0

PELARANGAN OBAT YANG BEREDAR SECARA ILEGAL DI PASARAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Shafa Atthiyyah Raihana

Di Indonesia, pada saat ini permasalahan yang paling marak beredar saat ini yaitu terkait dengan pengedaran obat-obatan terlarang atau obat keras yang belum memiliki izin. Berdasarkan pengertian dari obat sendiri, penjelasan tersebut tercantum pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu:

“Pasal 1

  • Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.”[1]

Berdasarkan pengertian terebut, memang obat memiliki fungsi untuk mencegah, menyembuhkan, dan memulihkan penyakit yang ada pada manusia. Tetapi perlu diketahui, tidak semua obat-obatan memiliki legalitas perizinan untuk beredar. Salah satu pelarangan obat yang tidak mendapatkan izin yaitu pengedaran obat jenis tramadol dan hexymer. Baru-baru ini, kepolisian baru saja melakukan penangkapan terhadap pelaku pengedar obat-obatan terlarang tersebut. Penangkapan terhadap pengedar obat terlarang tersebut dilakukan di kediamannya sendiri tepatnya di Kabupaten Serang. Setelah digeledah oleh petugas, kemudian ditemukan  barang bukti berupa 3.875 butir pil tramadol dan 9.140 butir pil hexymer, sebuah HP dan plastik klip bening yang diduga digunakan untuk membungkus obat-obatan untuk dijual yang disita pihak berwajib.[2]

Penyebab dilarangnya kedua jenis obat tersebut yaitu tramadol dan hexymer dikarenakan Tramadol merupakan obat yang dapat digolongkan sebagai narkotika, bukan psikotropika. Alasannya, tramadol masuk dalam golongan opioid yang biasa diresepkan dokter sebagai analgesik atau pereda rasa sakit dan tidak memberikan perubahan perilaku penggunanya.[3] Sehingga, jenis obat ini dapat mengubah respons otak dalam merasakan sakit sehingga terjadi efek untuk meredakan nyeri. Tubuh manusia sendiri juga menghasilkan opioid yang dikenal dengan endorfin. Maka, dapat dikatakan tramadol mirip dengan zat di otak yang disebut endorfin, yaitu senyawa yang berikatan dengan reseptor (bagian sel yang menerima zat tertentu). Reseptor kemudian mengurangi pesan rasa sakit yang dikirim tubuh seseorang ke otak. [4]

Efek yang ditimbulkan dari obat tramadol yang sangat kompeten dalam mengurangi rasa nyeri dengan skala berat, serta harga jual yang cukup murah, maka banyak orang menyalah gunakan obat ini, dan digunakan sebagai obat yang dapat menimbulkan efek penenang (melayang bahkan halusinasi) seperti golongan obat narkotika pada umumnya. Sedangkan, pada obat jenis Trihexyphenidil (Hexymer) adalah obat yang berfungsi untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal (kaku, tremor, gerakan tidak normal dan tidak terkendali pada tubuh) seperti pada penyakit Parkinson atau efek samping dari pengobatan yang menggunakan obat antipsikotik. THP (Trihexyphenidil) merupakan obat yang perlu pengawasan dokter karena obat ini termasuk kedalam golongan obat psikotropika sehingga untuk mendapatkannya memang perlu dengan resep dokter dan dibawah pengawasan dokter.[5] Psikotropika adalah zat atau obat yang bekerja menurunkan fungsi otak serta merangsang susunan syaraf pusat sehingga menumbulkan reaksi berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya.[6]

Akibat dari adanya pengedaran ilegal dari kedua jenis obat-obatan tersebut, maka pengedar dapat ditetapkan menjadi tersangka akibat adanya tindak pidana dan dapat dijerat ke dalam Pasal 197 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dalam penjelasannya sebagai berikut:

“Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).“ [7]

Tidak hanya itu, pelaku pengedar jenis obat-obatan terlarang tersebut juga dapat dijerat dalam Pasal 60 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika akibat obat hexymer yang tergolong ke dalam psikotropika yaitu:  

“Pasal 60

  • memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggungjawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”[8]

Peredaran obat-obatan terlarang atau obat keras yang belum memiliki izin saat ini tentu sangatlah berbahaya bagi para konsumen yang mengkonsumsinya jika tidak diimbangi dengan anjuran resep dari dokter sebagaimana mestinya. Di Indonesia sendiri juga memberikan sanksi bagi pelaku pengedar obat-obatan terlarang yang mana terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Referensi:

Kompas.com, https://regional.kompas.com/read/2022/05/19/213213978/warga-serang-edarkan-obat-keras-ilegal-ribuan-pil-diamankan, diakses pada 27 Mei 2022.

Halodoc, https://www.halodoc.com/artikel/tramadol-termasuk-narkotika-atau-psikotropika, diakses pada 27 Mei 2022

Alodokter, https://www.alodokter.com/komunitas/topic/tramadol-dan-hexymer, diakses pada 27 Mei 2022


[1] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan

[2] Kompas.com, https://regional.kompas.com/read/2022/05/19/213213978/warga-serang-edarkan-obat-keras-ilegal-ribuan-pil-diamankan, diakses pada 27 Mei 2022.

[3] Halodoc, https://www.halodoc.com/artikel/tramadol-termasuk-narkotika-atau-psikotropika, diakses pada 27 Mei 2022

[4] Ibid

[5] Alodokter, https://www.alodokter.com/komunitas/topic/tramadol-dan-hexymer, diakses pada 27 Mei 2022

[6] Bnn, https://bnn.go.id/apa-itu-psikotropika-dan-bahayanya/ diakses pada 27 Mei 2022

[7] Pasal 197 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

[8] Pasal 60 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

0

LEGAL WARRANTIES OF THE UTILIZATION OF NATURAL OIL AND GAS

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegaiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi

REFERENSI:

  1. https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM
  2. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267
  3. https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan
  4. https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia

Dalam melakukan aktifitasnya saat ini manusia banyak memanfaatkan sumber energi tak terbarukan. Yang dimaksud dengan sumber energi tak terbarukan adalah: sumber energi yang dapat habis dan tak bisa didaur ulang.[1] Sumber energi ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa tercipta kembali.[2] Contoh sumber energi tak terbarukan adalah:

  1. Minyak bumi;
  2. Batu bara;
  3. Gas bumi;
  4. Nuklir

Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi :

“Pasal 33

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“

Dalam hal ini memiliki makna bahwa energi tak terbarukan pun dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini mengambil salah satu energi tak terbarukan yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat yaitu minyak bumi. Minyak bumi atau petroleum – bahan bakar fosil yang merupakan bahan baku untuk bahan bakar minyak, bensin dan banyak produk-produk kimia – merupakan sumber energi yang penting karena minyak memiliki persentase yang signifikan dalam memenuhi konsumsi energi dunia.[3]

Pengertian minyak bumi juga terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 1

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi”

Sementara itu pengertian gas bumi, terdapat dalam angka 2, yang berbunyi :

“Pasal 1

2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi .

Untuk memperoleh manfaat yang optimal dari minyak dan gas bumi, para pakar telah melakukan sejumlah pengolahan yang disesuaikan dengan kebutuhan merinci di setiap aspek. Jelas, setiap aspek berjalan dengan elemen-elemen yang berbeda, sehingga berbeda pula tipe minyak dan gas bumi yang diperlukan.[4] Sehingga, para ahli tersebut menemukan beberapa klasifikasi yang penting untuk seterusnya dijadikan produk siap pakai. Adapun manfaat dari minyak bumi dan gas bumi yaitu :[5]

Pertama, kondensat yaitu minyak mentah yang bersifat sangat ringan. Gas bumi ini berjenis hidrokarbon yang merupakan produk ikutan dari sumur gas. Pada kondensat ini, terkandung gas bumi dalam jumlah yang besar.

Kedua, gas kering yaitu fluida yang berada di dalam sebuah reservoir dalam bentuk fase gas yang kemudian dialirkan ke permukaan tetap dalam kondisi gas. Gas alam ini dianggap ’kering’ ketika hampir seratus persen metana murni. Namun, terdapat kemungkinan bahwa gas kering ini juga mengandung Etana dan Propana.

Ketiga, Gas basah yang merupakan gas bumi yang hampir seluruh komposisinya mengandung molekul metana. Kandungan metananya sekitar 80 persen hingga 90 persen, ditambah dengan etana, propana, butana dan komponen lainnya.

Keempat ialah minyak ringan yang berasal dari hasil sulingan minyak bumi dari proses penguapan dan pengembunan pada tekanan atmosfer. Minyak ringan ini mengandung kadar logam dan belerang yang rendah dan memiliki sedikit kandungan gas bumi

Kelima adalah minyak berat, yaitu minyak mentah dengan komposisi hidrokarbon berat yang besar. Jenis minyak bumi ini mengandung sedikit sekali gas bumi, bahkan terkadang tidak ditemukan sama sekali. Minyak berat pun menghasilkan klasifikasi lainnya, yaitu klasifikasi keenam, bitumen yang di dalam reservoir bersifat kental seperti aspal.

Untuk memberikan jaminan bahwa minyak bumi dan gas bumi untuk masyarakatnya pemerintah menjamin melalui Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 8

  • Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
  • Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum, pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.
  • Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur.

Dari pasal tersebut sangatlah jelas bahwa pemerintah menjamin pemanfaatan minyak bumi dan gas bumi untuk masyarakatnya, ada pun manfaat lain yang berdampak positif bagi masyarakat yaitu :[6]

  1. Memajukan perekonomian Bahan bakar memungkinkan transportasi menjadi lancar, sehingga distribusi pun meningkat. Dengan begitu, akan ada peningkatan volume perdagangan sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Bagi negara pengekspor dan pengimpor, barang-barang akan terlayani sepenuhnya sehingga kebutuhan setiap negara bisa terpenuhi.
  2. Memajukan sektor industri Bahan bakar diperlukan untuk hampir seluruh industri, seperti untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Mesin produksi yang terus bekerja bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Alhasil, omzet pun meningkat, begitupula dengan indsutrinya yang menjadi lebih maju dan berkembang.
  3. Lapangan pekerjaan Industri yang berkembang di suatu negara akan memancing lahirnya industri-industri baru yang tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengisi berbagai posisi dalam kegiatan industri.

Terkait dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi pemerintah memberikan sanksi bagi badan usaha yang melanggar persyaratan, hal tersebut terdapat dalam Pasal 90 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegaiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 90

  • Menteri memberikan teguran tertulis terhadap Badan Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan dalam Izin Usaha Pengolahan, Izin Usaha Pengangkutan, Izin Usaha Penyimpanan, dan/atau Izin Usaha Niaga yang dikeluarkan oleh Menteri.
  • Dalam hal Badan Usaha setelah mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap melakukan pengulangan pelanggaran, Menteri dapat menangguhkan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
  • Dalam hal Badan Usaha tidak menaati persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri selama masa penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat membekukan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
  • Badan Pengatur menetapkan dan memberikan sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Khusus kegiatan usaha pengangkutan Gas Bumi melalui pipa.
  • Badan Pengatur menetapkan dan memberikan sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran kewajiban Badan Usaha dalam penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak.
  • Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) berupa teguran tertulis, denda, penangguhan, pembekuan, dan pencabutan Hak dalam penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak serta pencabutan Hak Khusus pengangkutan Gas Bumi melalui pipa.
  • Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh Badan Pengatur.

[1] https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM

[2] ibid

[3] https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267

[4] https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan

[5] ibid

[6] https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia diakses 26 Mei 2022

LEGAL BASIS:

  1. Constitution of Republic Indonesia of 1945
  2. Law No. 22 of 2001 of Oil and Gas
  3. Government Regulation No. 36 of 2004 of Downstream Oil and Gas Business Activities

REFERENCE :

  1. https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM
  2. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267
  3. https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan
  4. https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia

Due to their current activities, humans are using a lot of non-renewable energy sources. What is meant by non-renewable energy sources are: energy sources that can be used and cannot be recycled. This energy source takes a very long time to be created again. Examples of non-renewable energy sources are:

1. Petroleum;

2. Coal;

3. Natural gas;

4. Nuclear

As mandated by Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which reads :

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained inside are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In this case, it means that even non-renewable energy is controlled by the state and used for the prosperity of the people. In this case, taking one of the non-renewable energies aimed at the prosperity of the people, namely petroleum. Petroleum or petroleum – a fossil fuel that is the raw material for fuel oil, gasoline and many chemical products – is an important energy source because oil has a significant percentage of meeting world energy consumption.

Definition of petroleum is also contained in Article 1 point 1 of the Law of the Republic of Indonesia Number 22 of 2001 of Oil and Gas, which reads:

“Article 1

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

Crude Oil is the result of a natural process in the form of hydrocarbons under atmospheric pressure and temperature in the form of a liquid or solid phase, including asphalt, mineral wax or ozokerite, and bitumen obtained from the mining process, but excluding coal or other hydrocarbon deposits in solid form obtained from activities that are not related to Oil and Gas business activities”

Meanwhile, the definition of natural gas is contained in number 2, which reads :

“Article 1

2. Natural Gas is the result of a natural process in the form of hydrocarbons under conditions of atmospheric pressure and temperature in the form of a gas phase obtained from the mining process of Oil and Gas.”

To obtain optimal benefits from oil and gas, experts have carried out a number of processing tailored for their needs in detail in every aspect. Obviously, each aspect operates with different elements, so different types of oil and gas are required. Thus, these experts found several important classifications to be used as ready-to-use products. The benefits of oil and natural gas are:

First, condensate is crude oil which is very light. This natural gas is a hydrocarbon type which is a by-product of gas wells. This condensate contains large amounts of natural gas.

Second, dry gas is a fluid that is in a reservoir in the form of a gas phase which is then flowed to the surface in a gaseous state. This natural gas is considered ‘dry’ when it is almost one hundred percent pure methane. However, it is possible that this dry gas also contains Ethane and Propane.

Third, wet gas which is natural gas which almost all of its composition contains methane molecules. The methane content is about 80 percent to 90 percent, plus ethane, propane, butane and other components.

Fourth is light oil which is derived from petroleum distillation from the evaporation and condensation processes at atmospheric pressure. This light oil contains low levels of metals and sulfur and has a little natural gas content.

Fifth, heavy oil which is crude oil with a large heavy hydrocarbon composition. This type of petroleum contains very little natural gas, sometimes even none at all. Heavy oil also resulted in another classification, namely the sixth classification, bitumen in the reservoir is thick like asphalt.

To provide guarantees that oil and natural gas for the people, the government guarantees through Article 8 of the Law of the Republic of Indonesia Number 22 of 2001 of Oil and Gas, which reads:

“Article 1

  • The government gives priority to the utilization of Natural Gas for domestic needs and is tasked with providing strategic reserves of Crude Oil to support the supply of domestic Oil Fuel, which will be further regulated by a Government Regulation.
  • The government is obligated to ensure the availability and smooth distribution of fuel oil which is a vital commodity and controls the livelihood of many people throughout the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia.
  • Business activities for the transportation of natural gas through pipelines which involve the public interest shall be regulated so that their utilization is open to all users.
  • The government is responsible for the regulation and supervision of business activities as referred to in paragraphs (2) and (3), the implementation of which is carried out by the Regulator.

From the article it is very clear that the government guarantees the use of oil and natural gas for its people, there are other benefits that have a positive impact on the community, namely:

  1. Advancing the economy Fuel allows transportation to be smooth, so it will increasing distribution. That way, there will be an increase in the volume of trade so that there will be economic growth. For both exporting and importing countries, goods will be fully served so that the needs of each country can be met.
  2. Advancing the industrial sector Fuel is needed for almost all industries, such as to run production machines. Production machines that continue to work can improve the quality and quantity of the products produced. As a result, turnover also increases, as well as the industry which is becoming more advanced and developed.
  3. Employment Industry that develops in a country will provoke the birth of new industries which of course requires a lot of manpower to fill various positions in industrial activities.

Related to oil and gas business activities, the government imposes sanctions for business actors, this is contained in Article 90 of Government Regulation Number 36 of 2004 of Downstream Oil and Gas Business Activities, which reads:

“Article 90”

  • The Minister shall give a written warning to a Business Entity that violates one of the requirements in a Processing Business Permit, a Transportation Business Permit, a Storage Business Permit, and/or a Commercial Business Permit issued by the Minister.
  • In the event that a Business Entity after receiving a written warning as referred to in paragraph (1) continues to repeat the violation, the Minister may suspend its Processing, Transportation, Storage, and/or Trading business activities.
  • In the event that the Business Entity does not comply with the requirements stipulated by the Minister during the suspension period as referred to in paragraph (2), the Minister may freeze Processing, Transportation, Storage, and/or Trading business activities.
  • The Regulatory Body shall determine and impose sanctions related to the violation of Special Rights for the business activities of transporting Natural Gas through pipelines.
  • The Regulatory Body shall determine and impose sanctions related to the violation of the obligations of the Business Entity in the supply and distribution of Oil Fuel.
  • Sanctions as referred to in paragraphs (4) and (5) are in the form of written warnings, fines, suspensions, freezing, and revocation of rights in supply and distribution of fuel oil and revocation of special rights to transport natural gas through pipelines.

Provisions regarding the imposition of sanctions as referred to in paragraph (6) shall be further regulated by the Regulatory.

0

PENYADAPAN DATA OLEH PETINGGI LEMBAGA PEMERINTAH DI LUAR KEWENANGAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri

Tindakan peretasan merupakan salah satu bagian dari cybercrimeatau kejahatan mayantara yang ditimbulkan karena adanya kemajuan teknologi. Peretasan mengacu pada aktivitas ilegal yaitu mengakses perangkat digital. Meskipun dengan hadirnya teknologi membawa keuntungan atau nilai-nilai positif, namun teknologi juga dapat mengakibatkan hal-hal yang dapat merugikan kehidupan bangsa.[1] Tentunya tindakan peretasan menimbulkan banyak kerugian secara materiil maupun non-materiil kepada korbannya. Tidak hanya dilakukan pada situs web, peretasan juga dapat dilakukan pada akun media sosial milik seseorang.[2] Tindakan tersebut tidak hanya dilakukan untuk mencari keuntungan melainkan menemukan titik lemah dari target peretasan. Seperti hal nya yang terjadi di Spanyol, yaitu direktur Pusat Intelijen Negara (CNI) yang memata-matai separatis Catalan dengan melakukan dugaan peretasan telepon terhadap lebih dari 60 aktivis, pengacara, dan aktivis Catalan.[3] Separatisme ini sendiri dipicu karena adanya faktor ekonomi, yaitu permasalahan defisit fiskal Catalan dengan pemerintah pusat.[4] Merujuk pada kasus tersebut, akan dikaji pengaturannya berdasarkan hukum Indonesia.

Di Indonesia, tindakan peretasan atau yang dalam definisi setara merupakan penyadapan “…adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.[5]

Tindakan penyadapan ini dapat dinyatakan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 30

  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik miliki Orang lain dengan cara apa pun.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
  • Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.[6]

Tindak pidana peretasan yang diatur dalam pasal 30 ayat (1), (2),dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung unsur sebagaimana berikut:

  1. Unsur setiap orang

Maksudnya ialah Orang sebagai subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan cakap secara hukum berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

  • Unsur dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum

Maksudnya ialah tindakan yang dilakukan didasari atas niat atau kesengajaan yang penuh dengan kesadaaran diri dari orang yang melakukan tindak peretasan.

  • Unsur mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain

Maksudnya ialah unsur ini memberi gambaran bahwa sistem elektronik milik orang lain itu ialah hal yang bersifat pribadi milik orang lain dan bukan bersifat untuk umum. Sehingga untuk melakukan akses terhadap data tersebut diperlukan izin dari pemilik data tersebut.

  • Unsur dengan cara apapun

Maksudnya ialah orang yang melakukan tindak peretasan melakukan berbagai cara untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik korban.[7]

Kemudian ancaman pidana atas pelanggaran terhadap Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 46

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).[8]

Apabila yang melakukan tindak penyadapan adalah petinggi dari suatu lembaga resmi, negara, dan/atau  pemerintahan, maka hal itu dapat juga dirujuk kepada kode etik masing-masing dari setiap lembaga. Merujuk pada kasus peretasan yang terjadi di Spanyol baru-baru ini yang dilakukan oleh Pejabat Badan Intelejen Negara, di Indonesia sendiri diterapkan beberapa pengaturan dari kewenangan Badan Intelejen Negara dalam hal melakukan penyadapan yang mana kewenangan tersebut diatur pada Peraturan Perundang-undang, sebagaimana berikut:

“Pasal 31”

Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap Sasaran yang terkait dengan:

a. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau

b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

Dalam hal Badan Intelejen Negara melakukan penyadapan sebagaimana wewenangnya yang diatur pada pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, penyadapan tersebut diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan selama untuk dan guna penyelenggaran fungsi intelejen sebagaimana diaatur dalam pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, sebagaimana berikut:

Pasal 32

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundangan- undangan.

(2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:

a. untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;

b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan

c. jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

(3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri.

Namun, dalam hal Badan Intelejen Negara melakukan penyadapan di luar fungsi penyelenggaran Intelejen sebagaimana dimaksud pada pasal 31 dan pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara,  personel yang melanggar dengan melakukan penyadapan diluar fungsi dan wewenanyanya sebagaimana diatur pada pasal 31 jo. pasal 32 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara dimaksud dapat dikenakan sangsi pidana sebagai dituangkan pada pasal 47 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara sebagaimana berikut:

“Pasal 47

Setiap Personel Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”

Berdasakan hal sebagaimana pengaturan di atas, selain sanksi atas penyalahgunaan kewenangan tugas dan fungsi dari seorang pejabat negara , sanksi daripada penyadapan atau peretasan juga diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dasar Hukum

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Referensi

Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada

I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020

Ineu Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017

Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat


[1] Ineu Rahmawati, The Analysis of Cyber Crime Threat Risk Management to Increase Cyber Defense, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7, No. 2, 2017

[2] Ibid.

[3] Umaya Khusniah, Skandal Peretasan Ponsel Politisi Terkuak, Direktur Badan Intelijen Negara Ini Dipecat, diakses dari https://www.inews.id/news/internasional/skandal-peretasan-ponsel-politisi-terkuak-direktur-badan-intelijen-negara-ini-dipecat

[4] Hilda Anindita K dan Siti Muti’ah Setyawati, Seperatisme Catalunya dan Tantangan Demokrasi Spanyol, Skripsi Universitas Gadjah Mada, hal. vi

[5] Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

[6] Pasal 30 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[7] I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi, I Gusti Bagus Suryawan, dan I Nyoman Gede Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan sebagai Bentuk Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jurnal Konstruksi Hukum, Vol.1, No. 2, 2020, hal. 337

[8] Pasal 46 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0

KEBIJAKAN INVESTASI DAN ASET BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Robby Malaheksa

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang di bentuk dengan Undan-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai sejak 1 Januari 2014.[1] Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program-program berupa: jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian[2].

Dalam melaksanakan program-program yang telah di tentukan berdasarkan pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang berbunyi:

Pasal 10

  1. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta
  2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja
  3. Menerima bantuan iuran dari pemerintah
  4. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta
  5. Mengumpulkan data dan mengelola peserta program jaminan sosial
  6. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial
  7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan masyarakat.[3]

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan program-program, BPJS juga di berikan kewenangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbunyi:

“Pasal 20

  1. menagih pembayaran iuran;
  2. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
  3. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
  4. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
  5. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
  6. mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya
  7. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  8. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan sosial.[4]

Selain memiliki wewenang dalam menjalakan program-program jaminan sosial, BPJS juga berhak mengelola aset yang mana tercantum dalam pasal 40 dan pasal 41 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbunyi :

Pasal 40

  • BPJS mengelola :
  • aset BPJS; dan
  • aset Dana Jaminan Sosial
  • BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial;
  • Aset dana Jaminan Sosial bukan merupakan aset BPJS;
  • BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan Dana Jamainan Sosial pada bank custodian yang merupakan badan usaha milik Negara.

“Pasal 41

  • Aset BPJS bersumber dari :
  • modal awal dari pemerintah, yang merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;
  • hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
  • hasil pengembangan aset BPJS;
  • dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
  • sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Aset BPJS dapat digunakan untuk :
  • biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial;
  • biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial;
  • biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan
  • investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah

Terdapat peraturan pemerintah yang menegaskan bahwa BPJS juga berwenang dalam pengembangaan aset yang dilakukan dalam bentuk investasi sebagaimana dijamin dalam pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelola Aset Jaminan Sosial Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 23

(2)Instrumen investasi dalam negeri sebagaimana
                                                                          dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Deposito berjangka termasuk deposi on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat di perdagangkan/non negotiable certificate deposit pada bank (paling tinggi 15 % dari jumlah investasi untuk setiap Bank);

a1. Giro;

  • Surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia;
  • Surat berharga yang diterbitkan oleh oleh Bank Indonesia;
  • Surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek Indonesia;
  • Saham yang tercatat dalam Bursa Efek Indonesia;
  • Reksadana;
  • Efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolekti efek beragun aset;
  • Dana Investasi real estate;
  • Tanah, Bangunan, atau tanah dengan bangunan (seluruhnya paling tinggi 5% dari jumlah investasi).[5]

Pelaksanaan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan meliputi 6 (enam) bagian yaitu: sumber aset, liabilitas, penggunaan, pengembangan, kesehatan keuangan, dan pertanggungjawaban.[6], sedangkan untuk penggunaan aset BPJS terdiri dari 2 (dua) yaitu: Penggunaan Aset BPJS Kesehatan dan Penggunaan aset dana jaminan sosial kesehatan[7].

Keuangan BPJS dibagi dua yang harus dipisahkan, yaitu aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial (DJS). Dalam hal terjadi kesulitan likuiditas, BPJS Kesehatan dapat memberikan dana talangan kepada aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan, dengan ketentuan paling banyak 35% (tiga puluh lima persen) dari aset BPJS Kesehatan yang tercatat dalam laporan keuangan bulan sebelumnya.[8]

Melihat Laporan keuangan tahun 2021, BPJS menyatakan total aset Dana Jaminan Sosial (DJS) yang di kelola meningkat 26 % menjadi Rp 551, 78 triliun. Hal itu juga terjadi pada jumlah klaim DJS yang meningkat 17 persen. Namun DJS tetap tumbuh karena di topang oleh Dana Investasi Aset DJS yang naik 14 persen serta hasil investasi yang turut membukukan kenaikan 10 persen di bandingkan tahun 2020.[9]

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas wewenang yang di berikan, BPJS wajib menyampaikan atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Semua laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.[10]

Pengawasan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan dilakukan melalui pengawasan internal dan eksternal.[11] Pengawasan Internal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan dilakukan oleh Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan Satuan Pengawas Internal. Sedangkan Pengawasan Eksternal dilakukan Dewan Jaminan sosial Nasional (DJSN), serta Lembaga Independen, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengawasan Eksternal oleh DJSN, dilakukan terhadap kinerja BPJS Kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan Kesehatan, sedangkan pengawasan Eksternal oleh OJK dan BPK dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.[12]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS
  2. PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan
  3. PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

REFRENSI

  1. Peta Jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, disusun oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Dewan Jaminan Sosial Nasional 2012.
  2. Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam SJSN
  3. Total Aset Dana Jaminan Sosial BPJamsostek Rp551,78 T di 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220428144621-78-791013/total-aset-dana-jaminan-sosial-bpjamsostek-rp55178-t-di-2021.

[1] Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam SJSN, Latar Belakang , Hlm. 10

[2] Pasal 6 UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[3] Pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[4] Pasal 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[5] Pasal 23 PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[6] Pasal 10 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[7] Pasal 19 – 21 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[8] Psal 39 ayat (3) PP No 53 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[9] Total Aset Dana Jaminan Sosial BPJamsostek Rp551,78 T di 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220428144621-78-791013/total-aset-dana-jaminan-sosial-bpjamsostek-rp55178-t-di-2021.

[10] Pasal 37 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS

[11] Pasal 44 PP No 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

[12] Peta Jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, disusun oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Dewan Jaminan Sosial Nasional 2012.

0

INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS: PROTECTION AND COMMERCIALIZATION OF BUSINESS

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

REFERENSI:

  1. Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual
  3. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis
  4. Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual , (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Waralaba, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Komersialisasi HKI melalui Lisensi.

Kekayaan Intelektual adalah terjemahan resmi dari Intellectual Property Rights (IPR) dan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai Intellectual Eigendom.[1] Kekayaan Intelektual (KI) atau yang sering disebut “Intellectual Property” adalah Hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa penemuan-penemuan penting di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari benda yang tidak berwujud (Benda Immateriil) benda dalam hukum perdata dapat di klasifikasikan kedalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu ialah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapat di lihat batasan benda yang terdapat pada pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi[2] :

“Pasal 499 KUHPerdata

Menurut Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.[3]

Rumusan lain dari pasal tersebut dapat diturunkan kalimat, yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Barang yang di maksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan Pasal 503 KUHPerdata yaitu[4]:

“Pasal 503 KUHPerdata

Ada barang yang bertubuh (berwujud) dan ada barang yang tak bertubuh (tidak berwujud).[5]

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan kekayaan intelektual adalah terpisahnya antara haknya sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Suatu contoh dapat di kemukakan misalnya hak cipta dalam bidang karya sinematografi (berupa kekayaan intelektual) dan hasil materil yang menjadi bentuk film. Jadi yang di lindungi dalam kerangka kekayaan intelktual adalah Haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh Hukum Benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).[6]

Penggolongan Kekayaan Intelektual dapat digolongkan dalam dua lingkup[7]:

  1. Hak Cipta (Copy Rights)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights).

Adapun dalam lingkup Hak Kekayaan Idnustri mencakup :

  1. Merek Dagang
  2. Paten
  3. Rahasia Dagang
  4. Desain Industri
  5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  6. Perlindungan Varietas Tanaman

Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan terhadap Pencipta. Dalam perkembangannya kemudian menjadi pranata hukum yang di kenal Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19. Perjanjian-perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai Hak Cipta. Organisasi yang menangani ini adalah WIPO (World Intellectual Property Organization).[8]

TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait pada TRIPs adalah tidak mungkin untuk hanya menjadi peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota dari WTO. Hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara menjadi anggota WTO. Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta TRIPs.[9]

Pengaturan Paten terhadap Material Biologis:

                Di Australia, gen manusia dan proses biologis dilarang untuk dijadikan objek paten. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Paten tersebut menyatakan bahwa

bahan biologis termasuk komponen dan turunannya, baik diisolasi atau dimurnikan atau tidak dan bagaimanapun dibuat, yang identic atau secara substansial indentik dengan bahan seperti yang ada di alam”

bukan merupakan bentuk penemuan yang dapat dipatenkan. Kemudian di ayat (3) disebutkan bahwa

tanaman dan hewan, dan proses biologis untuk menghasilkan tumbuhan dan hewan juga dikecualikan untuk dilindungi paten”.

Namun menurut Pasal 18 ayat (4) pengecualian tidak berlaku jika invensi tersebut merupakan proses mikrobiologis atau produk dari proses tersebut. Selanjutnya, di Pasal 18 ayat (5) mendefinisikan “material biologis” adalah DNA, RNA, protein, cell, cairan, namun tidak mendeskripsikan kata “komponen dan turunannya” dan “identik substansial”.[10] Sementara di Indonesia sendiri pengaturan terkait paten terhadap mikrobiologi dapat dilihat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disebutkan,

invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi: (d) makhluk hidup, kecuali jasad renik; (e) proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis”

                Lain halnya di Malaysia, paten dapat diberikan terhadap invensi baru, memiliki langkah inventif, dapat diterapkan di industri, dan inovasi tersebut dalam bentuk produk dan proses. Sementara di Pasal 13 ayat 1(b) Undang-Undang Paten 1983 menyatakan bahwa mikroorganisme buatan manusia, proses mikrobiologis, dan produk dari proses tersebut dapat dipatenkan. Tidak ada pengaturan untuk pengecualian, namun pada pasal 3 ayat 1(a), suatu “discovery” tidak dapat dipatenkan.[11]

Terdapat Empat Teori yang menjadi landasan atas perlindungan HaKI, antara lain :

  1. Teori Hak Alami

Teori Hak Alami bersumber dari Teori hukum Alam. Penganut Teori hukum alam antara lain lain Thomas Aquinas, Jhon Locke, Hugo Grotius. Menurut Jhon Locke menyatakan bahwa: “secara alami manusia adalah agenda moral. Manusia merupakan substansi mental dan hak, tubuh manusia itu sendiri sebenarnya merupakan kekayaan manusia yang bersangkutan”.[12]

  • Teori Karya

Teori karya merupakan kelanjutan dar teori hak alami. Jika pada teori hak alami titik tekannya pada kebebasan manusia bertindak dan melakukan sesuatu, pada teori karya titik tekannya pada aspek proses menghasilkan sesuatu dan sesuatu yang dihasilkan. Semua orang memiliki otak, namun tidak semua orang mampu mendayagunakan fungsi otaknya (intellectual) untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Teori Motivasi yang di kemukakan oleh David Mc Clelland menyatakan bahwa :“seseorang menghasilkan sesuatu karena memang memiliki motivasi untuk berprestasi”.[13]

  • Teori Pertukaran Sosial

Penganut Teori ini antara lain George C. Hotman dan Peter Blau. Teori pertukaran sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomi yang elementer. Orang yang menyediakan barang dan jasa tentu akan mengharapkan balasan berupa barang atau jasa yang di inginkannya. Hal yang penting dicatat, tidak semua transaksi sosial dapat di ukur secara nyata misalnya dengan uang, barang atau jasa, adakalanya justru yang lebih berharga adalah hal yang tidak nyata, seperti penghormatan dan persahabatan.[14]

  • Teori Fungsional

Penganut teori ini antara lain Talcot Parsons dan Robert K. Merton. Kajian Teori fungsional atau fungsionalisme berangkat dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa seluruh struktur sosial atau yang diprioritaskan mengarah kepada suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola yang sudah ada di jelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang penting dan bermanfaat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Para fungsionalis berusaha menunjukkan suatu pola yang ada telah memenuhi kebutuhan sistem yang vital untuk menjelaskan eksistensi pola tersebut, obyek kajiannya adalah masyarakat.[15]


[1] Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956, hlm. 87.

[2] H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Hal. 34

[3] Pasal 499 KUHPerdata

[4] Ibid., 35

[5] Pasal 503 KUHPerdata

[6] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, hal 134.

[7] Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004), hal. 11-12.

[8] Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 7.

[9] Ibid., hlm. 25

[10] Sharifa Sayma Rahman, Patens and Genetic Engineering Technologies : A Review of Judicial Decisions, IIUM Law Journal, no.29(2), 2021, hal 150-151

[11] Ibid, hal 152

[12] Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 49

[13] Ibid., hlm. 50

[14] Ibid.,

[15] Ibid., hlm. 51

LEGAL BASIS:

  1. Law No. 28 of 2014 of Copyrights
  2. Civil Code

REFERENCE :

  1. Sophar Maru Hutagalung, Copyright Position and Its Role in Development, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
  2. H. OK. Saidin 2, Aspects of Intellectual Property Rights Law
  3. Munir Fuady, Introduction to Business Law
  4. Pipin Syarifin, Intellectual Property Rights Regulations in Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
  5. Taryana Soenandar, Protection of Intellectual Property Rights in ASEAN Countries, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
  6. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Getting to know Intellectual Property Rights, Copyrights, Patents, Brands and their ins and outs, (Jakarta: Erlangga, 2008)
  7. Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Commercialization of Intellectual Assets, (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
  8. Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Indonesian Intellectual Property Rights Law, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
  9. Gunawan Widjaya, 2001, Franchise, Rajawali Press, Jakarta, 2001
  10. Endar Hidayati, 2014. Commercialization of intellectual property rights through licensing.

Intellectual Property Rights is the official translation of Intellectual Property Rights (IPR) and in Dutch is referred to as Intellectual Eigendom. Property Rights (PR) or often called “Intellectual Property” is a right related to wealth arising or born because of human intellectual abilities in the form of important discoveries in the fields of technology, science, art, and literature. Intellectual Property Rights are part of intangible objects (Immaterial Objects) objects in civil law can be classified into various categories, one of which is the grouping of objects into the classification of tangible objects and intangible objects. For this, you can see the limits of objects contained in article 499 of the Civil Code which reads :

“Article 499 of the Civil Code

According to the Law, goods are every object and every right that can be the object of property rights

Another formulation of the article can be derived from sentences, namely: what can be the object of property rights is an object and the object consists of goods and rights. The goods referred to by Article 499 of the Civil Code are material objects (stoffelijk voorwerp), while rights are immaterial objects. This description is in line with the classification of objects based on Article 503 of the Civil Code, namely :

“Article 503 of the Civil Code

Some items are bodied (tangible) and there are goods that are not diligent (intangible).

A further consequence of the limitation of intellectual property rights is the separation between that intellectual property rights and the material results that become their incarnation. An example can be put forward as copyright in the field of cinematographic work (in the form of intellectual property rights) and material results that become the form of film. So what is protected within the framework of intellectual property rights is the Right is not the incarnation of the right. The incarnation of this right is protected by the Law of Objects in the category of material objects (tangible objects).

Classification of Intellectual Property Rights can be classified in two scopes:

  1. Copyright (Copy Rights)

Based on Article 1 paragraph (1) of Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. That Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on the declarative principle after work is realized in real form without prejudice to restrictions following the provisions of laws and regulations.

  • Industrial Property Rights.

The scope of Industri’s Wealth Rights includes:

  1. Trademark
  2. Patents
  3. Trade Secrets
  4. Industrial Design
  5. Integrated Circuit Layout Design (Layout Design Topographics of Integration Circuits)
  6. Plant Variety Protection

The legal protection of IPR is in principle a reflection of the Creator. In its development later became a legal institution known as Intellectual Property Rights (IPR). The attention of the state to establish cooperation on the issue of IPR has been in place since the late 19th century. These agreements quantitatively largely govern the protection of Industrial Property Rights and others govern copyright. The organization that handles this is WIPO (World Intellectual Property Organization).

TRIPs are only a part of the entire WTO-regulated trading system, and Indonesia’s membership of the WTO implies that Indonesia is automatically linked to TRIPs it is impossible to simply become a participant of TRIPs without being a member of the WTO. The rights and obligations of TRIPs only arise when a country is a member of the WTO. On the contrary, it is impossible to become a member of the WTO without being a participant in TRIPs.

Patent Regulations Regarding Biological Materials :

In Australia, the Australian Patent Act 1990 expressly prohibits human genes and biological processes from standard patents. Section 18(2) of the  Patents  Act  1990 states 

“biological  materials  including  their components  and  derivatives,  whether  isolated  or  purified  or  not  and however  made,  which  are identical  or  substantially  identical  to  such materials as they exist in nature

are not patentable inventions. Furthermore, under section 18(3)

plants and animals, and the biological processes for the generation  of  plants  and  animals  are  also  excluded  from  innovation patents”

However, according to section 18(4) exclusion does not apply if the invention is a microbiological process or the product of such a process.  Additionally,  section  18(5)  defines  the  term  ‘biological materials’ to include ‘DNA, RNA, proteins, cells, and fluids,’ but it does not  describe  the  words  “components  and  their  derivatives”  and “substantially identical.” Meanwhile in Indonesia Article 9 of Patent Act stated that,

Inventions which cannot be granted Patent include: (d) all living organisms, except microorganism; (e) any biological process which is essential to produce plant or animal, except non-biological process or microbiological process”

In Malaysia, based on section 13 (1) (b) of the Patent Act 1983 simply  states  that  man-made  living  microorganisms,  microbiological processes,  and the  product of such  processes are  patentable.  There is no clear mention of the exclusion of nature’s handiwork, nevertheless in section 3 (l) (a) of the Act, ‘discoveries’ is a bar to patentability.

Four theories are the basis for the protection of IPR, including:

  1. Natural Right Theory

The Theory of Natural Rights comes from the theory of natural law. Adherents of natural law theory include Thomas Aquinas, Jhon Locke, and Hugo Grotius. According to Jhon Locke stated that: “naturally man is a moral agenda. Man is a mental substance and a right, the human body itself is the wealth of the human being concerned.”

  • Labor Theory

The theory of work is a continuation of the theory of natural rights. If in the theory of natural rights the point of pressure on the freedom of man to act and do something, in the theory of work his press point on the aspect of the process produces something and something is produced. Everyone has a brain, but not everyone can use their brain (intellectual) function to produce something. According to The Theory of Motivation, put forward by David Mc Clelland stated that “a person produces something because he has the motivation to achieve”. 

  • Social Exchange Theory

Proponents of this theory include George C. Hotman and Peter Blau. The theory of social exchange is based on the principle of elementary economic transactions. People who provide goods and services will certainly expect a reply in the form of goods or services that they want. The important thing is to note, that not all social transactions can be measured in real terms for example with money, goods, or services, sometimes even more valuable things are not real, such as respect and friendship.

  • Functional Theory

Adherents of this theory include Talcott Parsons and Robert K. Merton. The functional theory of functionalism departs from the basic assumption that the entire social structure or prioritized leads to integration and adaptation of the prevailing system. The existence or continuity of existing structures or patterns is explained through consequences or effects that are important and useful in overcoming various problems that arise and develop in people’s lives. Functionalists try to show that an existing pattern has met the needs of a vital system to explain the existence of the pattern, the object of study in society.

1 2
Translate