1

SETTLEMENT OF LAND DISPUTES IN TOURISM SECTOR

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

REFERENSI: 

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

Pesatnya perkembangan pariwisata memunculkan persoalan baru di bidang pertanahan. Klaim kepemilikan tanah menjadi persoalan yang semakin menonjol sehingga menimbulkan konflik pertanahan antara pemerintah (sebagai regulator dan pihak yang mengeluarkan izin), pemodal (investor) dan masyarakat.[1]

Pemanfaatan tanah untuk kepentingan pembangunan, terutama di bidang pariwisata, telah mendorong terjadinya peralihan penggunaan dan kepemilikan tanah dalam skala besar.[2]

Sementara itu pemanfaatan tanah sendiri dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan:

                               “Pasal 3

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Adapun peraturan turunan dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi:

“Pasal 2

  • Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
    dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
    didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
    seluruh rakyat.
    • Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
      bumi, air dan ruang angkasa tersebut;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
      dan ruang angkasa;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
      perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
    • Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
      digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
      kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
      berdaulat, adil dan makmur.
    • Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
      daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
      bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Negara dengan hak menguasainya berkewajiban untuk mengatur dan menentukan peruntukan, penggunaan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya tanah, hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan:

“Pasal 14

  • Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2)
    serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
    suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
    ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:untuk keperluan Negara;untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan
    dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
    kesejahteraan;untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
    serta sejalan dengan itu;untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
  • Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-
    peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
    penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
    daerah masing-masing.
  • Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah
    mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari
    Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/
    Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan”.

Pemanfaatan tanah sebagai
bagian dari sumber daya alam Indonesia harus dilakukan secara bijaksana demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk sektor pariwisata.[3] Adapun dalam tujuan pariwisata sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 4

Kepariwisataan bertujuan untuk:

  1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
  2. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  3. menghapus kemiskinan;
  4. mengatasi pengangguran;
  5. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
  6. memajukan kebudayaan;
  7. mengangkat citra bangsa;
  8. memupuk rasa cinta tanah air;
  9. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
  10. mempererat persahabatan antarbangsa”.

Adanya pembangunan berskala besar terutama dalam bidang pariwisata tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Situasi dan kondisi ini muncul akibat salah satu pihak yang mengorbankan kepentingan pihak lainnya.[4] Akan tetapi persoalan hukum dan konflik pertanahan muncul ketika pemerintah tidak mampu menjadi pihak yang netral dalam menyelesaikan persoalan pertanahan dan terjadinya salah tafsir terhadap hak menguasai negara.[5]

Konflik pertanahan di berbagai daerah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tindakan pemerintah (badan pertanahan) yang lemah dalam melakukan penelitian dan mengidentifikasikan tanah terlantar.[6] Jika terjadi konflik pertanahan maka penyelesaian sengketa terdapat dua jenis yaitu jalur litigasi dan non litigasi, litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.[7] Sedangkan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution.[8] Salah satunya dengan cara mediasi, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, di mana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri.[9] Penyelesaian sengketa melalui mediasi pribadi, diatur oleh para pihak itu sendiri dibantu oleh mediator terkait atau mengikuti pendapat/pandangan para ahli yang tehnik dan caranya sangat bervariasi, tetapi tujuannya sama, yaitu membantu para pihak dalam rangka menegosiasikan persengketaan yang dihadapi dalam rangka mencapai kesepakatan bersama secara damai dan saling menguntungkan.[10]


[1] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[2] Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019 h 113

[3] Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018: 87-100, hal 88

[4] I gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018, hal 58

[5] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[6] Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, hal 2.

[7] Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), hal 16.

[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 236.

[9] I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009, hlm. 2.

[10] Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014, hlm 60.

LEGAL BASIS:

  1. The 1945 State Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles
  3. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;

REFERENCE:

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

The rapid development of tourism raises new problems in the land sector. Land ownership claims are becoming increasingly prominent issues, resulting with land conflicts between the government (as regulator and the party issuing permits), investors (that invests) and the community.

The use of land for development purposes, especially in the tourism sector, has led to a shift in land use and ownership on a large scale.

Meanwhile, the use of land itself is guaranteed in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which states:

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people”.

The derivative regulations from Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, namely Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, are emphasized in Article 2 of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations of Agrarian Principles, which reads:

“Article 2

  • On the basis of the provisions in Article 33 paragraph (3) of the Constitution and the matters referred to in Article 1, the earth, water and space, including the natural resources contained therein, are at the highest level. controlled by the State, as an organization of power for all the people.
  • The State’s right of control as referred to in paragraph (1) of this article authorizes to:
    • regulate and administer the designation, use, supply and maintenance of the said earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and the earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and legal actions concerning earth, water and space.

(3) The authority stemming from the state’s right to control as referred to in paragraph (2) of this article is used to achieve the greatest prosperity of the people in the sense of nationality, welfare and independence in society and an independent, sovereign, just and prosperous Indonesian legal state.

(4) The state’s control rights mentioned above can be exercised to autonomous regions and customary law communities, only as necessary and not in conflict with national interests, according to the provisions of Government Regulations”.

The state with the right to control is obliged to regulate and determine the allocation, use, control, supply and maintenance of land resources, this is described in Article 14 paragraph (1) of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, which states:

“Article 14

(1) With the stipulations in Article 2 paragraphs (2) and (3), Article 9 paragraph (2) and Article 10 paragraph (1) and (2) the Government in the context of Indonesian socialism draws up a general plan regarding the supply, designation and use of the earth, water and space as well as the natural resources contained therein:

a. for the needs of the State;

b. for the purposes of worship and other sacred purposes, in accordance with the basis of the One Godhead;

c. for the purposes of community, social, cultural and other welfare centers;

d. for the purpose of developing agricultural, animal husbandry and fishery production and in line with that;

e. for the purposes of developing industry, transmigration and mining.

(2) Based on the general plan as referred to in paragraph (1) of this article and in view ofthe relevant regulations, the Regional Government shall regulate the supply, designation and use of earth, water and space for their respective regions, in accordance with the conditions of their respective regions.

(3) The Regional Government Regulations referred to in paragraph (2) of this article shall come into force after obtaining ratification, concerning Level I Regions from the President, Level II Regions from the Governor/Head of the Region concerned and Level III Regions from the Regent/Mayor/Head of the Region concerned”.

Utilization of land as part of Indonesia’s natural resources must be done wisely for the prosperity and welfare of the Indonesian people, including the tourism sector. As for tourism destinations, as Article 4 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 4

Tourism aims to:

  1. increase economic growth;
  2. improve people’s welfare;
  3. eradicating poverty;
  4. overcoming unemployment
  5. conserving nature, environment, and resources;
  6. promote culture;
  7. raise the image of the nation;
  8. foster a sense of love for the homeland;
  9. strengthen national identity and unity; and
  10. strengthen friendship between nations.

The existence of large-scale development, especially in the field of tourism, often causes pros and cons. These situations and conditions arise as a result of one party sacrificing the interests of the other. However, legal issues and land conflicts arise when the government is unable to be a neutral party in resolving land issues and there is a misinterpretation of the right to control the state.

Land conflicts in various regions are caused by several factors, namely the actions of the government (land agency) which are weak in conducting research and in identifying abandoned land. If there is a land conflict, there are two types of dispute resolution, namely litigation and non-litigation, litigation is a dispute resolution process in court, where all disputing parties face each other to defend their rights before the court. The final result of a dispute resolution through litigation is a decision that states a win-lose solution. Meanwhile, dispute resolution through non-litigation is much more effective and efficient because in recent times, various methods of dispute settlement (settlement methods) outside the courts have been developed, known as Alternative Dispute Resolutions. One of them is by means of mediation, mediation is a dispute resolution process between the parties which is carried out with the help of a neutral and impartial third party (mediator) as a facilitator, where the decision to reach an agreement is still taken by the parties themselves. Settlement of disputes through private mediation, regulated by the parties themselves assisted by the relevant mediator or following the opinions/views of experts whose techniques and methods vary widely, but the goal is the same, namely to assist the parties in negotiating the disputes they face in order to reach mutual agreement collectively. peaceful and mutually beneficial.

0

Pembangunan Bandar Udara Tetap Berjalan di Tengah Proses Hukum Sengketa Pengadaan Tanah

Author : Nirma Afianita
Co-author : Ilham M. Rajab

Tahapan pembangunan bandar udara telah dimulai sejak 2016.[1] Namun, pembangunan terus tertunda sampai sekarang. Terlebih lagi, pengadaan tanah untuk pembangunan bandar udara tersebut terlibat dalam persengketaan dan tengah diproses hukum di Mahkamah Agung. Padahal, sertifikat tanah menjadi syarat utama yang dipersyaratkan Kementerian Perhubungan dan Bappenas untuk memulai pembangunan fisik bandar udara baru.[2]

Mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terjamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU Pengadaan Tanah”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).

Pemerintah secara normatif mengatur bidang pertanahan yang mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[3] Yang mana pembangunan bandar udara sejatinya merupakan kepentingan umum. Hal ini juga didasari sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU Pengadaan Tanah yang diubah dengan UU Cipta Kerjayang berbunyi:

Pasal 10

Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

  • pertahanan dan keamanan nasional;
  • jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
  • waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
  • pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  • infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
  • pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/atau distribusi tenaga listrik;
  • jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
  • tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  • rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • fasilitas keselamatan umum;
  • permakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
  • cagar alam dan cagar budaya;
  • kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa;
  • penataan permukiman kumuh perkotaan danfatau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus;
  • prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  • pasar umum dan lapangan parkir umum;
  • kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai danlatau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Fusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  • kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan;
  • kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.[4]

Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, serta dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.[5] Hal tersebut juga diafirmasi oleh Pasal 18 UUPA bahwa pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian.[6] Pada umumnya, pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung kepada pihak yang berhak.[7] Akan tetapi, apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) UU Pengadaan Tanah. Kemudian, putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.[8]

Meskipun pengadaan tanah masih dalam proses hukum, Badan Pertanahan menyebut bahwa pembangunan bandar udara dapat tetap berjalan, termasuk penyiapan dana untuk ganti rugi tanah oleh pemerintah daerah.[9] Akan tetapi, pembayaran ganti rugi tanah baru bisa dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut sebagaimana ketentuan mengenai penitipan ganti kerugian yang tertuang dalam Pasal 42 UU Pengadaan Tanah sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja, yang berbunyi:

Pasal 42

  • Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerrrgian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
  • Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap:
  • Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau
  • Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
  • sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
  • masih dipersengketakan kepemilikannya;
  • diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
  • menjadi jaminan di Bank.
  • Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) Hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat”.

Berdasarkan ketentuan di atas, sepanjang dana ganti rugi telah dititipkan kepada pengadilan, pemerintah daerah dapat meminta pengadilan melakukan eksekusi manakala ada pihak-pihak yang mencoba menghalangi tahapan yang sedang berjalan. Hal ini mengingat pembangunan bandar udara yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan umum yang harus dijunjung tinggi.

Dalam rapat koordinasi Satgas Pengadaan Tanah lokasi bandara, diputuskan Satuan Tugas Pengadaan tanah bandara yang diperkarakan ini dipimpin Kepala Kantor Pertanahan dan diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan pekerjaan.[10] Selanjutnya, tim appraisal atau penilai independen akan menilai berapa nilai ganti rugi tanah juga tanaman tumbuh yang harus dibayarkan pemerintah daerah kepada pemilik tanah. Penilaian tersebut bukan mengacu pada peraturan daerah, peraturan bupati, maupun Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang berlaku di Wondama, melainkan menggunakan Nilai Penggantian Wajar (“NPW”), yakni nilai untuk kepentingan pemilik yang didasarkan kepada kesetaraan dengan nilai atau harga pasar dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian nonfisik yang diakibatkan dari pengambilan hak atas properti yang diambil.[11] Penggantian yang wajar tersebut ditujukan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pembangunan di daerah. Sebagai konsekuensi hukumnya, apabila pemberian ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri, maka kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku, serta tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, sebagaimana diatur di dalam Pasal 43 UU Pengadaan Tanah. Pada akhirnya, kesepakatan pelepasan tanah oleh masyarakat pemilik hak ulayat diharapkan menjadi langkah yang progresif dan berimplikasi positif sehingga pembangunan bandar udara yang tertunda dapat segera terealisasi.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Referensi:

Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 26 Juli 2022.


[1] Pikiranrakyat, https://portalpapua.pikiran-rakyat.com/lokal/pr-1301854989/bandar-udara-domine-i-s-kijne-kabupaten-teluk-wondama-siap-dibangun, diakses 27 Juli 2022.

[2] Ibid

[3] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945.

[4] Pasal 123 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

[5] Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[6] Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

[7] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[8] Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[9] Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 26 Juli 2022.

[10] Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/3011865/bpn-pengadaan-tanah-bandara-wasior-tak-halangi-proses-hukum, diakses 27 Juli 2022.

[11] Pikiranrakyat, https://portalpapua.pikiran-rakyat.com/lokal/pr-1301854989/bandar-udara-domine-i-s-kijne-kabupaten-teluk-wondama-siap-dibangun, diakses 27 Juli 2022.


0

DEFAULT IN CONSTRUCTION SERVICES FOR INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT

Author : Nirma Afianita
Co-author : Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

REFERENSI: 

  1. Hendra Andy Mulia Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
    1. Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
    1. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
    1. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
      2007.
    1. Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019.

Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya untuk meningkatkan kesejahteraan secara adil dan merata, hasil-hasil dari pembangunan itu harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut.[1]

Pemerintah telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga dan dana untuk pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. hasil pembangunan dapat dilihat di seluruh wilayah Indonesia meskipun terdapat ketimpangan yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antar satu daerah dengan daerah lainnya.[2]

Selain peran pemerintah tentu terdapat peran swasta dalam melakukan pembangunan infrastruktur dimana swasta tidak hanya diserahi sebagai investor dan pembangun, melainkan juga sebagai pengelola.[3] Pihak Pengguna Jasa tentunya menghendaki pihak kontraktor akan bertanggungjawab melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Begitu juga sebaliknya, pihak kontraktor tentunya menghendaki Pihak Pengguna Jasa bertanggungjawab melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.[4]

Perjanjian sebagaimana pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

                               “Pasal 1313

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Berkaitan dengan perjanjian itu sendiri dianggap sah jika perjanjian memenuhi syarat sebagaimana Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Pasal 1320

Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu hal tertentu;suatu sebab yang halal”.

Dalam hal perjanjian konstruksi sering juga disebut dengan perjanjian pemborongan, Pasal 1601 b KUHPerdata memberikan pengertian mengenai perjanjian pemborongan yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak pertama, yaitu pemborong, mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain, yaitu bhouweer, dengan harga yang telah ditentukan.[5]

Berkaitan dengan jasa konstruksi pemerintah telah menjamin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, pengertian Jasa Konstruksi itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaa., liorrstruksi”.

Sementara perjanjian konstruksi dengan kontrak kerja konstruksi disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 1

8. Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen
kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna
Jasa dan penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi”.

Dalam suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan terdapat salah satu pihak yang tidak memenuhi perjanjian tersebut, atau biasa disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.[6]

Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.[7] Adapun dasar hukum dari wanprestasi sendiri dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Pasal 1243

penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Sengketa konstruksi dapat terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik maupun tepat waktu dan mungkin dapat terjadi karena tidak memiliki dukungan pendanaan yang cukup. Dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi mungkin timbul karena salah satu pihak melakukan tindakan cidera janji atau wanprestasi.[8]

Sebagaimana diketahui bahwa sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bagian:[9]

  1. Sengketa precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar;
  2. Sengketa contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi;
  3. Sengketa pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun.

Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak, dalam menyelesaikan sengketa di bidang jasa kontstruksi, para pengguna jasa dan penyedia jasa lebih banyak memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur nonlitigasi seperti negosiasi, mediasi maupun arbitrase yang harus dicantumkan di perjanjian.[10]

Adapun cara penyelesaian sengketa terjamin pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 88

  • Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk  mencapai kemufakatan.
  • Dalam hal musyawarah para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menemiuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
  • Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
  • Tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:mediasi;konsiliasi; danarbitrase.
  • Selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, paa pihak dapat membentuk dewan sengketa.
  • Dalam hal-upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

Selain terdapat penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga memberikan sanksi administratif kepada penyelenggara konstruksi, terdapat dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:

“Pasal 90

  • setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi tidak memiliki sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  • dendaadministratif;
  • penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
  • pencantuman dalam daftar hitam
  • Setiap asosiasi badan usaha yang tidak melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa:
  • peringatan tertulis;
  • pembekuan akreditasi;
  • dan/atau pencabutan akreditasi”.

Untuk mempercepat pembangunan itu sendiri perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta, yang mana harus berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian yang dibuat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan perjanjian juga tidak menutup kemungkinan akan memunculkan sengketa, setiap sengketa yang terjadi pada pemberi jasa konstruksi dan penerima jasa konstruksi maka bisa diselesaikan dengan cara litigasi maupun non litigasi sebagaimana isi dari perjanjian yang telah disepakati. Selain berkaitan dengan perjanjian tentu terdapat sanksi bagi penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki sertifikasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya hal tersebut sebagaimana ketentuan Peraturan Perundang-undangan.


[1] Panjaitan, Hendra Andy Mulia, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019, 44.

[2] Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.

[3] Ibid

[4] Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019, hlm. 42.

[5] Ibid

[6] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008, hlm. 180.

[7] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
2007, hlm. 74.

[8] Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019, hlm. 44.

[9] Ibid

[10] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Civil Code;
  2. Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services.

REFERENCE:

  1. Hendra Andy Mulia Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
    1. Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
    1. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
    1. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
      2007.
    1. Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019.

Development is an effort to create prosperity and welfare of the people. Therefore, in order to improve welfare in a fair and equitable manner, the results of the development must be enjoyed by the entire community in accordance with the development objectives.

The government has spent a lot of time, energy and funds for development in all parts of Indonesia. The results of development can be seen in all regions of Indonesia, although there are disparities that indicate differences in the speed of development between one region and another.

In addition to the role of the government, of course, there is a role for the private sector in carrying out infrastructure development where the private sector is not only entrusted as investors and builders, but also as managers. The Service User certainly wants the contractor to be responsible for carrying out his obligations in accordance with the agreement. Vice versa, the contractor certainly wants the Service User to be responsible for carrying out its obligations in accordance with the agreement.

Agreement as referred to in Article 1313 of the Civil Code, which states:

“Article 1313

An agreement is an act in which one or more people bind themselves to one or more other people”.

In relation to the agreement itself, it is considered valid if the agreement meets the requirements as stipulated in Article 1320 of the Civil Code, which states:

“Article 1320

For the validity of the agreement, four conditions are required:

1. agree on those who bind themselves;

2. the ability to make an engagement;

3. a certain thing;

4. a lawful cause”.

In the case of a construction agreement which is often also referred to as a contracting agreement, Article 1601 b of the Civil Code provides an understanding of a contracting agreement, which is an agreement in which the first party, namely the contractor, binds himself to complete a job for another party, namely bhouweer, at a predetermined price.

With regard to construction services, the government has guaranteed in Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, the definition of Construction Services itself is contained in Article 1 number 1 of Law Number 2 of 2017, which states:

“Article 1

1. Construction Services are construction and/or construction consulting services and construction works”.

Meanwhile, the construction agreement with the construction work contract is stated in the provisions of Article 1 point 8 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 1

8.Construction Work Contract is the entire document a contract that regulates the legal relationship between users Services and service providers in the provision of services Construction”.

In an agreement, it is possible that one of the parties does not fulfill the agreement, or commonly referred to as a default. Default is not fulfilling or failing to carry out obligations as specified in the agreement made between the creditor and the debtor.

Default or non-fulfillment of promises can occur either intentionally or unintentionally. The legal basis for the default itself is in Article 1243 of the Civil Code, which states:

“Article 1243

reimbursement of costs, losses and interest due to non-fulfillment of a the engagement, then it begins to be obligated, if the debtor, after is declared negligent in fulfilling its engagement, continues to neglect it, or if something is to be given or made, it can only be given or made, can only be given or made in the elapsed time.”

Construction disputes can occur if service users do not carry out management tasks properly and on time and may occur because they do not have sufficient funding support. It can be said that a construction dispute may arise because one of the parties commits an act of default or default.

As it is known that the construction service dispute consists of 3 (three) sections:

1. Pre-contractual disputes, namely disputes that occur before a contractual agreement exists, and are in the stage of the bargaining process;

2. Contractual disputes, namely disputes that occur during the construction work;

3. Post-contractual disputes, namely disputes that occur after the building has operated or been used for 10 (ten) years.

Construction disputes can arise, among others, due to claims that are not served, such as late payments, late completion of work, differences in the interpretation of contract documents, technical and managerial incompetence of the parties, in resolving disputes in the field of construction services, service users and service providers prefer to resolve disputes through non-litigation channels such as negotiation, mediation or arbitration which must be included in the agreement.

The method of dispute resolution is guaranteed in Article 88 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 88

  •  Disputes that occur in the Construction Work Contract are resolved with the basic principle of deliberation to reach consensus.
    • In the event that the deliberation of the parties as referred to in paragraph (1) cannot reach an agreement, the parties shall go through the stages of dispute resolution efforts as stated in the Construction Work Contract.
    • In the event that the dispute resolution efforts are not listed in the Construction Work Contract as referred to in paragraph (2), the parties to the dispute shall make a written agreement regarding the dispute resolution procedure to be chosen.
    • The stages of dispute resolution efforts as referred to in paragraph (2) include:

   a. mediation;

   b.conciliation;
      and

    c. arbitration.

(5) In addition to the dispute resolution efforts as referred to in paragraph (4) letter a and letter b, the parties may form a dispute council.

(6) In the event that dispute resolution efforts are carried out by establishing a dispute council as referred to in paragraph (5), the election of board membership is carried out based on the principle of professionalism and does not become part of either party.

(7) Further provisions regarding dispute resolution as referred to in paragraph (1) shall be regulated in a Government Regulation”.

In addition to dispute resolution in Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, it also provides administrative sanctions to construction operators, contained in Article 90 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction Services, which states:

“Article 90

  • every business entity that performs Construction Services does not have a Business Entity certificate as referred to in Article 30 paragraph (1) is subject to administrative sanctions in the form of:
    • administrative fines;
      • temporary suspension of Construction Services activities; and/or
      • blacklisting

(2) Any business entity association that does not perform its obligations in accordance with the provisions of the legislation as referred to in Article 30 paragraph (6) shall be subject to administrative sanctions in the form of:

a. written warning;

b. suspension of accreditation;

c. and/or revocation of accreditation”.

Every dispute that occurs between the provider of construction services and the recipient of construction services can be resolved by litigation or non-litigation according to the contents of the agreed agreement. In addition, there are sanctions for construction service providers who do not have certification in carrying out their business activities as stipulated in the Laws and Regulations.

To accelerate development itself, there is a need for cooperation between the government and the private sector, which must be based on an agreement in an agreement made in accordance with the applicable laws and regulations.

In the implementation of the agreement, it is also possible that a dispute will arise, any dispute that occurs between the construction service provider and the construction service recipient can be resolved by litigation or non-litigation according to the contents of the agreed agreement.

In addition to being related to the agreement, of course there are sanctions for construction service providers who do not have certification in carrying out their business activities as stipulated in the legislation.

Translate