Implementasi Pengurangan Sampah oleh Produsen di Indonesia
Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus
Pada tanggal 16 Agustus 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadakan event yang bertema The Rising Tide-A Grassroot Movement for Sustainability (The Rising Tide). Kegiatan tersebut mengampanyekan kesadaran lingkungan, dengan menciptakan ekosistem pengelolaan sampah rumah tangga berkelanjutan. Misinya adalah menggugah kesadaran masyarakat dan para pihak, betapa masalah lingkungan terutama sampah plastik perlu mendapatkan perhatian serius. Sebagaimana diketahui, KLHK sejak awal mendukung kampanye The Rising Tide, dan secara konsisten mendorong produsen agar menyusun road map pengurangan sampah dengan target pengurangan 30 persen timbulan sampah per Desember 2029. Strategi pengurangan sampah plastik industri sudah diuraikan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah. Produsen juga didorong untuk memproduksi kemasan plastik yang lebih besar (size up) mengutamakan kemasan besar, untuk membantu pemerintah mengejar target pengurangan timbulan sampah plastik. Sebagai tindak lanjut dari gerakan The Rising Tide, para stakeholders menyerukan komitmen bersama bertajuk “Indonesia Stop Wariskan Sampah”. Komitmen ini melibatkan pemerintah yang diwakili KLHK, produsen, industri daur ulang, dan komunitas penggerak lingkungan.[1]
Kampanye The Rising Tide mengasilkan sebuah komitmen yang disepakati bersama sebagai berikut:[2]
Pemerintah:
- Memberikan dukungan terkait dengan kebijakan pengelolaan sampah oleh masyarakat, produsen dan pemda, mendorong regulasi daerah tentang pengelolaan sampah serta memfasilitasi peran industri daur ulang dalam pengurangan sampah;
- Mendukung pulau Bali sebagai proyek pengembangan awal dari gerakan The Rising Tide;
- Mendukung mata rantai sistem daur ulang di Indonesia, mulai dari hulu sampai hilir yaitu masyarakat/produsen, dari after consumption hingga produksi bahan daur ulang untuk menekan angka impor recycled plastic nasional;
- Mendorong percepatan penyusunan peta jalamn pengurangan sampah oleh produsen melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019, untuk melakukan Extended Producers Responsibility (EPR) serta mendorong upsizing sebagai usaha untuk mengurangi timbulan sampah;
- Mendukung gerakan sirkular ekonomi dalam pengelolaan sampah di Indonesia.
Produsen:
- Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah;
- Bekerja sama dan mendukung aktivitas yang dilakukan oleh stakeholders yang dapat meningkatkan angka collection rate dan recycling rate;
- Berkomitmen untuk terus melakukan gerakan ekonomi sirkular sebagai bagian dari EPR;
- Berkomitmen untuk melakukan produksi yang bertanggung jawab dan sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019, dengan melakukan Upsizing Product sebagai usaha untuk mengurangi timbulan sampah.
Industri Daur Ulang:
- Memperkuat infrastructure collection dan proses daur ulang;
- Mendukung produsen untuk melaksanakan EPR;
- Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/ konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah.
Komunitas Penggerak Lingkungan:
- Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/ konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah;
- Terus menginisiasi gerakan akar rumput yang membawa dampak positif bagi lingkungan, dengan melanjutkan The Rising Tide sebagai ajang tahunan, dan kegiatan Triumph of Us pada 2025;
- Mendukung dan menjadi partner pemerintah dan produsen untuk mengurangi timbulan sampah dengan berbagai aktivitas edukasi;
- Mendukung EPR produsen dengan berbagai aktivitas untuk meningkatkan collection rate.
Peningkatan jumlah sampah plastik setiap tahun naik drastis. Akar dari permasalahan ini adalah produsen yang masih terus menggunakan bahan plastik pada produk mereka. Selama ini, permasalahan sampah masih dibebankan hanya pada tanggung jawab konsumen. Sementara pihak produsen masih nyaris tak tersentuh kewajiban untuk bertanggung jawab atas produk yang mereka hasilkan. Ketimpangan tanggung jawab semacam ini harus segera diruntuhkan.[3] Pemerintah sebenarnya telah memiliki landasan hukum yang mengatur pengurangan sampah produsen terutama sampah yang sulit diurai dan tidak dapat diguna ulang, seperti kemasan plastik. Dasar hukum tersebut yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari tahun 2020 sampai tahun 2029. Peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah seperti dimandatkan dalam pasal 15. Adapun bunyi dari pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah:
“Pasal 15
Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”.
Dalam perkembangan prinsip hukum lingkungan hal ini dikenal dengan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR). Prinsip ini merupakan suatu pendekatan kebijakan lingkungan dimana tanggung jawab produsen terhadap sebuah produk diperluas sampai kepada tahap pasca konsumen dari siklus hidup produk tersebut. Jika hal ini dapat diterapkan secara efektif maka tentunya instrumen ini dapat mengurangi sampah plastik secara maksimal karena diselesaikan langsung dari akar masalahnya.[1]Pengurangan timbulan sampah oleh produsen ini dilakukan melalui penggunaan bahan produk dari material yang mudah diurai, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah yang wajib dilakukan. Selain itu, dalam rangka pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi dengan penarikan kembali sampah yang disertai dengan penyediaan fasilitas penampungan.[2] Berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, disebutkan bahwa:
“Pasal 4
(1) Pengurangan Sampah dilakukan terhadap produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang:
a. sulit diurai oleh proses alam;
b.tidak dapat didaur ulang; dan/atau
c.tidak dapat diguna ulang
Produk, kemasan produk, dan/atau wadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.plastik;
b.kaleng alumunium;
c.kaca; dan
d.kertas”.
Upaya pengurangan sampah oleh produsen dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 6
(1) Pengurangan Sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan melalui:
a.pembatasan timbulan sampah;
b.pendauran ulang sampah; dan
c.pemanfaatan kembali sampah.
(2) Pembatasan timbulan Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara:
a.menggunakan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan Sampah sesedikit mungkin; dan/atau
b.tidak menggunakan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang sulit diurai oleh proses alam.
(3) Pendauran ulang Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara:
a.menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang; dan/atau
b.menggunakan bahan baku produksi hasil daur ulang.
(4) Pemanfaatan kembali Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara menggunakan bahan baku produksi yang dapat diguna ulang”.
Tak cukup pada penggunaan material yang tepat, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan dalam rangka pengurangan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Selain itu, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi kepada konsumen agar turut berperan dalam pengurangan sampah. Pemerintah juga dapat memberikan penghargaan dan juga publikasi kinerja tidak baik kepada produsen.[1]
Pertanggungjawaban produsen untuk mengelola sampah dari kemasan yang mereka produksi bukanlah hal yang mustahil diterapkan di Indonesia. Diperlukan upaya hukum yang lebih jelas dalam skema yang lebih variatif untuk memudahkan perusahaan/produsen dalam upaya pengelolaan sampah yang mereka produksi. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah memasukkan skema tanggung jawab produsen ini sebagai salah satu syarat dipenuhinya izin lingkungan. Hal ini bisa dimasukkan dalam komponen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) yang menjadi kewajiban dari perusahaan. Sehingga dengan serta merta menjadi tanggung jawab dengan prosedur yang jelas dan dapat dilakukan evaluasi secara berkala oleh instansi pemerintah.[2]
Tentu ini bukan hal yang mudah, karena secara naluriah bertentangan dengan prinsip dasar dari perusahaan untuk memperoleh laba secara maksimal, dengan menambah biaya produksi. Tapi ini haruslah dilakukan untuk usaha yang berkelanjutan, untuk memastikan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan masih memungkinkan untuk kegiatan manusia kedepannya. Sehingga segala upaya yang mungkin dilakukan perlu dicoba untuk memaksimalkan upaya dalam mengatasi permasalahan sampah plastik yang telah menjadi masalah global saat ini.[3]
Selanjutnya mengenai pengenaan sanksi terhadap pengelolaan sampah sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat pengaturan mengenai sanksi administratifyang dapat dikenakan sebagaimana berbunyi:
“Pasal 32
(1) Bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif kepada pengelola sampah yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.paksaan pemerintahan;
b.uang paksa; dan/atau
c.pencabutan izin.
Ketentuan lebihlanjut mengenai penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
Sementara itu, terdapat juga pengaturan mengenai sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Hal tersebut terkandung pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatakan:
“Pasal 40
Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.[1]
Secara normatif, Indonesia telah memiliki sejumlah produk hukum peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum dan rujukan dalam mendorong pelibatan perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha dalam tata kelola sampah khususnya sampah plastik hasil akhir atau buangan produk mereka. Indonesia bahkan telah memiliki Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Namun, implementasi tanggung jawab produsen berdasarkan peta jalan tersebut agaknya masih akan menemui berbagai tantangan. Diperlukan upaya hukum yang lebih jelas dalam skema yang lebih variatif untuk memudahkan perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha dalam upaya pengelolaan sampah hasil akhir produk mereka. Dengan mengadopsi dan extended producer responsibility (EPR), salah satu alternatif upaya yang dapat ditempuh adalah dengan memasukkan kewajiban pengelolaan sampah khususnya sampah plastik di dalam komponen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) sebagai syarat yang harus dipenuhi perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha. Dengan demikian, juga dapat dilakukan evaluasi secara berkala oleh instansi pemerintah.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen
Referensi:
detik.com, https://news.detik.com/berita/d-6240509/klhk-dorong-produsen-perbesar-kemasan-plastik, diakses pada 19 Agustus 2022.
aliansizerowaste.id, https://aliansizerowaste.id/2021/02/19/permen-lhk-nomor-75-tahun-2019-solusi-jitu-pengurangan-sampah-produsen/, diakses pada 19 Agustus 2022.
Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Tinjauan Normatif Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Produsen dalam Pengaturan Tata Kelola Sampah Plastik di Indonesia, dalam Jurnal Bina Hukum Lingkungan Vol. 6, No. 2, Februari 2022.
[1] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
[1] aliansizerowaste.id, Loc.cit.
[2]Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Op.cit., hal. 197
[3]Loc.cit
[1] Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Tinjauan Normatif Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Produsen dalam Pengaturan Tata Kelola Sampah Plastik di Indonesia, dalam Jurnal Bina Hukum Lingkungan Vol. 6, No. 2, Februari 2022, hal. 186-187
[2] aliansizerowaste.id, Loc.cit.
[1] Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
[1] detik.com, https://news.detik.com/berita/d-6240509/klhk-dorong-produsen-perbesar-kemasan-plastik, diakses pada 19 Agustus 2022.
[2] Loc.cit.
[3] aliansizerowaste.id, https://aliansizerowaste.id/2021/02/19/permen-lhk-nomor-75-tahun-2019-solusi-jitu-pengurangan-sampah-produsen/, diakses pada 19 Agustus 2022.