0

Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Pinjaman

Author : Nirma Afianita
Co – Author : Ilham M. Rajab


Saat ini Kekayaan Intelektual para pelaku ekonomi kreatif nasional menjadi salah satu jaminan untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Keputusan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif.[1] Pada umumnya terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengikat jaminan utang, yaitu: gadai, hak tanggungan, jaminan fidusia dan cessie. Dengan cara:[2]

  1. Tahapan pertama, Pengajuan Permohonan Kredit;
  2. Tahap kedua, Analisis Kredit;
  3. Tahap Ketiga, Persetujuan Kredit;
  4. Tahap keempat, Perjanjian Kredit;
  5. Tahap kelima Pencairan Kredit.

Sementara itu, kaitan antara jaminan utang dengan Kekayaan Intelektual sangatlah berbeda. Perlu diketahui bahwa Kekayaan Intelektual timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karyanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.[3] Pelaku ekonomi kreatif bisa mengajukan kredit berbasis kekayaan intelektual tersebut. Ada empat syarat yang harus dipenuhi, yakni:[4]

  1. Proposal pembiayaan
  2. Memiliki usaha ekonomi kreatif
  3. Memiliki perikatan terkait Kekayaan Intelektual produk ekonomi kreatif
  4. Memiliki surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual

Untuk pembiayaan pelaku ekonomi kreatif, pemerintah memfasilitasi hal tersebut sebagaimana mana Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 4

  • Pemerintah memfasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual melalui lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank bagi Pelaku Ekonomi Kreatif;
  • Fasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Ekonomi Kreatif dilakukan melalui:
  1. pemanfaatan Kekayaan Intelektual yang bernilai ekonomi; dan
  2. penilaian Kekayaan lntelektual”.

Adapun pengimplementasian skema pembiayaan sebagaimana terjamin dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 7

  • Pemerintah memfasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual melalui lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank bagi Pelaku Ekonomi Kreatif;
  • Fasilitasi Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Ekonomi Kreatif dilakukan melalui:
  1. pemanfaatan Kekayaan Intelektual yang bernilai ekonomi; dan
  2. penilaian Kekayaan lntelektual”.

Para Pelaku Ekonomi Kreatif dalam mengajukan pinjaman harus menjaminkan objek sebagai jaminan hutang, hal tersebut terdapat dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 10

Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang berupa:

a. Kekayaan Intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di kementerian

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan

b. Kekayaan Intelektual yang sudah dikelola baik secara sendiri dan/atau

dialihkan haknya kepada pihak lain”.

Dengan terdapatnya perbedaan mengenai jaminan dan cara yang berkaitan dengan pemberian kredit atau skema pembiayaan antara jaminan utang pada umumnya dan jaminan utang pada Kekayaan Intelektual sebagaimana ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang ada maka mempertegas dan merinci secara khusus untuk apa-apa dan prosedur bagi subjek hukum yang akan melakukan pinjaman.

Refrensi:

  1. https://www.google.com/amp/s/www.cnbcindonesia.com/news/20220719081748-4-356605/aturan-jokowi-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang/amp
  2. Posuma, Adrian Alexander. Pengikatan Jaminan dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017
  3. https://www.google.com/amp/s/bisnis.tempo.co/amp/1613245/jokowi-teken-pp-ekonomi-kreatif-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang-di-bank diakses pada 25 Juli 2022

Dasar hukum:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Ekonomi Kreatif



[1] https://www.google.com/amp/s/www.cnbcindonesia.com/news/20220719081748-4-356605/aturan-jokowi-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang/amp, diakses pada 25 Juli 2022

[2] Posuma, Adrian Alexander. Pengikatan Jaminan dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

[3] https://www.google.com/amp/s/bisnis.tempo.co/amp/1613245/jokowi-teken-pp-ekonomi-kreatif-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang-di-bank diakses pada 25 Juli 2022

[4] Ibid

0

Pemusnahan Barang Kena Cukai Ilegal dan Barang Larangan oleh Bea Cukai

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-Author: Anggie Fauziah Dwiliandari

Hasil penindakan salah satu Bea Cukai sepanjang periode 2020 sampai dengan Desember 2021 berujung pada pemusnahan sejumlah barang-barang ilegal. Penindakan tersebut telah mendapatkan persetujuan peruntukkan dan Putusan Pengadilan dari Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi, Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), serta Putusan Pengadilan Negeri.[1] Pemusnahan barang-barang ilegal itu dilakukan oleh salah satu Bea Cukai bersama instansi terkait lainnya pada hari Selasa, 12 Juli 2022.[2] Pemusnahan tersebut meliputi Barang Kena Cukai (BKC) hasil tembakau/rokok, minuman dengan kandungan etil alkohol (MMEA) atau minuman keras yang ilegal, serta barang larangan jenis sex toys.Secara merinci, barang-barang yang dimusnahkan antara lain 5.249.260 batang rokok ilegal, 92,68 liter minuman keras ilegal, dan beberapa sex toys ilegal.[3]

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.[4] Terhadap BMN tersebut, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Perbendaharaan Negara.[5] Lebih lanjut, pemusnahan BMN diatur secara khusus di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara (PMK Nomor 83/PMK.06/2016).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatur barang-barang yang masuk dan keluar dari daerah kepabeanan. Pada pasal 1 butir 2 mengatakan daerah kepabeanan adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang- undang ini. Kawasan kepabeanan adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Lebih jauh dalam pasal 3 undang-undang ini pada butir 1, mengatakan bahwa terhadap barang impor harus melakukan pemeriksaan kepabeanan. Pemeriksaan kepabeanan yang dimaksudkan di sini adalah pemeriksaan fisik barang dan pemeriksaan dokumen-dokumennya. Selanjutnya di pasal 5 dijelaskan bahwa terhadap barang impor harus memenuhi kewajiban pabean yang dibayar pada kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dan apabila tidak memenuhi syarat-syarat ini maka suatu barang itu dianggap barang ilegal.[6]

Pada umumnya, pemusnahan diartikan sebagai tindakan memusnahkan fisik dan/ atau kegunaan BMN.[7] Sedangkan, penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan/ atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.[8] Hal yang membedakan di antara keduanya ialah objektif dari tindakan pemusnahan atau penghapusan itu, apakah fisik dan kegunaannya atau status barang tersebut secara administratif. Pemusnahan BMN dapat dilakukan dalam hal BMN tidak dapat digunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipindahtangankan atau terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[9]Pemusnahan BMN tersebut dilakukan dengan cara dibakar, dihancurkan, ditimbun, ditenggelamkan, dirobohkan, atau melalui cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[10] Selain itu, pemusnahan BMN harus dituangkan dalam Berita Acara Pemusnahan dan dilaporkan kepada Pengelola Barang, untuk Pemusnahan BMN yang beraa pada Pengguna Barang.[11]

Alasan pemusnahan barang ilegal tersebut karena meruginya negara, disebabkan tidak terpungutnya pajak bea cukai, kacaunya harga di pasar. Sebagaimana diketahui bahwa barang ilegal tersebut rata-rata dijual dengan harga murah yang tidak sesuai dengan harga pasar, yang otomatis konsumen akan lebih memilih untuk membeli barang ilegal, yang bisa jadi kualitasnya sama dengan produk dalam negeri. Jika hal ini terjadi, maka sangat berefek negatif pada sektor sentral di negeri sendiri. Mereka akan merugi karena barang-barangnya tidak laku di pasar. Selain itu hal ini juga tidak hanya akan merugikan para pedagang domestik, akan tetapi merugikan pula pedagang impor legal yang membayar bea cukai. Mereka terpaksa menjual dengan harga yang sama sebagaimana pedagang ilegal agar barangnya laku dipasar.[12]

Tata cara pelaksanaan pemusnahan BMN dibedakan menjadi 2 (dua), yakni pemusnahan yang dilakukan terhadap BMN yang berada pada pengelola barang dan pemusnahan yang dilakukan terhadap BMN yang berada pada pengguna barang. Adapun yang dimaksud dengan pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.[13] Sedangkan, pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.[14] Pemusnahan BMN yang berada pada pengelola barang diatur di dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016. Pemusnahan didahului dengan melakukan penelitian terhadap BMN terkait, yang meliputi penelitian administratif (penelitian data dan dokumen BMN) dan penelitian fisik untuk mencocokkan fisik BMN yang akan dimusnahkan dengan data administratif. Setelah itu, laporan hasil penelitian tersebut diberikan penilaian apakah layak dan memenuhi syarat untuk dimusnahkan, untuk kemudian ditetapkan melalui keputusan Pemusnahan BMN.

Sementara itu, tata cara pelaksanaan pemusnahan BMN yang berada pada pengguna barang terdiri dari berbagai tahapan, yaitu persiapan, permohonan pemusnahan, persetujuan pemusnahan, dan pelaksanaan pemusnahan BMN yang diatur di dalam Pasal 10 – 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016. Tahapan persiapan dilakukan dengan melakukan penelitian administratif dan penelitian fisik. Kemudian, permohonan pemusnahan BMN diajukan kepada pengelola barang dengan memuat pertimbangan dan alasan pemusnahan BMN, serta data BMN yang akan dimusnahkan, seperti tahun perolehan, identitas barang, dan nilai perolehan dan/atau nilai buku. Kemudian, permohonan pemusnahan BMN juga harus disertai beberapa dokumen yang meliputi Surat Pernyataan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, fotokopi dokumen kepemilikan bagi BMN yang harus dilengkapi dengan dokumen kepemilikan, kartu identitas barang bagi BMN yang harus dilengkapi dengan kartu identitas barang, laporan kondisi barang, dan foto terkini BMN. Selanjutnya, penelitian dilakukan terhadap permohonan pemusnahan BMN untuk diberikan surat persetujuan pemusnahan BMN yang sekurang-kurangnya harus memuat pertimbangan dan alasan disetujuinya Pemusnahan BMN, data BMN yang disetujui untuk dimusnahkan, dan kewajiban pengguna barang untuk melaporkan pelaksanaan pemusnahan BMN kepada pengelola barang. Adapun pelaksanaan dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal persetujuan pemusnahan BMN dan dituangkan dalam Berita Acara Pemusnahan yang ditandatangani oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.

Pemusnahan BKC ilegal dan barang larangan yang dilakukan oleh salah satu Bea Cukai bersama instansi terkait lainnya ini sejatinya bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap peredaran rokok, MMEA/minuman keras ilegal, serta barang-barang larangan. Melalui langkah ini, salah satu Bea Cukai tersebut juga berupaya menunjukkan komitmennya sebagai Community Protector dan Revenue Collector. Bahkan, salah satu Bea Cukai tersebut menguatkan sinergi dengan jajaran Aparat Penegak Hukum dengan menyelenggarakan kegiatan pemusnahan narkotika berupa sabu dan ekstasi.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Kepabeanan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara

Referensi:

CNNIndonesia.com, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220712155248-532-820536/bea-cukai-sulsel-musnahkan-52-juta-rokok-ilegal, diakses 15 Juli 2022.

Cut Elfida, “Pemusnahan Barang Ilegal di Aceh Dalam Perspektif Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 dan Hukum Islam”, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 15, No.2, Februari 2016


[1] Beacukai.go.id, https://www.beacukai.go.id/berita/jalankan-fungsi-perlindungan-masyarakat-bea-cukai-di-sulawesi-selatan-musnahkan-jutaan-barang-ilegal.html, diakses 15 Juli 2022.

[2] CNNIndonesia.com, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220712155248-532-820536/bea-cukai-sulsel-musnahkan-52-juta-rokok-ilegal, diakses 15 Juli 2022.

[3] Beacukai.go.id, https://www.beacukai.go.id/berita/jalankan-fungsi-perlindungan-masyarakat-bea-cukai-di-sulawesi-selatan-musnahkan-jutaan-barang-ilegal.html, diakses 15 Juli 2022.

[4] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

[5] Pasal 7 ayat (2) huruf q Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

[6] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

[7] Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

[8] Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara

[9] Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

[10] Pasal 6 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

[11] Pasal 6 ayat (2) huruf b dan c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

[12] Cut Elfida, “Pemusnahan Barang Ilegal di Aceh Dalam Perspektif Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 dan Hukum Islam”, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 15, No.2, Februari 2016, Hal 216.

[13] Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

[14] Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Negara.

0

UTILIZATION AND APPLICATION OF TELECOMMUNICATION FROM LEGAL PERSPECTIVE

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  2. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

REFERENSI:

  1. Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010;
  2. Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017;
  3. https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022;

Telekomunikasi adalah salah satu kunci infrastuktur terpenting untuk memperluas tantangan nasional, dengan telekomunikasi kita memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi pada waktu dan tempat yang tepat serta isi yang tepat pula sehingga bisa memenangkan strategi dalam bisnis.[1] Telekomunikasi sebagai jenis industri juga merupakan obyek dari globalisasi.[2]

Pengertian Telekomunikasi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan: 

“Pasal 1

  1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari hasil informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

Dari penjelesan yang ada, dapat dipahami bahwa telekomunikasi merupakan bagian yang tidak terpisah dari Teknologi Informasi dan Komunikasi. Terdapat beberapa fungsi yang bisa didapatkan dari Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini untuk memecahkan masalah, membuka kreativitas, dan meningkatkan efektivitas dan efesiensi dalam melakukan pekerjaan, diantaranya sebagaimana berikut ini:[3]

1.Menangkap (Capture)

Yaitu merupakan suatu proses pengakapan data yang akan menjadi data masukan;

2. Mengolah (Processing)

Mengkompilasikan catatan rinci dari aktivitas, misalnya menerima input dari keyboard, scanner, mic dan sebagainya. Mengolah/memproses data masukan yang diterima untuk menjadi informasi. Pengolahan/pemrosesan data dapat berupa konversi (pengubahan data kebentuk lain), analisis (analisis kondisi), perhitungan (kalkulasi), sintesis (penggabungan) segala bentuk data dan informasi:

  • Data processing, memproses dan mengolah data menjadi suatu informasi;
  • Information processing, suatu aktivitas computer yang memproses dan mengolah suatu tipe/bentuk dari informasi dan mengubahnya menjadi tipe/bentuk yang lain dari informasi;
  • Multimedia system, suatu sistem komputer yang dapat memproses berbagai tipe/bentuk dari informasi secara bersamaan (simultan).

3.Menghasilkan (Generating)

Menghasilkan atau mengorganisasikan informasi ke dalam bentuk yang berguna. Misalnya: laporan, tabel, grafik dan sebagainya;

4. Menyimpan (Storage)

Merekam atau menyimpan dan informasi dalam suatu media yang dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Misalnya disimpan ke harddisk, tape, disket, Compact Disc (CD) dan sebagainya;

5. Mencari kembali (Retrieval)

Menelusuri, mendapatkan kembali informasi atau menyalin (copy) data dan informasi yang sudah tersimpan, misalnya mencari supplier yang sudah lunas dan sebagainya;

6. Transmisi (Transmission)

Mengirimkan data dan informasi dari suatu lokasi ke lokasi lain melalui jaringan computer. Misalnya mengirimkan data penjualan dari user A ke user lainnya dan sebagainya.

Sementara itu terdapat tujuan dari Telekomunikasi, hal tersebut sebagaimana Pasal 3  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan:

“Pasal 3

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.”

Dalam rangka untuk mempermudah tujuan dari Telekomunikasi tentu terdapat pihak yang memberikan jasa pelayanan sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan:

“Pasal 8

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.Badan Usaha Swasta; atau d. koperasi. ”

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:

a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”

badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”

Berkaitan dengan penyelenggaraan Telekomunikasi maka pihak yang memberikan jasa pelayanan tersebut dipertegas dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Telekomunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang menyatakan: 

“Pasal 4

(1) Menteri menetapkan kewajiban minimal pembangunan dan/atau penyediaan layanan yang wajib dipenuhi oleh setiap Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggara Jasa Telekomunikasi di wilayah yang bukan merupakan wilayah pelayanan universal Telekomunikasi dengan pertimbangan termasuk namun tidak terbatas pada:

a.efisiensi dan efektivitas;
b.ketersediaan, sebaran,dan kebutuhan layanan Telekomunikasi;
c.pemerataan pembangunan dan/atau layanan Telekomunikasi; dan/atau;
d.peningkatan kualitas layanan.

(2) Kewajiban minimal pembangunan dan/atau penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban tahunan untuk kurun waktu setiap 5 (lima) tahun”

(3) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membangun dan/atau menyediakan Jaringan Telekomunikasi.

Adapun manfaat dari Telekomunikasi sendiri sebagaimana penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi asas manfaat dari Telekomunikasi memiliki arti Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.

Selain memiliki tujuan dan manfaat terdapat dampak dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu:[4]

1. Dampak Positif:

a. Bidang Pendidikan Teknologi Informasi Komunikasi telah mengubah proses pembelajaran konvensional ke menjadi online;

b. Bidang Kesehatan dalam bidang kesehatan, salah satu penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi pada manajemen rekam medis menggunakan kartu pintar (smart card). Hanya dengan memasukkan data pada kartu itu, tenaga medis atau yang berkepentingan bisa memperoleh riwayat penyakit pasien dan penanganannya;

c. Bidang Transportasi penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi pada bidang transportasi, misalnya, di teknologi pesawat terbang. Pada pesawat terbang terdapat fitur pilot otomatis yang dikendalikan dengan program komputer;

d. Bidang Jasa Pengiriman jasa pengiriman saat ini makin maju. Jika dahulu mengirim paket tidak tahu kapan akan sampai, sekarang paket yang dikirim dapat dilacak posisinya secara realtime.

e. Bidang Bisnis dalam bisnis, penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi diterapkan pada perdagangan secara elektronik (e-commerce). Fitur ini memerlukan jaringan komunikasi internet. E-commerce memudahkan dua atau banyak pihak untuk melakukan transaksi tanpa harus bertemu langsung secara fisik;

f. Bidang Perbankan salah satu kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam perbankan adalah fitur internet banking. Kini, nasabah bisa dengan mudah melakukan berbagai transaksi perbankan.

2. Dampak Negatif:

a. Pelanggaran Hak Cipta, kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi ada yang disalahgunakan oleh orang tidak bertanggung jawab biasanya terkait pelanggaran hak cipta. Pelanggaran ini meliputi pembajakan software, penggandaan tanpa sizin pembuat karya, hingga pemakaian tanpa seizin pembuat. Pelanggaran hak cipta sudah pasti merugikan produsen dan merugikan konsumen saat mereka mendapatkan produk yang kualitasnya tidak setara dengan produk asli;

b. Kejahatan Siber (Cyber Crime), kejahatan ini dilakukan secara online dengan memanfaatkan teknologi atau jaringan komputer. Contoh kejahatannya seperti pembajakan kartu kredit, penipuan online, dan sebagainya. Kejahatan siber dapat terjadi lintas negara, memberikan kerugian besar, dan sering sulit dibuktikan secara hukum;

c. Pornografi, Perjudian, dan Penipuan Ketiga hal tersebut sangat marak di dunia online dan menjadi sisi negatif dari Teknologi Informasi dan Komunikasi. Namun, sebagian negara melegalkan pornografi dan perjudian terkait aturan-aturan tertentu. Sementara untuk penipuan, banyak oknum yang menyalahgunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi guna menipu orang lain demi mendapatkan sejumlah uang;

d. Penyebaran Malware, malware adalah program komputer yang sifatnya mencari kelemahan software. Penggunaannya seperti untuk membobol atau merusak sistem operasi maupun merusak software. Contoh malware adalah virus, worm, keylogger, trojan, spyware, dan sebagainya.

Kemajuan Telekomunikasi saat ini sendiri tentu tidak terlepas dari Industri Telekomunikasi, saat ini peran Industri Telekomunikasi terhadap negara memiliki kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto dengan laju pertumbuhan tertinggi (pada tahun 2021 tertinggi kedua setelah sektor kesehatan). Sektor infokom menyumbang 4,41% dari total PDB Indonesia tahun 2021. Selain itu, sektor infokom pada tahun 2017 mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 9,78%, atau kurang lebih sekitar 500 ribu orang. Jumlah tersebut juga terus bertambah setiap tahunnya hingga mencapai 1 juta orang pada tahun 2021.[5]

Dalam pelaksanaannya pada sektor Industri Telekomunikasi terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha industri telekomunikasi:[6]

  1. Kurangnya ketersediaan spektrum frekuensi untuk jaringan 5G. Transformasi digital ke depan tidak hanya berhenti pada konektivitas internet semata, namun juga implementasi IOT, AI, Big Data, cyber security, serta robotik yang harus didukung oleh jaringan internet berkecepatan tinggi, minimal setara 5G. Sementara implementasi 5G saat ini masih terkendala pada biaya yang besar serta spektrum frekuensi yang belum siap digunakan oleh jaringan 5G;
  2. Kesenjangan digital. Pembangunan infrastruktur jaringan internet yang selama ini hanya terfokus pada Pulau Jawa dan Sumatera, membuat konektivitas internet belum terdistribusi dengan baik, sehingga penetrasi market share industri telekomunikasi juga terhambat.

[1] Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010

[2] Ibid

[3]Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017

[4]  https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022

[5] Budget Issue Brief Politik & Keamanan, Vol. 02, Ed 5, April 2022, Pusat Kajian Anggaran, Hal 1

[6] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication;
  2. Ministerial Regulation of Communication and Information Technology Number 5 of 2021 concerning the Implementation of Telecommunication.

REFERENCE:

  1. Wulan, Elis Ratna, Komunikasi dan Teknologi Informasi Pendidikan, Batuc Press : Bandung, 2010;
  2. Peranan Dan Perencanaan Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, Rahmat Sulaiman Naibaho, Jurnal Warta Edisi : 52 April 2017;
  3. https://tirto.id/gaTD, diakses 17 Juli 2022;

Telecommunication is one of the most important infrastructure keys to expand national challenges, with telecommunications we have the opportunity to get information at the right time and place as well as the right content so that we can win strategies in business. Telecommunication as a type of industry is also an object of globalization.

The definition of Telecommunication in Article 1 point 1 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 1

1.Telecommunication is any transmitting, sending and or receiving of information results in the form of signs, signals, writings, images, sounds and sounds through wire systems, optics, radio, or other electromagnetic systems.”

From the explanation, it can be understood that telecommunications is an inseparable part of Information and Communication Technology. There are several functions that can be obtained from today’s Information and Communication Technology to solve problems, open up creativity, and increase effectiveness and efficiency in doing work, including the following:

1. Capture

That is a process of capturing data that will become input data;

2. Processing

Compile detailed records of activities, for example receiving input from keyboard, scanner, mic and so on. Processing/processing the received input data to become information. Data processing/processing can be in the form of conversion (change of data into other forms), analysis (condition analysis), calculation (calculation), synthesis (merging) of all forms of data and information:

  • Data processing, processing and processing data into an information;
  • Information processing, a computer activity that processes and processes a type / form of information and converts it into other types / forms of information;
  • Multimedia system, a computer system that can process various types / forms of information simultaneously.

3. Generating

Generate or organize information into a useful form. For example: reports, tables, graphs and so on.

4. Storage

Record or store and information in a media that can be used for other purposes. For example, saved to a hard disk, tape, diskette, Compact Disc (CD) and so on.

5. Retrieval

Search, retrieve information or copy data and information that has been stored, for example looking for suppliers who have paid off and so on.

6.Transmission

Sending data and information from one location to another via a computer network. For example sending sales data from user A to other users and so on.

The purpose of Telecommunication, as stated in Article 3 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 3

Telecommunication is held with the aim of supporting the unity and integrity of the nation, increasing the welfare and prosperity of the people in a fair and equitable manner, supporting economic life and government activities, as well as improving international relations.”

In order to facilitate the purpose of Telecommunications, of course there are parties who provide services as telecommunications network operators, as stated in Article 8 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunication, which states:

“Article 8

(1) The operation of telecommunications networks and or the operation of telecommunications services as referred to in Article 7 paragraph (1) letters a and b, may be carried out by a legal entity established for this purpose based on the prevailing laws and regulations, namely:
a. State-Owned Enterprises (BUMN);
b. Regional Owned Enterprises (BUMD);
c. Private Business Entity; or
d. cooperative.”

(2) The operation of special telecommunication as referred to in Article 7 paragraph (1) letter c, may be carried out by:

a. individual;
b.government agencies;
c.legal entity other than telecommunications network operator and or telecommunication service provider.

In relation to the operation of Telecommunication, the party providing the service is emphasized in Article 4 of the 2. Ministerial Regulation of Communication and Information Technology Number 5 of 2021 concerning the Implementation of Telecommunication, which states:

“Article 4

(1) The Minister stipulates the minimum obligation for development and/or service provision that must be fulfilled by every Telecommunication Network Operator and/or Telecommunication Service Provider in areas which are not the areas of universal Telecommunication service with considerations including but not limited to:

a. efficiency and effectiveness;
b. availability, distribution, and needs of Telecommunication services;
c. equitable distribution of development and/or Telecommunication services; and/or;
d. improvement of service quality.

(2) The minimum obligation for development and/or service provision as referred to in paragraph (1) is in the form of an annual obligation for a period of every 5 (five) years;

(3) Telecommunication Network Operators in fulfilling the obligations as referred to in paragraph (2) are obligated to build and/or provide Telecommunication Networks.

There is also the benefit of Telecommunications itself as explained in Article 2 of Law Number 36 of 1999 concerning Telecommunications. The principle of benefit from telecommunications means that the principle of benefit means that telecommunications development, especially telecommunications operations, will be more efficient and effective as infrastructure development, government administration facilities, educational facilities, transportation facilities as well as economic commodities that can further improve the physical and spiritual welfare of the community.

In addition to having goals and benefits, there are impacts from the development of Information and Communication Technology, namely:

1. Positive Impact:

The field of Information and Communication Technology Education has changed the conventional learning process to become online;

Health Sector In the health sector, one of the applications of Information and Communication Technology in medical record management is using a smart card. Only by entering data on the card, medical personnel or interested parties can obtain a patient’s disease history and treatment;

c. Transportation Sector The use of Information and Communication Technology in the transportation sector, for example, in aircraft technology. On airplanes there is an automatic pilot feature that is controlled by a computer program;

d. The field of Shipping Services Delivery services are currently increasingly advanced. If in the past you didn’t know when you sent a package, you can now track the position of the package sent in real time;

e. Business Sector In business, the use of Information and Communication Technology is applied to electronic commerce (e-commerce). This feature requires an internet communication network. E-commerce makes it easier for two or more parties to conduct transactions without having to meet physically directly;

f. Banking Sector One of the advances in Information and Communication Technology in banking is the internet banking feature. Now, customers can easily perform various banking transactions.

2. Negative Impact:
a. Copyright Infringement the progress of Information and Communication Technology has been misused by irresponsible people, usually related to copyright infringement. These violations include software piracy, reproduction without the author’s permission, to use without the author’s permission. Copyright infringement is sure to harm producers and harm consumers when they get a product that is not of the same quality as the original product;

b. Cyber ​​Crime This crime is committed online by utilizing technology or computer networks. Examples of crimes such as credit card hijacking, online fraud, and so on. Cybercrimes can occur across countries, inflict heavy losses, and are often difficult to prove legally;

c. Pornography, Gambling, and Fraud These three things are very prevalent in the online world and become a negative side of Information and Communication Technology. However, some countries legalize pornography and gambling according to certain rules. As for fraud, many people misuse Information and Communication Technology to deceive others in order to get some money;

d. Spread of Malware, malware is a computer program that is looking for software weaknesses. Its use is like to break into or damage the operating system or damage software. Examples of malware are viruses, worms, keyloggers, trojans, spyware, and so on.

The current progress of Telecommunication itself certainly cannot be separated from the Telecommunication Industry, currently the role of the Telecommunication Industry to the state has contributed to Gross Domestic Product with the highest growth rate (in 2021 the second highest after the health sector). The infocom sector contributed 4.41% of Indonesia’s total GDP in 2021. In addition, the infocom sector in 2017 was able to absorb a workforce of 9.78%, or approximately 500 thousand people. This number also continues to grow every year to reach 1 million people in 2021.

In its implementation in the telecommunications industry sector, there are several things that become obstacles for business actors in the telecommunications industry:

  1. Lack of availability of frequency spectrum for 5G network. Digital transformation in the future will not only stop at internet connectivity, but also the implementation of IoT, AI, Big Data, cyber security, and robotics which must be supported by a high-speed internet network, at least equivalent to 5G. While the current implementation of 5G is still constrained by high costs and frequency spectrum that is not ready for use by 5G networks;
  2. The digital divide. The development of internet network infrastructure, which has only focused on the islands of Java and Sumatra, has made internet connectivity not well distributed, so that market share penetration of the telecommunications industry is also hampered.

0

Penyitaan Aset Obligor oleh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Ratumas Amaraduhita R.A

Baru-baru ini, ramai diperbincangkan mengenai penyitaan aset jaminan senilai triliunan rupiah suatu perusahaan oleh Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (“Satgas BLBI”).[1] Tugas Satgas BLBI adalah melaksanakan hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti.[2] Pengertian Piutang Negara dituangkan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara. Pasal tersebut menjelaskan:

Pasal 8

“Yang dimaksud dengan Piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun.”

            Berdasarkan pasal tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa suatu perusahaan yang berutang kepada negara (umumnya disebut sebagai obligor) wajib membayarkan sejumlah uang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Utang dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didefinisikan sebagai:

“Pasal 1

6. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”

Dalam melakukan upaya penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara, kelompok kerja (“pokja”) Satgas BLBI diklasifikasikan menjadi 3 (tiga). Masing-masing pokja merupakan perwakilan dari Kementerian atau Lembaga Negara. Pertama, Pokja Data dan Bukti yang terdiri atas perwakilan Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Pokja pertama ini bertugas untuk melakukan pengumpulan, verifikasi dan klasifikasi, serta tugas lain dalam rangka penyediaan data dan dokumen terkait debitur atau obligor, jaminan, harta kekayaan lain, perjanjian atau dokumen perikatan lainnya, dan dokumen lain sehubungan penanganan hak tagih BLBI. Kedua, Pokja Pelacakan yang terdiri dari perwakilan Badan Intelijen Negara, Kementerian Keuangan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pokja kedua ini bertugas melakukan pelacakan dan penelusuran data debitur atau obligor, jaminan, harta kekayaan lain, dan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain di dalam dan luar negeri. Ketiga, Pokja Penagihan dan Litigasi yang terdiri dari perwakilan Kejaksaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Pokja ketiga ini bertugas melakukan upaya penagihan, tindakan hukum atau upaya hukum yang diperlukan dalam pengembalian dan pemulihan piutang dana BLBI baik di dalam negeri maupun luar negeri.[3]

Tentu dalam penindakannya, Satgas BLBI harus tetap mengedepankan asas good governance, transparan, akuntabel, dan berpijak pada asas hukum yang bisa dipertanggungjawabakan agar tidak terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dalam melaksanakan hak tagih negara kepada para obligor.[4]

Dasar Hukum:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Referensi:

https://bisnis.tempo.co/read/1604468/terkini-bisnis-satgas-blbi-sita-aset-obligor-di-bogor-jawaban-pertamina-atas-kritik-jokowi?page_num=1

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/satgas-blbi-sita-aset-grup-texmaco-ini-daftarnya/#:~:text=%E2%80%9CTugas%20Satgas%20BLBI%20adalah%20mengembalikan,Pers%20yang%20dilaksanakan%20di%20Kantor Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers Pelantikan Pokja dan Sekretariat Satgas BLBI, Jumat, 4 Juni 2021. https://timlo.net/baca/145078/sri-mulyani-jelaskan-tugas-dan-wewenang-satgas-blbi/ 

https://www.liputan6.com/news/read/4996692/hindari-gugatan-hukum-penyitaan-aset-blbi-dinilai-harus-sesuai-verifikasi

https://bisnis.tempo.co/read/1604468/terkini-bisnis-satgas-blbi-sita-aset-obligor-di-bogor-jawaban-pertamina-atas-kritik-jokowi?page_num=1

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/satgas-blbi-sita-aset-grup-texmaco-ini-daftarnya/#:~:text=%E2%80%9CTugas%20Satgas%20BLBI%20adalah%20mengembalikan,Pers%20yang%20dilaksanakan%20di%20Kantor

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers Pelantikan Pokja dan Sekretariat Satgas BLBI, Jumat, 4 Juni 2021. https://timlo.net/baca/145078/sri-mulyani-jelaskan-tugas-dan-wewenang-satgas-blbi/

https://www.liputan6.com/news/read/4996692/hindari-gugatan-hukum-penyitaan-aset-blbi-dinilai-harus-sesuai-verifikasi

0

POLEMIK DRAF RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RKUHP) TERHADAP KEHIDUPAN BERDEMOKRASI DI INDONESIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Ilham M. Rajab

Kebebasan berekspresi atau freedom of expression merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu hak-hak sipil dan politik yang merupakan generasi pertama hak asasi manusia. Hak ini merupakan hak negatif yang mensyaratkan tidak adanya campur tangan dari negara atas hak-hak dan kebebasan individu tersebut. Pengertian freedom of expression mencangkup konsep freedom of press dan freedom of speech. Jaminan akan kebebasan berekspresi telah dinyatakan dalam berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia, antara lain pada Universal Declaration Human Right dan International Covenant on Civil and Politic Right. Akan tetapi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Politic Right, kebebasan berekspresi tersebut bersifat restriktif, artinya pendapat hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang demi menghormati hak, reputasi orang lain, dan dalam rangka melindungi keamanan nasional. Kebebasan berekspresi harus menghormati: (i) hak-hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights and freedoms of others); (ii) aturan-aturan moral yang diakui umum (generally accepted moral code); (iii) ketertiban umum (public order); (iv) kesejahteraan umum (general welfare); (v) keamanan umum (public safety); (vi) keamanan nasional dan keamanan masyarakat (national and social security); (vii) kesehatan umum (public health); (viii) menghindari penyalahgunaan hak (abuse of right); (ix) asas-asas demokrasi; dan (x) hukum positif.[1]

Polemik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus berlanjut. Sederet pasal dalam rancangan undang-undang tersebut dinilai bermasalah dan berpotensi jadi pasal karet. Salah satu yang dipersoalkan yakni aturan tentang demonstrasi di tempat umum. Menurut Pasal 273 draf RKUHP tahun 2019, aksi unjuk rasa tanpa pemberitahuan ke pihak berwenang bisa dipidana selama satu tahun atau denda paling banyak kategori II.[2] Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) huruf b draft RKUHP, pidana denda kategori II sendiri yaitu Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).[3]

Adapun bunyi daripada Pasal 273 draft RKHUP tahun 2019 ialah sebagai berikut :

Pasal 273

“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.[4]

Pada tanggal 4 Juli 2022, diterbitkan draft RKUHP tahun 2022. Di dalam draft RKHUP tahun 2022 mengenai demonstasi ditempat umum mendapatkan perubahan khususnya di nomor pasal dan juga lamanya pidana penjara. Jika sebelumnya pada draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2019 mengatur soal demonstasi di tempat umum pada pasal 273 dan mengenakan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun, draft Rancangan Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2022 mengatur soal demonstrasi di tempat umum pada pasal 256 dan pidana penjaranya paling lama 6 (enam) bulan. Adapun bunyi pasal 256 draft RKHUP tahun 2022 adalah :

Pasal 256

“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.[5]

Pada dasarnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah menjamin bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.[6] Penyampaian pendapat di muka umum, unjuk rasa atau demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda jika diteliti dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi atau unjuk rasa adalah hak setiap warga Negara yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, khususnya pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi:

Pasal 1 angka 1

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[7]

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga menerangkan bahwa unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebainya secara demonstratif di muka umum.[8] Menurut Alpian Hamzah, bahwa gerakan unjuk rasa mengandung dua macam bentuk secara bersamaan: pertama, menumbangkan rezim pongah ala Orde Baru. Menarik untuk disimak bahwa “pongah” dalam bahasa Indonesia bisa berarti congkak, sangat sombong, angkuh, sekaligus juga bodoh dan dungu. Ini menunjukkan bahwa di balik setiap kecongkakan dan kesombongan, ada kepala-kepala keras yang membantu. Kedua, gerakan unjuk rasa dan reformasi bertujuan menegakkan masyarakat yang adil, sejahtera, sentosa, makmur, dan demokratis, suatu masyarakat madani yang dicita-citakan oleh setiap manusia yang berhati nurani.[9]

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:

  1. Mengeluarkan pikiran secara bebas;
  2. Memperoleh perlindungan hukum.[10]

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

  1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
  2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
  3. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
  5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.[11]

Bentuk-bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum sendiri diatur dalam pasal 9 sampai pasal 14 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Hukum. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:

  1. Unjuk rasa atau demonstrasi;
  2. Pawai;
  3. Rapat umum; dan atau
  4. Mimbar bebas.[12]

Penyampaian pendapat dimuka umum diatas, dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum kecuali dilingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, Pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional dan juga pada hari besar nasional.[13] Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.[14]

Dalam hal dilakukan penyampaian pendapat di muka umum, wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian Republik Indonesia oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Kepolisian Republik Indonesia setempat. Pemberitahuan secara tertulis tersebut tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.[15]

Surat pemberitahuan yang diserahkan kepada pihak kepolisian memuat:

  1. Maksud dan tujuan;
  2. Tempat, lokasi, dan rute;
  3. Waktu dan lama;
  4. Bentuk;
  5. Penanggung jawab;
  6. Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
  7. Alat peraga yang dipergunakan; dan atau
  8. Jumlah peserta.[16]

Mengenai sanksi yang diatur, pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum berbunyi :

Pasal 15

“Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkanapabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11.[17]

Sementara berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, bentuk kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum meliputi:

  1. Unjuk rasa atau demonstrasi;
  2. Pawai;
  3. Rapat umum;
  4. Mimbar bebas;
  5. Penyampaian ekspresi secara lisan, aksi diam, aksi teatrikal, dan isyarat;
  6. Penyampaian pendapat dengan alat peraga, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, petisi, spanduk; dan
  7. Kegiatan lain yang intinya bertujuan menyampaikan pendapat di muka umum.[18]

Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan, pada tempat dan waktu sebagai berikut:

  1. Di tempat terbuka antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00, waktu setempat; dan
  2. Di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00, waktu setempat.[19]

Selain mengenai demonstrasi di tempat umum, dalam draft RKHUP juga mengatur mengenai penghinaan. Salah satu pasalnya yaitu adalah pasal 240 draft RKHUP tahun 2022 mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah yang berbunyi:

Pasal 240

“Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.[20]

Penghinaan kepada pemerintah tersebut juga berlaku apabila dilakukan melalui sarana teknologi, sebagaimana diatur dalam pasal 241 draft RKUHP tahun 2022 yang berbunyi:

Pasal 241

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”.[21]

Selanjutnya terdapat juga aturan Penghinaan yang ditujukan kepada Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, sebagaimana dalam pasal 351 ayat (1), (2) dan (3) draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 351

“(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina”.[22]

Penghinaan yang diatur di RKHUP juga tidak terbatas pada penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum dan lembaga negara saja, melainkan diatur pula penghinaan yang ditujukan terhadap Golongan Penduduk sebagaimana diatur dalam pasal 242 draft RKUHP tahun 2022 yang berbunyi:

Pasal 242

“Setiap Orang yang Di Muka Umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.[23]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019

Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

Referensi:

Kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2022/07/06/06300011/mengenal-pasal-demonstrasi-tanpa-pemberitahuan-di-rkuhp-yang-jadi?page=all#page2, diakses pada 8 Juli 2022

Muhammad Gazali Rahman, “Unjuk Rasa Versus Menghujat (Analisi Deskriptif melalui Pendekatan Hukum Islam)”, dalam Jurnal Vol. 12, No. 2, Desember 2015, halaman 336.

Prahassacitta, V., & Hasibuan, B. M, Disparitas perlindungan kebebasan berekspresi dalam penerapan pasal penghinaan Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik, Jurnal Yudisial, 12, (1), hal. 66-67


[1] Prahassacitta, V., & Hasibuan, B. M, Disparitas perlindungan kebebasan berekspresi dalam penerapan pasal penghinaan Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik, Jurnal Yudisial, 12, (1), hal. 66-67

[2] Kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2022/07/06/06300011/mengenal-pasal-demonstrasi-tanpa-pemberitahuan-di-rkuhp-yang-jadi?page=all#page2, diakses pada 8 Juli 2022

[3] Pasal 79 ayat (1) huruf b draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019

[4] Pasal 273 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019

[5] Pasal 256 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[6] Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

[7] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[8] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[9] Muhammad Gazali Rahman, “Unjuk Rasa Versus Menghujat (Analisi Deskriptif melalui Pendekatan Hukum Islam)”, dalam Jurnal Vol. 12, No. 2, Desember 2015, halaman 336.

[10] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[11] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[12] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[13] Pasal 9 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[14] Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[15] Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[16] Pasal 11 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[17] Pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

[18] Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum

[19] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum

[20] Pasal 240 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[21] Pasal 241 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[22] Pasal 351 ayat (1), (2) dan (3) draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

[23] Pasal 242 draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022

1 2 3
Translate