0

POLEMIK DRAF RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) TERHADAP KEHIDUPAN BERDEMOKRASI DI INDONESIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Ilham M. Rajab

Kebebasan berekspresi atau freedom of expression merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu hak-hak sipil dan politik yang merupakan generasi pertama hak asasi manusia. Hak ini merupakan hak negatif yang mensyaratkan tidak adanya campur tangan dari negara atas hak-hak dan kebebasan individu tersebut. Pengertian freedom of expression mencangkup konsep freedom of press dan freedom of speech. Jaminan akan kebebasan berekspresi telah dinyatakan dalam berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia, antara lain pada Universal Declaration Human Right dan International Covenant on Civil and Politic Right. Akan tetapi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Politic Right, kebebasan berekspresi tersebut bersifat restriktif, artinya pendapat hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang demi menghormati hak, reputasi orang lain, dan dalam rangka melindungi keamanan nasional. Kebebasan berekspresi harus menghormati: (i) hak-hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights and freedoms of others); (ii) aturan-aturan moral yang diakui umum (generally accepted moral code); (iii) ketertiban umum (public order); (iv) kesejahteraan umum (general welfare); (v) keamanan umum (public safety); (vi) keamanan nasional dan keamanan masyarakat (national and social security); (vii) kesehatan umum (public health); (viii) menghindari penyalahgunaan hak (abuse of right); (ix) asas-asas demokrasi; dan (x) hukum positif.[1]

Polemik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus berlanjut. Sederet pasal dalam rancangan undang-undang tersebut dinilai bermasalah dan berpotensi jadi pasal karet. Salah satu yang dipersoalkan yakni aturan tentang demonstrasi di tempat umum. Menurut Pasal 273 draf RKUHP tahun 2019, aksi unjuk rasa tanpa pemberitahuan ke pihak berwenang bisa dipidana selama satu tahun atau denda paling banyak kategori II.[2] Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) huruf b draft RKUHP, pidana denda kategori II sendiri yaitu Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).[3]

Adapun bunyi daripada Pasal 273 draft RKHUP tahun 2019 ialah sebagai berikut :

Pasal 273

“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.[4]

Pada tanggal 4 Juli 2022, diterbitkan draft RKUHP tahun 2022. Di dalam draft RKHUP tahun 2022 mengenai demonstasi ditempat umum mendapatkan perubahan khususnya di nomor pasal dan juga lamanya pidana penjara. Jika sebelumnya pada draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2019 mengatur soal demonstasi di tempat umum pada pasal 273 dan mengenakan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun, draft Rancangan Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2022 mengatur soal demonstrasi di tempat umum pada pasal 256 dan pidana penjaranya paling lama 6 (enam) bulan. Adapun bunyi pasal 256 draft RKHUP tahun 2022 adalah :

Pasal 256

“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.[5]

Pada dasarnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah menjamin bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.[6] Penyampaian pendapat di muka umum, unjuk rasa atau demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda jika diteliti dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi atau unjuk rasa adalah hak setiap warga Negara yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, khususnya pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi:

Pasal 1 angka 1

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[7]

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga menerangkan bahwa unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebainya secara demonstratif di muka umum.[8] Menurut Alpian Hamzah, bahwa gerakan unjuk rasa mengandung dua macam bentuk secara bersamaan: pertama, menumbangkan rezim pongah ala Orde Baru. Menarik untuk disimak bahwa “pongah” dalam bahasa Indonesia bisa berarti congkak, sangat sombong, angkuh, sekaligus juga bodoh dan dungu. Ini menunjukkan bahwa di balik setiap kecongkakan dan kesombongan, ada kepala-kepala keras yang membantu. Kedua, gerakan unjuk rasa dan reformasi bertujuan menegakkan masyarakat yang adil, sejahtera, sentosa, makmur, dan demokratis, suatu masyarakat madani yang dicita-citakan oleh setiap manusia yang berhati nurani.[9]

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:

  1. Mengeluarkan pikiran secara bebas;
  2. Memperoleh perlindungan hukum.[10]

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

  1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
  2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
  3. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
  5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.[11]

Bentuk-bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum sendiri diatur dalam pasal 9 sampai pasal 14 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Hukum. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:

  1. Unjuk rasa atau demonstrasi;
  2. Pawai;
  3. Rapat umum; dan atau
  4. Mimbar bebas.[12]

Penyampaian pendapat dimuka umum diatas, dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum kecuali dilingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, Pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional dan juga pada hari besar nasional.[13] Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.[14]

Dalam hal dilakukan penyampaian pendapat di muka umum, wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian Republik Indonesia oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Kepolisian Republik Indonesia setempat. Pemberitahuan secara tertulis tersebut tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.[15]

Surat pemberitahuan yang diserahkan kepada pihak kepolisian memuat:

  1. Maksud dan tujuan;
  2. Tempat, lokasi, dan rute;
  3. Waktu dan lama;
  4. Bentuk;
  5. Penanggung jawab;
  6. Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
  7. Alat peraga yang dipergunakan; dan atau
  8. Jumlah peserta.[16]

Mengenai sanksi yang diatur, pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum berbunyi :

Pasal 15

“Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkanapabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11.[17]

Sementara berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, bentuk kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum meliputi:

  1. Unjuk rasa atau demonstrasi;
  2. Pawai;
  3. Rapat umum;
  4. Mimbar bebas;
  5. Penyampaian ekspresi secara lisan, aksi diam, aksi teatrikal, dan isyarat;
  6. Penyampaian pendapat dengan alat peraga, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, petisi, spanduk; dan
  7. Kegiatan lain yang intinya bertujuan menyampaikan pendapat di muka umum.[18]

Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan, pada tempat dan waktu sebagai berikut:

  1. Di tempat terbuka antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00, waktu setempat; dan
  2. Di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00, waktu setempat.[19]

Selain mengenai demonstrasi di tempat umum, dalam draft RKHUP juga mengatur mengenai penghinaan. Salah satu pasalnya yaitu adalah pasal 240 draft RKHUP tahun 2022 mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah yang berbunyi:

Pasal 240

“Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.[20]

Penghinaan kepada pemerintah tersebut juga berlaku apabila dilakukan melalui sarana teknologi, sebagaimana diatur dalam pasal 241 draft RKUHP tahun 2022 yang berbunyi:

Pasal 241

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”.[21]

Selanjutnya terdapat juga aturan Penghinaan yang ditujukan kepada Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, sebagaimana dalam pasal 351 ayat (1), (2) dan (3) draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 351

“(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina”.[22]

Penghinaan yang diatur di RKHUP juga tidak terbatas pada penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum dan lembaga negara saja, melainkan diatur pula penghinaan yang ditujukan terhadap Golongan Penduduk sebagaimana diatur dalam pasal 242 draft RKUHP tahun 2022 yang berbunyi:

Pasal 242

“Setiap Orang yang Di Muka Umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.[23]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019

Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

Referensi:

Kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2022/07/06/06300011/mengenal-pasal-demonstrasi-tanpa-pemberitahuan-di-rkuhp-yang-jadi?page=all#page2, diakses pada 8 Juli 2022

Muhammad Gazali Rahman, “Unjuk Rasa Versus Menghujat (Analisi Deskriptif melalui Pendekatan Hukum Islam)”, dalam Jurnal Vol. 12, No. 2, Desember 2015, halaman 336.

Prahassacitta, V., & Hasibuan, B. M, Disparitas perlindungan kebebasan berekspresi dalam penerapan pasal penghinaan Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik, Jurnal Yudisial, 12, (1), hal. 66-67


[1] Prahassacitta, V., & Hasibuan, B. M, Disparitas perlindungan kebebasan berekspresi dalam penerapan pasal penghinaan Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik, Jurnal Yudisial, 12, (1), hal. 66-67

[2] Kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2022/07/06/06300011/mengenal-pasal-demonstrasi-tanpa-pemberitahuan-di-rkuhp-yang-jadi?page=all#page2, diakses pada 8 Juli 2022

[3] Pasal 79 ayat (1) huruf b draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019

[4] Pasal 273 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019

[5] Pasal 256 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[6] Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

[7] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[8] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[9] Muhammad Gazali Rahman, “Unjuk Rasa Versus Menghujat (Analisi Deskriptif melalui Pendekatan Hukum Islam)”, dalam Jurnal Vol. 12, No. 2, Desember 2015, halaman 336.

[10] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[11] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[12] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[13] Pasal 9 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[14] Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[15] Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[16] Pasal 11 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[17] Pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[18] Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum

[19] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum

[20] Pasal 240 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[21] Pasal 241 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[22] Pasal 351 ayat (1), (2) dan (3) draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[23] Pasal 242 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

0

LEGAL RISK OF UNAUTHORIZED DISTRIBUTION OF FILM FOOTAGE ON SOCIAL MEDIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta  

REFERENSI:  Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020).
“Hak Cipta: Mengenal Lebih Dalam Hak Cipta di Indonesia)? https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/
Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019.  
Dalam perkembangan zaman, Film semakin dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Dalam hal penayangan Film, Bioskop merupakan tempat pertama untuk menyaksikan Film dengan menggunakan layar lebar. Setelah itu, ketika film-film telah selesai waktunya untuk tayang di Bioskop, maka film-film tersebut dapat diputar ulang oleh media lain yang memiliki lisensi dari pihak yang bersangkutan. Dalam hal pemutaran film, banyak oknum masyarakat yang melakukan kegiatan pengunggahan cuplikan film ke dalam media sosial mereka. Pengunggah bertujuan untuk memberikan gambaran kepada pengikutnya tentang apa yang telah ia lihat di dalam Bioskop atau semata-mata hanya untuk kesenangannya.[1]  
Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa: “Pasal 25 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”  

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan pengertian mengenai ciptaan, yaitu: “Pasal 1 (3) setiap hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.”  

Sementara pengertian mengenai Film dapat ditemukan pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang berbunyi: “Pasal 1 Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.”  

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yang dimaksud dengan “karya sinematografi” adalah: “Pasal 40 Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.”  

Ada beberapa bentuk kegiatan yang dianggap sebagai pelanggaran hak cipta antara lain mengutip sebagian atau seluruh ciptaan orang lain yang kemudian dimasukkan ke dalam ciptaannya sendiri (tanpa mencantumkan sumber) sehingga membuat kesan seolah-olah karyaannya sendiri (disebut dengan plagiarisme), mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak tanpa mengubah bentuk maupun isi untuk kemudian diumumkan, dan memperbanyak ciptaan orang lain dengan sengaja tanpa izin dan dipergunakan untuk kepentingan komersial.[2]  

Pelanggaran hak cipta terhadap karya sinematografi sebelumnya adalah pembajakan film melalui cakram optik berupa kepingan CD yang dijual secara ilegal dipasar bebas, seiring berjalannya waktu kini pelanggaran terhadap hak cipta sinemtografi banyak terjadi melalui internet, bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi terhadap sebuah karya cipta sinematografi melalui internet yaitu: Penyebaran konten film melalui website; Pengunduhan film melalui internet tanpa izin; Mengunduh film atau video dan menyiarkan video tersebut tanpa menyertakan nama pencipta.[3]  

Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari kemajuan teknologi dibidang elektronika dengan tersedianya alat rekam gambar seperti audio dan video yang canggih, yang dapat merekam lagu dan film karya orang lain tanpa izin pencipta atau pemegang Hak Cipta dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan tanpa membayar pajak dan royalti kepada negara dan pencipta sehingga dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap Hak Cipta dan terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan maraknya film untuk dibajak antara lain faktor ekonomi yang menurut pembajak sangat menguntungkan baginya serta bagi penonton membandingkan harga menonton bajakan atau bioskop sangat lah jauh harganya, faktor sosial dan budaya dimana masyarakat sendiri pun masih senang untuk membeli CD bajakan yang terjual di pasaran dan bagi mereka lumrah serta sudah membudaya bagi lingkungan masyarakat, dan faktor pendidikan dimana kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat adanya aturan hukum yang mengatur Hak Cipta seseorang serta faktor penegakan hukum bahwa kurangnya kesadaran dari masyarakat berkaitan dengan aspek-aspek hukum terutama penegakan hukum terhadap pembajakan terhadap sinematografi (film/video). Hal ini akan banyak menimbulkan dampak bagi pemerintah, pembuat film, pembajak, serta masyarakat antara lain bagi pemerintah menimbulkan kerugian dengan berkurangnya pendapatan negara terhadap hasil pajak film tersebut dan kas negara pun ikut berkurang, bagi pembuat film dengan melihat penurunan jumlah penonton yang menonton suatu hasil karya mereka yang akan membuat pembuat film dirugikan karena berapa orang yang menonton suatu film tersebut akan menimbulkan dampak besar bagi pendapatan suatu film tersebut, bagi pembajak ialah mendapatkan dampak besar bagi perbuatan membajaknya, hal ini jelas tidaklah adil bagi pembuat film dikarenakan dengan mudahnya seorang pembajak mendapat pendapatan besar hasil bajakan nya yang bermodalkan sangat sedikit dari hasil pendapatanya, serta dampak bagi konsumen ialah mempunyai sifat yang tidak menghargai serta menghormati suatu hasil cipta yang dibuat oleh pencipta yang bertujuan baik untuk menghibur para konsumen.[4]  
Selanjutnya, untuk menentukan apakah perbuatan yang dilakukan tersebut dapat dijerat pidana atau tidak, perlu dilihat terlebih dahulu apakah perbuatan tersebut bersifat komersial, melanggar hak ekonomi dari pencipta/pemegang hak cipta atau tidak. Jika perbuatan menyebarkan cuplikan film tersebut bersifat komersial dan melanggar hak pencipta/pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, serta dilakukan tanpa izin, maka perbuatan tersebut dapat dijerat dengan ketentuan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta:  
“Pasal 113
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”  
Tapi, jika penyebaran cuplikan film tersebut bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta menyatakan tidak keberatan atas penyebarluasan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 huruf d UU Hak Cipta: “Pasal 43 huruf d Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta meliputi:   d. pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluaan tersebut.”   Selain itu, dalam hal seseorang memiliki dan menyebarkan suatu cuplikan film yang dilekati hak cipta, terlebih terhadap film yang seharusnya hanya dapat dinikmati bagi pelanggan berbayar di suatu platform streaming digital, patut diduga yang bersangkutan telah melakukan pembajakan sebagaimana dalam pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu: “Pasal 1 23. penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi”.   Jika benar telah terjadi pembajakan, maka pelaku dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 113 ayat (4) UU Hak Cipta sebagai berikut: “Pasal 113 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”  

Pelanggaran hak cipta pada film atau sinematografi bukan hanya dalam bentuk komersial, tetapi dapat juga dalam bentuk non-komersial. Tindakan mengunggah cuplikan film ke dalam sosial media dianggap dapat menurunkan antusias masyarakat untuk menonton film di bioskop. Akibatnya, nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pencipta film tidak sampai kepada masyarakat. Seiring berjalannya waktu, mengunggah cuplikan film di media sosial menjadi trend di masyarakat. Tentunya hal ini tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE. Dan untuk setiap orang yang melakukan hal tersebut, dapat diancam pidana 10 tahun dan/atau denda Rp 4 Miliar.
LEGAL BASIS:    
Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
Law Number 33 of 2009 concerning FilmLaw Number 28 of 2014 concerning Copyrights  

REFERENCE: Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020).
“Hak Cipta: Mengenal Lebih Dalam Hak Cipta di Indonesia)? https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/
Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019.  

In these days, films are increasingly enjoyed by the public, especially the people of Indonesia. In terms of showing films, the cinema is the first place to watch films using the big screen. After that, when the time for the films has finished to be shown in cinemas, then the films can be replayed by other media that have a license from the party concerned. In terms of film screenings, many people in the community carry out the activities of uploading film footage to their social media. The uploader aims to give his followers an idea of ​​what he has seen in the Cinema or is purely for his enjoyment.  
Based on Article 25 of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions states that: “Article 25 Electronic Information and/or Electronic Documents compiled into intellectual works, internet sites, and intellectual works contained in them are protected as Intellectual Property Rights based on the provisions of the legislation.”  

Article 1 point 3 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright provides the definition of creation, namely: “Article 1 (3) every work in the fields of science, art, and literature produced on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill, or expertise expressed in a tangible form.”  

Meanwhile, the notion of film can be found in Article 1 paragraph 1 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, which reads: “Article 1 Films are works of art and culture which are social institutions and mass communication media that are made based on cinematographic rules with or without sound and can be shown.”  

Meanwhile, in the Elucidation of Article 40 paragraph (1) letter m of Law Number 28 of 2014, what is meant by “cinematographic works” are: “Article 40 Works in the form of moving images, including documentaries, advertising films, reports or story films made with screenplays, and cartoons. Cinematographic works can be made on celluloid tape, video tape, video disc, optical disc and/or other media that allow it to be shown in cinema, wide screen, television, or other media. Cinematography is an example of an audiovisual form.”
 
There are several forms of activities that are considered as copyright infringement, including quoting part or all of other people’s creations which are then included in their own creations (without including the source) so as to make the impression as if their own work (called plagiarism), taking other people’s creations for reproduced without changing the form or content to be published later, and reproduce the creations of others intentionally without permission and used for commercial purposes.  

Copyright infringement on previous cinematographic works is piracy of films through optical discs in the form of CDs which are sold illegally in the free market, as time goes by now many violations of cinematographic copyrights occur through the internet, other forms of infringement that occur against a cinematographic copyright through the internet namely:
1)  Dissemination of film content through the website;
2)   Downloading movies over the internet without permission;
3) Download movies or videos and broadcast those videos without including the name of the creator.  

The negative impact caused by technological advances in the field of electronics with the availability of image recording equipment such as sophisticated audio and video, which can record songs and films by other people without the permission of the creator or copyright holder and aims to earn profits without paying taxes and royalties to the state and creators so that it can be called a copyright infringement and there are many factors that can cause many films to be pirated, including economic factors which according to pirates are very profitable for them and for viewers comparing the price of watching pirated movies or cinemas is very far in price, social and cultural factors where the people themselves are still happy to buy pirated CDs that are sold on the market and for them it is normal and has become entrenched in the community, and the educational factor where there is a lack of socialization and public knowledge of the existence of legal rules that regulate a person’s copyright and fac law enforcement tor that the lack of awareness from the public is related to legal aspects, especially law enforcement against piracy of cinematography (film/video). This will have a lot of impact on the government, filmmakers, pirates, and the community, among others, for the government, causing losses by reducing state revenues from the tax proceeds of the film and reducing the state treasury. their work that will make filmmakers disadvantaged because how many people watch a film will have a big impact on the income of a film, for pirates is to get a big impact for the act of piracy, this is clearly unfair to filmmakers because it is easy for a pirate to get The large income from pirated products that have very little capital from their income, and the impact on consumers is that they have a nature that does not appreciate and respect a copyright made by a creator with a good aim to entertain consumers.  
Furthermore, to determine whether the act committed can be criminally charged or not, it is necessary to first see whether the act is commercial in nature, violates the economic rights of the creator/copyright holder or not. If the act of distributing the film footage is commercial in nature and violates the rights of the creator/copyright holder to obtain economic benefits from the work, and is carried out without permission, then the act can be charged with criminal provisions, as regulated in Article 113 paragraph (3) of the Copyright Law:  
Article 113
Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use. Commercial shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).  
However, if the distribution of the film footage is non-commercial and/or benefits the creator or related parties, or the creator expresses no objection to the distribution, then the act is not considered a copyright infringement, as regulated in Article 43 letter d of the Copyright Law:   Article 43 letter d Acts that are not considered as copyright infringement include:   d. creation and dissemination of copyrighted content through information and communication technology media that are non-commercial and/or beneficial to the creator or related parties, or the creator expresses no objection to the creation and dissemination.”  
In addition, in the event that someone owns and distributes a film clip with a copyright attached, especially to a film that should only be enjoyed by paid subscribers on a streaming platform, it is reasonable to suspect that the person concerned has committed piracy as stated in Article 1 number 23 of the Law. Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely:   “Article 1 23. Illegal reproduction of works and/or related rights products and distribution of goods resulting from the reproduction is intended widely to obtain economic benefits”.   If it is true that piracy has occurred, then the perpetrator can be charged with the provisions of Article 113 paragraph (4) of the Copyright Law as follows:   “Article 113 Everyone who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) committed in the form of piracy, shall be punished with imprisonment for a maximum of 10 (ten) years and/or a fine of a maximum of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah).”  
Copyright infringement on films or cinematography is not only in a commercial form, but can also be in a non-commercial form. The act of uploading film footage into social media is considered to reduce public enthusiasm for watching films in cinemas. As a result, the values ​​that film creators want to convey do not reach the public. Over time, uploading film footage on social media has become a trend in society. Of course, this is not justified by the Copyright Act and the ITE Law. And for every person who does this, can be threatened with 10 years imprisonment and/or a fine of IDR 4 billion.

[1] Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020), h. 2-3

[2] https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/ diakses pada tanggal 13 Juli 2022 pukul 14.46

[3] Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019, hlm. 17

[4] Dita Shahnaz Saskia, Op. Cit, hal. 34-35

0

TINDAKAN RESPONSIF PEMERINTAH MELALUI PENCABUTAN IZIN PENGUMPULAN UANG DAN BARANG SUATU LEMBAGA SOSIAL

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Anggie Fauziah Dwiliandri

Suatu lembaga sosial diduga melakukan pelanggaran Peraturan Menteri Sosial yang berujung pada pencabutan izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (“PUB”) oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia (“Kemensos”). Pencabutan izin tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tertanggal 5 Juli 2022 yang ditandatangani oleh Menteri Sosial.

Indikasi pelanggaran yang dilakukan lembaga sosial tersebut ialah pemotongan dana sumbangan. Pemotongan dana sumbangan atau pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan tersebut sejatinya dimungkinkan apabila masih dalam batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan (“PP Nomor 29 Tahun 1980”), yang berbunyi “Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.”[1] Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, lembaga sosial terkait telah melampaui batas maksimum penggunaan donasi karena menggunakan rata-rata 13,7% dari dana hasil PUB dari masyarakat.

Pada dasarnya, PP Nomor 29 Tahun 1980 mendefinisikan pengumpulan sumbangan sebagai setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerokhanian, kejasmanian, pendidikan dan bidang kebudayaan.[3] Penyelenggaraan usaha pengumpulan sumbangan ini hanya dapat dilakukan oleh organisasi dan berdasarkan sukarela tanpa paksaan langsung atau tidak langsung, serta mendapatkan izin dari Pejabat yang berwenang, yakni Menteri Sosial, Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.[4] Dalam hal ini, lembaga sosial tersbut menjadi salah satu organisasi yang telah mendapatkan izin untuk menyelenggarakan pengumpulan sumbangan dari Pejabat yang berwenang.

Surat permohonan izin penyelenggaraan pengumpulan sumbangan umumnya diajukan oleh organisasi pemohon kepada Menteri Sosial, Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Permohonan izin diajukan kepada Menteri Sosial dalam hal pengumpulan sumbangan meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia, lebih dari satu wilayah Provinsi, atau satu wilayah Provinsi tetapi pemohon berkedudukan di Provinsi lain. Permohonan izin diajukan kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dalam hal pengumpulan sumbangan itu meliputi seluruh wilayah Provinsi yang bersangkutan atau lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kotamadya dari wilayah Provinsi yang bersangkutan. Sedangkan, permohonan izin diajukan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam hal pengumpulan sumbangan diselenggarakan dalam wilayah Kabupaten/ Kotamadya yang bersangkutan.[5]

Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati dalam buku Argumentasi Hukum (2009), sebagaimana yang dikutip oleh M. Lutfi Chakim dalam tulisannya Contrarius Actus yang dimuat dalam Majalah Konstitusi (hal.78), dikenal suatu asas dalam hukum administrasi negara di mana Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkan atau mencabutnya. Asas ini dikenal dengan asas contrarius actus. Asas contrarius actus berlaku meskipun dalam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak ada klausula pengaman yang lazim. Dengan demikian, Menteri Sosial yang memberikan izin penyelenggaraan pengumpulan sumbangan pada lembaga sosial terkait secara yuridis berwenang untuk membatalkan atau mencabut izin tersebut.

Lembaga sosial terkait sebagai pemegang izin dan penyelenggara pengumpulan sumbangan wajib mempertanggungjawabkan usahanya dan penggunaannya kepada pemberi izin, serta membuat laporan berkala kepada Menteri Sosial secara hierarkis, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 PP Nomor 29 Tahun 1980. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin hasil pengumpulan sumbangan yang diperoleh dari masyarakat benar-benar dipergunakan sebagaimana dimaksud dalam surat permohonan izinnya.

Dalam rangka pengendalian penyelenggaraan pengumpulan sumbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Kemensos melakukan langkah-langkah yang bersifat preventif atau represif sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat untuk penanganan lebih lanjut.[6] Adapun apabila pengumpulan sumbangan yang dilakukan tidak mendapatkan izin terlebih dahulu sebagaimana yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, maka berlaku sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Sumbangan (“UU Pengumpulan Sumbangan”) yang berbunyi berikut ini.

  • Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah), barang siapa:
  • menyelenggarakan, menganjurkan atau membantu menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang dengan tidak mendapat izin lebih dahulu seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1); 
  • tidak memenuhi syarat-syarat dan perintah yang tercantum dalam keputusan pemberian izin;
  • tidak mentaati ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7.
  • Tindak pidana tersebut dalam ayat (1) pasal ini dianggap sebagai pelanggaraan.
  • Uang atau barang yang diperoleh karena tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini disita dan dipergunakan sedapat mungkin untuk membiayai usaha-usaha kesejahteraan yang sejenis.[7]

Pencabutan izin penyelenggaraan pengumpulan sumbangan pada lembaga sosial terkait yang dilakukan oleh Kemensos merupakan tindakan tegas guna menanggapi hal-hal yang meresahkan masyarakat setempat. Adapun Kemensos juga berencana akan melakukan penyisiran terhadap izin-izin yang telah diberikan kepada yayasan-yayasan lain untuk memberikan efek jera terhadap pelanggaran atau penyimpangan peraturan yang berlaku.[8]

Dasar Hukum:

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Sumbangan

Referensi:

CNNIndonesia.com, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220706063748-12-817741/kemensos-cabut-izin-pengumpulan-uang-dan-barang-act, diakses pada 8 Juli 2022.


[1] Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

[2] CNNIndonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220706063748-12-817741/kemensos-cabut-izin-pengumpulan-uang-dan-barang-act, diakses 8 Juli 2022.

[3] Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

[4] Pasal 2 dan 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

[5] Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

[6] Pasal 18 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

[7] Pasal 8 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Sumbangan

[8] CNNIndonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220706063748-12-817741/kemensos-cabut-izin-pengumpulan-uang-dan-barang-act, diakses pada 8 Juli 2022.

1

PENUTUPAN KELAB MALAM SEBAGAI KONSEKUENSI DARI PELANGGARAN KEWAJIBAN PERIZINAN BERUSAHA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab, Ratumas Amaraduhita Renggangningtyas Arham

Salah satu kelab malam menyita perhatian publik usai izin usaha 12 (dua belas) outletnya di DKI Jakarta dicabut.[1] Kelab malam tersebut memang kerap menuai kontroversi, seperti harga makanan ringannya yang terlalu mahal, serta beberapa outletnya yang berada di kawasana Kemang dan Tebet melanggar Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, hingga kontroversi provokatif yang sempat viral baru-baru ini[2], yaitu promosi miras dengan menggunakan nama agama. Tidak hanya mendapat kecaman dari masyarakat, kelab malam tersebut juga mendapatkan beberapa gugatan atas kontroversi tersebut. Namun, kontroversi tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan penutupan outlet kelab malam tersebut. Dua belas outlet kelab malam yang berada di Jakarta ditutup lantaran dokumen perizinan usahanya tidak selaras dengan praktik usaha yang dilakukan.[3][na1] 

Untuk mendaftarkan dan menjalankan usahanya, pelaku usaha harus memiliki kode yang sesuai dengan klasifikasi Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI). KBLI adalah pengklasifikasian aktivitas atau kegiatan ekonomi Indonesia yang menghasilkan output, baik berupa barang maupun jasa, berdasarkan lapangan usaha untuk memberikan keseragaman konsep, definisi, dan klasifikasi lapangan usaha dalam perkembangan dan pergeseran kegiatan ekonomi di Indonesia.[4] Saat ini, diketahui bahwa kelab malam tersebut mengantongi KBLI 47221 tentang Perdagangan Eceran Minuman Beralkohol. KBLI 47221 menjelaskan Merupakan Bidang Usaha Perdagangan Eceran, Kelompok ini mencakup usaha perdagangan eceran khusus minuman beralkohol didalam bangunan yang tidak langsung diminum di tempat, seperti minuman keras (whisky, genever, brandy, gin, arak, rum, sake, tuak), minuman anggur dan minuman yang mengandung malt (bir, ale, stout, temulawak).

Artinya, ruang lingkup KBLI di atas terbatas pada usaha perdagangan eceran khusus minuman beralkohol yang tidak boleh langsung diminum di tempat. Selain itu, pelaku usaha juga wajib memenuhi kewajiban perizinan berusaha, berupa:[5]

  1. Menjual kepada konsumen yang telah berusia minimal 21 tahun dan dilayani oleh pramuniaga;
  2. Melarang konsumen meminum di lokasi penjualan;
  3. Menempatkan minuman beralkohol pada tempat khusus atau tersendiri dan tidak bersamaan dengan produk lain.

Namun pada praktik berusahanya, kelab malam juga tersebut menjual minuman beralkohol yang dapat dikonsumsi di tempat. Jika ingin menjual minuman beralkohol yang dapat dikonsumsi di tempat, KBLI yang tepat seharusnya adalah KBLI 56301 tentang Bar. KBLI 56301 menjelaskan Kelompok ini mencakup usaha yang kegiatannya menghidangkan minuman beralkohol dan nonalkohol serta makanan kecil untuk umum di tempat usahanya dan telah mendapatkan ijin dari instansi yang membinanya.

Terkait minuman beralkohol sendiri di Jakarta terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor 187 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Penjualan Minuman Beralkohol. Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Gubernur Nomor 187 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Penjualan Minuman Beralkohol menjelaskan terkait Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol, yang berbunyi:

“Pasal 1

12. Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disingkat SIUP-MB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan C.

Selama melakukan kegiatan usahanya dalam penjualan ke konsumen penjual wajib melakukan laporan, hal tersebut terdapat dalam Pasal 9 Peraturan Gubernur Nomor 187 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Penjualan Minuman Beralkohol menjelaskan terkait Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol, yang berbunyi:

“Pasal 9

Pemilik SIUP-MB wajib melaporkan kegiatannya setiap 3 (tiga) bulan dan memberikan informasi mengenai kegiatan usahanya kepada SKPDI UKPD penerbit izin.

Refrensi:

[1] https://food.detik.com/info-kuliner/d-6150785/5-kontroversi-Salah satu kelab malam-promosi-makanan-hingga-duel-chefnya diakses pada 1 Juli 2022

[2] https://www.kompas.tv/article/303586/5-kontroversi-Salah satu kelab malam-dari-langgar-ppkm-hingga-penistaan-agama diakses pada 1 Juli 2022

[4] OSS https://oss.go.id/informasi/kbli-berbasis-risiko diakses pada 1 Juli 2022

[5] Hukum Online, https://www.instagram.com/p/CfbN9t7hDnW/?hl=id diakses pada 1 Juli 2022


1 3 4 5 6 7 11
Translate