Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Ilham M. Rajab
Kebebasan
berekspresi atau freedom of expression merupakan bagian dari hak asasi
manusia dan merupakan salah satu hak-hak sipil dan politik yang merupakan
generasi pertama hak asasi manusia. Hak ini merupakan hak negatif yang
mensyaratkan tidak adanya campur tangan dari negara atas hak-hak dan kebebasan
individu tersebut. Pengertian freedom of expression mencangkup konsep freedom
of press dan freedom of speech. Jaminan akan kebebasan berekspresi telah
dinyatakan dalam berbagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia,
antara lain pada Universal Declaration Human Right dan International
Covenant on Civil and Politic Right. Akan tetapi sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 International Covenant on Civil and Politic Right, kebebasan
berekspresi tersebut bersifat restriktif, artinya pendapat hanya dapat
dilakukan berdasarkan undang-undang demi menghormati hak, reputasi orang lain,
dan dalam rangka melindungi keamanan nasional. Kebebasan berekspresi harus
menghormati: (i) hak-hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights
and freedoms of others); (ii) aturan-aturan moral yang diakui umum (generally
accepted moral code); (iii) ketertiban umum (public order); (iv)
kesejahteraan umum (general welfare); (v) keamanan umum (public
safety); (vi) keamanan nasional dan keamanan masyarakat (national and
social security); (vii) kesehatan umum (public health); (viii)
menghindari penyalahgunaan hak (abuse of right); (ix) asas-asas
demokrasi; dan (x) hukum positif.[1]
Polemik
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus berlanjut.
Sederet pasal dalam rancangan undang-undang tersebut dinilai bermasalah dan
berpotensi jadi pasal karet. Salah satu yang dipersoalkan yakni aturan tentang
demonstrasi di tempat umum. Menurut Pasal 273 draf RKUHP tahun 2019, aksi unjuk
rasa tanpa pemberitahuan ke pihak berwenang bisa dipidana selama satu tahun
atau denda paling banyak kategori II.[2]
Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) huruf b draft RKUHP, pidana denda kategori II
sendiri yaitu Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).[3]
Adapun
bunyi daripada Pasal 273 draft RKHUP tahun 2019 ialah sebagai berikut :
Pasal
273
“Setiap
orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan
pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang
mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau
huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.[4]
Pada
tanggal 4 Juli 2022, diterbitkan draft RKUHP tahun 2022. Di dalam draft RKHUP tahun
2022 mengenai demonstasi ditempat umum mendapatkan perubahan khususnya di nomor
pasal dan juga lamanya pidana penjara. Jika sebelumnya pada draft Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2019 mengatur soal demonstasi di tempat
umum pada pasal 273 dan mengenakan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun, draft
Rancangan Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2022 mengatur soal demonstrasi
di tempat umum pada pasal 256 dan pidana penjaranya paling lama 6 (enam) bulan.
Adapun bunyi pasal 256 draft RKHUP tahun 2022 adalah :
Pasal 256
“Setiap
Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan
pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang
mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru
hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
atau pidana denda paling banyak kategori II”.[5]
Pada
dasarnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
telah menjamin bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.[6]
Penyampaian pendapat di muka umum, unjuk rasa atau demonstrasi memiliki banyak
definisi dan pengertian yang berbeda-beda jika diteliti dari sudut pandang yang
berbeda. Demonstrasi atau unjuk rasa adalah hak setiap warga Negara yang
dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, khususnya pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi:
Pasal 1 angka 1
“Kemerdekaan
menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran
dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[7]
Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga
menerangkan bahwa unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan
sebainya secara demonstratif di muka umum.[8] Menurut
Alpian Hamzah, bahwa gerakan unjuk rasa mengandung dua macam bentuk secara
bersamaan: pertama, menumbangkan rezim pongah ala Orde Baru. Menarik untuk
disimak bahwa “pongah” dalam bahasa Indonesia bisa berarti congkak, sangat
sombong, angkuh, sekaligus juga bodoh dan dungu. Ini menunjukkan bahwa di balik
setiap kecongkakan dan kesombongan, ada kepala-kepala keras yang membantu. Kedua,
gerakan unjuk rasa dan reformasi bertujuan menegakkan masyarakat yang adil,
sejahtera, sentosa, makmur, dan demokratis, suatu masyarakat madani yang dicita-citakan
oleh setiap manusia yang berhati nurani.[9]
Warga
negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
- Mengeluarkan
pikiran secara bebas;
- Memperoleh
perlindungan hukum.[10]
Warga
negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk:
- Menghormati
hak-hak dan kebebasan orang lain;
- Menghormati
aturan-aturan moral yang diakui umum;
- Menaati
hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menjaga
dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
- Menjaga
keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.[11]
Bentuk-bentuk
dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum sendiri diatur dalam pasal 9
sampai pasal 14 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Hukum. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum
dapat dilaksanakan dengan:
- Unjuk
rasa atau demonstrasi;
- Pawai;
- Rapat
umum; dan atau
- Mimbar
bebas.[12]
Penyampaian
pendapat dimuka umum diatas, dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum
kecuali dilingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer,
rumah sakit, Pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan
darat, dan obyek-obyek vital nasional dan juga pada hari besar nasional.[13]
Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum dilarang membawa
benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.[14]
Dalam
hal dilakukan penyampaian pendapat di muka umum, wajib diberitahukan secara
tertulis kepada Kepolisian Republik Indonesia oleh yang bersangkutan, pemimpin
atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Kepolisian Republik
Indonesia setempat. Pemberitahuan secara tertulis tersebut tidak berlaku bagi
kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.[15]
Surat
pemberitahuan yang diserahkan kepada pihak kepolisian memuat:
- Maksud
dan tujuan;
- Tempat,
lokasi, dan rute;
- Waktu
dan lama;
- Bentuk;
- Penanggung
jawab;
- Nama
dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
- Alat
peraga yang dipergunakan; dan atau
- Jumlah
peserta.[16]
Mengenai
sanksi yang diatur, pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum berbunyi :
Pasal
15
“Pelaksanaan
penyampaian pendapat di muka umum dibubarkanapabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11.”[17]
Sementara
berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara
Penyampaian Pendapat di Muka Umum, bentuk kegiatan penyampaian pendapat dimuka
umum meliputi:
- Unjuk
rasa atau demonstrasi;
- Pawai;
- Rapat
umum;
- Mimbar
bebas;
- Penyampaian
ekspresi secara lisan, aksi diam, aksi teatrikal, dan isyarat;
- Penyampaian
pendapat dengan alat peraga, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, petisi,
spanduk; dan
- Kegiatan
lain yang intinya bertujuan menyampaikan pendapat di muka umum.[18]
Penyampaian
pendapat di muka umum dilaksanakan, pada tempat dan waktu sebagai berikut:
- Di
tempat terbuka antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00, waktu setempat; dan
- Di
tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00, waktu setempat.[19]
Selain
mengenai demonstrasi di tempat umum, dalam draft RKHUP juga mengatur mengenai
penghinaan. Salah satu pasalnya yaitu adalah pasal 240 draft RKHUP tahun 2022
mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah yang berbunyi:
Pasal
240
“Setiap
Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang
berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.[20]
Penghinaan
kepada pemerintah tersebut juga berlaku apabila dilakukan melalui sarana
teknologi, sebagaimana diatur dalam pasal 241 draft RKUHP tahun 2022 yang
berbunyi:
Pasal
241
“Setiap
orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar
sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh
umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi
penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan
diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori V”.[21]
Selanjutnya
terdapat juga aturan Penghinaan yang ditujukan kepada Kekuasaan Umum dan
Lembaga Negara, sebagaimana dalam pasal 351 ayat (1), (2) dan (3) draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022 yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 351
“(1) Setiap Orang yang Di
Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau
pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak
yang dihina”.[22]
Penghinaan yang
diatur di RKHUP juga tidak terbatas pada penghinaan terhadap pemerintah,
kekuasaan umum dan lembaga negara saja, melainkan diatur pula penghinaan yang
ditujukan terhadap Golongan Penduduk sebagaimana diatur dalam pasal 242 draft
RKUHP tahun 2022 yang berbunyi:
Pasal
242
“Setiap
Orang yang Di Muka Umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk
Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, jenis kelamin,
disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.[23]
Dasar Hukum:
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
Peraturan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian
Pendapat di Muka Umum
Draft
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019
Draft
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022
Referensi:
Kompas.com,
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/06/06300011/mengenal-pasal-demonstrasi-tanpa-pemberitahuan-di-rkuhp-yang-jadi?page=all#page2, diakses pada 8 Juli 2022
Muhammad Gazali Rahman, “Unjuk Rasa Versus
Menghujat (Analisi Deskriptif melalui Pendekatan Hukum Islam)”, dalam Jurnal
Vol. 12, No. 2, Desember 2015, halaman 336.
Prahassacitta, V., & Hasibuan, B. M,
Disparitas perlindungan kebebasan berekspresi dalam penerapan pasal penghinaan
Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik, Jurnal Yudisial, 12, (1),
hal. 66-67
[1] Prahassacitta, V., & Hasibuan, B. M, Disparitas
perlindungan kebebasan berekspresi dalam penerapan pasal penghinaan
Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik,
Jurnal Yudisial, 12, (1), hal. 66-67
[2] Kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2022/07/06/06300011/mengenal-pasal-demonstrasi-tanpa-pemberitahuan-di-rkuhp-yang-jadi?page=all#page2, diakses pada 8 Juli 2022
[3] Pasal 79 ayat (1)
huruf b draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019
[4] Pasal 273 draft
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019
[5] Pasal 256 draft
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022
[6] Pasal 28 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
[7] Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di
Muka Umum
[8] Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di
Muka Umum
[9] Muhammad Gazali Rahman, “Unjuk Rasa Versus Menghujat (Analisi
Deskriptif melalui Pendekatan Hukum Islam)”, dalam Jurnal Vol. 12, No. 2,
Desember 2015, halaman 336.
[10] Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[11] Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[12] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[13] Pasal 9 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[14] Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[15] Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[16] Pasal 11 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[17] Pasal 15 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
[18] Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara
Penyampaian Pendapat di Muka Umum
[19] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara
Penyampaian Pendapat di Muka Umum
[20] Pasal 240 draft
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022
[21] Pasal 241 draft Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Tahun 2022
[22] Pasal 351 ayat (1), (2) dan (3) draft Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2022
[23] Pasal 242 draft Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Tahun 2022