum perdana saham; dan/atau

b. 12 (dua belas) bulan sejak:

  1. Tanggal efektif pernyataan pendaftaran dalam rangka penambahan modal Perusahaan Terbuka dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu(HMETD/Right Issue);
  2. Tanggal pelaksanaan penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan hak memesan efek terlebih dahulu(Non-HMETD/Private Placement) yang terakhir, kecuali penambahan modal dalam rangka program kepemilikan saham Perusahaan Terbuka;
  3. Tanggal pelaksanaan Pemecahan Saham atau Penggabungan Saham sebelumnya; atau
  4. Tanggal efektifnya pernyataan penggabungan usaha atau peleburan usaha[2].

Artinya, emiten juga dilarang stock split atau reverse stock setahun sejak penambahan modal melalui rights issue, maupun penambahan modal tanpa melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu private placement, kecuali terdapat upaya perbaikan kondisi keuangan[1]. Emiten juga dilarang stock split atau reverse stock setahun sejak aksi stock split/reverse stock sebelumnya.

Terdapat beberapa syarat sebelum melakukan stock split dan/atau reverse stock. Syarat-syarat tersebut meliputi:

  1. Mendapatkan Persetujuan RUPS;
  2. Mendapatkan persetujuan prinsip oleh Bursa Efek;
  3. Memperoleh laporan penilaian yang disusun oleh Penilai yang terdaftar di OJK di bidang pengawasan sektor pasar modal;
  4. Tidak dalam waktu 24 bulan setelah IPO;
  5. Tidak dalam waktu 12 bulan sejak:

a. Tanggal efektif pendaftaran dalam rangka penambahan modal
Emiten dengan memberikan right issue;

b. Tanggal pelaksanaan penambahan modal dengan cara private
placement;

c. Tanggal pelaksanaan stock split atau reverse stock;

d. Tanggal efektif pernyataan Penggabungan Usaha (Merger) atau
Peleburan Usaha (Konsolidasi).

6. Untuk Emiten yang sahamnya tercatat dalam bursa efek, wajib
menunjuk 1 (satu) pihak yang akan melakukan pembelian saham
akibat reverse stock.
7. Untuk Emiten yang sahamnya tidak tercatat dalam bursa efek, wajib
memiliki mekanisme penyelesaian terhadap saham pecahan sebagai
akibat reverse stock.

Sebelum dibuat POJK No. 15/2022, stock split ataupun reverse stock cukup dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemilik saham masing-masing. Saat ini, untuk Emiten yang ingin melakukan rencana stock split atau reverse stock tidak bisa dilakukan apabila belum mendapatkan persetujuan prinsip dari Bursa Efek. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 5 ayat (1) POJK No. 15/2022 yang berbunyi:

“Pasal 5

(1)Dalam hal saham Perusahaan Terbuka tercatat di Bursa Efek, Perusahaan Terbuka wajib memperoleh persetujuan prinsip atas rencana Pemecahan Saham dan rencana Penggabungan Saham Perusahaan Terbuka dari Bursa Efek tempat saham Perusahaan Terbuka dicatatkan”.

Persetujuan prinsip yang diberikan dari Bursa Efek harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Tingkat likuiditas perdagangan saham Perusahaan Terbuka;
  2. Harga saham dan fluktuasi harga saham Perusahaan Terbuka;
  3. Kinerja fundamental keuangan Perusahaan Terbuka;
  4. Rasio Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham;
  5. Jumlah saham beredar yang dimiliki oleh masyarakat;
  6. Pengawasan perdagangan saham Perusahaan Terbuka;
  7. Laporan penilaian saham yang disusun oleh Penilai;
  8. Pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan[1].

Meskipun demikian, agar memperjelas tentang pelaksanaan permohonan stock split atau reverse stock kepada Bursa Efek, maka Bursa Efek wajib membuat ketentuan pelaksana paling lambat 3(tiga) bulan sejak POJK No. 15/2022 berlaku.

Mengenai HMETD/rights issue dijelaskan pada Peraturan OJK No. 32/POJK.04/2015 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (POJK 32/2015), yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.”

Sebagaimana yang diterangkan POJK No. 15/2022, terdapat ketentuan baru yang mengatur tentang beberapa larangan jangka waktu stock split atau reverse stock bagi HMETD/right issue ataupun Non-HMETD/Private Placement. Yaitu selama 12 bulan sejak penambahan  modal

Sebagaimana hukum pada umumnya, tentu pelanggaran dari Emiten terhadap ketentuan-ketentuan baik dari syarat maupun prosedur stock split atau reverse stock telah diancam sanksi administratif. Sanksi administratif yang dimaksud dapat berupa:

  1. peringatan tertulis;
  2. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
  3. pembatasan kegiatan usaha;
  4. pembekuan kegiatan usaha;
  5. pencabutan izin usaha;
  6. pembatalan persetujuan; dan/atau
  7. pembatalan pendaftaran[1].

Dari kesemua sanksi tersebut, dapat diberikan dengan atau tanpa peringatan tertulis terlebih dahulu.

Sebelumnya, stock split  dan reverse stock tidak memiliki payung hukum yang tepat. Pada awal mula UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal), stock split dan reverse stock tidak begitu diterangkan secara eksplisit dalam batang tubuh UU Pasar Modal, namun keduanya menjadi bagian penting dari Informasi atau Fakta Material karena dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek[2]. Seiring berjalannya waktu, praktik stock split dan reverse stock dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemegang sahamnya masing-masing. Sehingga, keberadaan POJK No. 15/2022 ini dapat memberikan kepastian hukum yang menerangkan kejelasan prosedur dalam stock split dan reverse stock sehingga semua aktifitas tersebut dapat dilakukan secara tertib dan terkendali.

Dasar Hukum

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Peraturan OJK No. 32/POJK.04/2015 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2022 tentang Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham oleh Perusahaan Terbuka

Referensi

Cnbc indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220909125004-17-370735/perhatian-emiten-dilarang-stock-split-2-tahun-sejak-ipo, Diakses pada tanggal 11 Septermber 2022


[1] Pasal 38 ayat (4) POJK No. 15/2022

[2] Penjelasan Pasal 1 Angka 7 UU No 8 Tahun 1995



[1] Pasal 6 POJK No. 15/2022


[1] Pasal 13 ayat (1) POJK No. 15/2022


[1] Cnbcindonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220909125004-17-370735/perhatian-emiten-dilarang-stock-split-2-tahun-sejak-ipo, diakses pada tanggal 11 September 2022

[2] Pasal 12 ayat (1) POJK No. 15/2022

1 2 3 4 11
Translate