Kebijakan Penggunaan Kendaraan Listrik Sebagai Kendaraan Dinas

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Megarini Adila Putri Lubis

Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai bentuk konsistensi dalam hal percepatan transisi energi menuju penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT).[1] Dengan adanya Inpres ini, pemerintah pusat dan daerah diinstruksikan untuk segera menyusun dan  menetapkan regulasi dan/atau kebijakan untuk mendukung percepatan pelaksanaan program penggunaan kendaraan listrik untuk kendaraan dinas. Arahan mengenai penggunaan kendaraan bermotor listrik merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mengatasi solusi atas permasalahan global dalam hal mendukung pemulihan ekonomi serta upaya menekan emisi global.[2] Berkaitan dengan pengisian kendaraan listrik yang dilakukan di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dalam pelaksanaan tugasnya diberikan oleh pemerintah kepada Perusahaan Listrik Negara, hal tersebut terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Hal lain yang juga memprakarsai dikeluarkannya inpres ini yaitu adanya krisis keamanan global karena konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada kenaikan harga minyak dunia dan akhirnya juga berdampak pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak di dalam negeri, sehingga urgensi terkait transisi energi ke EBT juga berkaitan tidak hanya dengan sektor ekonomi dan lingkungan tetapi juga berkaitan dengan sektor pertahanan, keamanan serta kedaulatan negara.[3]

Komitmen Indonesia dalam percepatan transisi energi menuju penggunaan energi terbarukan ditandai dengan Perjanjian Paris 2015, yang mana hampir 200 negara menyepakati untuk membuat Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) yang berisi target pengurangan emisi karbon.[4] Indonesia berkomitmen pada periode pertama, mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian.[5] Komitmen ini juga dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.[6] Melalui PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pemerintah juga menetapkan target kontribusi EBT dalam Bauran Energi Primer Nasional yang ditetapkan minimal sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.[7] Dengan target resmi yang dimiliki Indonesia, pencapaiannya masih jauh dari yang diharapkan. Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Sahid Junaidi mengatakan, dari potensi energi terbarukan di Indonesia yang sebanyak 3.600 gigawatt (GW), pemanfaatannya baru 11,15 GW atau sebesar 3% dari total potensi energi terbarukan.[8] Maka dari itu sangat diperlukan teknologi dan regulasi yang memadai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan energi terbarukan ini.

Instruksi Presiden atas Penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) sebagai kendaraan dinas operasional dan/atau kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat dan pemerintahan daerah merupakan salah satu upaya pemerintah tetap konsisten dan berkomitmen dengan target pembangunan nasional dalam hal percepatan transisi energi menuju energi terbarukan (EBT). Instruksi Presiden ini khusus memberikan instruksi kepada Para Menteri Kabinet Indonesia Maju; Sekretaris Kabinet; Kepala Staf Kepresidenan; Jaksa Agung Republik Indonesia; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Para Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian; Para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara; Para Gubernur; dan Para Bupati/Wali Kota, sesuai dengan tugas, pokok, dan kewenangannya mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan percepatan pelaksanaan program dalam Inpres ini. Peraturan mengenai percepatan program kendaraan bermotor berbasis listrik telah diatur pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Pasal 1 Angka 3 Perpres Nomor 55 Tahun 2019, dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 1

3. Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BatteryElectric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar”.

Pelaksanaan percepatan transisi energi melalui program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai ini memiliki rintangan yang besar karena perlu kerja sama antar instansi pemerintahan pusat dan daerah serta perusahaan industri dalam hal penelitian, pengembangan dan inovasi industri, yang dijelaskan pada Pasal 7 ayat 2 Perpres Nomor 55 Tahun 2019 yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 7

(2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan perusahaan industri dapat bersinergi untuk melakukan penelitian, pengembangan, dan inovasi teknologi industri KBL Berbasis Baterai”.

Walaupun disebutkan sebagai energi ramah lingkungan, terdapat rintangan dalam isu lingkungan atas konsumsi penggunaan listrik dan komponen kendaraan listrik yang tantangan terbesarnya terletak kepada pengisian dan pelepasan energi di baterai. Menurut Ketua Ikatan Alumni RISET-Pro, terdapat 4 (empat) dampak negatif pada industrialisasi kendaraan listrik, antara lain bahan berbahaya dan beracun (B3), konsumsi energi massif sepanjang proses produksi, jejak air (water footprint) yang besar, dan kerusakan kepada ekosistem. Dampaknya kepada manusia bisa terjadi pada waktu tidak dikelola dengan baik, karena material B3 dapat terakumulasi dan mengendap pada perairan, tanah, udara, dan juga kepada manusia. Hal ini karena substansi seperti logam berat, arsenik, sodium dichromate dan hydrogen fluoride (umumnya dihasilkan dari aktivitas pertambangan), pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan barang elektronik seperti baterai memiliki dampak yang cukup spesifik di dalam ekosistem. Terlebih lagi, dalam proses pembuatan baterai dan kendaraan listrik melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, manufaktur membutuhkan energi dan air bersih yang sangat besar. Eksploitasi material-material dari alam dapat menyebabkan kerusakan kepada ekosistem, terutama terkait kepada substansi dan limbah berbahaya yang dikeluarkannya.[1]

Infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk mendukung kebijakan ini, yaitu sarana pengisian tenaga listrik bagi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, juga belum memadai. Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) masih jarang ditemukan, belum lagi tipe mobil yang berbeda akan membutuhkan Plug Socket Outlet yang berbeda pula, sehingga menemukan SPKLU yang cocok dengan tipe mobil masing-masing bisa dikatakan sulit.[2] Pada tahun 2020, telah didirikan 53 unit charging station di 35 lokasi yang tersebar di Jakarta, Bandung, Tangerang, Semarang, Surabaya dan Bali. Data ini membuktikan bahwa perkembangan infrastruktur untuk menyokong penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai masih terpusat di Pulau Jawa dan masih sangat sedikit dibandingkan dengan target jumlah SPKLU pada tahun yang sama yaitu 180 unit. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan jumlah SPKLU di Indonesia, yaitu:[3]

  1. Investasi pengembanagn SPKLU membutuhkan modal yang tergolong tinggi, khususnya untuk DC Fast Charger;
  2. Kekosongan pengaturan mengenai Tata Niaga SPKLU;
  3. Kurangnya lahan yang strategis untuk SPKLU;
  4. Harga mobil listrik sendiri masih tergolong mahal;
  5. Model bisnis pengembangan SPKLU yang belum teruji;
  6. Miskonsepsi masyarakat terhadap mobil listrik.

Melihat situasi Indonesia yang baru pulih dari krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Maka, pelaksanaan Inpres No. 7 Tahun 2022 akan terbilang sulit. Melihat banyak daerah sedang disibukkan dengan pemulihan ekonomi masyarakat pasca pandemi COVID-19, maka penganggaran tentang pengadaan kendaraan dinas berbasis baterai akan memberatkan APBD dari masing-masing daerah. Tentu saja hal ini berpotensi menimbulkan keberatan dari Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Maka, pengadaan kendaraan dinas berbasis baterai tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap tersebut juga meliputi persiapan infrastruktur, pengawasan terhadap produksi, pemakaian, dan pembuangan agar tidak membahayakan lingkungan, serta perhitungan anggaran yang tepat. Terhadap hambatan-hambatan yang menghalangi implementasi Instruksi Presiden mengenai Battery Electric Vehicle tersebut, pemerintah berupaya untuk tetap mendorong segala pihak yang dapat dilibatkan untuk mendukung kebijakan tersebut. Kebijakan-kebijakan termasuk insentif bagi para pihak yang menyediakan infrastruktur SPKLU[4] dan perjanjian kerja sama dengan PT PLN Persero selaku penyedia tenaga listrik[5] merupakan solusi yang dapat mendukung percepatan transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan.


[1] RISET-Pro, “Dampak Negatif Kendaraan Listrik Terhadap Lingkungan,” https://risetpro.brin.go.id/web/2021/10/07/dampak-negatif-kendaraan-listrik-terhadap-lingkungan/, diakses pada 26 September 2022.

[2] Direktorat Jenderal Kelistrikan, “Bahan Paparan Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik dan Tarif Tenaga Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai”, disampaikan dalam acara “Bedah Buku: Peluang dan Tantangan Pengembangan Mobil Listrik Nasional”, Jakarta, 6 Agustus 2020.

[3] M. Ikhsan Asaad, Tim Pengembangan Infrastruktur Kendaraan Listrik PT. PLN, Persero, “Road Map Pengembangan Infrastruktur Kendaraan Listrik 2020-2024”, Jakarta, 1 September 2020

[4] ndonesia, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, Pasal 17.

[5] Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Nomor 13 Tahun 2020, Pasal 19.

[1] “Kewajiban Kendaraan Dinas Pakai Mobil Listrik Bentuk Komitmen Percepatan Transisi Energi.” SINDOnews.com, 20 September 2022, https://ekbis.sindonews.com/read/890775/34/kewajiban-kendaraan-dinas-pakai-mobil-listrik-bentuk-komitmen-percepatan-transisi-energi-1663704562?_gl=1*54079f*_ga*ZzFLR3l6LVFZRnkxemFFeVE4WWFMYk8wMjhGYTRucC16blR3d3A3YWsyX2hjZ3A1dHlYZWQxdGQ3Q21vbDhNSA. Diakses 25 September 2022.

[2] “Forum Transisi Energi G20 Bali Jadi Pondasi Percepatan Transisi Energi G20 – G20 Presidency of Indonesia.” G20.org, 1 September 2022, https://g20.org/id/forum-transisi-energi-g20-bali-jadi-pondasi-percepatan-transisi-energi-g20/. Diakses 25 September 2022.

[3] SINDOnews.com, loc.cit.

[4] “Geliat Pemanfaatan Energi Terbarukan – Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM.” Pslh Ugm, 21 February 2022, https://pslh.ugm.ac.id/geliat-pemanfaatan-energi-terbarukan/. Diakses 25 September 2022.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Vita Puji Lestari. “Ringkasan Permasalahan dan Tantangan Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru dan Terbarukan Dalam Bauran Energi Nasional.” DPR RI, PUSAT KAJIAN AKN BADAN KEAHLIAN DEWAN DPR RI, 2021, https://berkas.dpr.go.id/puskajiakn/analisis-ringkas-cepat/public-file/analisis-ringkas-cepat-public-21.pdf. Diakses 25 September 2022.

[8] “Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM.” Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM, 11 February 2022, https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/02/14/3083/pemerintah.dorong.peran.daerah.dukung.percepatan.transisi.energi.di.indonesia. Diakses 25 September 2022.

Pelanggaran terhadap Pemakaian Tenaga Listrik di Indonesia

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Alexandra Hartono Lee

Seorang pelanggan Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) dikenakan sanksi hingga lebih dari Rp41.000.000 atau terbilang empat puluh satu juta rupiah akibat pemakaian yang dinilai tidak normal oleh pihak PLN.[1] PLN curiga bahwa pelanggan melakukan pencurian listrik akibat menurunnya jumlah tagihan yang harus dibayar. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tali segel meteran tersebut putus, dan perubahan pola penggunaan listrik yang berubah drastis memperkuat dugaan pencurian listrik oleh PLN atas pelanggan ini.[2] Padahal, pelanggan mengatakan bahwa posisi meteran listrik yang diletakkan di luar rumah berarti orang lain mempunyai akses terhadap meteran tersebut, termasuk apabila ada “oknum” yang sengaja merusak segel meteran. Akibatnya, tidak hanya sanksi berupa pembayaran uang, PLN juga melakukan pemutusan aliran listrik ke rumah pelanggan ini serta penyitaan meteran listrik. Kini kondisi listrik pelanggan telah dinyalakan kembali dengan menggunakan sistem token sementara, dan meteran akan diperiksa oleh PLN untuk mencari penyebab kerusakan segelnya. Namun kenyataannya, kejadian ini tidak hanya terjadi pada satu pelanggan, melainkan ada banyak orang lain yang mengalami hal serupa.

Jumlah sanksi yang dikenakan bisa dibilang cukup bombastis, hingga membuat masyarakat bertanya-tanya dasar hukum dari pengenaan sanksi yang begitu merugikan. Secara umum, pencurian listrik masuk dalam tindak pidana pencurian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana[3], Pasal 362 yang berbunyi:

Pasal 362

barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Kini sudah berlaku peraturan perundang-undangan yang mengatur pencurian listrik secara lebih spesifik, seperti tercantum dalam salah satu foto yang diunggah oleh pelanggan tersebut[3]. Pelanggaran yang dikenakan oleh PLN adalah Pelanggaran II, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) (“Perdir PLN 88/2016”). Definisi P2TL adalah sebagai berikut:[4]

Pasal 1

6.rangkaian kegiatan meliputi perencanaan, pemeriksaan, tindakan teknis dan/atau hukum dan penyelesaian yang dilakukan oleh PLN terhadap lnstalasi PLN dan/atau lnstalasi Pemakai Tenaga Listrik dari PLN”.

Pasal 5 ayat (2) Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) menjelaskan wewenang dari pertugas pelaksana lapangan P2TL yang berbunyi:

“Pasal 5

(2) Petugas pelaksana lapangan P2TL, berwenang:

a. melakukan pemutusan sementara atas sambungan tenaga listrik dan/atau alat pembatas dan pengukur pada pelanggan yang harus dikenakan tindakan pemutusan sementara;

b. melakukan pembongkaran rampung atas sambungan tenaga listrik pada pelanggan dan bukan pelanggan;

c. melakukan pengambilan barang bukti berupa alat pembatas dan pengukur atau peralatan lainnya”.

Ada beberapa golongan pelanggaran yang diatur dalam P2TL, dan yang dikenakan terhadap pelanggan ini adalah pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya.[5] D Dapat disimpulkan bahwa PLN menganggap pelanggan telah melakukan sebuah pelanggaran yang mengakibatkan pengukuran energi listrik yang terpakai termanipulasi dan tidak sesuai jumlahnya dengan yang tercantum pada meteran listrik, sehingga tagihan listrik yang harus dibayar menjadi lebih sedikit daripada yang seharusnya. Pemakaian listrik yang tidak terukur inilah yang dikenakan denda oleh PLN karena pelanggan tidak berhak menggunakan listrik tanpa membayar. Adapun golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik yang berbunyi:

Pasal 13

(1) Terdapat 4 golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik, yaitu:

a. Pelanggaran Golongan I merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya tetapi tidak mempengaruhi pengukuran energi;

b. Pelanggaran Golongan ll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya;

c. Pelanggaran Golongan lll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya dan mempengaruhi pengukuran energi;

d. Pelanggaran Golongan lV merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh bukan pelanggan yang menggunakan tenaga listrik tanpa alas hak yang sah”.

Terhadap pelanggar ketentuan tersebut, Pasal 14 ayat (1) Perdir PLN 88/2016 mengatur pula mengenai sanksi yang berlaku yaitu:

“Pasal 14

(1) Pelanggan yang melakukan Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi berupa:

a.Pemutusan Sementara;

b.Pembongkaran Rampung;

c.Pembayaran Tagihan Susulan;

d.Pembayaran Biaya P2TL Lainnya”.

Sesungguhnya, hukuman yang diberikan terhadap pelanggan tersebut adalah hukuman yang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi yang dikenakan bukanlah denda, melainkan pembayaran tagihan yang selama ini tertunggak; seakan-akan untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban dengan membayar tenaga listrik yang selama ini tidak dibayarkan. Permasalahannya terletak pada kebenaran mengenai kerusakan segel meteran tersebut; apakah benar pelanggan dalam kasus ini merusaknya untuk melakukan pencurian listrik, atau benar ada oknum lain yang berusaha merugikan pelanggan? Hal ini berarti PLN harus memperbaiki caranya menindaklanjuti temuan-temuan yang mencurigakan, karena alih-alih menangkap pencuri listrik, pengenaan sanksi pembayaran “tagihan” yang jumlahnya sangat besar serta pengenaan sanksi lainnya seperti pemutusan listrik dan penyitaan meteran justru menyebabkan kerugian bagi pelanggan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap PLN.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor 088/Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL)

Referensi:

CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta Akibat Segel Meteran Putus”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220826075542-85-839338/pelanggan-pln-kena-denda-rp41-juta-akibat-segel-meteran-putus , diakses 26 Agustus 2022.

Anisa Indraini, “Viral Pelanggan PLN Didenda Rp 41 Juta Akibat Dituding Curi Listrik”, https://finance.detik.com/energi/d-6255929/viral-pelanggan-pln-didenda-rp-41-juta-akibat-dituding-curi-listrik , diakses 26 Agustus 2022.



[1] Ibid., Pasal 13 ayat (1).

[2] Perdir PLN 88/2016, Pasal 14 ayat (1).


[1] CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta”, diakses 26 Agustus 2022.

[2] Indonesia, Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor 088/Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), Perdir PLN 88/2016, Pasal 1 angka 6.


[3]  CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta Akibat Segel Meteran Putus”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220826075542-85-839338/pelanggan-pln-kena-denda-rp41-juta-akibat-segel-meteran-putus, diakses 26 Agustus 2022.

[2] Anisa Indraini, “Viral Pelanggan PLN Didenda Rp 41 Juta Akibat Dituding Curi Listrik”, https://finance.detik.com/energi/d-6255929/viral-pelanggan-pln-didenda-rp-41-juta-akibat-dituding-curi-listrik, diakses 26 Agustus 2022.

[3] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 362.

Tinjauan Yuridis Pengadaan Vaksin oleh Pemerintah sebagai Upaya Pencegahan dan Imunisasi terhadap Wabah Monkeypox

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Fikri Fatihuddin

Perbaikan kesehatan rakyat dilakukan melalui upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan dengan mendekatkan dan memeratakan pelayanan kesehatan kepada rakyat. Pembangunan kesehatan ditujukan kepada peningkatan pemberantasan penyakit menular dan penyakit rakyat, peningkatan keadaan gizi rakyat, peningkatan pengadaan air minum, peningkatan kebersihan dan kesehatan lingkungan, perlindungan rakyat terhadap bahaya narkotika dan penggunaan obat yang tidak memenuhi syarat, serta penyuluhan kesehatan masyarakat untuk memasyarakatkan perilaku hidup sehat yang dimulai sedini mungkin[1].

Dewasa ini, Menteri Kesehatan telah menyampaikan sejumlah hal terkait vaksin cacar monyet atau monkeypox. Sebab seperti diketahui, saat ini kasus cacar monyet sudah ditemukan di Indonesia. Menteri Kesehatan mengatakan, bahwa Pemerintah telah membeli vaksin cacar monyet atau monkeypox. Namun, tak semua masyarakat akan mendapatkan vaksin cacar monyet, dikarenakan penularan cacar monyet lebih sulit dibandingkan Covid-19. Sehingga, nantinya vaksin akan diberikan kepada masyarakat yang memiliki imunitas rendah dan mudah terpapar. Menteri Kesehatan mengatakan, vaksin monkeypox berbeda dengan Covid-19 yang diberikan setiap enam bulan sekali. Adapun vaksin cacar monyet hanya diberi sekali dan berlaku seumur hidup. Selanjutnya Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa dari total 39.000 kasus cacar monyet di dunia, tingkat fatality rate dari cacar monyet dapat dikatakan sangat rendah yakni, hanya 0,03 persen dari jumlah kasus yang ada. Menteri Kesehatan menargetkan vaksin monkeypox akan didistribusikan pada akhir tahun 2022[2].

Istilah wabah ataupun pandemi menjadi populer dikalangan masyarakat belakangan ini. Hal ini dikarenakan atas pengalaman yang dialami oleh masyarakat Indonesia selama 2 tahun kebelakang, Indonesia pernah terjangkit wabah COVID-19. Wabah adalah penyakit menular yang dapat dikategorikan menjadi:
1. Endemi/wabah.

Tingkat pertama keparahan penyebaran penyakit dilihat dari populasi, lingkungan atau wilayahnya. Populasi yang terdampak kecil, namun bisa dibilang luar biasa. Penyakit tertentu dinyatakan menjadi wabah atau endemik ketika terjadi peningkatan jumlah kasus yang signifikan namun masih terbatas pada suatu wilayah. Contoh: Malaria, demam berdarah, campak, dan sebagainya.

2.Epidemi.

Tingkat kedua keparahan suatu penyakit yang bersifat lebih besar dari endemik dan menyebar ke area yang lebih luas. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) menjelaskan bahwa epidemi terjadi ketika suatu penyakit menular dengan cepat ke banyak orang hingga pada tahap di luar ‘normal’ sulit dihambat. Contoh:  Kasus epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-CoV) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV)

3.Pandemi.

Pandemi adalah epidemi yang menyebar keberbagai negara lain dan memengaruhi orang di seluruh duniadalam jumlah besar secara simultan atau berkelanjutan. Penyakit ditetapkan sebagai pandemi ketika penyebarannya sudah internasional dan di luar dugaan sehingga sulit dikendalikan[3].

Sebagai dasar hukum, wabah sendiri telah diatur pada Undang Undang (UU) No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, yang manawabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka[4]. Agar wabah tersebut dapat diatasi dengan baik sehingga tidak menular diantara kehidupan masyarakat, maka perlu adanya upaya penanggulangan yang dilakukan oleh Pemerintah. Upaya penanggulangan yang dimaksud meliputi:

a. Penyelidikan epidemiologis;

b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; 

c. Pencegahan dan pengebalan;

d. Pemusnahan penyebab penyakit;

e. Penanganan jenazah akibat wabah;

f. Penyuluhan kepada masyarakat;

g. Upaya penanggulangan lainnya[5].

Upaya penganggulangan wabah diatas dilaksanakan dengan keharusan memperhatikan lingkungan hidup, kemudian pelaksanaan teknis atas upaya penanggulangan wabah selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Menteri Kesehatan adalah Menteri yang membantu Presiden dibidang Kesehatan. Sudah suatu keharusan apabila Menteri melakukan suatu tindakan yang memang sudah menjadi tugasnya dibidang kesehatan[6]. Dalam hal penanggulangan wabah penyakit, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, bahwa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis upaya penanggulangan wabah adalah Menteri[7]. Kemudian, atas vaksin monkeypox dinyatakan oleh Menteri Kesehatan agar tidak dibagikan ke semua orang, namun, diberikan kepada orang yang memiliki kemungkinan tinggi terkena wabah monkeypox. Berdasarkan Pasal 13 PP No. 40 tahun 1991, yang berbunyi:

“Pasal 13

Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap masyarakat yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah”.

Yang dimaksud pencegahan dan pengebalan adalah merupakan upaya pencegahan dan pengebalan terhadap orang dan lingkungannya agar jangan sampai terjangkit penyakit. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui vaksinasi, penyemprotan dan lain-lain. Kemudian, yang dimaksud dengan risiko terkena penyakit wabah adalah orang-orang yang berada di dalam daerah terkena wabah dan juga orang-orang yang karena usia tertentu lebih mudah terserang penyakit wabah, misalnya anak-anak dan orang yang karena usianya telah tua[1].

Selain berlandaskan peraturan, data yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan tentang fatality rate yang rendah semakin menguatkan bahwa pemerataan vaksin tidak begitu diperlukan, akan tetapi pengadaan vaksin yang cukup harus tetap dilaksanakan sebagai bentuk mitigasi, karena telah didapati bahwa virus monkeypox sendiri telah terdeteksi di Indonesia. Sehingga, dapat dipahami virus monkeypox perlu dicegah agar mengurangi resiko terjadinya bencana.

Agar dapat memahami termasuk atau tidaknya suatu penyebaran penyakit atau wabah sebagai bencana, maka perlu menelaah lebih lanjut tentang makna bencana berdasarkan undang-undang. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 sampai dengan angka 3 UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana) yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
  2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
  3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit”.

Maka, bila memaknai virus monkeypox sebagai wabah penyakit, sudah menjadi konsekuensi untuk monkeypox terklasifikasi sebagai bencana. Namun, penanganannya belum melibatkan lembaga atau instansi yang dimandatkan oleh UU Penanggulangan Bencana, yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal ini dapat ditafsirkan secara sistematis, bahwa keberadaan virus monkeypox belum cukup serius untuk dikategorikan bencana nasional. Akan tetapi, sebagaimana penyebaran penyakit monkeypox haruslah tetap dicegah oleh Pemerintah, dan salah satu opsi pencegahan tersebut merupakan pengadaan perbekalan kesehatan. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan[1]. Perbekalan Kesehatan sendiri harus dijamin ketersediaannya oleh Pemerintah, hal itu diatur pada Pasal 36 UU Kesehatan yang berbunyi:

“Pasal 36

(1)Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.

(2)Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.”

Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat”.

Selanjutnya, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) menerangkan:

Pasal 38

(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.”

Dengan kata lain, melihat peraturan tersebut, maka pengadaan vaksin monkeypox merupakan tugas pemerintah dalam menjamin ketersediaan perbekalan Kesehatan untuk menghadapi penyakit menular monkeypox.

Pada saat vaksin monkeypox sudah ada di Indonesia, kemudian persebaran atas vaksin tersebut merupakan bagian dari proses Kekarantinaan Kesehatan. Hanya saja, Kekarantinaan Kesehatan tersebut tidak harus menunggu atau ditandai dengan penyebaran ataupun pengadaan vaksin atas penyakit tertentu. Berdasarkan Ketentuan Umum UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan), Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat[1]. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan menerangkan:

“Pasal 15

(1)Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah dilakukan melalui kegiatan pengamatan penyakit dan Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat terhadap Alat Angkut, orang, Barang, dan/atau Iingkungan, serta respons terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dalam bentuk tindakan Kekarantinaan Kesehatan.

(2)Tindakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi;

b.Pembatasan Sosial Berskala Besar;

c.Disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap Alat Angkut dan Barang; dan/atau

d.Penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.”

Pemberlakuan kekarantinaan kesehatan sudah sudah semestinya dilakukan oleh Pemerintah. Mulai dari pengawasan arus keluar-masuk pada setiap bandara atau pelabuhan, hingga pemberian layanan vaksinasi agar penyebaran monkeypox dapat segera diredam. Terlebih lagi apabila terdapat orang dari negara edemis atau negara asal yang sedang terjangkit wabah monkeypox, perlu diberikan tindakan khusus agar penyakit monkeypox masuk ke dalam wilayah Indonesia. Berdasarkan Pasal 38 dan 39 UU Kekarantinaan Kesehatan, yang menyatakan:

Pasal 38

(1)Awak, Personel, dan penumpang yang Terjangkit dan/atau Terpapar berdasarkan informasi awal mengenai deklarasi kesehatan, pada saat kedatangan dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh pejabat Karantina Kesehatan yang berwenang di atas Alat Angkut.

(2)Awak, Personel, dan/atau penumpang yang Terjangkit dilakukan tindakan Kekarantinaan Kesehatan sesuai indikasi.

(3)Awak, Personel, dan/atau penumpang yang Terpapar dilakukan tindakan sesuai dengan prosedur penanggulangan kasus.

(4)Terhadap Awak, Personel, dan/atau penumpang yang tidak Tedangkit dan/atau tidak Terpapar dapat melanjutkan perjalanannya dan diberikan kartu kewaspadaan kesehatan.

(5) Jika ditemukan Awak, Personel, dan/atau penumpang yang Terjangkit dan/atau Terpapar, Pejabat Karantina Kesehatan harus langsung berkoordinasi dengan pihak yang terkait”.

“Pasal 39

Setiap orang yang datang dari negara dan/atau wilayah Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia dan/atau endemis, pejabat Karantina Kesehatan melakukan:

a.penapisan;

b.pemberian kartu kewaspadaan kesehatan;

c.pemberian informasi tentang cara pencegahan, pengobatan, dan pelaporan suatu kejadian Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia; dan

d.pengambilan spesimen dan/atau sampel”.

(2)Apabila hasil penapisan terhadap orang ditemukan gejala klinis sesuai dengan jenis penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, Pejabat Karantina Kesehatan melakukan rujukan dan Isolasi”.

Maka, atas dasar kedua pasal tersebut, bila ada orang berasal dari negara yang terjangkit penyakit monkeypox ingin memasuki wilayah Indonesia, maka harus bersedia dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan kepada dirinya. Karena, bila orang tersebut menolak tindakan kekarantinaan kesehatan, maka diancam dideportasi ke negara asalnya[1].

Setiap orang baik yang ingin berangkat ke luar negeri, atau yang ingin masuk ke dalam wilayah Indonesia, wajib memiliki sertifikat vaksinasi internasional yang masih berlaku[2]. Apabila orang tersebut berasal dari luar negeri, baik Warga Negara Asing (WNA) atau Warga Negara Indonesia (WNI) yang mana berasal dari negara dimana monkeypox berasal, kemudian tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional yang masih berlaku, maka akan dilakukan tindakan kekarantinaan terhadap dirinya[3], apabila menolak, untuk WNA berlaku ketentuan Pasal 40 UU Kekarantinaan Kesehatan, yakni diancam agar dideportasi, atau dipulangkan ke negara asalnya. Sementara terhadap WNI tidak memiliki opsi lain selain mengikuti prosedur tindakan kekarantinaan. Selanjutnya, apabila terdapat orang dari Indonesia yang ingin keluar negeri, baik WNI maupun WNA, yang tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional yang masih berlaku, maka ditunda keberangkatannya hingga memiliki sertifikat vaksinasi internasional tersebut[4].

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa proses penyediaan vaksin hingga proses penyebaran vaksinasi merupakan rangkaian tindakan kekarantinaan kesehatan. Tindakan kekarantinaan tersebut tidak terkecuali diperuntukkan mencegah penyebaran atas penyakit menular monkeypox. Selain penyakit monkeypox dapat menular, penyakit ini memiliki potensi untuk berkembang menjadi penyakit berat dan mematikan, hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan Surat Edaran Kemenkes No. HK.02.02/C/2752/2022. Akan tetapi, hingga hari ini belum ada kebijakan tentang pengawasan khusus terhadap penyebaran penyakit monkeypox, sehingga tindakan kekarantiaan belum berjalan secara maksimal, padahal hal tersebut diperuntukkan agar penyakit monkeypox tidak masuk ke Indonesia.

Sehingga, dapat disimpulkan, pengadaan vaksin monkeypox yang dilakukan Pemerintah, merupakan pemenuhan tugasnya untuk menjamin kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, pengadaan vaksin monkeypox tersebut tidak menjadi langkah final dari Pemerintah untuk melawan penyakit menular tersebut, tetapi menjadi salah satu langkah penting untuk mencegah penularan penyakit monkeypox. Maka sudah semestinya Pemerintah juga membuat segera kebijakan khusus tentang kekarantinaan keehatan penyakit menular monkeypox.

Dasar Hukum:

Undang Undang No 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular

Undang Undang No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

Undang Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang Undang No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

Referensi:

Liputan 6, https://m.liputan6.com/news/read/5051748/3-pernyataan-menkes-budi-gunadi-soal-vaksin-cacar-monyet-di-indonesia , diakses pada 27 Agustus 2022

Badan Riset dan Inovasi Nasional, https://ppiptek.brin.go.id/post/read/perbedaan-endemi-epidemi-dan-pandemi , diakses pada 27 Agustus 2022


[1] Pasal 40 UU Kekarantinaan Kesehatan

[2] Liputan6, https://m.liputan6.com/news/read/5051748/3-pernyataan-menkes-budi-gunadi-soal-vaksin-cacar-monyet-di-indonesia , diakses pada 27 Agustus 2022

[3] Badan Riset dan Inovasi Nasional, https://ppiptek.brin.go.id/post/read/perbedaan-endemi-epidemi-dan-pandemi , diakses pada 27 Agustus 2022


[4] Pasal 1 Angka 1 UU No 4 Tahun 1984


[5] Pasal 5 ayat (1) UU No 4 Tahun 1984


[6] Pasal 1 angka 9 PP No. 40 Tahun 1991


[7] Pasal 6 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1991

[8] Penjelasan Pasal 13 PP No. 40 Tahun 1991


[9] Pasal 1 angka 3 UU No. 36 Tahun 2009

[10] Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2018

[11] Pasal 40 UU Kekarantinaan Kesehatan

[12] Pasal 41 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan

[13] Pasal 41 ayat (2) UU Kekarantinaan Kesehatan

[14] Pasal 41 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan



[1]

[2]


[1] Penjelasan Umum Undang Undang No. 4 Tahun 1984

Translate