DASAR
HUKUM:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
REFERENSI:
- Hendra Andy Mulia
Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
- Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia:
Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan
Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
- Salim HS,
Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
- Ahmadi Miru,
Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
2007.
- Jannah, Martin
Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat
Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2,
Oktober 2019.
Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan
kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya untuk meningkatkan kesejahteraan secara
adil dan merata, hasil-hasil dari pembangunan itu harus
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sesuai dengan tujuan
pembangunan tersebut.[1]
Pemerintah
telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga dan dana untuk pembangunan di seluruh
wilayah Indonesia. hasil pembangunan dapat dilihat di seluruh wilayah Indonesia
meskipun terdapat ketimpangan yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan
pembangunan antar satu daerah dengan daerah lainnya.[2]
Selain
peran pemerintah tentu terdapat peran swasta dalam melakukan pembangunan
infrastruktur dimana swasta tidak hanya diserahi sebagai investor dan
pembangun, melainkan juga sebagai pengelola.[3] Pihak
Pengguna Jasa tentunya menghendaki pihak kontraktor akan bertanggungjawab
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Begitu juga sebaliknya,
pihak kontraktor tentunya menghendaki Pihak Pengguna Jasa bertanggungjawab
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.[4]
Perjanjian
sebagaimana pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“Pasal 1313
Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Berkaitan
dengan perjanjian itu sendiri dianggap sah jika perjanjian memenuhi syarat
sebagaimana Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“Pasal
1320
Untuk
sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
- sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;suatu
hal tertentu;suatu
sebab yang halal”.
Dalam
hal perjanjian konstruksi sering juga disebut dengan perjanjian pemborongan,
Pasal 1601 b KUHPerdata memberikan pengertian mengenai perjanjian pemborongan
yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak pertama, yaitu pemborong, mengikatkan
dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain, yaitu bhouweer,
dengan harga yang telah ditentukan.[5]
Berkaitan
dengan jasa konstruksi pemerintah telah menjamin dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, pengertian Jasa Konstruksi itu sendiri
terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, yang berbunyi:
“Pasal
1
- Jasa
Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaa.,
liorrstruksi”.
Sementara
perjanjian konstruksi dengan kontrak kerja konstruksi disebutkan dalam
ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi, yang berbunyi:
“Pasal
1
8.
Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen
kontrak yang mengatur hubungan hukum antara
pengguna
Jasa dan penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi”.
Dalam
suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan terdapat salah satu pihak yang tidak
memenuhi perjanjian tersebut, atau biasa disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi
adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.[6]
Wanprestasi
atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak
disengaja.[7]
Adapun dasar hukum dari wanprestasi sendiri dalam Pasal 1243 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“Pasal
1243
penggantian
biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Sengketa
konstruksi dapat terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan
tugas-tugas pengelolaan dengan baik maupun tepat waktu dan mungkin dapat
terjadi karena tidak memiliki dukungan pendanaan yang cukup. Dapat dikatakan
bahwa sengketa konstruksi mungkin timbul karena salah satu pihak melakukan
tindakan cidera janji atau wanprestasi.[8]
Sebagaimana
diketahui bahwa sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bagian:[9]
- Sengketa
precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan
kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar;
- Sengketa
contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan
pelaksanaan konstruksi;
- Sengketa
pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau
dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun.
Sengketa
konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya
keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan
penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan baik teknis maupun manajerial dari
para pihak, dalam menyelesaikan sengketa di bidang jasa kontstruksi, para
pengguna jasa dan penyedia jasa lebih banyak memilih untuk menyelesaikan
sengketa melalui jalur nonlitigasi seperti negosiasi, mediasi maupun arbitrase
yang harus dicantumkan di perjanjian.[10]
Adapun
cara penyelesaian sengketa terjamin pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi, yang berbunyi:
“Pasal
88
- Sengketa
yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar
musyawarah untuk mencapai kemufakatan.
- Dalam
hal musyawarah para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
mencapai suatu kemufakatan, para pihak menemiuh tahapan upaya penyelesaian
sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
- Dalam
hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan
tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
- Tahapan
upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:mediasi;konsiliasi;
danarbitrase.
- Selain
upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan
huruf b, paa pihak dapat membentuk dewan sengketa.
- Dalam
hal-upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan dilaksanakan
berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu
pihak.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Selain
terdapat penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi juga memberikan sanksi administratif kepada penyelenggara
konstruksi, terdapat dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi, yang berbunyi:
“Pasal
90
- setiap
badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi tidak memiliki sertifikat Badan
Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa:
- dendaadministratif;
- penghentian sementara kegiatan
layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
- pencantuman dalam daftar hitam
- Setiap
asosiasi badan usaha yang tidak melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (6) dikenai
sanksi administratif berupa:
- peringatan
tertulis;
- pembekuan
akreditasi;
- dan/atau
pencabutan akreditasi”.
Untuk
mempercepat pembangunan itu sendiri perlu adanya kerja sama antara pemerintah
dan pihak swasta, yang mana harus berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian yang
dibuat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Dalam
pelaksanaan perjanjian juga tidak menutup kemungkinan akan memunculkan
sengketa, setiap sengketa yang terjadi pada pemberi jasa konstruksi dan
penerima jasa konstruksi maka bisa diselesaikan dengan cara litigasi maupun non
litigasi sebagaimana isi dari perjanjian yang telah disepakati.
Selain
berkaitan dengan perjanjian tentu terdapat sanksi bagi penyedia jasa konstruksi
yang tidak memiliki sertifikasi dalam melaksanakan kegiatan usahanya hal
tersebut sebagaimana ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
[1] Panjaitan,
Hendra Andy Mulia, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Inklusif
Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 8(1), Juli
2019, 44.
[2] Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan
Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha
Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2
No 1 November 2010, 25.
[3] Ibid
[4] Jannah,
Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi
Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol
03 No 2, Oktober 2019, hlm. 42.
[5] Ibid
[6]
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008, hlm. 180.
[7]
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
2007, hlm. 74.
[8]
Jannah, Martin Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa
Wanprerstasi Akibat Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan,
UIR Law, Vol 03 No 2, Oktober 2019, hlm. 44.
[9] Ibid
[10] Ibid
LEGAL BASIS:
- Civil Code;
- Law Number 2 of
2017 concerning Construction Services.
REFERENCE:
- Hendra Andy Mulia
Panjaitan, Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Inklusif Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Pembangunan, 8(1), Juli 2019.
- Endy Arif Budyanto, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia:
Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan
Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010.
- Salim HS,
Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: 2008.
- Ahmadi Miru,
Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Pers,
2007.
- Jannah, Martin
Putri Nur & Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Wanprerstasi Akibat
Keterlambatan Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi Bangunan, UIR Law, Vol 03 No 2,
Oktober 2019.
Development
is an effort to create prosperity and welfare of the people. Therefore, in
order to improve welfare in a fair and equitable manner, the results of the
development must be enjoyed by the entire community in accordance with the
development objectives.
The
government has spent a lot of time, energy and funds for development in all
parts of Indonesia. The results of development can be seen in all regions of
Indonesia, although there are disparities that indicate differences in the
speed of development between one region and another.
In
addition to the role of the government, of course, there is a role for the
private sector in carrying out infrastructure development where the private
sector is not only entrusted as investors and builders, but also as managers.
The Service User certainly wants the contractor to be responsible for carrying
out his obligations in accordance with the agreement. Vice versa, the
contractor certainly wants the Service User to be responsible for carrying out
its obligations in accordance with the agreement.
Agreement
as referred to in Article 1313 of the Civil Code, which states:
“Article
1313
An
agreement is an act in which one or more people bind themselves to one or more
other people”.
In
relation to the agreement itself, it is considered valid if the agreement meets
the requirements as stipulated in Article 1320 of the Civil Code, which states:
“Article
1320
For
the validity of the agreement, four conditions are required:
1.
agree on those who bind themselves;
2.
the ability to make an engagement;
3.
a certain thing;
4.
a lawful cause”.
In
the case of a construction agreement which is often also referred to as a
contracting agreement, Article 1601 b of the Civil Code provides an
understanding of a contracting agreement, which is an agreement in which the first
party, namely the contractor, binds himself to complete a job for another
party, namely bhouweer, at a predetermined price.
With
regard to construction services, the government has guaranteed in Law Number 2
of 2017 concerning Construction Services, the definition of Construction
Services itself is contained in Article 1 number 1 of Law Number 2 of 2017,
which states:
“Article
1
1.
Construction Services are construction and/or construction consulting services
and construction works”.
Meanwhile,
the construction agreement with the construction work contract is stated in the
provisions of Article 1 point 8 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction
Services, which states:
“Article
1
8.Construction
Work Contract is the entire document a contract that regulates the legal
relationship between users Services and service providers in the provision of
services Construction”.
In
an agreement, it is possible that one of the parties does not fulfill the
agreement, or commonly referred to as a default. Default is not fulfilling or
failing to carry out obligations as specified in the agreement made between the
creditor and the debtor.
Default
or non-fulfillment of promises can occur either intentionally or
unintentionally. The legal basis for the default itself is in Article 1243 of
the Civil Code, which states:
“Article
1243
reimbursement
of costs, losses and interest due to non-fulfillment of a the engagement, then
it begins to be obligated, if the debtor, after is declared negligent in
fulfilling its engagement, continues to neglect it, or if something is to be
given or made, it can only be given or made, can only be given or made in the
elapsed time.”
Construction
disputes can occur if service users do not carry out management tasks properly
and on time and may occur because they do not have sufficient funding support.
It can be said that a construction dispute may arise because one of the parties
commits an act of default or default.
As
it is known that the construction service dispute consists of 3 (three) sections:
1.
Pre-contractual disputes, namely disputes that occur before a contractual
agreement exists, and are in the stage of the bargaining process;
2.
Contractual disputes, namely disputes that occur during the construction work;
3.
Post-contractual disputes, namely disputes that occur after the building has
operated or been used for 10 (ten) years.
Construction
disputes can arise, among others, due to claims that are not served, such as
late payments, late completion of work, differences in the interpretation of
contract documents, technical and managerial incompetence of the parties, in
resolving disputes in the field of construction services, service users and
service providers prefer to resolve disputes through non-litigation channels
such as negotiation, mediation or arbitration which must be included in the
agreement.
The
method of dispute resolution is guaranteed in Article 88 of Law Number 2 of
2017 concerning Construction Services, which states:
“Article
88
- Disputes that occur in the Construction Work
Contract are resolved with the basic principle of deliberation to reach
consensus.
- In
the event that the deliberation of the parties as referred to in paragraph (1)
cannot reach an agreement, the parties shall go through the stages of dispute
resolution efforts as stated in the Construction Work Contract.
- In
the event that the dispute resolution efforts are not listed in the
Construction Work Contract as referred to in paragraph (2), the parties to the
dispute shall make a written agreement regarding the dispute resolution
procedure to be chosen.
- The
stages of dispute resolution efforts as referred to in paragraph (2) include:
a. mediation;
b.conciliation;
and
c. arbitration.
(5)
In addition to the dispute resolution efforts as referred to in paragraph (4)
letter a and letter b, the parties may form a dispute council.
(6)
In the event that dispute resolution efforts are carried out by establishing a
dispute council as referred to in paragraph (5), the election of board
membership is carried out based on the principle of professionalism and does
not become part of either party.
(7)
Further provisions regarding dispute resolution as referred to in paragraph (1)
shall be regulated in a Government Regulation”.
In
addition to dispute resolution in Law Number 2 of 2017 concerning Construction
Services, it also provides administrative sanctions to construction operators,
contained in Article 90 of Law Number 2 of 2017 concerning Construction
Services, which states:
“Article
90
- every
business entity that performs Construction Services does not have a Business
Entity certificate as referred to in Article 30 paragraph (1) is subject to
administrative sanctions in the form of:
- administrative fines;
- temporary suspension of
Construction Services activities; and/or
(2)
Any business entity association that does not perform its obligations in
accordance with the provisions of the legislation as referred to in Article 30
paragraph (6) shall be subject to administrative sanctions in the form of:
a.
written warning;
b.
suspension of accreditation;
c. and/or
revocation of accreditation”.
Every
dispute that occurs between the provider of construction services and the
recipient of construction services can be resolved by litigation or
non-litigation according to the contents of the agreed agreement. In addition,
there are sanctions for construction service providers who do not have
certification in carrying out their business activities as stipulated in the
Laws and Regulations.
To
accelerate development itself, there is a need for cooperation between the
government and the private sector, which must be based on an agreement in an
agreement made in accordance with the applicable laws and regulations.
In
the implementation of the agreement, it is also possible that a dispute will
arise, any dispute that occurs between the construction service provider and
the construction service recipient can be resolved by litigation or
non-litigation according to the contents of the agreed agreement.
In
addition to being related to the agreement, of course there are sanctions for
construction service providers who do not have certification in carrying out
their business activities as stipulated in the legislation.