Urgensi Pengaturan Regulasi Khusus Tembakau Alternatif di Indonesia

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Megarini Adila Lubis

          Produksi tembakau menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat besar dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Tembakau Indonesia menjadi salah satu komoditas ekspor yang menghasilkan devisa yang besar bagi Indonesia dengan nilai ekspor mencapai Rp1,06 triliun pada periode Januari-Desember 2021.[1] Industri Hasil Tembakau (IHT) juga memberikan peran penting dalam perekonomian Indonesia dalam hal penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai, serta merupakan komoditas penting bagi petani berupa tembakau dan cengkeh.[2] Besarnya produksi tembakau juga sejalan dengan tingginya tingkat konsumsi tembakau oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga yang menjadikan Indonesia peringkat ketiga perokok terbanyak di dunia.[3] Indonesia termasuk dalam bagian negara yang memiliki jumlah perokok yang tinggi, yaitu di atas 40 persen dengan 65 persen di antaranya adalah pria dewasa.[4]

          Tingginya jumlah perokok di Indonesia juga ditengarai dengan adanya perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup yang sejalan dengan munculnya inovasi baru melalui produk tembakau alternatif. Bahkan penerimaan negara dari cukai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya mencapai Rp 680,36 miliar pada 31 Desember 2021, yang mana sebagian besar disumbang oleh HTPL produk ekstrak dan esens tembakau cair.[5] Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, yang termasuk tembakau alternatif adalah Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HTPL). Hal ini dijelaskan pada Pasal 1 Angka 4 dan Angka 5, bahwa:

“Pasal 1

4. Rokok Elektrik adalah Hasil Tembakau berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya, yang berasal dari pengolahan daun tembakau yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya, yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran, yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektrik kemudian dihisap.

5. Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya yang selanjutnya disingkat HPTL adalah Hasil Tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, Tembakau Iris, dan Rokok Elektrik yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.”[6]

Selanjutnya pada Pasal 2 Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya menjelaskan yang termasuk kepada Rokok Elektrik adalah Rokok Elektrik Padat, Rokok Elektrik Cair Sistem Terbuka dan Rokok Elektrik Cair Sistem Tertutup. Pasal 3 menjabarkan mengenai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) termasuk kepada Tembakau Molasses, Tembakau Hirup (Snuff Tobacco) dan Tembakau Kunyah (Chewing Tobacco).

Dengan berkembangnya tembakau alternatif di Indonesia, sejumlah asosiasi konsumen di Indonesia mendorong adanya perluasan akses informasi yang komprehensif dan akurat terhadap produk tembakau alternatif.[7] Perluasan informasi mengenai tembakau alternatif ini penting untuk menegaskan kepada konsumen, bahwa tembakau alternatif dan rokok konvensional merupakan produk yang berbeda. Mengacu kepada penelitian produk tembakau alternatif Risk Assessment of E-Liquid dan Oral Health Findings yang dilakukan oleh Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), produk dari hasil pengembangan inovasi teknologi yang termasuk pada tembakau alternatif tidak memiliki kandungan zat berbahaya seperti TAR, sehingga produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.[8] Penelitian ini diperkuat dengan kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England pada tahun 2018 dan German Federal Institute for Risk Assessment yang mana dalam publikasi hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, menjelaskan produk tembakau yang dipanaskan menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran, sehingga hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok.[9]

Dengan adanya penelitian ilmiah mengenai tembakau alternatif, diharapkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya melakukan kajian yang lebih serius mengenai hal ini agar dapat merancang regulasi-regulasi yang sesuai dan penggunaan produk tembakau alternatif menjadi tepat sasaran. Di negara lain, seperti Jepang, Inggris dan Selandia Baru, tembakau alternatif sudah memiliki legalitas . Melansir Antaranews.com, Professor Tikki Pangestu, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menjelaskan produk tembakau alternatif di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya.[10] Badan Statistik Inggris mencatat angka perokok mengalami penurunan dari 14,4% pada 2018 menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019.[11]

Di Indonesia, pengaturan mengenai tembakau alternatif hanya diatur dalam Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan regulasi yang komprehensif dan menyeluruh untuk mengatur industri tembakau alternatif. Regulasi tersebut harus memuat hal-hal yang mengatur mengenai perlindungan hak konsumen, klasifikasi risiko tembakau alternatif berdasarkan kajian ilmiah yang melibatkan pemerintah, produsen, konsumen hingga praktisi kesehatan. Perlu juga diatur mengenai akses informasi dan pengaduan konsumen, standar produk dan pengemasan, penjualan, promosi, tempat dimana produk bisa dikonsumsi, serta batasan usia pengguna tembakau alternatif. Regulasi tembakau alternatif juga harus berbeda dengan regulasi rokok konvensional, karena tingkat bahaya kedua produk berbeda sehingga konsumen berhak atas informasi yang akurat.[12]

Dasar Hukum :

  • Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi :

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.

“Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.


[1] Muhammad Ghufron Ariawan. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses 07 Oktober 2022.

[2] Ibid.

[3] “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2/06/2021,https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Accessed 07 Oktober 2022.

[4] “62 Negara Terapkan Peraturan Produk Tembakau Alternatif.” JawaPos.com, 27 November 2018,https://www.jawapos.com/jpg-today/27/11/2018/62-negara-terapkan-peraturan-produk-tembakau-alternatif-2/. Diakses 7 Oktober 2022.

[5] Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021,https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.

[6] Pasal 1 Angka 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

[7] Vania Rossa dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.

[8] “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/.Diakses 8 Oktober 2022.

[9] Ibid.

[10] Ganet Dirgantoro dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Accessed 9 Oktober 2022

[11] Ibid.

[12] Banu Adikara, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.

Dasar Hukum:
Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi:

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.
  • “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.
0

Penerapan Perlindungan Hukum melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Alexandra Hartono Lee

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi  pada hari Selasa, 22 September 2022. Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) menyebut bahwa peraturan ini akan menjadi era baru dalam tata kelola data pribadi di dalam negeri, khususnya di ranah digital.[1] Dalam Rapat Paripurna tersebut, Menkominfo menjelaskan bahwa kehadiran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi  diartikan sebagai kehadiran negara dalam perlindungan data pribadi khususnya di ranah digital, serta sebagai payung hukum yang komprehensif yang berorientasi ke depan dari sisi hukum, karena mengenai data pribadi jika disebarkan pasti ada yang meng-copy atau menyimpan informasi tersebut. Sehingga meskipun telah diblokir, jejaknya pasti tetap tersimpan dan dapat diketahui masyarakat.[2] Berkaitan dengan perlindungan data pribadi ini telah diterangkan pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) yang berbunyi:

“Pasal 28 G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlidungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 28 H

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Mengenai perlindungan terhadap hak-hak pribadi atau hak privat akan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, meningkatkan hubungan antara individu dan masyarakatnya, meningkatkan kemandirian atau otonomi untuk melakukan kontrol dan mendapatkan kepantasan, serta meningkatkan toleransi dan menjauhkan dari perlakuan diskriminasi maka perlu adanya peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan menjamin untuk melindungi warga negaranya dengan memiliki regulasi.[3] Saat ini Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi berbentuk draf final naskah rancangan undang-undang, mengenai data pribadi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, menyatakan:

“Pasal 1

  1. Data Pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang
    teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan/atau nonelektronik”.

Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi:[4]

  1. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi akan mengatur tentang kategorisasi data. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi membedakan data pribadi menjadi data pribadi yang bersifat umum dan yang bersifat spesifik. Data umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan/atau data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang. Sedangkan data spesifik meliputi data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Hak-hak subjek data, termasuk mendapatkan kejelasan identitas dan dasar kepentingan hukum, mendapatkan akses dan memperoleh salinan data pribadi, menarik kembali persetujuan pemrosesan data, menunda atau membatasi pemrosesan data pribadi, mengajukan keberatan atas penggunaan data pribadi, dan menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data;
  3. Kewajiban pengendali data, di antaranya menunjukkan bukti persetujuan dari subjek data, melakukan perekaman kegiatan pemrosesan data pribadi, melindungi dan memastikan keamanan data pribadi, dan menyampaikan legalitas, tujuan, dan relevansi pemrosesan data pribadi.
  4. Adanya lembaga perlindungan yang bertugas untuk melaksanakan perumusan dan penetapan kebijakan serta strategi perlindungan data pribadi. Kewenangan lembaga ini meliputi merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang perlindungan data pribadi, melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pengendali data pribadi, hingga menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran Perlindungan Data Pribadi.

Terhadap pihak-pihak yang melanggar serta melakukan peretasan, pembocoran dan pemalsu data pribadi maka akan mendapatkan sanksi yang mana diatur dalam Pasal 61 Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang menyatakan:

“Pasal 61

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dapat mengakibatkan kerugian Pemilik Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah)”.

Selain sanksi pidana terdapat juga pengenaan sanksi administratif terhadap pengendali data pribadi (perorangan, badan publik, dan organisasi internasional) yang tidak memenuhi kewajibannya dalam mengendalikan pemrosesan data pribadi, dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi, penghapusan atau pemusnahan Data Pribadi, dan/atau denda administratif paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari pendapatan tahunan terhadap variabel pelanggaran.[5]

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, diharapkan industri menjadi terdorong untuk menaikkan standar perlindungan data pribadinya dalam mengembangkan teknologi yang baru dalam rangka menghormati hak asasi manusia akan privasi data. Perlindungan data pribadi dalam menjamin keamanan data pribadi sebagai pemenuhan hak atas privasi masyarakat Indonesia saat ini belum berjalan maksimal, hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pelanggaran terhadap penyalahgunaan data pribadi akibat dari semakin berkembangnya penggunaan digital platform yang tidak disertai dengan perlindungan hukum yang memadai. Maka dari itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diharapkan untuk mengisi adanya kekosongan hukum terkait dengan perlindungan data pribadi. Karena perlindungan hukum terhadap keamanan data pribadi merupakan kewajiban konstitusi perwujudan perlindungan negara atas pemenuhan hak privasi warga negaranya.

Dasar Hukum:

Undang-Undang 1945

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

Referensi:

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi & Konvergensi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010.


https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220920112647-37-373510/tok-indonesia-resmi-punya-uu-perlindungan-data-pribadi

https://aptika.kominfo.go.id/2019/09/ruu-perlindungan-data-pribadi-untuk-antisipasi-penyalahgunaan-data/

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi & Konvergensi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 4

https://nasional.tempo.co/read/1637212/inilah-4-poin-penting-undang-undang-pelindungan-data-pribadi-uu-pdp

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220921084636-192-850574/5-poin-penting-uu-pdp-jerat-lembaga-lalai-hingga-hak-hapus-data

LEGAL PROTECTION FOR ONLINE STOCK TRADING INVESTORS IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope P. B.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Referensi:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia sebagai negara berkembang dimana masyarakat berorientasi keuangan jangka pendek (saving society) yakni menabung, sedangkan negara maju berorientasi jangka panjang (investing society) yakni investasi. Edukasi masyarakat secara intensif dan berkesinambungan dibutuhkan untuk transisi dari saving society ke investing society. Adanya investasi yang kurang memadai, akan kesulitan mencapai peningkatan perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraan ekonomi negara-negara berkembang.

Tujuan bisnis melakukan proyek perdagangan saham secara online adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk melakukan penjualan, pembelian, perubahan (amend), pembatalan (withdraw), memantau status pesanan jual beli secara realtime, memverifikasi portofolio, mengirimkan sejarah transaksi dan melacak harga saham secara realtime.
Investasi keuangan di bidang pasar modal semakin berkembang saat ini dan peningkatan teknologi informasi dan komunikasi internet of things mengakibatkan tidak diperlukannya lagi pertemuan secara fisik. Transaksi di perbankan dan pasar modal menjadi lebih mudah dan cepat karena dilakukan secara virtual. Kecepatan pelayanan investasi semakin meningkat karena kehadiran internet of things.

Pasar modal berperan penting bagi sistem ekonomi di Indonesia karena pasar modal melaksanakan peran sebagai sarana pendanaan usaha atau sarana perusahaan untuk memperoleh dana dari investor serta sebagai sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan. Pasar modal atau capital market merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik surat utang, saham, maupun instrumen lainnya.

Situasi yang berkembang pesat saat ini, penggunaan salah satu aplikasi berbasis online sudah tersebar di masyarakat yaitu aplikasi saham online yang digunakan masyarakat sebagai pelaku investor dalam pasar modal. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) yang dimana pasar modal mempunyai tempat strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Hal tersebut menarik minat masyarakat dengan kegiatan trading saham online. Sehingga sebelum masyarakat melakukan kegiatan trading saham online, masyarakat perlu mengetahui prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, yaitu prinsip keterbukaan.

Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 1

25. Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut”.

Prinsip keterbukaan dalam pasar modal berlaku umum termasuk dalam ranah internasional menjadi hal yang sangat mutlak untuk dilakukan oleh semua pihak. Berbeda dengan sektor perbankan dimana prinsip kerahasiaan bank merupakan hal yang mutlak untuk ditaati, sektor pasar modal menetapkan hal yang sebaliknya, disclosure atau keterbukaan merupakan hal mutlak. Emiten, perusahaan publik, atau pihak lain yang terkait wajib memberikan informasi penting yang berhubungan dengan tindakan atau efek perusahaan tersebut pada waktu yang tepat kepada masyarakat. Emiten wajib memberikan informasi yang lengkap dan akurat. Lengkap maksudnya informasi yang diberikan utuh, tidak ada yang tertinggal, disembunyikan, disamarkan, atau tidak memberitahukan fakta material.

Terdapat beberapa perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal terhadap investor. Dalam rangka mencapai tujuan menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar, dan efisien Bursa efek wajib menyediakan sarana pendukung dan mengawasi kegiatan anggota bursa efek sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kemudian demi menjaga tujuan menyelenggarakan perdagangan efek tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal juga telah menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan oleh perusahaan efek atau penasihat investasi.

Larangan-larangan yang diatur terhadap perusahaan efek atau penasihat investasi sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 35
Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang:
a. menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah;
b. mengungkapkan nama atau kegiatan nasabah, kecuali diberi instruksi secara tertulis oleh nasabah atau diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mengemukakan secara tidak benar atau tidak mengemukakan fakta yang material kepada nasabah mengenai kemampuan usaha atau keadaan keuangannya;
d. merekomendasikan kepada nasabah untuk membeli atau menjual Efek tanpa memberitahukan adanya kepentingan Perusahaan Efek dan Penasihat Investasi dalam Efek tersebut”.

Dalam BAB XI Pasal 90-99 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah diatur mengenai penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Dalam pasal 90 misalnya yang berbunyi:
“Pasal 90
Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek”.

Terhadap ketentuan pasal tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur mengenai ketentuan sanksi yang dapat diterapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah dengan tegas mengatur perlindungan hukum terhadap investor yang melakukan transaksi dipasar modal. Begitupun dengan investor yang melakukan transaksi online meskipun belum ada pengaturan secara khusus namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tetap menjadi acuan apabila terjadi pelanggaran berupa penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam pada saat transaksi online dilaksanakan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang bersifat pencegahan dan pemberian sanksi, karena fungsi pengaturan dan pengawasan bidang jasa keuangan dipegang oleh OJK. Konsumen yang dimaksud memiliki pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pension, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan OJK, dimana perlindungan ini sifatnya mencegah kerugian, diantaranya:
a. Informasi dan edukasi tentang karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya diberikan pada masyarakat;
b. jika kegiatan yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) merugikan masyarakat maka kegiatan tersebut dapat diminta untuk dihentikan; dan
c. Ketentuan dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan mengatur tentang tindakan lain yang dapat dilakukan apabila dibutuhkan.

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan, bahwa pelayanan pengaduan konsumen dapat dilakukan OJK yang terdiri dari:
a. LJK menyediakan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan;
b. LJK membuat Mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan;
c. LJK memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.

Sebagai proyeksi lanjutan, jika investor dirugikan oleh kegiatan pemanfaatan jasa keuangan, maka investor berhak untuk mengadukan hal ini kepada layanan konsumen OJK. Sebagai otoritas pengawas tunggal dan terintegrasi bagi jasa keuangan di Indonesia, OJK berkewajiban untuk memperketat pengawasan terhadap sistem remote trading di bursa. Berdasarkan kasus diatas, jika kemudian hari terjadi lagi pengaduan oleh investor maka OJK berkewajiban untuk memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan (dalam kasus ini adalah Bursa Efek Indonesia) untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang merasa dirugikan tersebut.

Pertanggungjawaban pelaku usaha mengacu kepada Undang-Undang Pasar Modal diatur pada Pasal 46 Undang-Undang Pasar Modal dimana dikatakan bahwa kewajiban Kustodian yakni harus menyerahkan ganti kerugian kepada pemegang rekening atas kerugian yang timbul karena kesalahan yang dilakukannya. Namun dalam praktik pengaturan mengenai pelayanan/produk belum optimal memberikan perlindungan yang memadai sejak awal hingga penanganan dan penyelesaian sengketa. Sanksi yang didapatkan oleh pelaku usaha akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Perusahaan Efek dapat bertindak sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan manajer investasi yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk memberi kepastian hukum terhadap investor. Pertanggungjawaban pelaku usaha/perusahaan sekuritas akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online selain diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal juga diatur dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.

Legal Basis:

  1. Law Number 8 of 1995 concerning Capital Market
  2. Law Number 21 of 2011 concerning Financial Services Authority

Reference:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

The business goal of doing stock trading projects online is to provide opportunities for customers to make sales, purchases, changes, cancellations, monitor the status of buying and selling orders in real time, verify portfolios, send transaction history and track stock prices in real time. Financial investment in the capital market sector is growing at this time and the improvement in information technology and internet of things has resulted in no need for physical meetings. Transactions in banking and capital markets have become easier and faster since they are carried out virtually. The speed of investment services is increasing due to the presence internet of things.

The capital market plays an important role in the economic system in Indonesia since the capital market plays a role as a means of business funding or a means for companies to obtain funds from investors and as a means for the public to invest in financial instruments. The capital market is a market for various long-term financial instruments that can be traded, both debt securities, shares, and other instruments.

Currently the use of the online stock application has spread in the community. Based on Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, the capital market has a strategic role in national development as a business funding source and public investment media. This attracts people’s interest towards online stock trading. So that before people trade stocks online, people need to know the principles applicable in the capital market business, namely the disclosure principle.

The disclosure principle is a principle that applies in the capital market business, as regulated in Article 1 number 25 of Law Number 8 of 1996 concerning the Capital Market which states:
“Article 1

  1. The disclosure principle is the general guideline that requires an issuer, a public company and other persons subject to this law, to disclose to the public within a certain time, material information with respect to their business or securities, when such information may influence decisions of investors in such securities and/or the price of the securities”.

The disclosure principle in the capital market is generally accepted, including in the international world, which is obligatory for all parties. In contrast to the banking sector where the principle of bank secrecy is mandatory, the capital market sector stipulates the opposite, disclosure or openness is absolute. Issuers, public companies, or other related parties must provide important information related to the actions or securities of the company in a timely manner to the public. Issuers are required to provide complete and accurate information. Complete means that the information provided is complete, nothing is left behind, hidden, disguised, or does not reveal material facts.

There are several protections provided by Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market to investors. In order to achieve the goal of conducting securities trading in an orderly, fair and efficient manner, the Stock Exchange is required to provide supporting facilities and supervise the activities of securities exchange members as regulated in Article 7 paragraph (1) jo. Paragraph (2) of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market. Then in order to maintain the purpose of holding securities trading, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has also explained activities that are prohibited from being carried out by securities companies or investment advisors.

There are prohibitions regulated against securities companies or investment advisors as regulated in Article 35 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 35
Securities companies or investment advisors are prohibited from:
a. use influence or exert pressure that is contrary to the interests of the customer;
b. disclose the customer’s name or activities, unless given a written instruction by the customer or required by applicable laws and regulations;
c. disclose incorrectly or do not disclose material facts to customers regarding their business capabilities or financial condition;
d. recommend to clients to buy or sell Securities without notifying the existence of the Securities Company and Investment Advisor’s interest in the Securities”.

In Chapter XI Articles 90-99 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, it is already regulated regarding fraud, market manipulation, and insider trading. Article 90, for example, states:
“Article 90
In securities trading activities, each party is prohibited directly or indirectly from:
a. deceive or deceive other Parties by using any means and or means;
b. participate in deceiving or deceiving other Parties; and
c. make untrue statements regarding material facts or do not disclose material facts so that the statements made are not misleading regarding the conditions that occurred at the time the statement was made with the intention of benefiting or avoiding harm to oneself or another Party or with the aim of influencing another Party to buy or sell Securities”.

Against the provisions of that article, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has regulated the provisions of sanctions that can be applied as stipulated in Article 104 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 104
Any Party violating the provisions as referred to in Article 90, Article 91, Article 92, Article 93, Article 95, Article 96, Article 97 paragraph (1), and Article 98 are punishable by a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 15,000,000,000. ,00 (fifteen billion rupiah)”.

Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has clearly regulated legal protection for investors who conduct transactions in the capital market. Likewise with investors who conduct online transactions, although there is no specific regulation, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market remains a reference in the event of violations in the form of fraud, market manipulation and insider trading when online transactions are carried out.

The Financial Services Authority (OJK) provides legal protection for consumers that is preventive in nature and provides sanctions, since the regulatory and supervisory functions of the financial services sector are held by the OJK. Consumers have the meaning as regulated in Article 1 number 15 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority, states consumers are parties who place their funds and/or take advantage of services available at financial service institutions, including customers in banking, investors in the capital market, policyholders in insurance, and participants in pension funds, based on the laws and regulations in the financial services sector. Article 28 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority is a form of legal protection provided by the OJK, where this protection is to prevent losses, including:
a. Information and education concerning the characteristics of the financial services sector, services and products are provided to the public;
b. if the activities carried out by the Financial Services Institutions are detrimental to the community, the activities can be requested to be stopped; and
c. Provisions in the laws and regulations in the financial services sector regulate other actions that can be taken if needed.

Article 29 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority states that consumer complaints services can be carried out by the Financial Services Authority consisting of:
a. Financial Services Institutions provide adequate tools to service consumer complaints that are harmed;
b. Financial Services Institutions establish a mechanism for complaints of consumers who are harmed;
c. Financial Services Institutions facilitate the settlement of consumer complaints that are harmed in accordance with the laws and regulations in the financial services sector.

As a further projection, if investors are harmed by the use of financial services, investors have the right to complain concerning this to the Financial Services Authority’s consumer services. As the sole and integrated supervisory authority for financial services in Indonesia, the Financial Services Authority is obliged to tighten supervision of remote trading systems on the stock exchange. Based on the above case, if in the future there is another complaint by the investor, the Financial Services Authority is obliged to order or take certain actions to the financial service institution (in this case the Indonesia Stock Exchange) to resolve the consumer complaint who feels aggrieved.

The liability of business actors refers to the Capital Market Law as regulated in Article 46 of the Capital Market Law where it is stated that the Custodian’s obligation is to submit compensation to the account holder for losses arising from his/her mistakes. However, in practice the regulation regarding services/products has not been optimal in providing adequate protection from the beginning to handling and resolving disputes. Sanctions obtained by business actors due to losses experienced by online investors are administrative, civil and criminal sanctions. Securities Companies can act as underwriters, securities brokers and investment managers who have roles and responsibilities to provide legal certainty to investors. The liability of business actors/securities companies due to losses experienced by online investors not only regulated in the Capital Market Law apart from regulated in the Financial Services Authority Law.

Implementasi Pengurangan Energi Fosil untuk Penyediaan Tenaga Listrik

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-Author: Fikri Fatihuddin

Di Eropa Barat, kampanye tentang pengurangan energi fossil sangat gencar. Banyak brand menetapkan tujuan ambisius untuk mengurangi jejak karbon mereka, namun, banyak dari konsultan Public Relation (PR) yang terus bekerja dengan brand bahan bakar fosil. Clean Creatives, himpunan praktisi PR dan periklanan yang berkomitmen untuk mengkomunikasikan secara terbuka mengenai perubahan iklim, baru-baru ini mengumumkan sebuah kampanye untuk menghimpun dukungan lebih banyak dari profesional PR dan periklanan di Asia Pasifik. Tujuan dari kampanye ini adalah agar 500 agensi dan atau profesional di Asia melakukan Clean Creative Pledge. Komitmen tersebut merupakan perjanjian yang dilakukan oleh agensi dan praktisi PR dan periklanan untuk tidak menerima kontrak baru dari perusahaan yang berasal dari industri bahan bakar fosil. Duncan Meisel, pendiri Clean Creatives, menargetkan untuk menjangkau setidaknya 1.000 profesional PR di Asia Pasifik pada akhir tahun 2022 melalui pertemuan, kampanye media, pemasaran langsung, dan pemberian edukasi yang berfokus pada industri komunikasi di Asia Tenggara[1].

Melihat dari kampanye yang dilakukan oleh praktisi PR tentang pemutusan hubungan usaha dengan brand yang masih menggunakan energi fosil, maka kekhawatiran tersebut telah ada di Indonesia sejak lama. Bahkan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah memunculkan narasi tentang Indonesia darurat energi pada tahun 2018. Dalam narasi tersebut, memaparkan data tentang menurunnya produksi energi fossil, dan meningkatnya konsumsi energi fossil. Kemudian, beberapa negara telah mengembangkan energi terbarukan, sehingga dapat mengatasi ketersediaan energi di masa mendatang[2].

Meskipun dalam kampanye oleh praktisi PR memiliki semangat yang baik agar mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, akan tetapi praktisi PR tetap perlu memperhatikan langkah-langkah yang dilakukan agar tidak bertentangan dengan hukum. Pengurangan hubungan perjanjian dengan industri bahan bakar fosil tidak dapat diartikan sebagai pembenaran agar melakukan pembatalan perjanjian secara sepihak. Hal tersebut sebagaimana disebutkan pada Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang berbunyi:

Pasal 1338

(2) Perjanjian tidak dapat ditarik Kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak

Maka, untuk praktisi PR yang masih terikat dengan perjanjian dengan perusahaan dibidang industry bahan bakar fosil perlu menyelesaikan perjanjian tersebut, kecuali kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian.

Energi di Indonesia telah diatur sebelumnya oleh UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi). Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika[3]. Keberadaan pengaturan terhadap energi agar menjaga ketahanan energi di Indonesia serta sebagai usaha Negara Indonesia menuju kemandirian energi yang dicita-citakan. Ketahanan tersebut juga didukung oleh keberagaman sumber daya alam yang dimiliki oleh Negara Indonesia, baik energi fosil (tak terbarukan) maupun energi terbarukan.

Berdasarkan UU Energi, sumber energi terbagi menjadi sumber energi tak terbarukan, sumber energi baru, dan sumber energi terbarukan. Sumber energi tak terbarukan, diterangkan oleh Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 2007 yang berbunyi:

Pasal 1

8. Sumber energi tak terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus, antara lain minyak burni, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpih bitumen”

Untuk sumber energi baru diterangkan oleh Pasal 1 angka 4 UU No. 30 Tahun 2007 yang berbunyi:

Pasal 1

4. Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal)”

Sementara, untuk sumber energi terbarukan diterangkan pada Pasal 1 angka 6 UU No. 30 Tahun 2007 yang berbunyi:

Pasal 1

6. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelala dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.”

Dari ketentuan umum UU Energi, dapat dinyatakan bahwa pembentuk peraturan sendiri telah menyadari keberadaan energi terbarukan, yang mana apabila dikelola dengan baik, energi tersebut dapat digunakan berkelanjutan. Energi terbarukan terdiri dari:

  1. Panas bumi;
  2. Angin;
  3. Bio-energi;
  4. Sinar matahari;
  5. Aliran dan terjunan air;
  6. Gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Pada tahun 2022, dibentuknya Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menjadi langkah nyata atas upaya Pemerintah melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan dalam penyediaan tenaga listrik.

            Pada Perpres No. 112 Tahun 2022, pelaksanaan penyediaan tenaga listrik berbasis energi terbarukan dilaksanakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN). Perencanaan atas pelaksanaan tersebut dituangkan dalam Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). RUPTL meliputi:

  1. Rencana pembangkitan;
  2. Rencana transmisi;
  3. Rencana distribusi; dan/atau
  4. Penjualan tenaga listrik dalam suatu wilayah usaha[4].

Kemudian berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Perpres No. 112 Tahun 2022 menjelaskan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan PT PLN saat menyusun RUPTL, yakni:

  1. Pengembangan energi terbarukan sesuai dengan target bauran energi terbarukan berdasarkan rencana umum ketenagalistrikan nasional;
  2. Keseimbangan supply and demand; dan
  3. Keekonomian pembangkit energi terbarukan.

Dengan kata lain, dengan adanya Perpres No. 112 Tahun 2022, maka secara yuridis dapat dimaknai sebagai bagian langkah strategis untuk mempercepat transisi energi tak terbarukan menuju energi terbarukan dari Pemerintah. Tindakan ini juga selaras dengan kampanye yang sedang dilakukan oleh Clean Creatives Pledge dalam mengurangi penggunaan bahan bakar fossil. Hal ini dapat diartikan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga ketersediaan energi, maka transisi dari energi tak terbarukan ke energi terbarukan, adalah konsekuensi logis dari menguatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ketersediaan energi.

Dasar Hukum

Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik

Referensi

Suara, https://www.suara.com/bisnis/2022/09/22/173500/kampanye-asia-pasifik-akan-akhiri-dukungan-industri-pr-pada-perusahaan-bahan-bakar-fosil?page=1

BPPT, https://www.bppt.go.id/berita-bppt/bppt-indonesia-darurat-energi


[1] Suara, https://www.suara.com/bisnis/2022/09/22/173500/kampanye-asia-pasifik-akan-akhiri-dukungan-industri-pr-pada-perusahaan-bahan-bakar-fosil?page=1, diakses pada 25 September 2022

[2] BPPT, https://www.bppt.go.id/berita-bppt/bppt-indonesia-darurat-energi , diakses pada tanggal 25 September 2022

[3] Pasal 1 Angka 1 UU No 4 Tahun 2007

[4] Pasal 1 angka 5 Perpres No. 112 Tahun 2022

0

Perlindungan Sistem Pembayaran dalam Bertransaksi secara Digital

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Made Indra Sukma Adnyana

Bank Indonesia melaporkan data peningkatan transaksi ekonomi dan keuangan digital yang menunjukkan kiamat bagi ATM. Gubernur Bank Indonesia menjelaskan nilai transaksi uang elektronik pada Agustus 2022 mengalami pertumbuhan 43,24% year on year (yoy) dengan nilai mencapai Rp. 35,5 triliun. Nilai transaksi digital banking sendiri meningkat 31,40% yoy menjadi Rp. 4.557,5 triliun. Menanggapi kenaikan transaksi ekonomi dan keuangan digital, Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa transaksi ekonomi dan keuangan digital tetap mengalami kenaikan karena ditopang oleh peningkatan akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, perluasan dan kemudahan dalam sistem pembayaran digital. Kenaikan ekonomi dan keuangan tersebut terjadi bahkan pada waktu Indonesia sedang mengalami tantangan tekanan dari inflasi.[1]

Sebagaimana dijelaskan bahwa transaksi keuangan dan ekonomi digital tidak akan lepas dari yang disebut dengan sistem pembayaran digital. Sistem pembayaran digital dalam penggunaannya memiliki banyak manfaat bagi konsumen dimana memudahkan pembayaran, meningkatkan efektivitas dan efisiensi waktu, meningkatkan customer loyality, pengendalian biaya, komisi rendah, dan meningkatkan efisiensi dalam pembayaran sebuah produk secara online.[2] Walaupun begitu, terdapat permasalahan-permasalahan yang harus diperhatikan dalam penggunaannya, misalnya dalam faktor keamanan transaksi dan ketersediaan infrastruktur pembayaran. Ketersediaan yang dimaksud mengacu kepada ketersediaan, kestabilan dan kecepatan pada jaringan internet, ketersediaan sistem, serta kecepatan dari transaksi yang dapat dilakukan oleh konsumen. Oleh karena hal tersebut, dibutuhkannya pengaturan lebih lanjut terkait pelaksanaan suatu sistem pembayaran di Indonesia, terutama perlindungan data konsumen dari peretasan dan penyebaran informasi konsumen merupakan risiko yang harus dihindari dan ditangani dengan cepat.[3]

Dalam pengaturan terkait sistem pembayaran digital, Indonesia melalui Bank Indonesia telah mengaturnya berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 24/7/PADG/2022 tentang Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Oleh Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan digitalisasi dan inovasi pada sistem pembayaran sehingga perlunya peningkatan efisiensi industri sistem pembayaran dan percepatan inklusi ekonomi dan keuangan digital. Terlebih lagi, perkembangan digitalisasi dan inovasi dalam bidang digital juga meningkatkan risiko dengan semakin kompleks suatu kegiatan dan variasi model bisnis penyelenggaraan sistem pembayaran.[4]

Terbitnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran merupakan salah satu implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (“BPSI”). BPSI 2025 diharapkan dapat memberikan arahan yang jelas dalam pengedaran uang moneter, dan stabilitas sistem keuangan. Hal ini karena BPSI memiliki 5 (lima) visi, yaitu:[5]

  1. Mendukung integrasi ekonomi keuangan digital nasional;
  2. Mendukung digitalisasi perbankan melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan;
  3. Menjamin interlink antara fintech dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi;
  4. Menjamin keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan konsumen, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat; dan
  5. Menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital antarnegara dengan memperhatikan prinsip resiprokalitas.

Sehingga integritas keuangan digital Indonesia melalui pengaturan terkait sistem pembayaran, merupakan bentuk mendukung perkembangan ekonomi dan keuangan di Indonesia terutama dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman serba digital sekarang ini. Sistem Pembayaran sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran menyatakan sebagai suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, Lembaga, mekanisme infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran. Definisi tersebut memberikan penjelasan jika sistem pembayaran tidak hanya menyangkut kepada aturan, tetapi juga kepada Lembaga, mekanisme dan sampai kepada akses ke sumber dana untuk pembayaran yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana. Definisi tersebut dinyatakan sebagai berikut:

“Pasal 1

1.Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, mekanisme, infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.”

Peraturan Bank Indonesia tersebut, juga mengatur terkait penyelenggaraan sistem pembayaran dimana bagi Penyedia Jasa Pembayaran (“PJP”) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (“PIP”) memiliki kewajibannya masing-masing. Pada pokoknya berdasarkan Pasal 31 jo 38 PBI Nomor 22/23/PBI/2020 menjelaskan bahwa kewajibannya meliputi pemenuhan aspek antara lain (1) tata Kelola; (2) manajemen risiko termasuk prinsip kehati-hatian; (3) standar keamanan sistem informasi; (4) interkoneksi dan interoperabilitas; dan (5) pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terhadap aspek standar keamanan sistem informasi diatur lebih jelas dalam peraturan tersebut Pasal 34 jo 41 PBI Nomor 22/23/PBI/2020 yang menyatakan bahwa aspek standar keamanan sistem informasi mencakup kepada sebagai berikut:

a. ketersediaan kebijakan dan prosedur tertulis sistem informasi;

b. penggunaan sistem yang aman dan andal paling sedikit:

  1. pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data;
  2. pengelolaan fraud;
  3. pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan keandalan sistem; dan
  4. pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi;

c. penerapan standar keamanan siber;

d. pengamanan data dan/atau informasi; dan

e. pelaksanaan audit sistem informasi secara berkala.

Melalui pengaturan tersebut, maka keamanan sistem informasi harus memenuhi standar yang telah diatur dalam peraturan Bank Indonesia dan wajib memenuhi aspek-aspek sebagaimana diwajibkan, seperti manajemen risiko. Terdapat sanksi bagi pihak yang melanggar kewajiban mengenai sistem pembayaran digital, mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 78 PBI No. 22/23/PBI/2020, bagi PJP dan PIP yang melakukan pelanggaran sebagaimana diwajibkan, dapat dikenakan sanksi sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:

“Pasal 78

(1)Bank Indonesia berwenang mengenakan sanksi administratif kepada PJP dan PIP atas pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 56, Pasal 65, dan Pasal 67 berupa:

a. teguran;

b.denda;

c. penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan termasuk pelaksanaan kerja sama; dan/atau

d. pencabutan izin sebagai PJP atau penetapan sebagai PIP.”

Oleh dengan kewenangan tersebut, Bank Indonesia dapat memberikan sanksi kepada PJP dan/atau PIP jika terjadinya pelanggaran atas keamanan sistem informasi yang berguna untuk melindungi tidak hanya kepada PJP ataupun PIP, tetapi juga kepada konsumen sebagai pengguna jasanya.

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan dalam bidang teknologi informasi, mendorong kepada perkembangan terhadap sistem pembayaran di Indonesia yang sebelumnya konvensional menjadi serba digital. Walaupun begitu, terdapat permasalahan-permasalahan yang perlu ditangani demi kelancaran pembayaran digital di Indonesia, terutama di bagian keamanan dimana serangan siber maupun penggunaan data pribadi nasabah tanpa izin dari nasabah bersangkutan masih marak terjadi. Masyarakat sebagai konsumen atau pengguna jasa perlu untuk dilindungi dari ancaman atau permasalahan yang bisa terjadi dari penggunaan pembayaran digital. Oleh sebab tersebut, pelaksanaan peraturan-peraturan terkait kepada sistem pembayaran perlu untuk ditegakkan demi menghindari dari adanya kerugian yang diterima oleh konsumen akibat adanya permasalahan keamanan.

Dasar Hukum:

  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran
  • Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 24/7/PADG/2022 tentang Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Oleh Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran

Referensi

  • Venti Eka Satya, “Pengaturan Sistem Pembayaran Digital Untuk Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPRI RI Vol XIII (Januari 2021), hlm. 20-22.
  • Cantika Adinda Putri, “Simak! Kiamat ATM di Depan Mata, BI Kasih Bukti Terbaru,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20220922195907-4-374310/simak-kiamat-atm-di-depan-mata-bi-kasih-bukti-terbaru, diakses pada 25 September 2022.
  • Jefry Tarantang, dkk, “Perkembangan Sistem Pembayaran Digital Pada Era Revolusi Industri 4.0 Di Indonesia,” Jurnal Al Qardh Vol 4 (Juli 2019), hlm. 62-70.

[1] Cantika Adinda Putri, “Simak! Kiamat ATM di Depan Mata, BI Kasih Bukti Terbaru,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20220922195907-4-374310/simak-kiamat-atm-di-depan-mata-bi-kasih-bukti-terbaru, diakses pada 25 September 2022.

[2] Jefry Tarantang, dkk, “Perkembangan Sistem Pembayaran Digital Pada Era Revolusi Industri 4.0 Di Indonesia,” STIH Palangka Raya Jurnal Al Qardh Vol 4 (Juli 2019), hlm. 70.

[3] Venti Eka Satya, “Pengaturan Sistem Pembayaran Digital Untuk Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPRI RI Vol XIII (Januari 2021), hlm. 22.

[4] BI, “Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran,” https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/PBI_222320.aspx, diakses pada 26 September 2022.

[5] Ibid.

1 2 3 24
Translate