0

KEABSAHAN MOU KOPERASI SIMPAN PINJAM

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Ratumas Amaraduhita Renggangningtyas Arham

Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Bersama (KSP SB) dan Koperasi Simpan Pinjam Fadillah Insan Mandiri (KSP FIM) dinyatakan tidak sah oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM).[1] Melalui siaran pers Mei 2022 lalu, Komenkop UKM mengatogorikan MoU dalam bentuk novasi tersebut cacat hukum sebab belum diputuskan dan disepakati dalam Rapat Anggota.

Berdasarkan Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Margaretha Donda dkk. dalam “Asas Itikad Baik dalam Memorandum of Understanding Sebagai Dasar Pembuatan Kontrak”, MoU adalah:

“MoU atau Memorandum of Understanding adalah sebuah bentuk letter of intent atau bentuk pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, merupakan suatu tulisan tanpa menjanjikan apapun sebagai awal untuk kesepakatan”.[2]

Di Indonesia, MoU atau nota kesepahaman sendiri tidak diatur secara spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Namun, MoU dapat dibuat atas dasar asas kebebasan berkontrak dan tetap berlaku baginya asas pacta sunt servanda yang tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan:

“Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”[3]

Dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Bersama (KSP SB) dan Koperasi Simpan Pinjam Fadillah Insan Mandiri (KSP FIM), MoU yang dimaksud dinyatakan dalam bentuk novasi dengan nomor perjanjian 403/KSP SB/PENGAWAS-PENGURUS/04-2022 dan nomor KSP FIM 030/MOU/KSP-FIM/IV/2022 berisi tentang pengalihan kewajiban KSP SB kepada KSP FIM.[4] Maka berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, KSP SB dan KSP FIM telah mengikatkan diri satu sama lain sesuai dengan pengertian perjanjian dalam KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian adalah:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.[5]

Sedangkan suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi syarat sah perjanjian yang termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan:

“Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. Suatu pokok persoalan tertentu
  4. Suatu sebab yang tidak dilarang”.[6]

Pokok permasalahan dari MoU antara KSP SB dan KSP FIM ialah MoU diputuskan dan disepakati di luar Rapat Anggota. Rapat Anggota adalah rapat yang diselenggarakan oleh pengurus dan dihadiri oleh anggota, pengurus dan pengawas. Sedangkan Rapat Anggota Luar Biasa adalah Rapat Anggota yang diselenggarakan apabila terjadi keadaan yang mengharuskan adanya keputusan cepat/segera yang wewenangnya ada pada Rapat Anggota.[7] Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Permenkop UKM) Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi, Rapat Anggota berwenang untuk menetapkan keputusan lain. Pasal 5 huruf d Permenkop UKM 19/2015 menyebutkan:

“Rapat Anggota berwenang:

d. menetapkan keputusan lain dalam batas yang ditentukan dalam Anggaran Dasar.”[8]

Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa MoU Koperasi Simpan Pinjam (maupun keputusan lain) sejatinya dapat ditetapkan apabila menjadi pembahasan dalam Rapat Anggota. Rapat Anggota wajib dilakukan oleh koperasi minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun buku dan dapat diselenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa apabila terdapat hal mendesak yang harus segera diputuskan, yang wewenangnya terletak pada Rapat Anggota. [9]

Referensi:

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  • Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

[1] CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220525202546-92-801282/kemenkop-ukm-sebut-mou-2-koperasi-simpan-pinjam-cacat-hukum diakses pada 15 Juni 2022

[2] Margaretha Donda dkk. (2019). Asas Itikad Baik dalam Memorandum of Understanding Sebagai Dasar Pembuatan Kontrak. Jurnal Notaire Universitas Airlangga 2(2). 235-236

[3] Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[4] CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220525202546-92-801282/kemenkop-ukm-sebut-mou-2-koperasi-simpan-pinjam-cacat-hukum diakses pada 15 Juni 2022

[5] Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[6] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[7] Pasal 1 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

[8] Pasal 5 huruf d Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

[9] Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 8 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

0

CORPORATE CRIMES RELATED TO NUCLEAR POWER IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Adinda Aisyah Chairunnisa

DASAR HUKUM:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi  
REFERENSI: Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia. Bayu Media, Malang, 2005, hlm. xii-xivMuladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta“The Science of Nuclear Power”
https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power
Untar, “Hukum Pidana di Bidang Sumber Daya Alam”
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/buktipenelitian_10216001_2A171206.pdf
“Non-renewable resources” 
https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources
“Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Dalam mengahasilkan sumber daya alamnya, bumi menghasilkan dua jenis sumber daya, yakni Sumber daya terbarukan dan tak terbarukan. Kedua sumber tersebut sumber energi yang digunakan manusia untuk memenuhi fungsi kehidupan setiap harinya. Perbedaan antara kedua jenis sumber daya ini adalah bahwa sumber daya yang dapat diperbarui secara alami dapat mengisi kembali dirinya sendiri sementara sumber daya yang tidak dapat diperbarui tidak. Ini berarti bahwa sumber daya yang tidak dapat diperbaru jumlahnya terbatas dan tidak dapat digunakan secara berkelanjutan.[1]
Terdapat empat jenis utama sumber daya tak terbarukan yakni minyak, gas alam, batu bara, dan energi nuklir. Minyak, gas alam, dan batu bara secara kolektif disebut bahan bakar fosil tetapi energi nuklir berasal dari unsur radioaktif, terutama uranium, yang diekstraksi dari bijih yang ditambang dan kemudian disuling menjadi bahan bakar.[2] Secara ilmiah, energi nuklir sendiri adalah bentuk energi yang dilepaskan dari nukleus, inti atom, yang terdiri dari proton dan neutron. Sumber energi ini dapat dihasilkan dengan dua cara: fisi – ketika inti atom terpecah menjadi beberapa bagian – atau fusi – ketika inti bergabung bersama.[3] Dalam pemanfaatan sumber daya alamnya, Indonesia memiliki dasar yakni UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3)Pasca amandemen yang menyatakan:[na1]    “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”[4]   Sehingga sesuai dengan pasal yang disebutkan sebelumnya, pemanfaatan sumber daya yang ada di Indonesia merupakan suatu hal yang dikelola oleh pemerintah untuk kemakmuran rakyat. [na2] Sedangkan dalam hal nuklir, Indonesia memiliki pengaturannya yakni Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pada Undang – Undang tersebut menjelaskan pengertian ketenaganukliran:   “Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir.”[5]  
Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tentu hal ini dapat menjadi hal yang rawan kejahatan. Salah satu dari kejahatan tersebut adalah kejahatan korporasi. Kejahatan Korporasi atau kejahatan kerah putih diartikan sebagai kejahatan yang dimotivasi secara finansial dan biasanya dilakukan oleh para profesional dalam bidang bisnis dan aparat pemerintah.[6] Kemudian terdapat pendapat dari kriminolog dalam pengertiannya dikemukakan oleh kriminolog Marshall Clinard dan Richard Quinney yang, dalam teks klasik mereka Sistem Perilaku Kriminal, menyerukan perbedaan di antara jenis kejahatan kerah putih[na3] . Kejahatan kerah putih sendiri adalah kejahatan yang dilakukan oleh kaum elit, pengusaha, banker, atau para perjabat yang mempunyai peran dan fungsi strategis atau akses kebijakan strategis melalui korupsi, kecurangan, dan penipuan yang sangat merusak serta menimbulkan korban yang bersifat masal.[7] Kriminolog tersebut mengidentifikasi kejahatan korporasi dan kejahatan pekerjaan sebagai jenis umum dari kejahatan kerah putih. Kejahatan korporasi mengacu pada situasi di mana pejabat perusahaan melakukan tindakan kriminal atau berbahaya untuk kepentingan korporasi, sedangkan kejahatan kerja mengacu pada situasi di mana individu karyawan melakukan kejahatan terhadap korporasi, tempat kerja, atau konsumen selama masa kerja.[8] Sehingga dalam hal ketenaganukliran ini, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dapat saja dilakukan oleh pejabat ataupun karyawan perusahaan bidang ketenagnukliran.
Di Indonesia sendiri kejahatan korporasi tidak diatur secara eksplisit pada suatu peraturan yang menampung seluruh jenis kejahatannya akan tetapi Indonesia mencantumkan bentuk – bentuk kejahatan pidana pada tiap – tiap peraturan yang relevan dan terdapat peraturan yang mengatur tata cara pidana terhadap korporasi yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.[na4] 
Lantas bagaimanakah kejahatan korporasi yang diatur pada bidang ketenaganukliran Indonesia? Undang – Undang Ketenaganukliran tidak mengatur secara khusus mengenai kejahatan korporasi yang dapat terjadi, namun bentuk – bentuk kejahatan yang tercantum dapat dilakukan oleh korporasi, ketentuan tersebut yakni Pidana pada Ketenaganukliran, tercantum pada Bab 8 Undang – Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 41 hingga Pasal 44 yang menyatakan bahwa:[na5] 
(1)Barangsiapa membangun, mengoperasikan, atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
(2)Barangsiapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 42
(1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan Kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 43
(1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 44 (1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) untuk penghasil limbah radioatif tingkat rendah dan tingkat sedang dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.[na6]  Walaupun tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mengenai pengertian barang siapa, kita dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendefinisikan setiap orang atau dapat disamakan dengan barang siapa adalah perseorangan atau termasuk korporasi.[9] Hal ini menunjukan bahwa Korporasi pun dapat terjerat dalam pasal-pasal ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang dimana hal ini juga termasuk pada bidang pembahasan ini yaitu ketenaganukliran, ditemukan tiga model pertanggungjawaban:[10] Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab. Gagasan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena penguruslah yang akan selalu dianggap sebagai pelaku dari delik tersebut. Kedua, Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Model ini memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya dengan menetapkan pengurus sebagai yang bertanggung jawab, tidaklah cukup.[11][na7]  Merujuk pada pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, disebutkan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi;Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atauKorporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegak dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.[12] Dalam pertanggung jawabannya terhadap kejahatan, perusahaan tunduk pada peraturan – pertaruran yang berlaku, menjadikan perusahaan sebagai sebuah subjek hukum dan dijatuhkan hukum sesuai dengan ketentuan pertanggung jawaban yang berlaku.      
LEGAL BASIS:
The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations

REFERENCES:  Setiyono, Crime Corporations: Victimology Analysis and Corporate Liability in Indonesian Criminal Law. Bayu Media, Malang, 2005, p. xii-xiv Muladi and Dwija Priyatno, 2013, Corporate Criminal Liability (Revised Edition), Kencana Pernada Media Group, Jakarta “The Science of Nuclear Power”
https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power
Untar , “Criminal Law in the Field of Natural Resources”
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/elektropenelitian_10216001_2A171206.pdf
“Non-renewable resources”  
https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources
“Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml  

Indonesia is a country that rich in natural resources. In producing its natural resources, the earth has two types of resources: renewable and non-renewable. Both sources are sources of energy that humans use to fulfil life functions every day. The difference between these two types of resources is that a renewable resource can naturally replenish itself while a non-renewable resource cannot. This means that non-renewable resources are limited in number and cannot be used sustainably.  
There are four primary non-renewable resource types: oil, natural gas, coal and nuclear. Oil, natural gas, and coal are collectively called fossil fuels. Still, nuclear energy comes from radioactive elements, especially uranium, extracted from ore mined and refined into fuel. Scientifically, nuclear energy is a form of energy released from the nucleus of an atom, which consists of protons and neutrons. This energy source can be generated in two ways: fission – when the nucleus of an atom is split into several pieces – or fusion – when the nuclei are joined together. In the utilization of its natural resources, Indonesia has a basis, namely the 1945 Constitution of the Unitary State of the Republic of Indonesia article 33 number 3 after the amendment which states:   “Earth, water and the wealth contained therein are controlled by the state and used as much as possible for the prosperity of the people”   So in accordance with the article previously mentioned, the utilization of existing resources in Indonesia is something that is managed by the government for the prosperity of the people. Meanwhile, in terms of nuclear, Indonesia has the regulation, namely Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy. The law explains the meaning of nuclear energy:     “Nuclear energy is matters relating to the utilization, development, and control of nuclear science and technology as well as the supervision of activities related to nuclear power.”   With abundant natural resources, of course this can be a crime-prone thing. One of these crimes is corporate crime.     Corporate crime or white-collar crime is defined as a financially motivated crime and is usually perpetrated by business professionals and government officials. In this sense, criminologists Marshall Clinard and Richard Quinney put forward corporate crime. Their classic text, The System of Criminal Behavior, called for a distinction between types of white-collar crime. White-collar crime itself is a crime committed by elites, businessmen, bankers, or officials who have strategic roles and functions or access strategic policies through corruption, fraud, and fraud which are very destructive and cause mass victims. The authors identify corporate and occupational crime as common types of white-collar crime. Corporate crime is when a company official commits a criminal or harmful act for the corporation’s benefit. In contrast, an occupational crime is when an individual employee commits a crime against the corporation, workplace, or consumer during their tenure. So in this nuclear case, corporate crime is a crime that can be committed by officials or employees of nuclear companies.            
In Indonesia, corporate crime is not regulated explicitly in a regulation that accommodates all types of crimes. Still, Indonesia lists the forms of criminal offences in each relevant law. Some rules regulate criminal procedures against corporations, namely the Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations.      
So how are corporate crimes regulated in Indonesia’s nuclear sector? The Nuclear Law does not specifically regulate corporate crimes that can occur, but the forms of crimes listed can be carried out by corporations, the provisions of which are Crimes on Nuclear Energy, listed in Chapter 8 of Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Articles 41 to 44 which states that:    
(1) Whoever builds, operates, or decommissions a nuclear reactor without a permit as referred to in Article 17 paragraph (2) shall be punished with imprisonment for a maximum of 15 (fifteen) years and a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah)  
(2) Whoever commits an act as referred to in paragraph (1) which causes nuclear loss, shall be punished with life imprisonment or imprisonment for a maximum of 20 (twenty) years and a maximum fine of Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah).  
(3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.  
Article 42
(1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 19 paragraph (1) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 50,000,000.00 (fifty million rupiahs). ). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to confinement for a maximum of 6 (six) months.   Article 43
(1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 17 paragraph (1) shall be punished with a fine of not more than Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.   Article 44 (1) Whoever commits an act that is contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (2) for high-level radioactive waste producer shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp.300,000,000.00 ( three hundred million rupiah).   (2) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (1) for low-level and medium-level radioactive waste producers shall be punished with a maximum fine of Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.   Although it is not explained in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy regarding the definition of whosoever, we can refer to Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption which defines every person or can be equated with whoever is an individual or including a corporation. This shows that corporations can also be entangled in articles of criminal provisions in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy.     Regarding corporate criminal liability, which is also included in the field of discussion, namely nuclear energy, three models of liability were found: First, the corporate management as the maker and management is responsible. This idea is based on the idea that legal entities cannot be held criminally accountable, because it is the management who will always be considered the perpetrators of the offense. Second, the Corporation as a responsible maker and administrator. So this model realizes that the corporation is the maker but the responsibility is left to the management. Third, the corporation as the maker and also as the one who is responsible. This model pays attention to the development of the corporation itself, because it turns out that simply assigning the board as the responsible person is not enough.   Referring to article 4 paragraph (2) of the Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations, it is stated that in imposing a crime against a corporation, the Judge can assess the corporation’s faults, including: Corporations can obtain profits or benefits from the crime or the crime is carried out for the benefit of the corporation;Corporations allow criminal acts to occur; orthe Corporation does not take the necessary steps to prevent, prevent a bigger impact and ensure compliance with applicable legal provisions in order to avoid the occurrence of criminal acts.     In being responsible for crimes, the company complies with the applicable regulations, makes the company a legal subject and is imposed by law by the applicable liability provisions.  

[1] https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources Diakses pada tanggal 9 Juni 2022 pukul 13.02

[2] ibid

[3] https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power diakses pada tanggal 09 Juni 2022 Pukul 13.15

[4] Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar NKRI 1945

[5] Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

[6] https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/970/keberadaan-kerah-putih-dibalik-kasus-pencucian-uang.html diakses pada tanggal 14 Juni 2022 pukul 20.51

[7] Frassminggi Kamasa, Kejahatan Kerah Putih, Kontraterorisme dan Perlindungan Hak Konstitusi Warga Negara dalam Bidang Ekonomi, Jurnal Konstitusi Vol. 11, No. 4, 2014, hal. 783

[8]https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml Diakses pada tanggal 09 Juni 2022 pukul 17.31

[9] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[10] Muladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta, hlm. 83

[11] Setiyono, 2005, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayu Media, Malang, hlm. 12-14.

[12] Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi


0

REVISI RANCANGAN UNDANG-UNDANGAN SEBAGAI LANDASAN PERBAIKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Adinda Aisyah Chairunnisa

Pada hari Selasa tanggal 24 Mei 2022, DPR secara resmi telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Rapat Paripurna DPR ke-23 masa sidang V tahun sidang 2021-2022).[1] Yang dimana, revisi dari Rancangan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini nantinya akan menjadi landasan hukum untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.[2]

            Dalam pengertiannya, Omnibus Law sendiri merupakan suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.[3] Konsep Omnibus Law ini dalam undang-undang bertujuan untuk menyasar isu besar yang memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang sekaligus (lintas sektor) untuk kemudian dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya, sehingga diharapkan tidak terjadi konkurensi/persengketaan dan atau perlawanan antara norma yang satu dengan yang lainnya.[4] Akan tetapi Undang – Undang Omnibus yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja oleh Mahakamah Konstitusi dianggap sebagai inkonstitusionalitas bersyarat. Hal ini dikarenakan Mahakmah Konstitusi hendak menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan. Kemudian, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.[5]

            Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan untuk membenahi Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut. Hal ini kemudian dijadikan kesempatan untuk membenahi Rancangan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang nantinya dapat menjadi landasan untuk membenahi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun poin – poin yang direvisi adalah sebagai berikut:[6]

  1. Perubahan penjelasan Pasal 5 huruf g yang mengatur mengenai asas keterbukaan.
  2. Perubahan Pasal 9 mengatur mengenai penanganan pengujian peraturan perundang-undangan.
  3. Penambahan Bagian Ketujuh dalam Bab IV Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan.
  4. Penambahan Pasal 42A mengatur mengenai Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus law.
  5. Perubahan Pasal 49 mengatur mengenai Rancangan Undang-Undang beserta daftar inventarisasi dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
  6. Perubahan Pasal 58 mengatur mengenai pengharmonisasian pembulatan dan pemantapan konsepsi atas Rancangan Peraturan Daerah.
  7. Perubahan Pasal 64 mengatur mengenai penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus.
  8. Perubahan Pasal 72 mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang setelah Rancangan Undang-Undang disetujui bersama, namun belum disampaikan kepada presiden.
  9. Perubahan Pasal 73 mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang setelah disetujui bersama, namun telah disampaikan kepada presiden.
  10. Perubahan Pasal 78 mengatur mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.
  11. Perubahan Pasal 85 mengatur mengenai mengenai pengundangan.
  12. Perubahan Pasal 95 mengatur mengenai substansi penyandang disabilitas.
  13. Perubahan Pasal 95A mengatur mengenai pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang.
  14.  Perubahan Pasal 96 mengatur mengenai partisipasi masyarakat termasuk penyandang disabilitas.
  15. Penambahan pasal 97A , 97B, 97C dan pasal 97D mengatur mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, evaluasi regulasi, serta peraturan perundang-undangan di lingkungan pemerintah.
  16. Perubahan Pasal 98 mengatur mengenai keikutsertaan jabatan analis hukum selain perancang peraturan perundang-undangan.
  17. Perubahan Pasal 99 mengatur mengenai keikutsertaan jabatan fungsional analis legislatif, dan tenaga ahli dalam pembentukan Undang-Undang Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota selain perancang peraturan perundang-undangan.
  18. Perubahan Lampiran I Bab II huruf D, mengenai Naskah Akademik.
  19. Perubahan Lampiran II mengenai teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Referensi:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law

https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-kanwil-terkini-2/metode-omnibus-law-dalam-pembentukan-produk-hukum-daerah

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law


[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.32

[2] Ibid

[3]  https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-kanwil-terkini-2/metode-omnibus-law-dalam-pembentukan-produk-hukum-daerah Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.42

[4] Ibid

[5] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816 Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.51

[6] Dirangkum oleh CNN pada berita https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.32

0

PENYELENGGARAAN SATELIT STARLINK BERDASARKAN HUKUM DI INDONESIA

Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Co-Author: Ratumas Amaraduhita Rengganggningtyas Arham

Starlink menarik perhatian banyak negara. Starlink merupakan proyek dari salah satu perusahaan di Amerika Serikat yang bertujuan untuk membangun jaringan internet yang saling terhubung dengan ribuan satelit yang beroperasi di orbit rendah bumi[na1] . Starlink ini ditujukan untuk menawarkan internet berkecepatan tinggi yakni 100/200 megabit per detik (Mbps) bagi pengguna individu, dimanapun mereka berada.[1] Per Maret 2022, Starlink telah menggandeng 250.000 pelanggan dan saat ini mencapai lebih dari 400.000 pelanggan di seluruh dunia. Berdasarkan Starlink.com, 13.901 warga negara Indonesia menyatakan tertarik, bahkan 415 orang dari jumlah tersebut telah melakukan deposit sebesar US$100 untuk layanan yang ditawarkan oleh Starlink [na2] tersebut. Starlink sendiri menawarkan layanan internet berbasis satelit luar angkasa. Untuk menjalankan Starlink, SpaceX berencana meluncurkan kurang lebih 30.000 satelit di orbit rendah bumi. Hal inilah yang kemudian memicu berbagai respon dari banyak negara, termasuk Indonesia.[2]

            Secara istilah, satelit adalah benda yang mengelilingi planet atau benda lainnya di antariksa. Satelit dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu satelit alami dan satelit buatan. Satelit alami merupakan satelit yang berasal dari alam itu sendiri, seperti bulan yang mengelilingi bumi. Sedangkan satelit buatan adalah benda yang sengaja dibuat oleh manusia yang di tempatkan pada suatu orbit tertentu di antariksa, dengan tujuan atau fungsi tertentu. Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan (UU Keantariksaan), satelit dapat dikategorikan sebagai Benda Antariksa. Pasal 1 butir 7 UU Keantariksaan menyebutkan:

Pasal 1

7. Benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan manusia maupun benda alamiah yang terkait dengan Keantariksaan.

            Berdasarkan fungsinya, satelit buatan dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu satelit astronomi, satelit cuaca, satelit komunikasi, satelit pengamat bumi, satelit navigasi, dan satelit mata-mata.[3]Dalam hal ini, satelit Starlink termasuk sebagai satelit komunikasi. Satelit Komunikasi adalah satelit yang mengorbit di antariksa untuk tujuan telekomunikasi menggunakan radio pada frekuensi gelombang mikro.[4] Pada umumnya, satelit komunikasi menggunakan orbit geosinkron atau orbit geostasioner, namun beberapa tipe terbaru menggunakan satelit pengorbit rendah bumi, seperti satelit Starlink.

Sebagai satelit komunikasi, penyelenggaraan satelit Starlink di Indonesia harus tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo) Nomor 21 Tahun 2014 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Dinas Satelit dan Orbit Satelit. Pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 21 Tahun 2014 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Dinas Satelit dan Orbit Satelit [na3] menyebutkan:

Pasal 3

  • Penyelenggaraan satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi dan penyelenggaraan penyiaran.
  • Penyelenggaraan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan:

a. Satelit Indonesia; dan/atau

b. Satelit Asing.

Pasal 4

  • Setiap penyelenggara telekomunikasi dan lembaga penyiaran yang menggunakan satelit wajib memiliki ISR yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.

Meskipun Satelit Starlink digadang-gadang sebagai infrastruktur utama di Indonesia.[5] penyelenggaraan satelit dengan throughput tinggi ini perlu dikaji kembali dengan instrumen hukum yang ada di Indonesia. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan di kemudian hari. [6]

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan
  • Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 21 Tahun 2014 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Dinas Satelit dan Orbit Satelit

Referensi:


[1] CNBN Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220527120723-37-342273/apa-itu-starlink-satelit-spacex-yang-jadi-perhatian-china diakses pada 31 Mei 2022.

[2] Ibid

[3] Universitas Krisnadwipayana, https://p2k.unkris.ac.id/id3/2-3065-2962/Satelit-Buatan_25889_p2k-unkris.html diakses pada 3 Juni 2022.

[4] Ibid.

[5] Kompas.com, https://tekno.kompas.com/read/2021/05/09/12030077/internet-satelit-perlu-jadi-infrastruktur-utama-di-indonesia?page=all diakses pada 3 Juni 2022.

[6] Ibid


 [na1]generalize, without state the parties and brand

 [na2]definition?

 [na3]rectify

0

UTILIZATION OF COAL FOR EXPORT

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/7/2014 Tentang Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara.

REFERENSI:

  1. Irwandy Arif, , Batubara Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. Xvii
  2. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/25/indonesia-jadi-eksportir-batu-bara-terbesar-pada-2019
  3. IPB, “Gambaran Umum Pertambangan Batubara” https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58162/4/BAB%20IV%20Gambaran%20Umum.pdf

Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi:

“Pasal 33

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“

Dalam hal ini memiliki makna bahwa energi tak terbarukan pun dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu energi tak terbarukan yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat yaitu batubara.

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan dan berwarna coklat sampai hitam yang pada saat pengendapannya terkena proses fisika dan kimia yang menjadikan kandungan karbonnya kaya.[1]

Pengertian batubara juga terdapat dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 1

3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA), Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar sepanjang 2019. Setidaknya terdapat 455 juta ton batu bara yang diperdagangkan di pasar global dari tanah air.[2] Jumlah batu bara yang diekspor pada 2019 mengalami peningkatan hingga 4,8% dibanding tahun sebelumnya. Pada 2018, Indonesia hanya mampu mengirim 434 juta ton batu bara ke pasar global.[3]

Peningkatan produksi batubara Indonesia dipicu oleh kenaikan permintaan pada pasar ekspor batubara Indonesia yang salah satunya adalah negara Cina. Berkaitan dengan pembatasan impor batubara dari Australia dengan pemberlakukan peraturan pengiriman barang yang semakin ketat.[4] Sehingga hal tersebut menyebabkan permintaan batubara dari Cina kepada Indonesia mengalami peningkatan. Setiap tahunnya lebih dari 70% dari total produksi batubara Indonesia dikirim untuk memenuhi permintaan importir batubara di luar negeri sedangkan sisanya untuk memenuhi konsumsi batubara domestik.[5]

Terkait ketentuan ekspor batubara sendiri terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/7/2014 Tentang Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 2

  • Batubara dan Produk Batubara yang dibatasi ekspor tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.”

Bagi pelaku usaha batubara harus memiliki izin, ada pun izin terkait batubara terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 35

  • Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  • Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian:

a. nomor induk berusaha;

b. sertifikat standar; dan/atau

izin.

  • lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
  • IUP;
  • IUPK;
  • IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian;
  • IPR;
  • SIPB;
  • izin penugasan;
  • Izin Pengangkutan dan Penjualan;
  • IUJP; dan
  • IUP untuk Penjualan.
  • Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian  Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Adapun sanksi bagi para pelaku usaha batubara yang tidak memiliki izin sebagaimana Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sanksi-sanksi terdapat dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 151

(1) Menteri berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36A, Pasal 41, Pasal 52 ayat (4), Pasal 55 ayat (4), Pasal 58 ayat (4ll, Pasal 61 ayat (4), Pasal 70, Pasal 7OA, Pasal 7l ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (61, Pasal 86F, Pasal 86G huruf b, Pasal 91 ayat (1), Pasal 93A, Pasal 93C, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97,Pasal 98, Pasal 99 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101A, Pasal LO2 ayat (1), Pasal 103 ayat (1), Pasal 1O5 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 106, Pasal lO7, Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 110, Pasal ii1 ayat (1), Pasal ll2 ayat (1), Pasal ll2f. ayat (1), Pasal ll4 ayat (2)’, Pasal 115 ayat (2), Pasal 123, Pasal 123A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 124 ayat (1), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasai 128 ayat (1), Pasal 729 ayat (1), Pasal 130 ayat (2), atau Pasal 136 ayat (1).

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda;

c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau

d. pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan.

 Adapun sanksi pidana bagi yang melakukan penambang tanpa izin sebagaimana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi :

“Pasal 151

Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.OOO.000.000,00 (seratus miliar rupiah).


[1] Irwandy Arif, , Batubara Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. xvii

[2] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/25/indonesia-jadi-eksportir-batu-bara-terbesar-pada-2019 diakses 7 Juni 2022

[3] Ibid

[4] IPB, “Gambaran Umum Pertambangan Batubara” https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58162/4/BAB%20IV%20Gambara n%20Umum.pdf diakses 7 Juni 2022

[5] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Constitution of Republic Indonesia of 1945;
  2. 2. Law Number 3 of 2020 of Amendments to Law Number 4 of 2009 of Mineral and Coal Mining;
  3. Regulation of the Minister of Trade Number 52 of 2018 of the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 39/M-DAG/PER/7/2014 of Provisions for the Export of Coal and Coal Products.

REFERENCE :

  1. Irwandy Arif, , Batubara Indonesia. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, hlm. Xvii
  2. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/25/indonesia-jadi-eksportir-batu-bara-terbesar-pada-2019
  3. IPB, “Gambaran Umum Pertambangan Batubara” https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58162/4/BAB%20IV%20Gambaran%20Umum.pdf

As mandated by Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which reads:

“Article 33”

(3) The earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In this case, it means that even non-renewable energy is controlled by the state and used for the prosperity of the people. One of the non-renewable energy that aims for the prosperity of the people is coal.

Coal is a sedimentary rock (solid) that can burn, comes from plants and is brown to black in colour which at the time of deposition is exposed to physical and chemical processes that make its carbon content rich.

The definition of coal is also contained in Article 1 point 3 of Law Number 3 of 2020 of Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 1

3. Coal is a carbonaceous organic compound deposit formed naturally from plant residues.

According to the International Energy Agency (IEA), Indonesia was the largest coal exporter throughout 2019. There are at least 455 million tons of coal traded in the global market from Indonesia. The amount of coal exported in 2019 increased by 4.8% compared to the previous year. In 2018, Indonesia was only able to send 434 million tons of coal to the global market.

The increase in Indonesian coal production was triggered by an increase in demand in the Indonesian coal export market, one of which is China. Regarding the restrictions on coal imports from Australia with the implementation of increasingly stringent shipping regulations. This causes the demand for coal from China to Indonesia to increase. Every year more than 70% of Indonesia’s total coal production is sent to meet the demands of coal importers abroad while the rest is to meet domestic coal consumption.

Regarding the provisions for the export of coal itself, it is contained in Article 2 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Trade Number 52 of 2018 of the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 39/M-DAG/PER/7/2014 concerning Provisions on the Export of Coal and Coal Products, which reads:

“Article 2

(1) Coal and Coal Products that are restricted for export are listed in Appendix I which is an integral part of this Ministerial Regulation.”

For coal business actors, they must have a permit, there is also a permit related to coal contained in Article 35 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 of Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 35”

(1) Mining Business is carried out based on Business Licensing from the Central Government.

(2) Business Licensing as referred to in paragraph (1) is implemented through the granting of:

a. trying main number;

b. standard certificate; and/or permission.

(3) The permit as referred to in paragraph (2) letter c consists of:

a. IUP;

b. IUPK;

c. IUPK as Continuation of Contract/Agreement Operation;

d. IPR;

e. SIPB;

f. assignment permit;

g. Transport and Sales Permit;

h. IUJP; and

i. IUP for Sales.

(4) The Central Government may delegate the authority to grant Business Licensing as referred to in paragraph (2) to the Provincial Government in accordance with the provisions of the legislation.”

As for sanctions for coal business actors who do not have permits as referred to in Article 35 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, the sanctions are contained in Article 151 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 151

(1) The Minister has the right to give administrative sanctions to holders of IUP, IUPK, IPR, SIPB, or IUP for Sales for violating the provisions as referred to in Article 36A, Article 41, Article 52 paragraph (4), Article 55 paragraph (4), Article 58 paragraph (4ll). , Article 61 paragraph (4), Article 70, Article 7OA, Article 7l paragraph (1), Article 74 paragraph (4), Article 74 paragraph (61, Article 86F, Article 86G letter b, Article 91 paragraph (1), Article 93A, Article 93C, Article 95, Article 96, Article 97, Article 98, Article 99 paragraph (1), paragraph (3), and paragraph (4), Article 100 paragraph (1), Article 101A, Article LO2 paragraph (1 ), Article 103 paragraph (1), Article 1O5 paragraph (1) and paragraph (4), Article 106, Article 107, Article 108 paragraph (1) and paragraph (2), Article 110, Article ii1 paragraph (1), Article 122 paragraph (1), Article ll2f paragraph (1), Article 144 paragraph (2)’, Article 115 paragraph (2), Article 123, Article 123A paragraph (1) and paragraph (2), Article 124 paragraph (1) , Article 125 paragraph (3), Article 126 paragraph (1), Article 128 paragraph (1), Article 729 paragraph (1), Article 130 paragraph (2), or Article 136 paragraph (1).

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:

a. written warning;

b. fine;

c. temporary suspension of part or all of Exploration activities or Production Operations; and/or

d. revocation of IUP, IUPK, IPR, SIPB, or IUP for Sales.

The criminal sanctions for mining without a permit are as stated in Article 158 of Law Number 3 of 2020 concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which reads:

“Article 151 Any person who conducts Mining without a permit as referred to in Article 35 shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp100,000,000,000.00 (one hundred billion rupiah).

1 2 3
Translate