0

Dukungan Pemerintah terhadap Perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co author: Bryan Hope Putra Benedictus

Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendorong para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk meningkatkan branding usaha. Hal ini dilakukan melalui kegiatan pemberian Nomor Induk Berusaha (NIB) pelaku UMKM bersama Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Menteri BUMN mengatakan, UMKM membutuhkan pendampingan dan dukungan untuk dapat naik kelas. Pelaku UMKM dan ultra mikro disebut memiliki multiplier effect yang kuat. Basis dari pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan sehingga UMKM harus dipastikan bisa go global dan menjadi rantai pasok yang berkesinambungan. Sebanyak 125 nasabah salah satu BUMN mengikuti acara pemberian NIB yang sekaligus merupakan sosialisasi pendaftaran izin usaha melalui sistem Online Single Submission (OSS). Tingkat risiko suatu usaha dibagi menjadi risiko rendah, risiko menengah rendah, risiko menengah tinggi, dan risiko tinggi. Usaha dengan tingkat risiko rendah cukup memiliki NIB sebagai perizinan tunggal. Perizinan tunggal berarti NIB berlaku sebagai legalitas, Standar Nasional Indonesia (SNI), serta Sertifikat Jaminan Produk Halal (SJPH) bagi pelaku usaha yang produk atau jasanya wajib SNI dan halal. Adapun OSS menjadi sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik yang dikelola dan diselenggarakan oleh Kementerian Investasi/BKPM. Penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko melalui sistem OSS merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sampai saat ini, terdapat lebih dari 50.000 pelaku UMKM yang terdaftar NIB. Kegiatan sosialisasi NIB juga telah dilaksanakan di dua kota, yakni Bandung dan Surabaya. Peserta yang hadir di kedua kota tersebut mencapai sebanyak 2.000 pelaku usaha.[1]

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, pengertian UMKM sendiri dijabarkan secara terpisah antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menjelaskan pengertian usaha mikro adalah:

“Pasal 1

  1. Usaha Mikro adalah adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”[2]

Selanjutnya pengertian dari usaha kecil terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang berbunyi:

“Pasal 1

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”[3]

Sementara itu dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, pengertian dari usaha menengah yaitu adalah:

“Pasal 1

3.Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”[4]

Adapun kriteria yang dimaksud berdasarkan pasal-pasal diatas tersebut dapat dilihat pada pasal 87 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah mengubah Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pasal tersebut berbunyi:

“Pasal 87

  1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1)Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah.”[5]

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah.”[5]

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pemerintah memberi kemudahan berusaha, perlindungan dan pemberdayaan dalam UMKM, dan terdapat 8 (Delapan) kemudahan yang akan diberikan (UU Cipta Kerja), yaitu:

  1. Izin tunggal bagi UMKM. Sehingga pelaku UMKM kini hanya cukup mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB). NIB berlaku untuk semua kegiatan usaha (UMKM) mulai izin usaha, izin edar, Standar Nasional Indonesia (SNI), hingga sertifikasi produk halal;
  2. Ketentuan insentif oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah bagi perusahaan besar yang bermitra dengan UMKM. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan bisnis;
  3. Pengelolaan terpadu UMKM melalui sinergi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholders terkait pendampingan berupa dukungan manajemen, Sumber Daya Manusia (SDM), anggaran dan penyediaan prasarana dan sarana;
  4. Kemudahan pembiayaan dan intensif secara fiskal. Di antaranya penyederhanaan administrasi perpajakan, pengajuan izin usaha tanpa biaya, insentif pajak penghasilan, dan insentif kepabeanan bagi UMKM ekspor;
  5. Adanya Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah untuk pengembangan UMKM;
  6. Bantuan dan perlindungan hukum untuk menjaga kelangsungan bisnis UMKM;
  7. Prioritas produk UMKM dalam kegiatan belanja barang dan pengadaan jasa pemerintah. Ketentuannya minimal menyerap 40 persen produk UMKM;
  8. Pola kemitraan UMKM. Rest area, stasiun, terminal, pelabuhan, hingga bandara wajib menyediakan tempat promosi dan penjualan bagi UMKM melalui pola kemitraan. Alokasi lahan pada infrastruktur publik paling sedikit 30 persen dari luas total lahan area komersial.[6]

Peraturan Pemerintah 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah disusun sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal lain yang mendasari dan mendorong perlunya pengaturan yang lebih jelas terkait Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah antara lain bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja dan belum terintegrasi sehingga perlu dilakukan perubahan.[7]

Salah satu prioritas Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia yang akan dilakukan melalui Peraturan Pemerintah 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah penyusunan basis data tunggal usaha mikro, kecil, dan menengah yang akurat. Penyusunan data tunggal ini akan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan sensus, tidak untuk menghitung jumlah tapi untuk mendapatkan data UMKM berdasarkan by name by address. Kemudahan lain bagi UMK yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah perizinan berusaha. UMKM nantinya diberikan kemudahan dalam proses perijinan dimana untuk UMKM yang memiliki risiko rendah terhadap kesehatan, keselamatan, dan lingkungan akan diproses dalam perijinan tunggal yang terdiri dari perijinan berusaha, sertifikat jaminan halal dan sertifikat nasional Indonesia.[8]

Pengklasifikasian suatu usaha dapat dikatakan menjadi Usaha Mikro, Kecil atau Menengah sendiri diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pengklasifikasian terhadap UMKM didasarkan pada kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan.[9] Kriteria modal usaha tersebut secara rinci diatur dalam pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang berbunyi:

“Pasal 35

(3)Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a.Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

b.Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

c.Usaha Menengah merniliki modal usaha lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.”[10]

Sementara pengklasifikasian usaha berdasarkan hasil penjualan tahunan diatur dalam Pasal 35 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal tersebut mengatur:

“Pasal 35

(5) Kriteria hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:

a.Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

b.Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan

c.Usaha Menengah memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).[11]

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tertib, dan dinamis dalam lingkungan yang merdeka, bersahabat, dan damai.[12] Adapun Ciri-ciri Usaha Mikro Kecil dan Menengah, sebagai berikut:

  1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
  2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
  3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;
  4. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
  5. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
  6. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non-bank;
  7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).[13]

Mengenai ciri-ciri usaha mikro kecil dan menengah dalam poin 7 di atas, bahwa disini terkait izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya, dimana masih banyak usaha mikro kecil dan menengah yang tidak memiliki izin usaha, padahal itu adalah syarat penting dalam pendirian suatu kegiatan usaha dalam bidang perindustrian, hal itu berimplikasi dengan suatu perizinan lingkungan oleh kegiatan usaha mikro kecil dan menengah tersebut. Dimana apabila izin usaha tidak dilakukan, maka kemungkinan besar izin lingkungan pun tidak akan dimiliki oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah.[14]

Kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, serta berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan.[15] Berkembangnya kegiatan usaha usaha mikro kecil menengah, berarti juga mendorong perekonomian bagi masyarakat dengan meningkatnya pendapatan sehingga kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup juga semakin terbuka pula, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, sehingga sangat diperlukan dan ditingkatkan guna meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan untuk menjaga serta mengelola lingkungan hidup disekitar lingkungannnya.[16]

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pemerintah dan pemerintah daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:

“Pasal 7

a.Pendanaan;

b.Sarana dan prasarana;

c.Informasi usaha;

d.Kemitraan;

e.Perizinan usaha;

f.Kesempatan berusaha;

g.Promosi dagang; dan dukungan kelembagaan.”[17]

Bentuk peraturan dari produk usaha mikro kecil dan menengah salah satunya yaitu legalitas usaha, dengan adanya legalitas bagi UMKM ini nantinya akan bermanfaat bagi usaha mikro kecil dan menengah itu sendiri, contohnya adalah untuk mengakses permodalan dari pemerintah/swasta. Selain permodalan, satu hal lain yang tidak kalah penting dalam menjalankan usaha adalah legalitas. Sebab, legalitas usaha merupakan bukti kepatuhan terhadap aturan hukum yang mana mampu memberikan perlindungan terhadap usaha manakala terjadi masalah. Legalitas diperlukan bukan hanya sebagai bantuan modal usaha melainkan juga sebagai syarat mengajukan permodalan.[18] Untuk mempermudah perizinan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan keringanan persyaratan agar mudah dipenuhi oleh usaha mikro kecil dan menengah, khususnya yang dimiliki oleh orang perorangan. Perizinan itu dilaksanakan dengan menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu yang pelaksanaannya wajib dilakukan dengan prinsip penyerderhanaan tata cara pelayanan dan jenis perizinan.[19]

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ini dapat memberikan dukungan bagi pelaku koperasi dan UMKM dalam rangka menjalankan kegiatan berusahanya. Hal ini tentunya merupakan upaya pemerintah dalam rangka mendukung pengembangan UMKM untuk naik kelas, serta mewujudkan UMKM Indonesia yang maju, mandiri, dan berdaya saing serta berkontribusi dalam perekonomian nasional.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Referensi:

cnbcindonesia, https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20220712095546-25-354862/makin-naik-kelas-umkm-dimudahkan-dapat-sertifikasi-nib , diakses pada 8 Agustus 2022.

Ifrani & Nurmaya Safitri, Perizinan Terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Yang Melakukan Pencemaran Lingkungan, dalam Jurnal Al’Adl Vol. XII, No. 2, Juli 2020.

Munsharif Abdul Chalim, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Koperasi Modern Dan UMKM Berdasarkan PP No. 7 Tahun 2021, dalam Jurnal Penelitian Hukum Vol.1, Nomor 1 Tahun 2022.

Edwar James Sinaga, Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol, 6 No, 3, Desember 2017. Dadang Sukandar, (2017), Panduan Membuat Kontrak Bisnis, Jakarta: Visimedia.


[1] cnbcindonesia, https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20220712095546-25-354862/makin-naik-kelas-umkm-dimudahkan-dapat-sertifikasi-nib, diakses pada 8 Agustus 2022.

[2] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[3] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[4] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[5] Pasal 87 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

[6] Munsharif Abdul Chalim, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Koperasi Modern Dan UMKM Berdasarkan PP No. 7 Tahun 2021, dalam Jurnal Penelitian Hukum Vol.1, Nomor 1 Tahun 2022, hal. 26

[7] Munsharif Abdul Chalim, Ibid, hal. 23

[8] Munsharif Abdul Chalim, Ibid, hal. 24

[9] Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[10] Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[11] Pasal 35 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[12] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[13] Ifrani & Nurmaya Safitri, Perizinan Terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Yang Melakukan Pencemaran Lingkungan, dalam Jurnal Al’Adl Vol. XII, No. 2, Juli 2020, hal. 149

[14] Loc. cit

[15] Edwar James Sinaga, Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia, dalam Jurnal Rechtvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 6, No. 3, Desember 2017, hal. 329-348

[16] Ifrani & Nurmaya Safitri, Op. Cit, hal. 150

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[18] Ifrani & Nurmaya Safitri, Op. Cit, hal. 151

[19] Dadang Sukandar, 2017, Panduan Membuat Kontrak Bisnis, Jakarta: Visimedia, hal. 10

0

COPYRIGHT PROTECTION OF ARCHITECTURAL WORKS DESIGNED BY USING COMPUTER PROGRAM

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek

REFERENSI: 

  1. Leonard Julio Axel Mahal, Perlindungan Hukum Atas Rumah Adat Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, dalam Jurnal Dharmasisya Vol. 1, No.1, Maret 2021
  2. Eko Budihardjo, Arsitek Bicara Tentang Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung, 1987
  3. Hendraningsih, Peran, Kesan, dan Bentuk-bentuk Arsitektur, Djambatan, Bandung, 1985.
  4. H.K. Ishar, Pedoman Umum Merancang Bangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985.
  5. Ambarwati, Ni Made Denny, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Komik Terkait Pembajakan Komik Pada Situs Online, Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (2019)
  6. Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Perlindungan Hukum Terkait Pelanggaran Atas Hak Cipta Terhadap Karya Arsitektur Lanskap, dalam Jurnal Kertha Negara Vol. 9, No. 5 Tahun 2021.
  7. Yogiswari, Ni Made Dharmika, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Hak Cipta Lagu Terhadap Kegiatan Aransemen, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya Hukum Udayana 8, no. 5 (2020)
  8. Jamba, Padrisan, Analisis Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia, Jurnal: Cahaya Keadilan, (2015)
  9. Maharani, Desak Komang Lina, and I. Gusti Ngurah Parwata, Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019)
  10. Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015)
  11. Khwarizmi Maulana Simatupang, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital, dalam Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 15, No. 1, Maret 2021
  12. Ahmad M. Ramli, Hak Cipta Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif (Bandung: P,T. ALUMNI, 2018)

Perkembangan pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari peranan para arsitektur yang menghasilkan karya-karya hak cipta dibidang arsitektur, hal ini dapat terlihat dengan jelas terutama pembangunan aspek fisiknya, dimana banyak sekali terdapat bangunan- bangunan indah dan megah dengan gaya arsitektur yang bervariasi antara satu dengan yang lain. Konstruksi bangunan tersebut dapat berupa rumah tinggal, perkantoran, pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, dan lainnya, yang mempunyai nilai artistik yang khas dan unik dengan gaya- gaya arsitektur yang indah.[1] Namun, di Indonesia sendiri perlindungan dan pembahasan mengenai perlindungan karya arsitektur juga jarang dibahas terlebih juga karena masih kurangnya kesadaran mengenai perlindungan karya arsitektur. Berdasarkan hal ini, maka timbul pertanyaan, bagaimana seharusnya perlindungan Hak Cipta terhadap karya arsitektur yang didesain menggunakan program komputer?

Pada umumnya arsitektur didefinisikan sebagai Seni penciptaan ruang dan bangunan untuk memberi wadah kepada kehidupan bersama.[2] Selanjutnya menurut Van Romondt, salah seorang guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia dengan berbahagia.[3] Arsitektur dalam pengertian di atas hanya diasosiasikan dengan penciptaan bangunan-bangunan dan ruangan-ruangan yang indah dan hanya sebagai tempat bagi kehidupan manusia. Arsitektur yaitu suatu seni untuk mendesain bangunan sehingga mempunyai nilai keindahan/estetika. Keindahan adalah nilai-nilai yang menyenangkan mata, pikiran dan telinga.[4]

Sementara program komputer memiliki pengertian berdasarkan Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu:

“Pasal 1

9.Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu”.

Pengertian Hak Cipta sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

“Pasal 1

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hak cipta lahir dan timbul dari hasil olah pikir manusia dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan sastra. Hak cipta timbul secara otomatis seketika suatu ciptaan lahir. Hak cipta merupakan hak perdata yang melekat pada diri pihak pencipta. Hak cipta merupakan hak privat. Pembenarannya ialah karena suatu ciptaan dilahirkan oleh kreasi pencipta. Kreasi yang muncul dari adanya olah pikiran dan kreativitas dari sang pencipta. Suatu hak cipta haruslah lahir dari kreativitas manusia bukan yang telah ada di luar aktivitas atau di luar hasil kreativitas manusia. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Disebut hak eksklusif karena hak tersebut hanya diperuntukkan bagi pencipta, dengan demikian melarang/membatasi pihak lain untuk menggunakan hak tersebut tanpa izin pencipta. Pemegang hak cipta yang bukan pencipta hanya memiliki Sebagian dari hak ekslusif yaitu berupa hak ekonomi. Hak moral dibedakan dengan hak ekonomi, hak ekonomi mengandung nilai ekonomis, sedangkan hak moral sama sekali tidak memiliki nilai ekonomis.[1]

Hak moral ialah hak yang melekat kepada diri pencipta. Hak moral tidak dapat dihapus biarpun jangka waktu perlindungan hak cipta telah berakhir. Hak moral tidak dapat dialihkan selama pencipta masih, tetapi dapat dialihkan denga wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah pencipta meninggal dunia. Hak moral juga mencakup dalam hak-hak terkait (neighboring rights).[2]

Hak ekonomi merupakan hak bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapat nilai ekonomis atas ciptaannya. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemegang hak ekonomi ialah: penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuk; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian; pengaransemen atau pentrasformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukkan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan.[3]

Hak–hak tersebut tidak hanya memberi keuntungan terhadap diri pribadi namun juga memberikan harapan kepada pertumbuhan ekonomi kreatif, perkembangan ekonomi kreatif yang pesat perlu dibentengi dengan perlindungan hukum mengigat hak cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional.[4]

Karya arsitektur termasuk sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal tersebut berbunyi:

“Pasal 40

(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:

a.buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b.ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c.alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d.lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e.drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f.karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

g.karya seni terapan;

h.karya arsitektur;

i.peta;

j.karya seni batik atau seni motif lain;

k.karya fotografi;

l.Potret;

m.karya sinematografi;

n.terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

o.terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

p.kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;

q.kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

r.permainan video; dan

s.Program Komputer.”

Selain hasil karya yang dilindungi, terdapat juga hasil karya yang tidak dilindungi hak cipta berdasarkan pasal 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu:

“Pasal 41

Hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi:

a.hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;

b.setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan

c.alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.

“Pasal 58

1.Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:

a.buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b.ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c.alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d.lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e.drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f.karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

g.karya arsitektur;

h.peta; dan

i.karya seni batik atau seni motif lain,

berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.

Pasal 59

1.Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:

a.karya fotografi;

b.Potret;

c.karya sinematografi;

d.permainan video;

e.Program Komputer;

f.perwajahan karya tulis;

g.terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

h.terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

i.kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer atau media lainnya; dan

j.kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli,

berlaku selama 50 (1ima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman.

Dalam penjelasan pada Pasal 40 huruf h Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan karya arsitektur antara lain, wujud fisik bangunan, penataan letak bangunan, gambar rancangan bangunan, gambar teknis bangunan, dan model atau maket bangunan. Dari penjelasan mengenai pengertian karya arsitektur ini dapat dilihat bahwa suatu karya arsitektur tidaklah harus berbentuk bangunan nyata, melainkan cukup dengan adanya gambar rancangan saja sudah dapat dinyatakan sebagai suatu karya arsitektur.[1]

Berdasarkan penjelasan tersebut, Gambar rancangan arsitektur yang didesain melalui program komputer pun dapat mengalami pengubahan yang tidak akan dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, jika pengubahan tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis[na1] , sesuai dengan ketentuan pada Pasal 44 ayat 1 dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Adapun bunyi pasal tersebut ialah:

“Pasal 44

(1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:

a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;

b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;

c.ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

d.pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta

(3)Dalam hal Ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.”

Selanjutnya mengenai siapa yang berhak atas hak cipta dari suatu karya arsitektur yang didesain pada suatu program komputer dapat diketahui berdasarkan perjanjian yang dilakukan oleh para pihak. Dalam membuat karya arsitektur dengan menggunakan program komputer, sebelum digunakan, pencipta karya harus menyetujui syarat dan ketentuan penggunaan yang tercantum pada kebijakan program komputer. Dalam hal syarat dan ketentuan penggunaan menetapkan bahwa hak cipta atas ciptaan direncanakan untuk diproduksi dimana pencipta yang menggunakan program komputer menyetujui syarat dan ketentuan penggunaan, maka hak cipta atas ciptaan tersebut akan menjadi diproduksi dengan tunduk pada perjanjian kepemilikan hak cipta yang ditetapkan berdasarkan syarat dan ketentuan yang telah disetujui sebelumnya oleh pengguna yang tercantum pada kebijakan program komputer.

Kemungkinan terjadinya pelanggaran hak cipta pada karya arsitektur tergolong cukup tinggi. Pelanggaran Hak Cipta pada karya arsitektur dapat berupa dilakukannya peniruan atau penjiplakan secara penuh dan utuh suatu karya cipta arsitektur tanpa seizin pencipta yang bersangkutan, juga dapat berupa meniru, menambah, merubah, beberapa bentuk dari karya cipta arsitektur tanpa seizin pencipta sehingga menghasilkan karya cipta arsitektur baru. Pelanggaran Hak Cipta peniruan terkait karya arsitektur ini berupa kemiripan hingga nyaris serupa antara karya arsitektur yang satu dengan yang lainnya. Hak Cipta merupakan permasalahan budaya dan paradigma dalam pandangan tradisional yang hingga saat ini belum sepenuhnya lenyap, bahwasanya anggapan masyarakat suatu ciptaan selaku milik bersama dan walaupun hak individu atas ciptaan mendapatkan pengakuan, tetapi bentuk yang lebih ditonjolkan lebih pada perspektif moral Hak Cipta ketimbang nilai ekonomisnya.[1] Apabila karya arsitektur dari seorang arsitek dijiplak atau ditiru tanpa izin, ia akan mengalami kerugian dari segi ekonomi maupun segi moral. Pencipta dapat manfaat ekonomi atas ciptaannya sendiri serta produk terkait karena Hak Ekonomi tersebut.[2]

Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di dalamnya mengatur perlindungan yang diberikan untuk para pencipta atas karyanya dimana disebutkan:

“Pasal 9

(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”

Kemudian Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur hak ekonomi dari pencipta dan pemegang hak cipta sebagaimana berbunyi:

“Pasal 9

(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:

a.penerbitan Ciptaan;

b.Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;

c.penerjemahan Ciptaan;

d.pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;

e.Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;

f.pertunjukan Ciptaan;

g.Pengumuman Ciptaan;

h.Komunikasi Ciptaan;

i.penyewaan Ciptaan.

Hal ini mendukung pihak pencipta agar apabila terjadi kasus peniruan karya cipta arsitektur, sudah merupakan pelanggaran Hak Cipta. Dengan adanya hak ekonomi, melarang orang lain menggunakan suatu karya cipta dengan tujuan mengkomersialkannya tanpa seizin pencipta. Maksud dari menggunakan karya tersebut untuk komersial sebagai halnya diatur dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu pemanfaatan ciptaan dan/atau produk terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.[1]

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mengatur secara detail mengenai pokok-pokok dari karya arsitektur yang dapat dilindungi sebagai syarat penilaian untuk menentukan suatu karya arsitektur bisa dikatakan sebagai karya orisinil atau karya hasil menjiplak dari karya lain. Dari segi hak moral dan juga hak ekonomi, perbuatan menjiplak karya arsitektur tanpa mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengkomersialkannya merupakan suatu pelanggaran.[2]

Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur bahwa gugatan perdata dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta karya arsitektur yang mengalami kerugian karena terjadi pelanggaran atas karyanya. Adapun bunyi pasal tersebut ialah:

“Pasal 99

  • Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait.”

Tidak hanya gugatan perdata yang dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang, tuntutan pidana juga dapat diajukan terhadap pelaku pelanggaran hak cipta karya arsitektur tanpa izin pencipta yang karya baru dari hasil peniruan tersebut dikomersialisasikan. Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur ketentuan pidananya yang berbunyi:

“Pasal 113

melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta yang berbentuk penerbitan Ciptaan, segala bentuk penggandaan ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, dan/atau pengumuman ciptaan untuk digunakan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Semenjak berlakunya Undang – Undang Hak Cipta terbaru yakni Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa pelanggaran Hak Cipta merupakan delik aduan, sebagai halnya tercantum dalam Pasal 120 UU Hak Cipta tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini merupakan delik aduan. Bisa disimpulkan bahwa harus ada orang yang melapor dahulu dengan permintaan untuk melakukan tuntutan terhadap orang atau pihak tertentu agar tindak pidana dapat dilakukan penuntutan.[1] Harapan kedepannya terjadinya suatu pelanggaran hak cipta bisa dicegah dengan adanya pengaturan serta sanksi pidana yang besar, terutama di bidang karya arsitektur yang memiliki kemungkinan terjadinya suatu pelanggaran hak cipta di kemudian hari. Sangat dianjurkan kepada pencipta maupun pemegang hak cipta agar karya ciptanya dicatatkan, walaupun tidak memerlukan pencatatan karena Hak Cipta bersifat otomatis yang muncul ketika sebuah karya telah tercipta. Apabila di kemudian hari terjadi sengketa atas suatu karya cipta, Surat Pencatatan Ciptaan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan.[2] Oleh karena itu, penting untuk mencatatkan karya arsitektur sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek yang mengatur bahwa arsitek berhak mendaftarkan kekayaan intelektual atas hasil karyanya.


[1] Jamba, Padrisan, Analisis Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia, Jurnal: Cahaya Keadilan, Tahun 2015, hal. 34-35

[2] Maharani, Desak Komang Lina, and I. Gusti Ngurah Parwata, Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019): 9



[1] Yogiswari, Ni Made Dharmika, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Hak Cipta Lagu Terhadap Kegiatan Aransemen, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya Hukum Udayana 8, no. 5 Tahun 2020, hal. 703

[2] Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Op. Cit., hal 338



[1] Ambarwati, Ni Made Denny, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Komik Terkait Pembajakan Komik Pada Situs Online, Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 Tahun 2019, hal. 7

[2] Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Perlindungan Hukum Terkait Pelanggaran Atas Hak Cipta Terhadap Karya Arsitektur Lanskap, dalam Jurnal Kertha Negara Vol. 9, No. 5 Tahun 2021, hlm. 337


[1] Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015)

[2] Khwarizmi Maulana Simatupang, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital, dalam Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 15, No. 1, Maret 2021, hal. 71

[3] Loc. cit

[4] Ahmad M. Ramli, Hak Cipta Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif (Bandung: P,T. ALUMNI, 2018)


[1] Leonard Julio Axel Mahal, Perlindungan Hukum Atas Rumah Adat Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, dalam Jurnal Dharmasisya Vol. 1, No.1, Maret 2021, hlm. 523.

[2] Eko Budihardjo, Arsitek Bicara Tentang Arsitektur Indonesia, (Alumni, Bandung, 1987), hal. 75.

[3] Hendraningsih, Peran, Kesan, dan Bentuk-bentuk Arsitektur, (Djambatan, Bandung, 1985), hal. 5.

[4] H.K. Ishar, Pedoman Umum Merancang Bangunan, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985), hal. 75.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 28 of 2014 concerning the Copyright
  2. Law Number 6 of 2017 concerning Architect

REFERENCE:

  1. Leonard Julio Axel Mahal, Perlindungan Hukum Atas Rumah Adat Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, dalam Jurnal Dharmasisya Vol. 1, No.1, Maret 2021
  2. Eko Budihardjo, Arsitek Bicara Tentang Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung, 1987
  3. Hendraningsih, Peran, Kesan, dan Bentuk-bentuk Arsitektur, Djambatan, Bandung, 1985.
  4. H.K. Ishar, Pedoman Umum Merancang Bangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985.
  5. Ambarwati, Ni Made Denny, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Komik Terkait Pembajakan Komik Pada Situs Online, Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (2019)
  6. Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Perlindungan Hukum Terkait Pelanggaran Atas Hak Cipta Terhadap Karya Arsitektur Lanskap, dalam Jurnal Kertha Negara Vol. 9, No. 5 Tahun 2021.
  7. Yogiswari, Ni Made Dharmika, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Hak Cipta Lagu Terhadap Kegiatan Aransemen, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya Hukum Udayana 8, no. 5 (2020)
  8. Jamba, Padrisan, Analisis Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia, Jurnal: Cahaya Keadilan, (2015)
  9. Maharani, Desak Komang Lina, and I. Gusti Ngurah Parwata, Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019)
  10. Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015)
  11. Khwarizmi Maulana Simatupang, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital, dalam Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 15, No. 1, Maret 2021
  12. Ahmad M. Ramli, Hak Cipta Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif (Bandung: P,T. ALUMNI, 2018)

The development of development in Indonesia cannot be separated from the role of architects who produce copyrighted works in the field of architecture, this can be seen clearly, especially the development of the physical aspect, where there are so many beautiful and magnificent buildings with architectural styles that vary from one to another. other. The construction of the building can be in the form of residential houses, offices, shopping centers, recreation centers, and others, which have distinctive and unique artistic values ​​with beautiful architectural styles. However, in Indonesia itself, the protection and discussion of the protection of architectural works is also rarely discussed, especially because there is still a lack of awareness about the protection of architectural works. Based on this, the question arises, how should copyright protection be applied to architectural works designed using computer programs?

In general, architecture is defined as the art of creating spaces and buildings to provide a forum for common life. Furthermore, according to Van Ramondt, a professor at the Bandung Institute of Technology (ITB), architecture is a space where people live happily. Architecture in the above sense is only associated with the creation of beautiful buildings and rooms and only as a place for human life. Architecture is the art of designing buildings so that they have aesthetic/beauty values. Beauty is values ​​that are pleasing to the eye, mind and ear.

While a computer program has an understanding based on Article 1 number 9 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely:

“Article 1

9.Computer Program is a set of instructions that are expressed in the form of language, code, scheme, or in any form intended for computers to work to perform a certain function or to achieve a certain result.”

The definition of Copyright itself is stated in Article 1 number 1 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright which states that: 

“Article 1

1.Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is realized in tangible form without reducing restrictions. in accordance with the provisions of the legislation.”

Copyright is born and arises from the results of human thought in the fields of science, art, and literature. Copyright arises automatically as soon as a work is born. Copyright is a civil right attached to the creator. Copyright is a private right. The justification is because a creation is born by the creator’s creation. Creations that arise from the thought and creativity of the creator. A copyright must be born from human creativity, not something that already exists outside the activity or the result of human creativity. Copyright is an exclusive right which consists of moral rights and economic rights. It is called an exclusive right because the right is only reserved for the creator, thus prohibiting/restricting other parties from using the right without the author’s permission. Copyright holders who are not creators only have part of the exclusive rights, namely in the form of economic rights. Moral rights are distinguished from economic rights, economic rights contain economic value, while moral rights have no economic value at all.

Moral rights are rights attached to the creator. Moral rights cannot be removed even after the copyright protection period has expired. Moral rights cannot be transferred as long as the creator is still alive, but can be transferred by will or other reasons in accordance with the provisions of the legislation after the author dies. Moral rights also include neighboringrights.

Economic rights are the rights for creators or copyright holders to get economic value for their creations. Activities that economic rights holders can perform are: publication of inventions; duplication of creation in all forms; translation of inventions; adaptation; arrangement or transformation of the invention; distribution of creations or copies thereof; invention show; announcement of invention; creative communication; and rental of inventions.

These rights not only provide personal benefits but also give hope to the growth of the creative economy, the rapid development of the creative economy needs to be fortified with legal protection considering that copyright is the most important basis of the national creative economy.

Architectural works are included as one of the protected works under Article 40 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The article reads:

“Article 40

(1)Protected works include works in the fields of science, art, and literature, consisting of:

a.books, pamphlets, presentations of published works, and all other written works;

b.lectures, lectures, speeches, and other similar creations;

c.teaching aids made for the benefit of education and science;

d.songs and/or music with or without subtitles;

e.drama, musical drama, dance, choreography, wayang, and mime;

f.works of art in all forms such as paintings, drawings, carvings, calligraphy, sculptures, sculptures, or collages;

g.applied art;

h.architectural works;

i.map;

j.batik art or other motif art;

k.photographic works;

l.Portrait;

m.cinematographic works;

n.translation, interpretation, adaptation, anthology, database, adaptation, arrangement, modification and other works resulting from the transformation;

o.translation, adaptation, arrangement, transformation, or modification of traditional cultural expressions;

p.compilation of Works or data, either in a format that can be read with a Computer Program or other media;

q.a compilation of traditional cultural expressions as long as the compilation is an original work;

r.video games; and

s.Computer program.”

In addition to protected works, there are also works that are not protected by copyright under Article 41 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely:

“Article 41

Works that are not protected by copyright include:

a. works that have not been realized in real form;

b. any ideas, procedures, systems, methods, concepts, principles, findings or data even though they have been expressed, stated, described, explained, or combined in a Work; and

c. a tool, object, or product that is created only to solve a technical problem or whose form is only intended for functional needs.”

Classification of protection against a copyright is divided into protection for 70 years, 50 years and 25 years depending on the creation. Protection for architectural works is valid for the lifetime of the creator and continues for 70 years after the author’s death, while protection for computer programs is valid for 50 (fifty) years since the announcement was made, in accordance with the contents Article 58 paragraph (1) and 59 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The article reads:

“Article 58

(1)Copyright Protection of Works:

a.books, pamphlets, and all other written works;

b.lectures, lectures, speeches, and other similar creations;

c.teaching aids made for the benefit of education and science;

d.songs or music with or without subtitles;

e.drama, musical drama, dance, choreography, wayang, and mime;

f.works of art in all forms such as paintings, drawings, carvings, calligraphy, sculptures, sculptures, or collages;

g.architectural works;

h.map; and

i.a batik art work or other motif art,is valid for the life of the Creator and continues for 70 (seventy) years after the Creator’s death, commencing on January 1 of the following year.

“Article 59

(1)Copyright Protection of Works:

a.photographic works;

b.Portrait;

c.cinematographic works;

d.video games;

e.Computer program;

f.the appearance of the written work;

g.translation, interpretation, adaptation, anthology, database, adaptation, arrangement, modification and other works resulting from the transformation;

h.translation, adaptation, arrangement, transformation or modification of traditional cultural expressions;

i.compilation of Works or data, whether in a format that can be read by Computer Programs or other media; and

j.compilation of traditional cultural expressions as long as the compilation is an original work,

valid for 50 (fifty) years from the first announcement.

In the explanation of Article 40 letter h of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, it is stated that what is meant by architectural works include, among others, the physical form of the building, the layout of the building, drawings of building designs, technical drawings of buildings, and building models or mockups. From the explanation of the meaning of this architectural work, it can be seen that an architectural work does not have to be in the form of a real building, but it is sufficient that the design drawing alone can be declared as an architectural work.

Based on the explanation above, Architectural design drawings designed through computer programs can also undergo changes that will not be considered as copyright infringement, if the changes are made based on considerations of technical implementation, in accordance with the provisions of Article 44 paragraph 1 and paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The article reads as follows:

“Article 44

(1)The use, retrieval, reproduction, and/or modification of a Work and/or Related Rights product in whole or in part substantially is not considered a Copyright infringement if the source is mentioned or fully stated for the purposes of:

a.education, research, writing scientific papers, compiling reports, writing criticism or reviewing a problem without prejudice to the reasonable interests of the Author or Copyright Holder;

b.security and administration of government, legislature and judiciary;

c.lectures for educational and scientific purposes only; or

d.performances or performances that are free of charge provided that they do not harm the reasonable interests of the Author

(3)In the event that the Creation is in the form of an architectural work, the alteration as referred to in paragraph (1) shall not be considered as a Copyright infringement if it is carried out based on considerations of technical implementation.”

Furthermore, who is entitled to the copyright of an architectural work designed on a computer program can be known based on an agreement made by the parties. In making architectural work in a computer program, of course, before using the computer program, the creator of the work must agree to the terms and conditions of use of the computer program. If the terms and conditions of use regulate the copyright of a work to be produced, and the user of the computer program agrees to the terms and conditions of use, then the copyright of the work to be produced follows the copyright ownership agreement contained in the terms and conditions. terms that have been previously agreed upon by the user of the computer program.

The possibility of copyright infringement on architectural works is quite high. Copyright infringement on architectural works can be in the form of imitation or replication in full and intact an architectural copyrighted work without the permission of the relevant creator, it can also be in the form of imitating, adding, changing, several forms of architectural copyrighted works without the permission of the creator so as to produce new architectural works. Copyright infringement of imitation related to this architectural work is in the form of similarities to almost the same between one architectural work and another. Copyright is a cultural and paradigm problem in the traditional view which until now has not completely disappeared, that the community assumes a creation as a common property and even though individual rights to a work get recognition, the form that is highlighted is more in the moral perspective of Copyright than its economic value. If the architectural work of an architect is replicated or imitated without permission, he will experience losses from an economic and moral point of view. The creator gets economic benefits from his own creation and related products because of the Economic Rights.

Article 9 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright in it regulates the protection given to creators for their works where it is stated:

“Article 9

(3) Any person without the permission of the Author or Copyright Holder is prohibited from Reproduction and/or Commercial Use of Works.”

Then Article 9 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright regulates the economic rights of creators and copyright holders as follows:

“Article 9

(1)The Creator or Copyright Holder as referred to in Article 8 has economic rights to:

a.publication of Works;

b.Reproduction of Works in all its forms;

c.translation of Works;

d.adapting, arranging, or transforming the Works;

e.Distribution of Works or copies thereof;

f.performances of Creation;

g.Announcement of Works;

h.Creative Communications;

i.rental of Works.

This supports the creator so that if there is a case of imitation of architectural copyrighted works, it is already a Copyright violation. With the existence of economic rights, prohibiting other people from using a copyrighted work with the aim of commercializing it without the permission of the creator. The purpose of using the work for commercial purposes is as regulated in Article 1 number 24 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely the use of related works and/or products with the aim of obtaining economic benefits from various sources or paid.

Law Number 28 of 2014 concerning Copyright has not regulated in detail the main points of architectural works that can be protected as a condition of assessment to determine that an architectural work can be said to be an original work or a work of imitation from other works. In terms of moral rights as well as economic rights, the act of replicating architectural works without obtaining permission from the creator or copyright holder to commercialize them is a violation.

Article 99 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright stipulates that a civil lawsuit can be filed by the creator or copyright holder of architectural works who suffer losses due to infringement of their works. The article reads as follows:

“Article 99

(1)Authors, Copyright Holders, or Related Rights owners have the right to file a claim for compensation to the Commercial Court for infringement of Copyright or Related Rights products.”

Not only civil lawsuits that can be filed by creators or holders, criminal charges can also be filed against perpetrators of copyright infringement of architectural works without the permission of the creator whose new works of imitation are commercialized. Article 113 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright regulates the criminal provisions which read:

“Article 113

(3)violates the economic rights of the Creator in the form of publishing the work, all forms of duplicating the work, distributing the work or copies thereof, and/or publishing the work. for commercial use shall be punished with imprisonment for a maximum of 4 (four) years and/or a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).”

Since the enactment of the latest Copyright Law, namely Law no. 28 of 2014 concerning Copyright states that Copyright infringement is a complaint offense, as stated in Article 120 of the Copyright Law, a criminal act as referred to in this law is a complaint offense. It can be concluded that there must be someone who reports first with a request to make a claim against a certain person or party so that a criminal act can be prosecuted. It is hoped that in the future the occurrence of a copyright infringement can be prevented by the existence of regulations and large criminal sanctions, especially in the field of architectural works which have the possibility of a copyright infringement in the future. It is highly recommended to creators and copyright holders that their copyrighted work be registered, even though it does not require registration because Copyright is automatic which appears when a work has been created. If in the future there is a dispute over a copyrighted work, the Copyright Registration Letter can be used as evidence in court. Therefore, it is important to register architectural works as regulated in Article 21 of Law Number 6 of 2017 concerning Architects which stipulates that architects have the right to register intellectual property for their works.

Translate