0

IMPLEMENTASI PERATURAN PERKAWINAN DALAM PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Anggie Fauziah Dwiliandri

Pengadilan Negeri Surabaya (PN Surabaya) digugat dengan tuduhan perbuatan melawan hukum. Gugatan tersebut dilayangkan terkait dikabulkannya permohonan pernikahan beda agama dua warga Surabaya, [1] yang mana pernikahan dilangsungkan oleh pasangan beragama Islam dan beragama Kristen.Berdasarkan penelusuran pada laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya, gugatan itu didaftarkan tanggal 23 Juni 2022. Gugatan kepada PN Surabaya tersebut diajukan oleh sejumlah orang, dengan tergugat tunggalnya ialah PN Surabaya, serta turut tergugat lainnya yaitu salah satu lembaga yudikatif, instansi pemerintah, hingga beberapa lembaga non-pemerintah.[2]

Sebelum permohonan pernikahan dua warga Surabaya beda agama tersebut dikabulkan oleh PN Surabaya, keduanya telah melangsungkan pernikahan dengan persetujuan keluarga dan menggunakan cara atau syariat agama masing-masing pada bulan Maret 2022. Untuk dapat dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dinas Dukcapil) Surabaya, pernikahan beda agama yang dilangsungkan pasangan tersebut harus terlebih dulu memperoleh putusan dari pengadilan negeri. Melalui Putusan dengan Nomor Penetapan 916/Pdt.P/2022/PN Sby., hakim menjatuhkan putusan dengan amar putusan mengabulkan Permohonan Para Pemohon dan memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya.

Putusan hakim PN Surabaya yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama dua warga Surabaya dalam Putusan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby didasari oleh beberapa pertimbangan. Dalam pertimbangan putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang suatu pernikahan. Pernyataan tersebut merujuk pada Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
  5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  6. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Selain itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan), perkawinan dapat menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutuskannya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan.[3] Terkait ketentuan dalam pasal tersebut, Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan mengatur bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.[4] Artinya, permohonan pengabulan perkawinan beda agama menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memutuskannya, sehingga putusan pengadilan yang mengabulkan perkawinan beda agama dan memerintahkan pencatatan perkawinan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) bersifat mengikat dan harus dilakukan. Tidak hanya itu, hakim juga berpandangan bahwa setiap warga memiliki hak untuk mempertahankan agama dan keyakinannya termasuk saat membangun rumah tangga dengan orang yang berbeda agama. Kebebasan memeluk dan mempertahankan agama dan kepercayaan ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[5]

Umumnya, ketentuan sahnya perkawinan di Indonesia didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.[6] Kemudian berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.[7] Menanggapi ketentuan pasal-pasal tersebut Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 telah mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama yang menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.[8] Meskipun demikian, pro dan kontra dalam putusan penetapan pengadilan yang diakibatkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan masih kerap terjadi. Hal ini dikarenakan pemahaman hakim yang memeriksa dan memutus perkara sangat memengaruhi penjatuhan putusan perkara. Terlebih lagi, Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat sehingga pandangan hakim di wilayah hukum satu dengan yang lain dapat berbeda-beda.[9]Hal ini kemudian berujung pada perbedaan pendapat yang banyak menuai pro dan kontra terhadap putusan pengadilan atas permohonan perkawinan, layaknya gugatan terhadap Pengadilan Negeri Surabaya baru-baru ini. Sementara itu, Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Untuk itu, negara sebagai fasilitator harus menjamin suatu ikatan perkawinan dapat bermanfaat secara hukum perdata yang menyangkut waris, pajak, dan percampuran harta.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Referensi:

CNNIndonesia.com, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220624135252-12-813088/pn-surabaya-digugat-karena-kabulkan-permohonan-nikah-beda-agama, diakses 27 Juni 2022.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia, https://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/38.-Perkawinan-Beda-Agama.pdf, diakses 27 Juni 2022


[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220624135252-12-813088/pn-surabaya-digugat-karena-kabulkan-permohonan-nikah-beda-agama

[2] Ibid

[3] Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

[4] Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

[5] Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[6] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

[7] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

[8] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama

[9] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate