0

THE RELATIONSHIP BETWEEN NON-FUNGIBLE TOKEN (NFT) AND INDONESIAN LAW

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik  

REFERENSI: 
Apriliana Khomsa Kinanti dan Dewi Sulistianingsih. 2022. “Hak Karya Cipta Non-Fungible Token (NFT) Dalam Sudut Pandang Hukum Hak Kekayaan Intelektual”. Dalam Jurnal KRTHA BHAYANGKARA Vol. 16/No. 1/Mei/2022.
Alexander Sugiharto, Muhammad Yusuf Musa & Mochamad James Falahuddin. 2022. “NFT & Metaverse: Blockchain Dunia Virtual, & Regulasi”. Jakarta: Indonesian Legal Study For Crypto Asset and Blockchain. “What is a Non-Fungiable Token (NFT)? https://sanctionscanner.com/blog/what-is-a-non-fungible-token-nft-375
“NFTs are suddenly everywhere, but they some have big problems.” CNN Business, 2021. https://edition.cnn.com/2021/03/30/tech/nft-hacking-theft-environment-concerns/index.html
“Perdagangan Non-Fungible Token (NFT) dalam Hukum Indonesia” https://kliklegal.com/perdagangan-non-fungible-token-nft-dalam-hukum-indonesia/
“SIARAN PERS NO. 9/HM/KOMINFO/01/2022 tentang Pengawasan Kementerian Kominfo terhadap Kegiatan Transaksi Non-Fungible Token (NFT) di Indonesia” https://m.kominfo.go.id/content/detail/39402/siaran-pers-no-9hmkominfo012022-tentang-pengawasan-kementerian-kominfo-terhadap-kegiatan-transaksi-non-fungible-token-nft-di-indonesia/0/siaran_pers  

Teknologi berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan zaman terutama pada bidang perdagangan digital karena masyarakat juga memiliki pemikiran yang lebih praktis sehingga menginginkan segala sesuatu yang lebih mudah dan efisien seperti penggunaan NFT yang dipergunakan seniman untuk menjual karyanya dalam bentuk digital. Non-Fungible Token atau sering disebut dengan NFT adalah suatu aset dalam bentuk digital yang disimpan pada buku kas publik (ledger) terdistribusi yang mencatat transaksi dan memiliki kode indentifikasi serta metadata unik berbeda satu sama lain yang berada pada jaringan blockchain. NFT ini dapat dikatakan aset digital yang mewakili objek dunia nyata seperti karya seni lukisan, animasi, foto, video, gambar, musik, tanda tangan, tiket, dan karya kreatif lainnya. Berbeda dengan cryptocurrencies karena setiap cryptocurrency dianggap sama dengan yang lainnya sehingga dapat dipertukarkan tokennya atau disebut dengan fungible tokens.[1]   Buku “NFT & Metaverse: Blockchain, Dunia Virtual, & Regulasi”, menjelaskan beberapa karakteristik dari NFT, seperti, NFT dapat digunakan untuk menciptakan aset digital yang unik karena setiap token NFT tidak ada yang sama dan keunikan lainnya dari NFT yaitu dapat terekam dalam jaringan blockchain, kemudian kepemilikan, sumber, dan pergerakan NFT juga bisa dilacak secara real time karena NFT bersifat transparan sehingga dapat dilihat pada jaringan blockchain. NFT tidak dapat dipalsukan atau direplikasi, karena pada setiap token telah ada pada buku besar (ledger) digital yang tidak bisa diubah dan jaringan terdesentralisasi sehingga memungkinkan token untuk diautentikasi. NFT ini juga termasuk aplikasi yang mudah beradaptasi, mudah berbaur dengan ekosistem digital pada dunia metaverse yang mendukung penggunaan dan aplikasi NFT. Pemain dapat melakukan pembelian dan memperjualbelikan NFT pada berbagai NFT market place platform.[2]   Transaksi yang dilakukan dalam jual beli karya di NFT oleh pembuat karya dan pembeli ini menimbulkan akibat hukum karena ketika bertransaksi dalam NFT akan terjadi pembagian hak, yaitu hak cipta dan hak milik. Namun masih banyak kekeliruan dan kerancuan yang terjadi ketika bertransaksi dalam NFT, posisi pemilik hak cipta dan pemilik hak milik terkadang membingungkan masyarakat yang masih awam terhadap penggunaan NFT. Sehingga diperlukan penjelasan terkait hak cipta dan hak milik dalam karya yang diperjualbelikan pada NFT.[3]  
NFT merupakan platform digital baru yang membantu para seniman untuk memberdayakan hasil karyanya dengan pengaksesan yang mudah serta alat dan metode yang aman sehingga dapat dengan mudah digunakan. Hal tersebut memungkinkan seniman untuk memonetisasi karya mereka dalam proses yang lebih efisien. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa masih banyak masalah hukum dan teknis yang terjadi pada NFT. Seperti pada kedudukan NFT pada hak kekayaan intelektual, dimana pemilik NFT tidak secara langsung memiliki aset atau karya seni yang dibelinya, karena yang dimiliki oleh pemilik hanyalah hash code dan catatan yang menunjukan bahwa pemilik memiliki token yang unik dalam aset digital yang dibelinya.[4]  
NFT memiliki tujuan untuk menghindari segala bentuk duplikat secara ilegal yang mana merupakan bentuk pelanggaran KI seniman, namun pada implementasinya NFT ini masih terkendala di lapangan dalam mengklaim kepemilikan karyanya dikarenakan kurang transparansi dan dilakukan atau dijalankan oleh anonim dalam sistem blockchain sehingga siapapun dapat mengklaim seni digital sebagai karyanya dengan menyematkan token pada karya tersebut. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa transaksi yang ada di blockchain ini dicatat secara publik dalam buku kas besar digital dan tidak dapat diubah, sehingga lebih memungkinkan untuk dilakukan pelampiran identitas pada transaksi yang dilakukan dan hal ini membuat lebih sulit untuk mengenali dan menangkap tindakan art theft jika terjadi pencurian karya dalam NFT.[5]  
NFT memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek hukum Indonesia. Hukum Kebendaan misalnya, pada pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan: “Pasal 499 Menurut undang-undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.”   Sebagai peninggalan era kolonial, hukum benda tidak ditujukan untuk mencakup objek digital. Namun, konsepsi hukum benda tersebut telah mengakui keberadaan benda bergerak tidak berwujud seperti piutang, hak penagihan lainnya, dan juga Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berbunyi: “Pasal 16 Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud.”   Dalam perkembangannya, Indonesia mengakui pula keberadaan barang digital yang merupakan barang tidak berwujud berbentuk informasi elektronik. Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menjelaskan pengertian dari Barang Digital yaitu: “Pasal 1 19. Barang digital adalah setiap barang tidak berwujud yang berbentuk informasi elektronik atau digital meliputi barang yang merupakan hasil konversi atau pengalihwujudan maupun barang yang secara originalnya berbentuk elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada piranti lunak, multimedia, dan/atau data elektronik.”   Selain hukum kebendaan, keberadaan NFT terkait pula dengan hukum kekayaan intelektual. Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa: “Pasal 25 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”   Berdasarkan pasal diatas, NFT dapat dilindungi sebagai hak kekayaan intelektual karena sejatinya NFT merupakan karya seni yang dienkripsikan ke dalam jaringan blockchain. Karena NFT merupakan suatu karya baik itu karya seni, karya musik, video, item game, dan lain-lain yang dienkripsi ke dalam jaringan blockchain sehingga sering kali NFT dikaitkan dengan hak cipta. Kepemilikan terhadap NFT bukan berarti akan memberikan hak cipta atas aset digital tersebut, pencipta dapat menjual NFT yang mewakili karya mereka dan tidak dilarang untuk membuat lebih banyak NFT dari karya yang sama. Dengan begitu, NFT hanya menjadi bukti kepemilikan yang terpisah dari hak cipta, kecuali telah terjadi perjanjian lain antara pencipta dengan pembeli NFT maka hak cipta tersebut dapat dipindah kepada pembeli dan hak cipta tetap berada di tangan si pencipta dan pembeli hanya memiliki kepemilikan terhadap NFT.[6]   Keberadaan NFT juga dapat dikaitkan dengan hukum perdagangan Indonesia karena sifat NFT, yaitu dapat diperjualbelikan. Secara umum, jual beli aset kripto diatur oleh Kementerian Perdagangan dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Walaupun saat ini Indonesia telah memiliki peraturan mengenai aset kripto yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (crypto asset), namun untuk Peraturan NFT sendiri masih belum diatur di Indonesia.[7] Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia hanya mengeluarkan Siaran Pers No. 9/HM/KOMINFO/01/2022 tentang Pengawasan Kementrian Kominfo terhadap Kegiatan Transaksi Non-Fungiable Token (NFT) di Indonesia yang memiliki 5 (lima) poin yaitu: Menyikapi fenomena pemanfaatan teknologi Non-Fungible Token (NFT) yang semakin populer beberapa waktu terakhir, Kementerian Kominfo mengingatkan para platfom transaksi NFT untuk memastikan platformnya tidak memfasilitasi penyebaran konten yang melanggar peraturan perundang-undangan, baik berupa pelanggaran ketentuan pelindungan data pribadi, hingga pelanggaran hak kekayaan intelektual.Menteri Kominfo telah memerintahkan jajaran terkait di Kementerian Kominfo untuk mengawasi kegiatan transaksi Non-Fungible Token (NFT) yang berjalan di Indonesia, serta melakukan koordinasi dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Kementerian Perdagangan (Bappebti) selaku Lembaga berwenang dalam tata kelola perdagangan aset kripto.UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahannya dan peraturan pelaksananya, mewajibkan seluruh PSE untuk memastikan platformnya tidak digunakan untuk tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap kewajiban yang ada dapat dikenakan sanksi administratif termasuk di antaranya pemutusan akses platform bagi pengguna dari Indonesia.Kementerian Kominfo mengimbau masyarakat untuk dapat merespon tren transaksi NFT dengan lebih bijak sehingga potensi ekonomi dari pemanfaatan NFT tidak menimbulkan dampak negatif maupun melanggar hukum, serta terus meningkatkan literasi digital agar semakin cakap dalam memanfaatkan teknologi digital secara produktif, dan kondusif.Kementerian Kominfo akan mengambil tindakan tegas dengan melakukan koordinasi bersama Bappebti, Kepolisian, dan Kementerian/Lembaga lainnya untuk melakukan tindakan hukum bagi pengguna platform transaksi NFT yang menggunakan tersebut untuk melanggar hukum.[8]
LEGAL BASIS:    

Code of Civil LawLaw Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic TransactionsLaw Number 28 of 2014 concerning CopyrightsGovernment Regulation Number 80 of 2019 concerning Trading Through Electronic Systems

REFERENCE:
Apriliana Khomsa Kinanti and Dewi Sulistianingsih. 2022. “Copyright Non-Fungible Token (NFT) in the Point of View of Intellectual Property Rights Law”. In the Journal of KRTHA BHAYANGKARA Vol. 16/No. 1/May/2022.
Alexander Sugiharto, Muhammad Yusuf Musa & Mochamad James Falahuddin. 2022. “NFT & Metaverse: Virtual World Blockchain, & Regulation”. Jakarta: Indonesian Legal Study For Crypto Assets and Blockchain.
“What is a Non-Fungiable Token (NFT)? https://sanctionscanner.com/blog/what-is-a-non-fungible-token-nft-375
“NFTs are suddenly everywhere, but they some have big problems.” CNN Business, 2021. https://edition.cnn.com/2021/03/30/tech/nft-hacking-theft-environment-concerns/index.html
“Trading of Non-Fungible Tokens (NFT) in Indonesian Law” https http://kliklegal.com/perdagangan-non-fungible-token-nft-dalam-law-indonesia/
“PRESS RELEASE NO. 9/HM/KOMINFO/01/2022 concerning Supervision of the Ministry of Communication and Informatics on Non-Fungible Token (NFT) Transaction Activities in Indonesia” https://m.kominfo.go.id/content/detail/39402/siaran-pers-no- 9hmkominfo012022-about-supervision-ministerial-kominfo-against-transaction-non-fungible-token-nft-in-indonesia/0/siaran_pers        

Technology is developing very rapidly along with the times, especially in the field of digital trade because people also have more practical thoughts so they want things that are easier and more efficient, such as using NFT, which is used by artists to sell their work in digital form. Non-Fungible Token or often referred to as NFT is an asset in digital form that is stored in a distributed public ledger that records transactions and has an identification code and unique metadata that are different from each other on the blockchain. This NFT can be said to be a digital asset that represents real-world objects such as artwork, paintings, animations, photos, videos, images, music, signatures, tickets, and other creative works. Different from cryptocurrencies because each cryptocurrency is considered the same as the others so that the tokens can be exchanged or called fungible tokens.   The book “NFT & Metaverse: Blockchain, Virtual World, & Regulation”, explains some of the characteristics of NFT, such as, NFT can be used to create unique digital assets because each NFT token is not the same and another uniqueness of NFT is that it can be recorded on the network. blockchain, then the ownership, source, and movement of NFT can also be tracked in real time because NFT is transparent so it can be seen on the blockchain. NFT cannot be faked or replicated, as each token is already on an ledger immutable digitalNFT also includes applications that are adaptable, easy to blend with the digital ecosystem in the metaverse that supports the use and application of NFT. Players can buy and trade NFT on various NFT market place platforms.   Transactions carried out in the sale and purchase of works in NFT by the creators and buyers of this work have legal consequences because when transacting in NFT there will be a distribution of rights, namely copyright and property rights. However, there are still many mistakes and confusions that occur when transacting in NFT, the position of copyright owner and owner of property rights sometimes confuses people who are still unfamiliar with the use of NFT. So an explanation is needed regarding copyright and property rights in works traded on NFT.  
NFT is platform that helps artists to empower their work with easy access and safe tools and methods so that they can be easily used. This allows artists to monetize their work in a more efficient process. However, it is undeniable that there are still many legal and technical problems that occur in NFT. As with the position of NFT on intellectual property rights, where the owner of the NFT does not directly own the asset or artwork he bought, because what the owner has is only a hash code and records showing that the owner has a unique token in the digital asset he bought.  
NFT has the aim of avoiding all forms of illegal duplicates which are a form of violation of the artist’s intellectual property rights, but in its implementation, NFT is still having problems in claiming ownership of his work due to lack of transparency and is carried out or run anonymously in the blockchain so that anyone can claim digital art as his work by embedding a token on the work. As explained above that transactions on blockchain are publicly recorded in a digital ledger and cannot be changed, so it is more possible to attach identities to transactions that are carried out and this makes it more difficult to recognize and capture art theft if theft of works in the NFT.  
The NFT has links to various aspects of Indonesian law. Material Law, for example, in Article 499 of the Civil Code (KUHPerdata) it is stated: “Article 499 According to the law, goods are every object and every right that can be the object of property rights.”   As a relic of the colonial era, property law is not intended to cover digital objects. However, the legal conception of the object has recognized the existence of intangible movable objects such as receivables, other collection rights, and also Copyrights as regulated in Article 16 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright which reads: “Article 16 (1) Copyright is an intangible movable object.”   In its development, Indonesia also recognizes the existence of digital goods which are intangible goods in the form of electronic information. Article 1 number 19 of Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trading Through Electronic Systems explains the meaning of Digital Goods, namely: “Article 1 19. Digital goods are any intangible goods in the form of electronic or digital information, including goods that are the result of conversion or conversion or goods which are originally in electronic form, including but not limited to software, multimedia, and/or electronic data.”   In addition to material law, the existence of NFT is also related to intellectual property law. Based on Article 25 of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions states that: “Article 25 Electronic Information and/or Electronic Documents compiled into intellectual works, internet sites, and intellectual works contained in them are protected as Intellectual Property Rights based on the provisions of the legislation.”   Based on the article above, NFT can be protected as intellectual property rights because NFT is actually a work of art that is encrypted into the blockchain. Because NFT is a work of art, music, videos, game items, etc. that is encrypted into the blockchain , NFT is often associated with copyright. Ownership of the NFT does not mean that it will give copyright to the digital asset, creators can sell NFTs that represent their work and are not prohibited from making more NFTs from the same work. That way, NFT is only proof of ownership that is separate from copyright, unless there is another agreement between the creator and the buyer of the NFT, the copyright can be transferred to the buyer and the copyright remains in the hands of the creator and the buyer only has ownership of the NFT.   The existence of NFTs can also be linked to Indonesian trade law because of the nature of NFTs, namely that they can be traded. In general, the buying and selling of crypto assets is regulated by the Ministry of Trade and the Commodity Futures Trading Regulatory Agency (CoFTRA). Even though Indonesia currently has regulations regarding crypto assets as stated in the Minister of Trade Regulation Number 99 of 2018 concerning the General Policy for the Implementation of Crypto Asset Futures Trading (crypto assets), the NFT Regulation itself is still not regulated in Indonesia.   The Ministry of Communication and Information of the Republic of Indonesia only issued Press Release No. 9/HM/KOMINFO/01/2022 concerning Supervision of the Ministry of Communication and Informatics on Non-Fungiable Token (NFT) Transaction Activities in Indonesia which has 5 (five) points, namely: 1. Responding to the phenomenon of the use of Non-Fungible Token (NFT) technology which has become increasingly popular in recent times, the Ministry of Communication and Informatics reminds NFT transaction platforms to ensure that their platforms do not facilitate the dissemination of content that violates laws and regulations, either in the form of violations of the provisions on the protection of personal data, to violations of rights. intellectual property. 2. The Minister of Communications and Informatics has ordered the relevant ranks at the Ministry of Communication and Information Technology to supervise Non-Fungible Token (NFT) transaction activities in Indonesia, as well as to coordinate with the Commodity Futures Trading Supervisory Agency, Ministry of Trade (CoFTRA) as the authorized institution in the governance of crypto asset trading. 3. UU no. 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions and their amendments and implementing regulations, requires all PSEs to ensure that their platforms are not used for actions that violate laws and regulations. Violation of existing obligations may be subject to administrative sanctions, including termination of platform for users from Indonesia. 4. The Ministry of Communication and Information urges the public to be able to respond to trends in NFT transactions more wisely so that the economic potential of using NFT does not cause negative impacts or violate the law, and continue to improve digital literacy so that they are more proficient in utilizing digital technology in a productive and conducive manner. 5. The Ministry of Communication and Informatics will take firm action by coordinating with CoFTRA, the Police, and other Ministries/Institutions to take legal action for users platform NFT transaction.    

[1] Dewi Sulistianingsih & Apriliana Khomsa Kinanti, Hak Karya Cipta Non-Fungible Token (NFT) Dalam Sudut Pandang Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal KRTHA BHAYANGKARA, Vol. 16 No. 1, hal. 198

[2] Muhammad Yusuf Musa, Mochamad James Falahuddin & Alexander Sugiharto, NFT & Metaverse: Blockchain Dunia Virtual & Regulasi (Jakarta: Indonesian Legal Study for Crypto Asset and Blockchain, 2022)

[3] Dewi Sulistianingsih & Apriliana Khomsa Kinanti, Op. Cit, hal 199

[4] Sanction Scanner, “What Is a Non-Fungible Token (NFT)? Sanction Scanner, diakses pada 24 Juni, 2022, https://sanctionscanner.com/blog/what-is-a-non-fungible-token-nft-375

[5] Rishi Iyengar & Jon Sarlin, “NFTs Are Suddenly Everywhere, but They Have Some Big Problems,” CNN Business, 2021, https://edition.cnn.com/2021/03/30/tech/nft-hacking-theft-environment-concerns/index.html

[6] https://kliklegal.com/perdagangan-non-fungible-token-nft-dalam-hukum-indonesia/ diakses pada tanggal 27 Juni 2022 pukul 10.13

[7] Ibid.

[8] https://m.kominfo.go.id/content/detail/39402/siaran-pers-no-9hmkominfo012022-tentang-pengawasan-kementerian-kominfo-terhadap-kegiatan-transaksi-non-fungible-token-nft-di-indonesia/0/siaran_pers diakses pada tanggal 27Juni 2022 pukul 10.43

0

IMPLEMENTASI PERATURAN PERKAWINAN DALAM PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Anggie Fauziah Dwiliandri

Pengadilan Negeri Surabaya (PN Surabaya) digugat dengan tuduhan perbuatan melawan hukum. Gugatan tersebut dilayangkan terkait dikabulkannya permohonan pernikahan beda agama dua warga Surabaya, [1] yang mana pernikahan dilangsungkan oleh pasangan beragama Islam dan beragama Kristen.Berdasarkan penelusuran pada laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya, gugatan itu didaftarkan tanggal 23 Juni 2022. Gugatan kepada PN Surabaya tersebut diajukan oleh sejumlah orang, dengan tergugat tunggalnya ialah PN Surabaya, serta turut tergugat lainnya yaitu salah satu lembaga yudikatif, instansi pemerintah, hingga beberapa lembaga non-pemerintah.[2]

Sebelum permohonan pernikahan dua warga Surabaya beda agama tersebut dikabulkan oleh PN Surabaya, keduanya telah melangsungkan pernikahan dengan persetujuan keluarga dan menggunakan cara atau syariat agama masing-masing pada bulan Maret 2022. Untuk dapat dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dinas Dukcapil) Surabaya, pernikahan beda agama yang dilangsungkan pasangan tersebut harus terlebih dulu memperoleh putusan dari pengadilan negeri. Melalui Putusan dengan Nomor Penetapan 916/Pdt.P/2022/PN Sby., hakim menjatuhkan putusan dengan amar putusan mengabulkan Permohonan Para Pemohon dan memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya.

Putusan hakim PN Surabaya yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama dua warga Surabaya dalam Putusan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby didasari oleh beberapa pertimbangan. Dalam pertimbangan putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang suatu pernikahan. Pernyataan tersebut merujuk pada Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
  5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  6. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Selain itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan), perkawinan dapat menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutuskannya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan.[3] Terkait ketentuan dalam pasal tersebut, Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan mengatur bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.[4] Artinya, permohonan pengabulan perkawinan beda agama menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memutuskannya, sehingga putusan pengadilan yang mengabulkan perkawinan beda agama dan memerintahkan pencatatan perkawinan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) bersifat mengikat dan harus dilakukan. Tidak hanya itu, hakim juga berpandangan bahwa setiap warga memiliki hak untuk mempertahankan agama dan keyakinannya termasuk saat membangun rumah tangga dengan orang yang berbeda agama. Kebebasan memeluk dan mempertahankan agama dan kepercayaan ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[5]

Umumnya, ketentuan sahnya perkawinan di Indonesia didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.[6] Kemudian berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.[7] Menanggapi ketentuan pasal-pasal tersebut Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 telah mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama yang menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.[8] Meskipun demikian, pro dan kontra dalam putusan penetapan pengadilan yang diakibatkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan masih kerap terjadi. Hal ini dikarenakan pemahaman hakim yang memeriksa dan memutus perkara sangat memengaruhi penjatuhan putusan perkara. Terlebih lagi, Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat sehingga pandangan hakim di wilayah hukum satu dengan yang lain dapat berbeda-beda.[9]Hal ini kemudian berujung pada perbedaan pendapat yang banyak menuai pro dan kontra terhadap putusan pengadilan atas permohonan perkawinan, layaknya gugatan terhadap Pengadilan Negeri Surabaya baru-baru ini. Sementara itu, Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Untuk itu, negara sebagai fasilitator harus menjamin suatu ikatan perkawinan dapat bermanfaat secara hukum perdata yang menyangkut waris, pajak, dan percampuran harta.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Referensi:

CNNIndonesia.com, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220624135252-12-813088/pn-surabaya-digugat-karena-kabulkan-permohonan-nikah-beda-agama, diakses 27 Juni 2022.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia, https://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/38.-Perkawinan-Beda-Agama.pdf, diakses 27 Juni 2022


[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220624135252-12-813088/pn-surabaya-digugat-karena-kabulkan-permohonan-nikah-beda-agama

[2] Ibid

[3] Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

[4] Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

[5] Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[6] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

[7] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

[8] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama

[9] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman


0

PERLINDUNGAN HAK CIPTA DALAM SENGKETA PROGRAM KOMPUTER

Author : Ilham M. Rajab, Co-Author : Adinda Aisyah Chairunnisa

Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra (art and literary) yang di dalamnya mencakup pula program komputer.[1] Dalam hal bentuk perlindungan hak cipta yang ada pada pada program komputer itu dapat ditarik contoh yakni sengketa yang dialami oleh salah satu perusahaan BUMN. Salah satu perusahaan BUMN tersebut digugat senilai Rp322,5 miliar atas pelanggaran hak cipta layanan Tabungan Emas yang dimiliki perusahaan lain. Gugatan dilayangkan melalui kuasa hukum penggugat. Penggugat menilai, layanan Tabungan Emas milik Tergugat dianggap sama dengan sistem investasi dan transaksi jual beli emas milik Penggugat.[2]

Pengaturan mengenai Hak cipta itu sendiri terdapat pada Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, definisi Hak Cipta dituangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, yaitu:

  “Pasal 1

  1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sementara itu, pengertian Program Komputer itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 9 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyatakan:

      “Pasal 1

       9. Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.”

Dalam Pasal 40 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menunjukan lebih tegas bahwa Program Komputer merupakan Ciptaan yang dilindungi, pada pasal tersebut menyatakan bahwa:

Pasal 40

“(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: s. Program Komputer.”

Sebagaimana hak cipta pada ciptaan pada umumnya, perlindungan ciptaan program komputer, menganut prinsip deklaratif, dalam arti tidak memerlukan pendaftaran atau pencatatan ciptaan bagi pencipta untuk mendapatkan hak cipta.[3] Prinsip deklaratif itu sendiri telah disebutkan pada pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang kemudian diperjelas kembali pada pasal 64 ayat (2) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta mengenai pencatatan yang menyatakan bahwa:

Pasal 64 ayat (2)

(2) Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.”

 Telah dijelaskan pada pasal – pasal yang dijabarkan sebelumnya bahwa pencatatan bukan termasuk syarat untuk mendapatkan hak cipta, akan tetapi pencatatan merupakan kegiatan yang penting untuk tindakan tertentu yakni pengalihan yang dimana hal tersebut tertuang dalam pasal 76 ayat (1) sebagai berikut:

Pasal 76 ayat (1)

(1)Pengalihan Hak atas pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dapat dilakukan jika seluruh Hak Cipta atas Ciptaan tercatat dialihkan haknya kepada penerima hak.”

Sehingga, pencatatan hak cipta diperlukan untuk mengantisipasi adanya gugatan atau sengketa dengan pihak lain di mana pihak yang telah melakukan pencatatan memiliki posisi hukum yang lebih kuat,[4] misalnya saat adanya kesamaan pada program komputer yang dimiliki pihak satu dengan pihak yang lain.

Pada contoh yang telah diberikan di muka menunjukkan bahwa adanya indikasi kesamaan pada program komputer yang dimiliki antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Dengan perlindungan hak yang menggunakan prinsip deklaratif, pihak penggugat menggunakan prinsip tersebut untuk melindungi hak yang dianggap miliknya, yang kemudian gugatan tersebut akan dibuktikan pada proses persidangan. Dalam hal ini pencatatan (jika ada) dapat menjadi penguat dalam kepemilikan hak pada program yang dianggap miliknya.

Adapun kegiatan lain yang memiliki “kesamaan” program komputer antara satu dengan lain pihak yang dikenal pada Undan-Undang Hak Cipta disebut dengan Penggandaan, namun hal tersebut merupakan kegiatan bersyarat dan dijelaskan pada ayat (1) pasal 45 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

Pasal 45

“(1) Penggandaan sebanyak 1 (satu) salinan atau adaptasi Program Komputer yang dilakukan oleh pengguna yang sah dapat di lakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta jika salinan tersebut digunakan untuk:

a. penelitian dan pengembangan Program Komputer tersebut; dan

b. arsip atau cadangan atas Program Komputer yang diperoleh secara sah untuk mencegah kehilangan, kerusakan, atau tidak dapat dioperasikan.

(2) Apabila penggunaan Program Komputer telah berakhir, salinan atau adaptasi Program Komputer tersebut harus dimusnahkan.”

Dari penjelasan – penjelasan sebelumnya sangat terlihat betapa Program Komputer sebagai ciptaan, dilindungi. Hak atas ciptaan yang dilindungi merupakan hak yang diperoleh pihak – pihak yang selanjutnya disebut Pemilik dan/atau Pemegang Hak Cipta. Hal ini dikarenakan Program Komputer sebagai sebuah ciptaan memiliki nilai ekonominya sendiri, hal ini diatur pada Pasal 8 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

Pasal 8

“Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.”

REFERENSI

Dasar Hukum:

Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Link:

https://dgip.go.id/tentang-djki/kekayaan-intelektual
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220516110346-92-797178/pegadaian-siap-ikuti-proses-hukum-soal-gugatan-hak-cipta-tabungan-emas
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemegang-hak-cipta-program-komputer-dalam-hubungan-kerja-lt5dfc1a818d561

[1] https://dgip.go.id/menu-utama/hak-cipta/pengenalan

[2] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220516110346-92-797178/pegadaian-siap-ikuti-proses-hukum-soal-gugatan-hak-cipta-tabungan-emas Diakses pada tanggal 15 Juni 2022 pukul 06.22

[3]h ttps://www.hukumonline.com/klinik/a/pemegang-hak-cipta-program-komputer-dalam-hubungan-kerja-lt5dfc1a818d561 Diakses pada tanggal 20 Juni 2022 pukul 13.55

[4] Ibid

0

SETTLEMENT OF COPYRIGHT DISPUTES THROUGH ARBITRATION

Author : Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.  
REFERENSI:  Stephen Fishmen, The Copyright handbook: How to Protect and Use Written Works, dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002. Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, UndangUndang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002. J.A.L. Sterling, World Copyright Law: Protection of author’s works, Performance, Phonograms, Films, Videos, Broadcasts and Published Editions in National, international, and Regional Law, London: Sweet & Maxwell, 1998. Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga, Performing Right : Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnya. R. Subekti, kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan, Alumni, Bandung: 1980. Paustinus Siburian, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Djambatan, 2004.    

Pada awal mulanya istilah untuk hak cipta yang dikenal adalah hak pengarang (author rights) sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa belanda, yaitu Auteursrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan pengertian hak cipta.[1] Kemudian istilah yang diperkenalkan oleh ahli bahasa Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu kongres. Menurutnya, terjemahan Auteursrecht adalah hak pencipta, tetapi untuk tujuan penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi Hak Cipta.[2]  
Adapun pengertian Hak Cipta Sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi: “Pasal 1  Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”  
Dalam hal ini perlindungan hak cipta ini memberikan perlindungan terhadap nilai ekonomis suatu ciptaan ketika dilakukan eksploitasi terhadap suatu ciptaan dengan cara menggandakan (copying), pertunjukan secara publik (public performance), pengumuman atau penggunaan lainnya. Hak cipta yang juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagai copyright juga meliputi sejumlah hak sebagaimana diatur dalam hukum yang berlaku.[3] Adapun perlindungan hak cipta sebagai berikut:[4] Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Salah satu prinsip paling mendasar dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya melindungi perwujudan suatu ciptaan misalnya karya tulis, lagu atau musik, dan tarian sehingga tidak terkait atau tidak berurusan dengan substansinya.Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis) Hak cipta timbul saat seorang pencipta mewujudkan idenya, misal, dalam bentuk tulisan, lukisan, lagu, dan bentuk-bentuk lainnya. Pendaftaran suatu ciptaan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu keharusan untuk suatu ciptaan mendapat perlindungan.Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta. Terhadap suatu ciptaan, baik diumumkan atau tidak diumumkan, keduanya dapat memperoleh perlindungan hak cipta. Contohnya, ketika seorang pelukis membuat suatu lukisan dan hanya disimpan di kamarnya tanpa dipertunjukkan atau dipamerkan, pelukis tersebut memegang hak cipta atas lukisan tersebut.  
Adapun sanksi bagi para pelanggar yang mana terdapat dalam Pasal 112 dan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yang berbunyi: “Pasal 112  Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
“Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).”Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak (1) (21 (3) Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 
Selain jaminan perlindungan dan pemberian sanksi terkait hak cipta itu sendiri terdapat beberapa penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara Arbitrase, Mediasi, Konsultasi, Negosiasi, Konsiliasi. Menurut R. Subekti arbitrase adalah penyelesaiain suatu perselisihan (perkara) oleh seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama sama di tunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak di selesaiakan lewat pengadilan.[5] Terkait arbitrase sendiri para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi akan diselesaikan melalui arbitrase, jika arbitrase diadakan tanpa kesepakatan kedua belah pihak maka itu bukan perjanjian arbitrase.[6]
Adapun pengertian dari Arbitrase terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi : “Pasal 1  Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”   Terkait dengan cara penyelesaian Arbitrase sendiri terdapat dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi: “Pasal 95 Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.
LEGAL BASIS:    
Law Number 28 of 2014 of Copyright;Law Number 30 of 1990 of Arbitration and Alternative Dispute Resolution.

REFERENCE :
Stephen Fishmen, The Copyright handbook: How to Protect and Use Written Works, dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002.
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, UndangUndang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002. J.A.L. Sterling, World Copyright Law: Protection of author’s works, Performance, Phonograms, Films, Videos, Broadcasts and Published Editions in National, international, and Regional Law, London: Sweet & Maxwell, 1998. Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga, Performing Right : Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnya. R. Subekti, kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan, Alumni, Bandung: 1980. Paustinus Siburian, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Djambatan, 2004    

At first, the known term for copyright was author rights in accordance with the literal translation of the Dutch language, namely Auteursrecht. It was only at the 2nd Indonesian Cultural Congress, October 1951 in Bandung, that the use of the term author rights was questioned because it was seen as narrowing the meaning of copyright. Then the term introduced by the linguist Soetan Moh. Shah in a paper at the congress. According to him, the translation of Auteursrecht is the right of the author, but for simplification and practical purposes it is shortened to Copyright. As for the definition of Copyright as Article 1 point 1 of Law Number 28 of 2014 of Copyright, which reads:                        
“Article 1 Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is manifested in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.            
In this case, copyright protection provides protection for the economic value of a work when exploitation of a work is carried out by means of duplicating, public display, announcement or other uses. Copyright which is also known in English as copyright also includes a number of rights as stipulated in applicable law. The copyright protection is as follows: What is protected by copyright is an idea that has been tangible and original. One of the most basic principles of copyright protection is the concept that copyright only protects the embodiment of a work such as written works, songs or music, and dances so that they are not related or have nothing to do with their substance.Copyright arises by itself (automatically) Copyright arises when a creator realizes his idea, for example, in the form of writing, paintings, songs, and other forms. Registration of a work to the Directorate General of Intellectual Property Rights is not a requirement for a work to be protected.A work does not always need to be published to obtain copyright. Against a work, whether published or not published, both can get copyright protection. For example, when a painter makes a painting and only keeps it in his room without being shown or exhibited, the painter holds the copyright to the painting.  
The sanctions for violators are contained in Article 112 and Article 113 of Law Number 28 of 2014, which reads: “Article 112 Any person who unlawfully commits the act as referred to in Article 7 paragraph (3) and/or article 52 for Commercial Use, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp.300,000,000.00 (three hundred million rupiah).”   “Article 113 (1)Any person who unlawfully violates the economic rights as referred to in Article 9 paragraph (1) letter i for Commercial Use shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year and/or a maximum fine of Rp. 100,000,000. (one hundred million rupiah).”  
(2) Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter c, letter d, letter f, and/or letter h for Commercial Use. Commercial shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).   (3) Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (l) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use. Commercial shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of (1) (21 (3) IDR 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).   (4) Any person who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) which is committed in the form of piracy, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and/or a maximum fine of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiahs). In addition to guarantees of protection and sanctions related to copyright itself, there are several dispute resolutions out of court by means of Arbitration, Mediation, Consultation, Negotiation, Conciliation.  
According to R. Subekti, arbitration is the settlement of a dispute (case) by a person or several referees (arbitrators) who are jointly appointed by the parties to the litigation without being resolved through court. Regarding arbitration itself, the parties can agree that a dispute that occurs or will occur will be resolved through arbitration, if the arbitration is held without the agreement of both parties then it is not an arbitration agreement. The definition of Arbitration is contained in Article 1 point 1 of Law Number 30 of 1990 of Arbitration and Alternative Dispute Resolution, which reads: “Article 1 1. Arbitration is a method of settling a civil dispute outside the general court based on an arbitration agreement made in writing by the disputing parties.”  
Regarding the method of arbitration settlement itself, it is contained in Article 95 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 of Copyright, which reads: “Article 95 1. Copyright dispute resolution can be done through alternative dispute resolution, arbitration, or court.

[1] Stephen Fishmen, The Copyright handbook: How to Protect and Use Written Works, dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002, hal. 111.

[2] Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, UndangUndang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002, hal. 15

[3] J.A.L. Sterling, World Copyright Law: Protection of author’s works, Performance, Phonograms, Films, Videos, Broadcasts and Published Editions in National, international, and Regional Law, London: Sweet & Maxwell, 1998, hal.15

[4] 4Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga, Performing Right : Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnya, hal. 105

[5] R. Subekti, kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan, Alumni, (Bandung: 1980), h. 1

[6] Paustinus Siburian, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, (Jakarta: Djambatan, 2004), Cet ke 3, h. 42

0

PELUNCURAN APLIKASI BARU DITJEN PAJAK, DARI PEMETAAN KEPATUHAN HINGGA TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Author : Bryan Hope Putra Benedictus, Co-Author : Anggie Fauziah Dwiliandari

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-24/PJ/2019 menjelaskan Compliance Risk Management (“CRM”) sebagai proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh yang mencakup identifikasi, pemetaan, dan mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak serta evaluasinya. Dalam perkembangannya, Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) menyempurnakan implementasi CRM sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-39/PJ/2021. Setelah lebih dulu menggunakan CRM untuk Fungsi Pengawasan dan Pemeriksaan, Fungsi Penagihan, Fungsi Ekstensifikasi, Transfer Pricing, dan Edukasi Perpajakan, DJP secara resmi meluncurkan 2 (dua) aplikasi terbarunya, yakni CRM Fungsi Penegakan Hukum dan CRM Fungsi Penilaian. Keduanya merupakan alat indikator dalam menentukan prioritas wajib pajak yang perlu dilakukan tindakan penegakan hukum atau kegiatan penilaian secara teratur dan efisien. Aplikasi CRM yang baru diluncurkan ini akan menjadi landasan bagi DJP menuju implementasi Core Tax Administration System atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (“PSIAP”) pada 2023.

Aplikasi CRM merupakan salah satu perwujudan dari reformasi fundamental sebagai prasyarat implementasi sistem administrasi perpajakan modern, serta pembaruan perpajakan berkelanjutan dari amnesti pajak serta tranparansi informasi keuangan. Tidak hanya itu, aplikasi CRM juga didukung oleh banyak business intelligence, di antaranya Smartweb, Ability to Pay, Dashboard WP Madya, dan Smartboard. Produk-produk ini merupakan upaya serius DJP untuk mewujudkan komitmennya menjadi data driven organisation.

Pada prinsipnya, CRM Fungsi Penegakan Hukum akan memberikan gambaran terkait dengan wajib pajak yang mendapat prioritas untuk dilakukan penegakan hukum terhadapnya, dengan mengacu pada beberapa ketentuan pasal berikut ini.

  1. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU No. 16 Tahun 2000”) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”).
  2. Pasal 37A, 38, 39, 39A, 41, 41A, 41B, dan 41C Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU No. 28 Tahun 2007”) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP.
  3. Pasal 40 UU HPP.

CRM Fungsi Penegakan Hukum juga memetakan 3 (tiga) tindak pidana perpajakan yang membuat wajib pajak memiliki risiko tinggi. Ketiga tindak pidana yang dimaksud, yaitu pungut tidak setor (Pasal 39A ayat (1) UU KUP), faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (Pasal 39A ayat (1) UU KUP), dan percobaan restitusi atau kompensasi pajak (Pasal 39A ayat (2) UU KUP). Di sisi lain, CRM Fungsi Penilaian akan memberikan peta kepatuhan wajib pajak yang didasarkan pada kegiatan-kegiatan yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU PPh”), serta Pasal 16C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU PPN”).

Pasal 10

  • “Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
  • Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
  • Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.”[1]

Pasal 16C

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiriatau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”[2]

Pengembangan aplikasi CRM dinilai sebagai terobosan dalam menjawab tantangan keterbatasan sumber daya manusia dan waktu (early warning berdasarkan posisi risiko). Kedua aplikasi CRM yang baru diluncurkan oleh DJP ini merupakan hasil kerja sama dan kolaborasi daribanyak pihak dan pemangku kepentingan, di antaranya direktorat teknis terkait sebagai business owner, pengembang aplikasi, dan unit vertikal sebagai pengguna. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP, Dasto Ledyanto, mengenai kedua aplikasi CRM.[3] Proses pengembangan CRM dilakukan melalui berbagai tahapan dan international best practice OECD CRM Model, dengan pemenuhan parameter penilaian kesehatan otoritas pajak se-dunia, Tax Administration Diagnostic Assessment Tools (“TADAT”).[4]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Referensi:

DDTC.co.id, https://news.ddtc.co.id/prioritas-wajib-pajak-dalam-penegakan-hukum-djp-pakai-aplikasi-baru-38434, diakses pada 15 Juni 2022.


[1] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991

[2] Pasal 16C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

[3] DDTC.co.id, https://news.ddtc.co.id/prioritas-wajib-pajak-dalam-penegakan-hukum-djp-pakai-aplikasi-baru-38434, diakses pada 15 Juni 2022.

[4] ibid.

1 2 3
Translate