Tinjauan Yuridis Pengadaan Vaksin oleh Pemerintah sebagai Upaya Pencegahan dan Imunisasi terhadap Wabah Monkeypox

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Fikri Fatihuddin

Perbaikan kesehatan rakyat dilakukan melalui upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan dengan mendekatkan dan memeratakan pelayanan kesehatan kepada rakyat. Pembangunan kesehatan ditujukan kepada peningkatan pemberantasan penyakit menular dan penyakit rakyat, peningkatan keadaan gizi rakyat, peningkatan pengadaan air minum, peningkatan kebersihan dan kesehatan lingkungan, perlindungan rakyat terhadap bahaya narkotika dan penggunaan obat yang tidak memenuhi syarat, serta penyuluhan kesehatan masyarakat untuk memasyarakatkan perilaku hidup sehat yang dimulai sedini mungkin[1].

Dewasa ini, Menteri Kesehatan telah menyampaikan sejumlah hal terkait vaksin cacar monyet atau monkeypox. Sebab seperti diketahui, saat ini kasus cacar monyet sudah ditemukan di Indonesia. Menteri Kesehatan mengatakan, bahwa Pemerintah telah membeli vaksin cacar monyet atau monkeypox. Namun, tak semua masyarakat akan mendapatkan vaksin cacar monyet, dikarenakan penularan cacar monyet lebih sulit dibandingkan Covid-19. Sehingga, nantinya vaksin akan diberikan kepada masyarakat yang memiliki imunitas rendah dan mudah terpapar. Menteri Kesehatan mengatakan, vaksin monkeypox berbeda dengan Covid-19 yang diberikan setiap enam bulan sekali. Adapun vaksin cacar monyet hanya diberi sekali dan berlaku seumur hidup. Selanjutnya Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa dari total 39.000 kasus cacar monyet di dunia, tingkat fatality rate dari cacar monyet dapat dikatakan sangat rendah yakni, hanya 0,03 persen dari jumlah kasus yang ada. Menteri Kesehatan menargetkan vaksin monkeypox akan didistribusikan pada akhir tahun 2022[2].

Istilah wabah ataupun pandemi menjadi populer dikalangan masyarakat belakangan ini. Hal ini dikarenakan atas pengalaman yang dialami oleh masyarakat Indonesia selama 2 tahun kebelakang, Indonesia pernah terjangkit wabah COVID-19. Wabah adalah penyakit menular yang dapat dikategorikan menjadi:
1. Endemi/wabah.

Tingkat pertama keparahan penyebaran penyakit dilihat dari populasi, lingkungan atau wilayahnya. Populasi yang terdampak kecil, namun bisa dibilang luar biasa. Penyakit tertentu dinyatakan menjadi wabah atau endemik ketika terjadi peningkatan jumlah kasus yang signifikan namun masih terbatas pada suatu wilayah. Contoh: Malaria, demam berdarah, campak, dan sebagainya.

2.Epidemi.

Tingkat kedua keparahan suatu penyakit yang bersifat lebih besar dari endemik dan menyebar ke area yang lebih luas. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) menjelaskan bahwa epidemi terjadi ketika suatu penyakit menular dengan cepat ke banyak orang hingga pada tahap di luar ‘normal’ sulit dihambat. Contoh:  Kasus epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-CoV) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV)

3.Pandemi.

Pandemi adalah epidemi yang menyebar keberbagai negara lain dan memengaruhi orang di seluruh duniadalam jumlah besar secara simultan atau berkelanjutan. Penyakit ditetapkan sebagai pandemi ketika penyebarannya sudah internasional dan di luar dugaan sehingga sulit dikendalikan[3].

Sebagai dasar hukum, wabah sendiri telah diatur pada Undang Undang (UU) No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, yang manawabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka[4]. Agar wabah tersebut dapat diatasi dengan baik sehingga tidak menular diantara kehidupan masyarakat, maka perlu adanya upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Pemerintah. Upaya penanggulangan yang dimaksud meliputi:

a. Penyelidikan epidemiologis;

b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; 

c. Pencegahan dan pengebalan;

d. Pemusnahan penyebab penyakit;

e. Penanganan jenazah akibat wabah;

f. Penyuluhan kepada masyarakat;

g. Upaya penanggulangan lainnya[5].

Upaya penganggulangan wabah diatas dilaksanakan dengan keharusan memperhatikan lingkungan hidup, kemudian pelaksanaan teknis atas upaya penanggulangan wabah selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Menteri Kesehatan adalah Menteri yang membantu Presiden dibidang Kesehatan. Sudah suatu keharusan apabila Menteri melakukan suatu tindakan yang memang sudah menjadi tugasnya dibidang kesehatan[6]. Dalam hal penanggulangan wabah penyakit, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, bahwa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis upaya penanggulangan wabah adalah Menteri[7]. Kemudian, atas vaksin monkeypox dinyatakan oleh Menteri Kesehatan agar tidak dibagikan ke semua orang, namun, diberikan kepada orang yang memiliki kemungkinan tinggi terkena wabah monkeypox. Berdasarkan Pasal 13 PP No. 40 tahun 1991, yang berbunyi:

“Pasal 13

Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap masyarakat yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah”.

Yang dimaksud pencegahan dan pengebalan adalah merupakan upaya pencegahan dan pengebalan terhadap orang dan lingkungannya agar jangan sampai terjangkit penyakit. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui vaksinasi, penyemprotan dan lain-lain. Kemudian, yang dimaksud dengan risiko terkena penyakit wabah adalah orang-orang yang berada di dalam daerah terkena wabah dan juga orang-orang yang karena usia tertentu lebih mudah terserang penyakit wabah, misalnya anak-anak dan orang yang karena usianya telah tua[1].

Selain berlandaskan peraturan, data yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan tentang fatality rate yang rendah semakin menguatkan bahwa pemerataan vaksin tidak begitu diperlukan, akan tetapi pengadaan vaksin yang cukup harus tetap dilaksanakan sebagai bentuk mitigasi, karena telah didapati bahwa virus monkeypox sendiri telah terdeteksi di Indonesia. Sehingga, dapat dipahami virus monkeypox perlu dicegah agar mengurangi resiko terjadinya bencana.

Agar dapat memahami termasuk atau tidaknya suatu penyebaran penyakit atau wabah sebagai bencana, maka perlu menelaah lebih lanjut tentang makna bencana berdasarkan undang-undang. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 sampai dengan angka 3 UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana) yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
  2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
  3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit”.

Maka, bila memaknai virus monkeypox sebagai wabah penyakit, sudah menjadi konsekuensi untuk monkeypox terklasifikasi sebagai bencana. Namun, penanganannya belum melibatkan lembaga atau instansi yang dimandatkan oleh UU Penanggulangan Bencana, yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal ini dapat ditafsirkan secara sistematis, bahwa keberadaan virus monkeypox belum cukup serius untuk dikategorikan bencana nasional. Akan tetapi, sebagaimana penyebaran penyakit monkeypox haruslah tetap dicegah oleh Pemerintah, dan salah satu opsi pencegahan tersebut merupakan pengadaan perbekalan kesehatan. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan[1]. Perbekalan Kesehatan sendiri harus dijamin ketersediaannya oleh Pemerintah, hal itu diatur pada Pasal 36 UU Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 36

(1)Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.

(2)Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.”

Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat”.

Selanjutnya, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) menerangkan:

Pasal 38

(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.”

Dengan kata lain, melihat peraturan tersebut, maka pengadaan vaksin monkeypox merupakan tugas pemerintah dalam menjamin ketersediaan perbekalan Kesehatan untuk menghadapi penyakit menular monkeypox.

Pada saat vaksin monkeypox sudah ada di Indonesia, kemudian persebaran atas vaksin tersebut merupakan bagian dari proses Kekarantinaan Kesehatan. Hanya saja, Kekarantinaan Kesehatan tersebut tidak harus menunggu atau ditandai dengan penyebaran ataupun pengadaan vaksin atas penyakit tertentu. Berdasarkan Ketentuan Umum UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan), Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat[1]. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan menerangkan:

“Pasal 15

(1)Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah dilakukan melalui kegiatan pengamatan penyakit dan Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat terhadap Alat Angkut, orang, Barang, dan/atau Iingkungan, serta respons terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dalam bentuk tindakan Kekarantinaan Kesehatan.

(2)Tindakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi;

b.Pembatasan Sosial Berskala Besar;

c.Disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap Alat Angkut dan Barang; dan/atau

d.Penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.”

Pemberlakuan kekarantinaan kesehatan sudah sudah semestinya dilakukan oleh Pemerintah. Mulai dari pengawasan arus keluar-masuk pada setiap bandara atau pelabuhan, hingga pemberian layanan vaksinasi agar penyebaran monkeypox dapat segera diredam. Terlebih lagi apabila terdapat orang dari negara edemis atau negara asal yang sedang terjangkit wabah monkeypox, perlu diberikan tindakan khusus agar penyakit monkeypox masuk ke dalam wilayah Indonesia. Berdasarkan Pasal 38 dan 39 UU Kekarantinaan Kesehatan, yang menyatakan:

Pasal 38

(1)Awak, Personel, dan penumpang yang Terjangkit dan/atau Terpapar berdasarkan informasi awal mengenai deklarasi kesehatan, pada saat kedatangan dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh pejabat Karantina Kesehatan yang berwenang di atas Alat Angkut.

(2)Awak, Personel, dan/atau penumpang yang Terjangkit dilakukan tindakan Kekarantinaan Kesehatan sesuai indikasi.

(3)Awak, Personel, dan/atau penumpang yang Terpapar dilakukan tindakan sesuai dengan prosedur penanggulangan kasus.

(4)Terhadap Awak, Personel, dan/atau penumpang yang tidak Tedangkit dan/atau tidak Terpapar dapat melanjutkan perjalanannya dan diberikan kartu kewaspadaan kesehatan.

(5) Jika ditemukan Awak, Personel, dan/atau penumpang yang Terjangkit dan/atau Terpapar, Pejabat Karantina Kesehatan harus langsung berkoordinasi dengan pihak yang terkait”.

“Pasal 39

Setiap orang yang datang dari negara dan/atau wilayah Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia dan/atau endemis, pejabat Karantina Kesehatan melakukan:

a.penapisan;

b.pemberian kartu kewaspadaan kesehatan;

c.pemberian informasi tentang cara pencegahan, pengobatan, dan pelaporan suatu kejadian Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia; dan

d.pengambilan spesimen dan/atau sampel”.

(2)Apabila hasil penapisan terhadap orang ditemukan gejala klinis sesuai dengan jenis penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, Pejabat Karantina Kesehatan melakukan rujukan dan Isolasi”.

Maka, atas dasar kedua pasal tersebut, bila ada orang berasal dari negara yang terjangkit penyakit monkeypox ingin memasuki wilayah Indonesia, maka harus bersedia dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan kepada dirinya. Karena, bila orang tersebut menolak tindakan kekarantinaan kesehatan, maka diancam dideportasi ke negara asalnya[1].

Setiap orang baik yang ingin berangkat ke luar negeri, atau yang ingin masuk ke dalam wilayah Indonesia, wajib memiliki sertifikat vaksinasi internasional yang masih berlaku[2]. Apabila orang tersebut berasal dari luar negeri, baik Warga Negara Asing (WNA) atau Warga Negara Indonesia (WNI) yang mana berasal dari negara dimana monkeypox berasal, kemudian tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional yang masih berlaku, maka akan dilakukan tindakan kekarantinaan terhadap dirinya[3], apabila menolak, untuk WNA berlaku ketentuan Pasal 40 UU Kekarantinaan Kesehatan, yakni diancam agar dideportasi, atau dipulangkan ke negara asalnya. Sementara terhadap WNI tidak memiliki opsi lain selain mengikuti prosedur tindakan kekarantinaan. Selanjutnya, apabila terdapat orang dari Indonesia yang ingin keluar negeri, baik WNI maupun WNA, yang tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional yang masih berlaku, maka ditunda keberangkatannya hingga memiliki sertifikat vaksinasi internasional tersebut[4].

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa proses penyediaan vaksin hingga proses penyebaran vaksinasi merupakan rangkaian tindakan kekarantinaan kesehatan. Tindakan kekarantinaan tersebut tidak terkecuali diperuntukkan mencegah penyebaran atas penyakit menular monkeypox. Selain penyakit monkeypox dapat menular, penyakit ini memiliki potensi untuk berkembang menjadi penyakit berat dan mematikan, hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan Surat Edaran Kemenkes No. HK.02.02/C/2752/2022. Akan tetapi, hingga hari ini belum ada kebijakan tentang pengawasan khusus terhadap penyebaran penyakit monkeypox, sehingga tindakan kekarantiaan belum berjalan secara maksimal, padahal hal tersebut diperuntukkan agar penyakit monkeypox tidak masuk ke Indonesia.

Sehingga, dapat disimpulkan, pengadaan vaksin monkeypox yang dilakukan Pemerintah, merupakan pemenuhan tugasnya untuk menjamin kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, pengadaan vaksin monkeypox tersebut tidak menjadi langkah final dari Pemerintah untuk melawan penyakit menular tersebut, tetapi menjadi salah satu langkah penting untuk mencegah penularan penyakit monkeypox. Maka sudah semestinya Pemerintah juga membuat segera kebijakan khusus tentang kekarantinaan keehatan penyakit menular monkeypox.

Dasar Hukum:

Undang Undang No 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular

Undang Undang No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

Undang Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang Undang No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

Referensi:

Liputan 6, https://m.liputan6.com/news/read/5051748/3-pernyataan-menkes-budi-gunadi-soal-vaksin-cacar-monyet-di-indonesia , diakses pada 27 Agustus 2022

Badan Riset dan Inovasi Nasional, https://ppiptek.brin.go.id/post/read/perbedaan-endemi-epidemi-dan-pandemi , diakses pada 27 Agustus 2022


[1] Pasal 40 UU Kekarantinaan Kesehatan

[2] Liputan6, https://m.liputan6.com/news/read/5051748/3-pernyataan-menkes-budi-gunadi-soal-vaksin-cacar-monyet-di-indonesia , diakses pada 27 Agustus 2022

[3] Badan Riset dan Inovasi Nasional, https://ppiptek.brin.go.id/post/read/perbedaan-endemi-epidemi-dan-pandemi , diakses pada 27 Agustus 2022


[4] Pasal 1 Angka 1 UU No 4 Tahun 1984


[5] Pasal 5 ayat (1) UU No 4 Tahun 1984


[6] Pasal 1 angka 9 PP No. 40 Tahun 1991


[7] Pasal 6 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1991

[8] Penjelasan Pasal 13 PP No. 40 Tahun 1991


[9] Pasal 1 angka 3 UU No. 36 Tahun 2009

[10] Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2018

[11] Pasal 40 UU Kekarantinaan Kesehatan

[12] Pasal 41 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan

[13] Pasal 41 ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan

[14] Pasal 41 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan



[1]

[2]


[1] Penjelasan Umum Undang Undang No. 4 Tahun 1984

Implementasi Pengaturan Perlindungan bagi Anak dari Konten Negatif di Media Sosial

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Made Indra Sukma Adnyana

Pengguna internet Indonesia menjadi sorotan setelah 210 juta pengguna internet dalam negeri yang didominasi oleh pengguna media sosial dan pemain game online. Penggunaan media sosial tersebut tidak hanya berasal dari usia dewasa, tetapi juga terdapat dari usia dini, yaitu usia 5 tahunan.[1] Dalam menggunakan media sosial, anak-anak harus dapat menghindari pengaruh konten-konten negatif yang dapat merusak perkembangan diri mereka, misalnya saja konten negatif yang berisikan ujaran kebencian hingga dari pornografi. Hal ini, karena masih banyak anak usia sekolah belum memahami cybercrime dan Undan-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan melihat dari literasi digital anak-anak Indonesia yang masih rendah. Padahal memperhatikan konten yang diakses oleh anak-anak merupakan hal penting, karena mereka adalah yang paling rentan terkena kasus cyber bullying, sexual image, dan sexual meesages dibandingkan orang-orang dewasa dan belum matang secara mental maupun emosional.[2] Indonesia telah memiliki regulasi yang berkait dengan menggunakan internet terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).

Sementara itu berdasarkan Pasal 4 UU ITE menyatakan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik memiliki beberapa tujuan diantaranya, yaitu (1) Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dab bertanggung jawab; dan (2) memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.[3]

UU ITE sebagai Cyber Law dapat menjadi suatu upaya dalam melakukan penanganan tindak pidana maupun pencegahan tindak pidana dengan saranan teknologi digital, terutama konten negatif. Penegakan UU ITE terhadap konten negatif dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Teknologi (“Kominfo”). Pengawasan tersebut dilaksanakan untuk melindungi kepentingan umum dari gangguan yang disebabkan oleh penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Pasal 40

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

            Kominfo dalam melaksanakan pengelolaan penanganan konten negatif akan melakukan klasifikasi, yaitu: (1) Informasi/dokumen elektronik yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan; (2) Informasi/dokumen elektronik yang melanggar norma sosial yang berlaku di masyarakat; dan (3) Informasi elektronik/dokumen elektronik tertentu yang membuat dapat diaksesnya konten negatif yang terblokir.[4] Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (“PPI”), pengawasan yang dilaksanakan oleh Kominfo supaya masyarakat tidak melakukan pelanggaran konten negatif di media digital saat ini, seperti misalnya pornografi, pencemaran nama baik, dan pelanggaran lainnya.[5]  

Berkaitan dengan penggunaan internet adapun peraturan di bawahnya yaitu pada  Pasal 2 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik (“PM Kominfo Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik”) yang tujuannya sebagai berikut:

“Pasal 2

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mengklasifikasikan Permainan Interaktif Elektronik yang membantu:

  1. Penyelenggara dalam memasarkan produk Permainan Interaktif Elektronik sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia; dan
  2. masyarakat Pengguna, termasuk orang tua dalam memilih Permainan Interaktif Elektronik yang sesuai dengan usia Pengguna”.

Walaupun telah terdapat pengaturan terhadap penggunaan media sosial dan game online di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa masih belum menghilangkan dampak negatif bagi anak-anak selama dilakukan secara berlebihan, misalnya saja media sosial yang dapat mengganggu kesehatan fisik, menimbulkan gangguan mental, terpapar konten negatif dengan unsur SARA, terpapar hoaks, mengganggu relasi di dunia nyata, dan memicu kejahatan.[6]

Adapun sanksi yang berkaitan dengan konten negatif terdapat dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Pasal 45

  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.

“Pasal 45 A

  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

“Pasal 45 B

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Selain terdapat dalam UU ITE yang melindungi hak anak dari kekerasan dan konten negatif lainnya, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut:

“Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

            Perlindungan terhadap hak anak merupakan kewajiban bagi pemerintah dan tanggung jawab lingkungan dari anak tersebut dengan melakukan pengawasan atas konten yang dapat diakses. Sehingga pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Kominfo terhadap akses anak, harus dapat ditingkatkan lagi dengan menghapus dan/atau memblokir situs-situs maupun konten yang tidak sesuai untuk anak-anak usia dini. Terlebih lagi, Indonesia juga telah memiliki undang-undang yang mengatur terkait Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik sehingga permainan-permainan online tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, walaupun dalam praktiknya masih terdapat permainan yang tidak sesuai dengan usia dari pemainnya.  Oleh karena hal itu, pengawasan dari pemerintah juga harus diimbangi dengan keterlibatan orang tua maupun lingkungan dalam mengirimkan aduan kepada Kominfo atau lembaga terkait atas konten-konten negatif yang dapat merusak maupun mempengaruhi anak-anak.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  • Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik

Referensi


[1] Tim MNC Portal, “INAYES Goes to School, Kolaborasi INAYES dna Pemprov DKI Jakarta Lawan Kecanduan Social Media dan Game Online,” https://edukasi.sindonews.com/read/866425/212/inayes-goes-to-school-kolaborasi-inayes-dan-pemprov-dki-jakarta-lawan-kecanduan-social-media-dan-game-online-1661418497, diakses pada 27 Agustus 2022.

[2] Pratiwi Agustini, “Yossi: Banyak Anak Belum Paham Cybercrime dan UU ITE,” https://aptika.kominfo.go.id/2020/10/yossi-banyak-anak-belum-paham-cybercrime-dan-uu-ite/, diakses pada 27 Agustus 2022.

[3] Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 19 Tahun 2016, LN.2016/No.251, TLN No.5952, Pasal 4.

[4] Kominfo, “Ragam Konten yang Bisa Diadukan Melalui aduankonten.id,” https://www.kominfo.go.id/content/detail/10331/ragam-konten-yang-bisa-diadukan-melalui-aduankontenid/0/videografis, diakses pada 28 Agustus 2022.

[5] Muhammad Agusta Wijaya, “Pengawasan Konten Media Sosial untuk Hindari Kerugian Publik,” https://mmc.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/pengawasan-konten-media-sosial-untuk-hindari-kerugian-publik, diakses pada 28 Agustus 2022.

[6] Kompas, “6 Dampak Negatif Media Sosial, Siswa Wajib Hati-Hati,” https://edukasi.kompas.com/read/2021/05/28/060700871/6-dampak-negatif-media-sosial-siswa-wajib-hati-hati?page=all, diakses pada 27 Agustus 2022.

1

SETTLEMENT OF LAND DISPUTES IN TOURISM SECTOR

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

REFERENSI: 

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

Pesatnya perkembangan pariwisata memunculkan persoalan baru di bidang pertanahan. Klaim kepemilikan tanah menjadi persoalan yang semakin menonjol sehingga menimbulkan konflik pertanahan antara pemerintah (sebagai regulator dan pihak yang mengeluarkan izin), pemodal (investor) dan masyarakat.[1]

Pemanfaatan tanah untuk kepentingan pembangunan, terutama di bidang pariwisata, telah mendorong terjadinya peralihan penggunaan dan kepemilikan tanah dalam skala besar.[2]

Sementara itu pemanfaatan tanah sendiri dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan:

                               “Pasal 3

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Adapun peraturan turunan dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi:

“Pasal 2

  • Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
    dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
    didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
    seluruh rakyat.
    • Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
      bumi, air dan ruang angkasa tersebut;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
      dan ruang angkasa;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
      perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
    • Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
      digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
      kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
      berdaulat, adil dan makmur.
    • Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
      daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
      bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Negara dengan hak menguasainya berkewajiban untuk mengatur dan menentukan peruntukan, penggunaan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya tanah, hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan:

“Pasal 14

  • Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2)
    serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
    suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
    ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:untuk keperluan Negara;untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan
    dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
    kesejahteraan;untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
    serta sejalan dengan itu;untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
  • Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-
    peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
    penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
    daerah masing-masing.
  • Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah
    mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari
    Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/
    Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan”.

Pemanfaatan tanah sebagai
bagian dari sumber daya alam Indonesia harus dilakukan secara bijaksana demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk sektor pariwisata.[3] Adapun dalam tujuan pariwisata sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 4

Kepariwisataan bertujuan untuk:

  1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
  2. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  3. menghapus kemiskinan;
  4. mengatasi pengangguran;
  5. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
  6. memajukan kebudayaan;
  7. mengangkat citra bangsa;
  8. memupuk rasa cinta tanah air;
  9. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
  10. mempererat persahabatan antarbangsa”.

Adanya pembangunan berskala besar terutama dalam bidang pariwisata tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Situasi dan kondisi ini muncul akibat salah satu pihak yang mengorbankan kepentingan pihak lainnya.[4] Akan tetapi persoalan hukum dan konflik pertanahan muncul ketika pemerintah tidak mampu menjadi pihak yang netral dalam menyelesaikan persoalan pertanahan dan terjadinya salah tafsir terhadap hak menguasai negara.[5]

Konflik pertanahan di berbagai daerah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tindakan pemerintah (badan pertanahan) yang lemah dalam melakukan penelitian dan mengidentifikasikan tanah terlantar.[6] Jika terjadi konflik pertanahan maka penyelesaian sengketa terdapat dua jenis yaitu jalur litigasi dan non litigasi, litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.[7] Sedangkan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution.[8] Salah satunya dengan cara mediasi, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, di mana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri.[9] Penyelesaian sengketa melalui mediasi pribadi, diatur oleh para pihak itu sendiri dibantu oleh mediator terkait atau mengikuti pendapat/pandangan para ahli yang tehnik dan caranya sangat bervariasi, tetapi tujuannya sama, yaitu membantu para pihak dalam rangka menegosiasikan persengketaan yang dihadapi dalam rangka mencapai kesepakatan bersama secara damai dan saling menguntungkan.[10]


[1] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[2] Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019 h 113

[3] Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018: 87-100, hal 88

[4] I gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018, hal 58

[5] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[6] Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, hal 2.

[7] Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), hal 16.

[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 236.

[9] I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009, hlm. 2.

[10] Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014, hlm 60.

LEGAL BASIS:

  1. The 1945 State Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles
  3. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;

REFERENCE:

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

The rapid development of tourism raises new problems in the land sector. Land ownership claims are becoming increasingly prominent issues, resulting with land conflicts between the government (as regulator and the party issuing permits), investors (that invests) and the community.

The use of land for development purposes, especially in the tourism sector, has led to a shift in land use and ownership on a large scale.

Meanwhile, the use of land itself is guaranteed in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which states:

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people”.

The derivative regulations from Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, namely Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, are emphasized in Article 2 of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations of Agrarian Principles, which reads:

“Article 2

  • On the basis of the provisions in Article 33 paragraph (3) of the Constitution and the matters referred to in Article 1, the earth, water and space, including the natural resources contained therein, are at the highest level. controlled by the State, as an organization of power for all the people.
  • The State’s right of control as referred to in paragraph (1) of this article authorizes to:
    • regulate and administer the designation, use, supply and maintenance of the said earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and the earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and legal actions concerning earth, water and space.

(3) The authority stemming from the state’s right to control as referred to in paragraph (2) of this article is used to achieve the greatest prosperity of the people in the sense of nationality, welfare and independence in society and an independent, sovereign, just and prosperous Indonesian legal state.

(4) The state’s control rights mentioned above can be exercised to autonomous regions and customary law communities, only as necessary and not in conflict with national interests, according to the provisions of Government Regulations”.

The state with the right to control is obliged to regulate and determine the allocation, use, control, supply and maintenance of land resources, this is described in Article 14 paragraph (1) of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, which states:

“Article 14

(1) With the stipulations in Article 2 paragraphs (2) and (3), Article 9 paragraph (2) and Article 10 paragraph (1) and (2) the Government in the context of Indonesian socialism draws up a general plan regarding the supply, designation and use of the earth, water and space as well as the natural resources contained therein:

a. for the needs of the State;

b. for the purposes of worship and other sacred purposes, in accordance with the basis of the One Godhead;

c. for the purposes of community, social, cultural and other welfare centers;

d. for the purpose of developing agricultural, animal husbandry and fishery production and in line with that;

e. for the purposes of developing industry, transmigration and mining.

(2) Based on the general plan as referred to in paragraph (1) of this article and in view ofthe relevant regulations, the Regional Government shall regulate the supply, designation and use of earth, water and space for their respective regions, in accordance with the conditions of their respective regions.

(3) The Regional Government Regulations referred to in paragraph (2) of this article shall come into force after obtaining ratification, concerning Level I Regions from the President, Level II Regions from the Governor/Head of the Region concerned and Level III Regions from the Regent/Mayor/Head of the Region concerned”.

Utilization of land as part of Indonesia’s natural resources must be done wisely for the prosperity and welfare of the Indonesian people, including the tourism sector. As for tourism destinations, as Article 4 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 4

Tourism aims to:

  1. increase economic growth;
  2. improve people’s welfare;
  3. eradicating poverty;
  4. overcoming unemployment
  5. conserving nature, environment, and resources;
  6. promote culture;
  7. raise the image of the nation;
  8. foster a sense of love for the homeland;
  9. strengthen national identity and unity; and
  10. strengthen friendship between nations.

The existence of large-scale development, especially in the field of tourism, often causes pros and cons. These situations and conditions arise as a result of one party sacrificing the interests of the other. However, legal issues and land conflicts arise when the government is unable to be a neutral party in resolving land issues and there is a misinterpretation of the right to control the state.

Land conflicts in various regions are caused by several factors, namely the actions of the government (land agency) which are weak in conducting research and in identifying abandoned land. If there is a land conflict, there are two types of dispute resolution, namely litigation and non-litigation, litigation is a dispute resolution process in court, where all disputing parties face each other to defend their rights before the court. The final result of a dispute resolution through litigation is a decision that states a win-lose solution. Meanwhile, dispute resolution through non-litigation is much more effective and efficient because in recent times, various methods of dispute settlement (settlement methods) outside the courts have been developed, known as Alternative Dispute Resolutions. One of them is by means of mediation, mediation is a dispute resolution process between the parties which is carried out with the help of a neutral and impartial third party (mediator) as a facilitator, where the decision to reach an agreement is still taken by the parties themselves. Settlement of disputes through private mediation, regulated by the parties themselves assisted by the relevant mediator or following the opinions/views of experts whose techniques and methods vary widely, but the goal is the same, namely to assist the parties in negotiating the disputes they face in order to reach mutual agreement collectively. peaceful and mutually beneficial.

1

Pembatasan Hak Imunitas Advokat dalam Menjalankan Tugas Profesi

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Megarini Adila Putri Lubis

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan mengenai jaminan yang diberikan kepada seluruh warga negara atas pengakuan, keadilan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga dikuatkan dengan prinsip atau asas yang berlaku di Indonesia selaku negara hukum, yaitu asas persamaan di hadapan hukum atau dikenal dengan istilah Equality Before the Law. Unsur-unsur asas equality before the law harus adanya persaman di depan hukum seluruh warga Negara Indonesia tanpa adanya prinsip non dikriminasi baik pejabat maupun non pejabat, memberikan jaminan hak asasi manusia guna untuk mendapatkan perlindungan didalam negara berdasarkan Pancasila.[1] Salah satu bentuk persamaan tersebut adalah seluruh warga negara berhak untuk menerima bantuan hukum sebagai bentuk jaminan sama di hadapan hukum atas kepentingan hukum yang sedang dilalui.

Bantuan hukum salah satunya dapat diberikan oleh seorang advokat, yaitu seseorang yang menawarkan jasa dalam bidang hukum dengan persyaratan yang sudah diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Pasal 1 Angka 2 UU Advokat menjelaskan definisi jasa hukum adalah sebagai berikut:

“Pasal 1

2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.[2]

            Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak berusaha dengan kapasitas maksimalnya sebagai advokat yang diberikan kuasa untuk membela hak-hak klien. Sehingga dalam proses pembelaan klien tersebut, advokat memiliki dan dilindungi hak imunitas atau kekebalan hukum. Hak imunitas advokat dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan profesinya dalam membela kepentingan klien.[3] Adanya hak imunitas advokat yang diatur dalam undang-undang karena dalam membela klien tidak dihinggapi rasa takut, merasa aman dan dilindungi negara melalui pemerintah.[4] Hak imunitas advokat ini diatur pada Pasal 16 UU Advokat menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.[5]

Penjelasan Hak imunitas pada Pasal 16 UU Advokat diatas dikuatkan kembali dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa hak imunitas ini berlaku baik didalam maupun diluar persidangan. Namun hak imunitas advokat ini hanya berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas profesinya saat pembelaan klien dengan itikad baik.[6] Dalam penjelasan Pasal 16 UU Advokat dinyatakan bahwa itikad baik adalah advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan untuk membela kepentingan kliennya harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku.[7] Sehingga hak kekebalan hukum atas advokat ini memiliki pengecualian jika seorang advokat dalam profesinya melakukan hal-hal melanggar hukum dengan itikad buruk untuk memenuhi kepentingan klien.

Diketahui bahwa seorang advokat suatu perusahaan swasta menjadi tersangka atas perbuatan Obstruction of Justice yang mana menghalangi, merintangi, mencegah dalam penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Tim Penyidik pada kasus korupsi perusahaan tersebut.[8] Perbuatan Obstruction of Justice ini diatur pada Pasal 221 Ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 221

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat rihu lima ratus rupiah:

2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian”.[9]

Komisi Pemberantasan Korupsi juga meyakinkan bahwa seorang advokat yang ditetapkan sebagai seorang tersangka berdasarkan tuduhan Undang-Undang Tindak pidana korupsi sebagai pihak yang melawan karena perbuatan menghalang-halangi dalam penanganan kasus korupsi jelas ada ancaman pidananya.[10] Mengenai perbuatan yang menghalang-halangi proses penangan kasus korupsi, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi”.[11]

            Berdasarkan perbuatan dengan tidak adanya itikad baik oleh pengacara dalam hal melakukan pembelaan terhadap klien atas tugas profesi inilah yang menggugurkan dan menimbulkan pembatasan atas hak imunitas seorang advokat. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hak imunitas bisa hilang manakala advokat yang bersangkutan melakukan perilaku-perilaku sebagai berikut:[12]

  1. Advokat yang bersangkutan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien, baik disengaja maupun tidak;
  2. Advokat yang bersangkutan berbuat atau bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,  atau pengadilan;
  3. Advokat yang bersangkutan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesi;
  4. Advokat yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau melakukan perbuatan tercela;
  5. Advokat yang bersangkutan melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi:

  • Atmaja, Ida Wayan Dharma Punia. “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi.” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, p. 9. https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/43617. Diakses 27 Agustus 2022.
  • Sartono, dan Bhekti Suryani. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat. Jakarta, Dunia Cerdas, 2013. Diakses 28 Agustus 2022.
  • Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016)
  • Radityo, Muhammad. “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. Diakses 28 August 2022.
  • Yahman, dan Nurin Tarigan. Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta, Prenada Media, 2019. Diakses 28 August 2022.
  • “Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” Mahkamah Konstitusi RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095. Diakses 28 August 2022.

[1] Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016), hal. 27.

[2] Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[3] Yahman & Nurin Tarigan, Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:Prenada Media, 2019), hlm. 76.

[4] Ibid., hlm. 77

[5] Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[6] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, hlm. 9.

[7] Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” MK RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095.(diakses 28 August 2022).

[8] M. Radityo, “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. (diakses 28 August 2022)

[9] Pasal 221 Ayat (1) Angka 2 KUHP

[10] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, 2018, hlm. 9

[11] Pasal 221 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[12] Sartono & Bhekti Suryani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat (Jakarta: Dunia Cerdas, 2013), hlm. 90

1

Urgensi Penerbitan Sertifikat Kepemelikan Bangunan Gedung Rumah Susun bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Ratumas Amaraduhita Rengganingtyas Arham

Usaha di bidang properti saat ini berkembang sangat pesat. Sayangnya, permintaan perumahan yang semakin banyak tidak sebading dengan keterbatasan lahan terutama di wilayah perkotaan. Keterbatasan lahan di wilayah perkotaan inilah yang membuat bidang perumahan mulai beralih dari perumahan ke rumah susun atau yang sering disebut juga sebagai satuan rumah susun. Terdapat 2 (dua) jenis sertifikat yang menjadi bukti kepemilikan atas satuan rumah susun, yaitu Sertifikat Hak Milik Sarusun (“SHMRS”) dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (“SKBG Sarusun”).[1]

Salah satu bukti kepemilikan berupa sertifikat kepemilikan atas satuan rumah susun ialah Sertifikat Hak Milik Sarusun (“SHMRS”). Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rumah Susun”), SHMRS didefinisikan sebagai berikut:

“Pasal 1

11. Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan”.[2]

Umumnya, SHM Sarusun digunakan bagi masyarakat kelas menengah ke atas untuk membeli satuan rumah susun dalam bentuk unit apartemen. Oleh sebab itu, SKBG Sarusun hadir sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat berpenghasilan rendah (“MBR”).

Urgensi penerbitan SKBG Sarusun dilatarbelakangi oleh sejumlah problematika dalam mewujudkan hunian di perkotaan bagi MBR yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan.[3] Bagi pemerintah, problematika yang dihadapi berupa semakin terbatasnya fiskal dan pemerintah daerah yang belum mampu mengendalikan harga lahan di perkotaan untuk rumah susun umum. Bagi para pengembang, semakin melambungnya harga lahan di perkotaan tidak memungkinkan mereka untuk menyediakan perumahan maupun apartemen dengan harga yang terjangkau bagi MBR. Sedangkan bagi MBR, tantangan dalam memiliki hunian adalah daya beli yang tidak menjangkau harga pasar perumahan saat ini. Oleh karena itu, SKBG Sarusun dengan cara mendayagunakan Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD) dan tanah wakaf yang belum dimanfaatkan serta dengan sistem sewa menjadi salah satu solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut,[4] Berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU Rumah Susun, Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (“SKBG Sarusun”) didefinisikan sebagai berikut:

“Pasal 1

12. Sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun yang selanjutnya disebut SKBG sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa”.

Selain diatur dalam UU Rumah Susun, SKBG Sarusun saat ini memiliki pengaturan yang lebih terperinci. SKBG Sarusun diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  Nomor 17 Tahun 2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Penerbitan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun. Ketiga regulasi tersebut pada pokoknya mengatur mengenai pihak yang menerbitkan sertifikat, dokumen terkait, dan masa berlaku SKBG Sarusun.

          Kesimpulannya, penerbitan SKBG Sarusun menjadi penting dan diperlukan dalam rangka mendorong skema penyediaan tanah untuk pembangunan rusun dengan pendayagunaan tanah wakaf dan pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD) dengan cara sewa. Selain itu, SKBG Sarusun meberikan sejumlah manfaat bermukim bagi MBR dan pemerintah. Manfaat tersebut antara lain:[5]

  1. Memberikan kepastian tinggal bagi MBR, sebab SKBG Sarusun merupakan sertifikat kepemilikan berjangka waktu dan dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia;
  2. Menjangkau kemampuan MBR untuk memiliki rusun umum dengan harga lebih rendah, komponen tanah hanya memperhitungkan harga sewa dan bukan harga beli; dan
  3. Pemerintah tetap memiliki jaminan atas kepemilikan aset.

Dasar Hukum:

– Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

– Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun

Referensi:

Arthalia Saputra. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Satuan Rumah Susun Terkait Hak Kepemilikan. Arena Hukum, 13(1). 118.

https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

https://realestat.id/berita-properti/skbg-sarusun-jawab-kebutuhan-hunian-mbr-di-perkotaan/ diakses pada 21 Agustus 2022


[1] Arthalia Saputra. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Satuan Rumah Susun Terkait Hak Kepemilikan. Arena Hukum, 13(1). 118.

[2] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

[3] https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

[4] https://realestat.id/berita-properti/skbg-sarusun-jawab-kebutuhan-hunian-mbr-di-perkotaan/ diakses pada 21 Agustus 2022

[5] https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

1 2 3 4 5 6 24
Translate