0

THE IMPLEMENTATION OF TRAVELLER PROTECTION REGULATIONS FOR TOURISTS DURING COVID-19 PANDEMIC

Author: Nirma Afianita
Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
  3. Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

REFERENSI:

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  2. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  3. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  4. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  5. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  6. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  7. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  8. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  11. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  12. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  13. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

Kata pariwisata secara etimologi merupakan gabungan dari kata pari dan wisata dalam bahasa Sansekerta.  Pari memiliki arti semua, seluruh, penuh, sedangkan wisata berarti perjalanan.  Maka dari penggabungan keduanya dihasilkan kata pariwisata yang dapat diartikan sebagai perjalanan penuh. Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini tidaklah dapat terlepas dari peran pariwisata.  Kini pariwisata merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat, yang setiap kegiatannya memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan sosial dan ekonomi.[1]

United Nation World Tourism Organizations (UNWTO) dalam laporannya menyatakan bahwa pada Januari 2020, kedatangan wisatawan internasional di seluruh dunia naik 4% dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 1,5 miliar.[2] Angka tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sektor pariwisata telah menjadi industri yang memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di dunia.

Di Indonesia sendiri, pariwisata merupakan salah satu sektor yang menjadi andalan dalam perkembangan ekonomi. Badan Pusat Statistik mengemukakan bahwa terdapat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 5,85% pada bulan Januari 2020 apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada bulan Januari 2019.[3] Dengan berbagai macam budaya dan segala kekayaan alam yang dimiliki, potensi yang dimiliki Indonesia dalam bidang pariwisata sangatlah besar.

Pengaturan mengenai kepariwisataan termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor  11  Tahun  2020  tentang  Cipta  Kerja  sebagai  “Keseluruhan  kegiatan  yang  terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai  wujud  kebutuhan  setiap  orang  dan  negara  serta  interaksi  antara  wisatawan  dan  masyarakat  setempat,  sesama  wisatawan,  pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  pengusaha”. Berdasarkan hal tersebut, penting bagi Indonesia untuk memperhatikan pembangunan   pariwisata   di   era   modern   ini   dengan   senantiasa   memperbarui   kebijakan-kebijakan terkait kepariwisataan, agar dapat terus meningkatkan kualitas dan mempertahankan eksistensi pariwisatanya di mata dunia.[4]

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap wisatawan. Perkembangan pariwisata suatu negara tentu saja tidak dapat terlepas dari jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke negara tersebut.  Maka guna meningkatkan jumlah tersebut, adanya jaminan bagi keamanan serta keselamatan wisatawan sangatlah diperlukan. Andai kata suatu negara yang menjadi tujuan wisata gagal dalam membuat wisatawan merasa aman dan menyediakan pelayanan yang baik, hal tersebut tentu saja akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan pariwisata di negara tersebut.[5]

Beranjak   dari   paragraf   sebelumnya, maka   tampak   mengapa   hukum   perlindungan konsumen mendapatkan perhatian yang besar di tengah pesatnya perkembangan   zaman   ini.   Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen menentukan   bahwa “perlindungan konsumen merupakan segala usaha yang memastikan terjaminnya kepastian hukum guna memberikan perlindungan kepada konsumen”.  Hal ini merupakan   wujud   tameng   bagi   konsumen   dari   kesewenangan   pelaku   usaha   dalam mengutamakan kepentingannya di era perdagangan bebas.[6] Konsumen memiliki posisi yang lemah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, maka dari itu dibutuhkan perlindungan hukum yang bersifat mengatur dan melindungi, mengingat kompleksnya permasalahan perlindungan konsumen yang kian muncul di era dimana perkembangan zaman tidak mengenal kata henti.[7]

Pada   12   Maret   2020, World Health Organization   resmi   menetapkan   mewabahnya COVID-19 sebagai pandemi global.[8] Wabah ini menyebar hingga ke lintas negara dengan sangat cepat dan telah meluas ke berbagai belahan dunia. Penyebaran virus Corona mau tidak mau mempengaruhi berbagai aktivitas global, tidak terkecuali sektor pariwisata. UNWTO melaporkan bahwa dalam merespons pandemi ini, 96% dari destinasi wisata di dunia menerapkan larangan perjalanan wisata, baik bagi seluruh negara maupun beberapa negara tertentu.[9]

Indonesia   merupakan   satu   dari   sekian   banyak   negara   yang   merasakan   dampak pandemi ini pada sektor pariwisata. Dalam upayanya mencegah dan mengendalikan penyebaran virus ini, Presiden menerbitkan ketentuan baru yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang mana penerapannya diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Dengan diterapkannya kebijakan tersebut, masyarakat dihadapkan dengan kebiasaan baru yang mengharuskan segala kegiatan untuk dilakukan di dalam rumah dengan adanya imbauan physical distancing dan isolasi mandiri, dengan harapan orang-orang dapat menghindari bepergian keluar apabila tidak ada kepentingan yang mendesak.[10]

Kebijakan ini tentu saja berdampakpula pada penutupan objek wisata di Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit dengan adanya anjuran bagi masyarakat untuk menghindari keramaian guna mencegah penularan virus Corona.[11]

Kemudian   seiring   berjalannya   waktu,  pemerintah   terus   memperbarui   kebijakannya dengan memperhatikan keadaan perputaran roda ekonomi Indonesia yang tidak dapat dibiarkan berhenti begitu saja.  Sektor pariwisata sebagai salah satu   industri   yang   memberikan   kontribusi   cukup   besar   bagi   perekonomian   Indonesia merupakan salah satu yang memerlukan perhatian khusus. Maka dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020/ tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), era new normal resmi berlaku d Indonesia dengan  tetap  memperhatikan  ketentuan-ketentuan  yang  ada  dalam  keputusan  menteri  tersebut. Tempat-tempat wisata di beberapa wilayah di Indonesia diizinkan untuk kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan pembatasan kapasitas pengunjung.  Hal ini bertujuan agar perekonomian dapat tetap berjalan dan memberikan dampak baik khususnya bagi industri pariwisata yang bergantung pada wisatawan domestik.[12]

Selama ini, pengusaha pariwisata diwajibkan untuk senantiasa memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan serta keselamatan untuk wisatawan, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 26 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kewajiban ini secara tidak langsung dimaksudkan guna memberikan jaminan dalam penggunaan jasa pariwisata yang diperoleh  wisatawan,  sehingga  wisatawan  sebagai  konsumen  dapat  terhindar  dari  kerugian  apabila  mengkonsumsi  jasa  pariwisata.[13]

Adapun kewajiban setiap pengusaha pariwisata berdasarkan Pasal 67 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai berikut:

Pasal 67

4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1)Setiap pengusaha pariwisata wajib:

a.menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b.memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;

c.memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;

d.memberikan kenyamanan, keramahan, pelindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;

e.memberikan pelindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;

f.mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;

g.mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;

h.meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

i.berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;

j.turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;

k.memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;

l.memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;

m.menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan

n.memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat”.

Dalam penerapannya, perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili perlindungan hukum bagi konsumen dengan wujud asas-asas dan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.[14] Perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 1   yang   menyatakan bahwa:

Pasal 1

  1. perlindungan   konsumen   adalah   segala   upaya   yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Segala upaya tersebut memiliki tujuan yang menjadi target akhir yang wajib terwujud dalam pelaksanaannya, sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bunyinya:

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan:

a.meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b.mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c.meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d.menciptakan    sistem    perlindungan    konsumen    yang    mengandung    unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e.menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f.meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen”.

Dalam pemenuhan enam tujuan tersebut, tentu saja erat kaitannya dengan asas-asas hukum yang berlaku.  Asas hukum dipahami sebagai nilai-nilai yang lahir dari pikiran dan hati nurani manusia dalam membedakan antara baik dan buruk, yang menjadi dasar tumpuan atau latar belakang dari pembentukan suatu peraturan hukum yang berlaku demi tercapainya ketertiban dalam masyarakat.[15]

Bentuk lain dari perlindungan bagi wisatawan adalah dengan dilakukannya sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) pada sektor pariwisata oleh pemerintah. Sertifikasi tersebut dibuat untuk memastikan penerapan protokol kesehatan dalam pengendalian virus Corona. Kegiatan sertifikasi pada dasarnya bersifat sukarela untuk hotel dan usaha pariwisata lainnya dan tidak dipungut biaya. Kegiatan sertifikasi ini pada sektor wisata diantaranya mencakup hotel, restoran, destinasi daya tarik, homestay, usaha perjalanan wisata, pemandu, SPA, MICE, serta wisata minat khusus. Sementara untuk ekonomi kreatif yakni menjangkau bioskop, seni pertunjukan, musik, seni rupa, fesyen, kuliner, kriya, fotografi, dan permainan. Tim sertifikasi selain dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bakal melibatkan Kementerian Kesehatan, serta sejumlah asosiasi seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia. Selain itu, tim provinsi dan kabupaten kota juga ikut dilibatkan serta lembaga sertifikasi yang nantinya bertugas menjadi asesor atau auditor.[16]

Selain itu pemerintah juga telah mengupayakan perlindungan konsumen dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019. Di dalam peraturan tersebut memerintahkan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota untuk menyusun dan menetapkan peraturan gubernur/peraturan bupati/wali kota yang memuat ketentuan antara lain:
1) kewajiban mematuhi protokol kesehatan antara lain meliputi:

a) perlindungan kesehatan individu yang meliputi:

(1) menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya;

(2) membersihkan tangan secara teratur;

(3) pembatasan interaksi fisik (physical distancing); dan

(4) meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);

b) perlindungan kesehatan masyarakat, antara lain meliputi: (1) sosialisasi, edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19);

(2) Penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses dan memenuhi standar atau penyediaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer);

(3) Upaya penapisan dan pemantauan kesehatan bagi setiap orang yang akan beraktivitas;

(4) Upaya pengatur jaga jarak;

(5) Pembersihan dan disinfeksi lingkungan secara berkala;

(6) Penegakan kedisiplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko dalam penularan dan tertularnya Corona Virus Desease 2019 (COVID-19); dan

(7) Fasilitasi dalam deteksi dini dan penanganan kasus untuk mengantisipasi penyebaran Corona Virus Desease 2019 (COVID-19).

2) Kewajiban mematuhi protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada angka 1) dikenakan kepada perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

3) Tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), meliputi: a)perkantoran/tempat kerja, usaha, dan industri;

b)sekolah/institusi pendidikan lainnya;

c)tempat ibadah;

d)stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandar udara;

e)transportasi umum;

f)kendaraan pribadi;

g)toko, pasar modern, dan pasar tradisional;

h)apotek dan toko obat;

i)warung makan, rumah makan, cafe, dan restoran;

j)pedagang kaki lima/lapak jajanan;

k)perhotelan/penginapan lain yang sejenis;

l)tempat pariwisata;

m)fasilitas layanan kesehatan;

n)area publik, tempat lainnya yang dapat menimbulkan kerumunan massa; dan

o)tempat dan fasilitas umum dalam protokol kesehatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), wajib memfasilitasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9).

5)memuat sanksi terhadap pelanggaran penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9) yang dilakukan oleh perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 5) berupa:

a.Teguran lisan atau teguran tertulis;

b.Kerja sosial;

c.Denda administratif; atau

d.Penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.

Pandemi ini menyebabkan bergesernya orientasi segmen pasar pariwisata yang sebelumnya wisatawan mancanegara menjadi wisatawan nusantara. Pergeseran ini diakibatkan belum pulihnya arus penerbangan internasional sepenuhnya. Maka dari itu, dibutuhkan suatu strategi khusus dari pemerintah dalam menghadapi imbas dari kondisi ini terhadap sektor pariwisata agar tidak membuatnya semakin terpuruk dan dapat segera bangkit kembali. Pariwisata Indonesia haruslah beradaptasi di era new normal dengan selalu memberi perhatian khusus pada aspek kebersihan, keselamatan, dan keamanan.  Implementasi protokol kesehatan di setiap destinasi pariwisata haruslah diusahakan agar terwujud secara maksimal. [17]

Selama ini, menjaga jarak dengan orang lain, menghindari kerumunan, menjauhi keramaian, dan tidak berdesakan bukanlah kebiasaan yang umumnya ada di suatu destinasi pariwisata, khususnya pada masa-masa tertentu seperti pada saat liburan dan akhir pekan. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menjadi ancaman bagi keamanan, kesehatan, serta keselamatan wisatawan dan lebih lanjut akan berdampak kepada bagaimana suatu destinasi wisata akan bertahan di kemudian hari.[18] Sehingga sebagai bentuk perlindungan hukum bagi wisatawan di masa pandemi COVID-19, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dijadikan payung hukum untuk menghindarkan wisatawan dari kerugian, terkhusus kerugian kesehatan yaitu tertular virus Corona.  Pengusaha pariwisata selaku pelaku usaha wajib  memberikan  jaminan  atas  mutu  dan  kondisi  jasa  pemenuhan  kebutuhan  bagi  wisatawan  dan  penyelenggaraan  pariwisata  yang  disediakan.  Caranya adalah dengan memberikan informasi dan keterangan yang benar, jelas dan jujur mengenai bagaimana suatu destinasi pariwisata itu dikelola saat pandemi COVID-19 masih berlangsung. Pengusaha pariwisata juga wajib memastikan senantiasa dipatuhinya protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bentuk pelayanan yang benar dan pemenuhan hak yang dimiliki wisatawan sebagai konsumen. Di lain sisi, wisatawan selaku konsumen juga berkewajiban untuk menaati kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengusaha pariwisata selama masa pandemi COVID-19 demi keamanan dan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Kewajiban konsumen ini perlu ditekankan karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya dapat memberikan perlindungan secara efektif dan maksimal apabila kesadaran hukum dari masyarakat dalam hal ini wisatawan selaku konsumen telah terwujud.[19]


[1] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indo-nesia 2020), hal. 42.

[2] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 883.

[3] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 884.


[1] Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.

[2] Republika.co.id, https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022



[1] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.cit.



[1] Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011), hal 2.

[2] Beritasatu.com, https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.

[3] Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).

[4] Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021, hal. 865.

[5] Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya, hal. 2.

[6] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017), hal. 1.

[7] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018), hal. 13.

[8] Kompas.com, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.

[9] Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.

[10] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 866

[11] Finance.detik.com, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022

[12] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 867

[13] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 868.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection
  2. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism
  3. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation

REFERENCES: 

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  1. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  2. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  3. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  4. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  5. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  6. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  7. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  8. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  11. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  12. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

The word tourism is etymologically a combination of the words pari and tourism in Sanskrit. Pari means all, whole, full, while tourism means journey. Therefore the combination of the two, the word tourism can be interpreted as a full trip. The development of the world economy today cannot be separated from the role of tourism. Today, tourism is an important element in people’s lives, whose activities are closely related to social and economic growth.

United Nations World Tourism Organizations (UNWTO) in its report stated that in January 2020, international tourist arrivals worldwide rose 4% from the previous year, which was 1.5 billion. This number is a proof that the tourism sector has become an industry that has a major influence on economic growth in the world.

In Indonesia itself, tourism is one of the mainstay sectors in economic development. The Central Statistics Agency stated that there was an increase in the number of foreign tourist arrivals by 5.85% in January 2020 when compared to the number of visits in January 2019. With a variety of cultures and all the natural resources it has, Indonesia’s potential in the tourism sector is very large.

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism certainly cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. Therefore in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country’s tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will certainly have a negative impact on the development of tourism in that country.

Proceeding from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is the form of protection to traveller from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Traveller has a weak position in relation to business actors, therefore it is necessary to have a legal protection that regulates and protects traveller, considering the complexity of traveller protection problems that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know the word stop.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, people are faced with a new habit that requires all activities to be carried out at home with the advice of physical distancing and self-isolation, this is done in the hope that people can avoid traveling outside if there is no urgent need.

This policy certainly also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

As time goes by, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07 / MENKES / 382/2020 / concerning Health Protocols for The Public in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

During this time, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism, of course, cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. So in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country that is a tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will of course have a negative impact on the development of tourism in that country.

Moving on from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is a form of shield for consumers from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Consumers have a weak position in relation to business actors, therefore legal protection is needed that is regulating and protecting, given the complexity of consumer protection issues that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know stopping.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, the community is faced with new habits that require all activities to be carried out at home with the appeal of physical distancing and self-isolation, with the hope that people can avoid traveling out if there is no urgent need.

This policy, of course, also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

Then over time, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07/MENKES/382/2020/ concerning Protocols for Public Health in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

So far, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Copyrights. Work. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists, so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

“Article 67

4. The provisions of Article 26 are amended to read as follows:

Article 26

(1)    Every tourism entrepreneur shall:

a.    maintain and respect religious norms, customs, culture, and values that live in the local community;

b. provide an accurate and responsible information;

c. provide non-discriminatory services;

d. provide a comfort, hospitality, security and safety to traveller;

e. provide an insurance protection to tourism businesses with high-risk activities;

f. develop partnerships with local micro, small, and cooperative enterprises that mutually require,strengthen, and profitable each other;

g. prioritize the use of local community products, domestic products, and provide opportunities for local work force;

h. improving the competence of the work force through training and education;

i. play an active role in infrastructure development efforts and community empowerment programs;

j. participate in preventing all forms of acts that violate decency and unlawful activities in the environment where the business is located;

k. maintain a healthy, clean and beautiful environment;

l. maintain the sustainability of the natural and cultural environment;

m. maintain the image of Indonesia through responsible tourism business activities; and

n. comply the business licenses from the central government”.

In its application, traveller protection is a term used to represent legal protection for traveller in the form of principles and rules that regulate and protect traveller interests. Traveller protection is regulated in Article 1 Number 1 Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states that:

“Article 1

consumer protection is all efforts that guarantee legal certainty to provide protection to consumers”.

All of these efforts have objectives that are the final target that must be realized in their implementation, as regulated in Article 3 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states:

“Article 3

Consumer protection aims:

a. increase consumer awareness, ability and independence to protect themselves;

b. elevating the dignity of consumers by preventing them from the negative excesses of the use of goods and/or services;

c.          increasing the empowerment of consumers in choosing, determining, and demanding their rights as consumers;

d. create protection system consumer that contains elements of legal certainty and information disclosure as well as access to information;

e. raise awareness of business actors regarding the importance of consumer protection so that an honest and responsible attitude in doing business grows;

f. improve the quality of goods and/or services that ensure the continuity of the business of producing goods and/or services, health, comfort, security, and safety of consumers”.

In fulfilling these six objectives, it is closely related to the principles of applicable law. Legal principles are understood as values ​​born from the mind and conscience of human in distinguishing between good and bad, which are the basis or background of the formation of an applicable legal regulation for achievement of order in society.

Another form of protection for tourists is to carry out CHSE certification (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) in the tourism sector by the government. The certification was made to ensure the implementation of health protocols in controlling the coronavirus. Certification activities are basically voluntary for hotels and other tourism businesses and are free of charge. This certification activity in the tourism sector includes hotels, restaurants, attraction destinations, homestays, travel businesses, guides, SPA, MICE, and special interest tours. Meanwhile, for the creative economy, it covers cinema, performing arts, music, fine arts, fashion, culinary, crafts, photography, and games. The certification team apart from the Ministry of Tourism and Creative Economy will involve the Ministry of Health, as well as a number of associations such as the Indonesian Hotel and Restaurant Association and the Association of Indonesian Travel Companies. In addition, provincial and district-city teams are also involved as well as certification bodies who will later serve as assessors or auditors.

In addition, the government has also sought consumer protection by issuing Presidential Instruction No. 6 of 2020 concerning Improvement of Discipline and Law Enforcement of Health Protocols in the Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019. The regulation instructs the Governor, Regent, and Mayor to prepare and stipulate a governor/regent/mayor regulation which contains provisions, among others:

1) The obligations to comply with health protocols includes:

a) protection of infividual health which includes:

  1. use personal protective equipment in the form of a mask that covers the nose and mouth to the chin, if you have to leave the house or interact with other people whose health status is unknown;
  2. clean hands regularly;
  3. physical distancing; and
  4. increase endurance by implementing clean and healthy living behaviors;
  5. b)public health protection, including:
  1. socialization, education, and the use of various information media to provide understanding of the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
  2. Provision of hand washing facilities with soap that are easily accessible and meet standards or provision of hand sanitizer;
  3. Health screening and monitoring efforts for everyone who will have an activity;
  4. Social distancing measures;
  5. Periodic cleaning and disinfection of the environment;
  6. Enforcement of discipline on community behavior that is at risk in the transmission and contraction of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); and
  7. Facilitation in early detection and handling of cases to anticipate the spread of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

2) The obligation to comply with health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) as referred to in number 1) is imposed on individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

3) Public places and facilities as referred to in number 2), including:

a. offices/workplaces, businesses, and industries;

b. schools/ other educational institutions;

c.place of worship;

d.stations, terminals, ports, and airports;

e.public transport;

f.private vehicles;

g.shops, modern markets, and traditional markets;

h.pharmacies and drugstores;

i.food stalls, cafes, and restaurants;

j.street vendors/snack stalls;

k.hospitality/other similar hospitality;

l.tourism places;

m.health care facilities;

n.public areas, other places that can cause crowds; and

o.public places and facilities in other health protocols in accordance with the provisions of laws and regulations.

4) individuals, business actors, managers, organizers, or person in charge of public places and facilities as referred to in number 2), shall facilitate the implementation of prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

5) Contains sanctions for violations of the application of health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) carried out by individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

6) The sanctions as referred to in number 5) are in the form of: a)verbal warning or written warning;

b)Social work;

c)Administrative fines; or

d)Termination or temporary closure of business operations.

This pandemic has caused a shift in the orientation of the tourism market segment from foreign tourists to domestic tourists. This shift is due to the fact that international flight flows have not fully recovered. Therefore, a special strategy is needed from the government in dealing with the impact of this condition on the tourism sector so as not to make it worse and can immediately bounce back. Indonesian tourism must adapt to the new normal era by always paying special attention to aspects of cleanliness, safety and security. The implementation of health protocols in every tourism destination must be endeavored to be realized to the fullest.

During this time, keeping a distance from other people, avoiding crowds, staying away from crowds, and not being overcrowded are not habits that generally exist in a tourism destination, especially at certain times such as holidays and weekends. This certainly has the potential to be a threat to the security, health, and safety of tourists and will further have an impact on how a tourist destination will survive in the future.

Therefore as a form of legal protection for tourists during the COVID-19 pandemic, Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can be used as a legal basis to prevent tourists from losses, especially health losses due to contracting the Corona virus. Tourism entrepreneurs as business actors are obliged to provide guarantees for the quality and condition of services to meet the needs of tourists and the provision of tourism services. The way that can be done is to provide true, clear and honest information about how a tourism destination is managed while the COVID-19 pandemic is still ongoing. Tourism entrepreneurs are also required to ensure that the health protocols set by the government are always adhered to as a form of correct service and the fulfillment of the rights of tourists as consumers. On the other hand, tourists as consumers are also obliged to obey the policies that have been set by tourism entrepreneurs during the COVID-19 pandemic for the safety and security of themselves and others. This consumer obligation needs to be emphasized because Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can only provide protection effectively and optimally if legal awareness of the public, in this case tourists as consumers, has been realized.

0

Penerapan Regulasi Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co-author: Ilham M. Rajab

Transportasi umum kini menawarkan bentuk kenyamanan bagi konsumen, yaitu sebuah peningkatan keadaan yang lebih melayani pengguna dan driver transportasi umum sehingga membentuk hal-hal yang dapat memfasilitasi segala kebutuhan bagi driver dan penumpangnya.[1] Selain driver dan penumpangnya sudah tentu menjadi sebuah dampak yang positif dalam bidang pengangkutan. Pengangkutan adalah proses dari orang yang mampu mengikatkan diri untuk mengadakan perpindahan barang dan/atau orang dari satu titik tempat ke tempat tujuan tertentu dengan keadaan seperti semula.[2] Adapun pengertian dari pengangkutan adalah kegiatan menaikan penumpang atau barang pada sebuah alat pengangkut, kegiatan memindahkan penumpang atau barang pada tempat tujuan dengan alat pengangkut, dan menurunkan penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang disepakati.[3]

Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 1

3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang
dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”.

Ojek online merupakan suatu kegiatan pengangkutan karena mampu melakukan kegiatan perpindahan baik orang maupun barang dari satu tempat ke tempat lain dalam keadaan semula dengan menggunakan Kendaraan dalam berlalu lintas di jalan. Dengan kemampuan ojek online melakukan kegiatan pengangkutan tersebut, dasar hukum penyelenggaraannya ojek online pada pasal 137 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 137

(2) Angkutan orang yang menggunakan kendaraan bermotor berupa sepeda motor, mobil penumpang, atau bus”.

Saat ini Kementerian Perhubungan memutuskan aturan baru mengenai penyesuaian tarif ojek online. Aturan tersebut rencananya akan dilakukan pada 29 Agustus 2022 dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi ditetapkan pada 4 Agustus 2022, Kementerian Perhubungan membuat kebijakan perubahan tarif, baik tarif minimal maupun rentang tarif per kilometer untuk jasa transportasi online berbasis kendaraan bermotor roda dua.[4]

Adapun kenaikan tarif ojek online sebagaimana dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, sebagai berikut:[5]

Daftar tarif baru ojek online di Indonesia:

Zona I (Sumatera, Jawa dan Bali)

Biaya jasa batas bawah Rp 1.850/km, batas atas Rp 2.300/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 9.250-Rp 11.500.

Zona II (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.600/km, batas atas Rp 2.700/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 13.000-Rp 13.500.

Zona III (Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.100/km, batas atas Rp 2.600/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 10.500-Rp 13.000.

Sementara itu tarif ojek online yang berlaku per 16 Maret 2020

Zona I

Tarif batas bawah: Rp 1.850/km
Tarif batas atas: Rp 2.300/km
Biaya jasa minimal 4 km pertama Rp 7.000-Rp 10.000

Zona II

Tarif batas bawah: Rp 2.250/km
Tarif batas atas: Rp 2.650/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 9.000 hingga 10.500

Zona III

Tarif batas bawah: Rp 2.100/km
Tarif batas atas: Rp 2.600/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 7.000 hingga Rp 10.000

Dari kenaikan tarif ojek online yang ada tentu memilik dampak terhadap masyarakat, menurut salah satu Non-Governmental Organization yang bergerak di bidang ekonomi dampak dari kenaikan tarif ojek online tersebut antara lain pertama dampak negatif kenaikan tarif sebesar itu pertama adalah dari sisi konsumen, kedua menurutnya adalah dari sisi driver ojek online, dan dampak ketiga, adalah dari sisi ekonomi.[6] Dampak lainnya, terjadi peningkatan biaya transportasi untuk mengirimkan barang. “Sektor lain akan terpukul. Ada dampak turunan, karena transportasi ini menghubungkan antar sektor, bukan hanya mengantarkan orang, tapi juga barang, namun niat baik pemerintah untuk menyejahterakan driver ojek online melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi.[7]

Sementara itu dengan adanya kenaikan tarif ojek online menurut pengamat transportasi berpendapat bahwa kenaikan terlalu tinggi akan mengurangi permintaan penggunaan ojek online dari konsumen yang berpindah ke moda transportasi lain. Kenaikan tarif ini bisa membuat penjualan makanan melalui aplikasi turun, terutama membuat pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah terdampak dan kesulitan berusaha, Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tapi mitra (pengemudi) tetap tidak sejahtera jika tarif terlalu murah, yang senang hanya penumpang. Tetapi apabila kenaikan harga terlalu mahal, akan membebankan konsumen, sehingga hanya pihak pengemudi dan pengembang aplikasi yang diuntungkan. Mengenai permasalahan tersebut sudah semestinya terdapat jalan tengah dari pemerintah bagi seluruh pihak yang bersangkutan.[8]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi

Refrensi:

Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016;

Purwosutjipto H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000;

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013

https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah
https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732
https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi

[1] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[3] kontan https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi diakses pada tanggal 22 Agustus 2022



[1] tirto.id https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] cnbc https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2022


[1] Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016

[2] Purwosutjipto H.M.N, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, h.10

[3]Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 4

1

Implementasi Pengurangan Sampah oleh Produsen di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

Pada tanggal 16 Agustus 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadakan event yang bertema The Rising Tide-A Grassroot Movement for Sustainability (The Rising Tide). Kegiatan tersebut mengampanyekan kesadaran lingkungan, dengan menciptakan ekosistem pengelolaan sampah rumah tangga berkelanjutan. Misinya adalah menggugah kesadaran masyarakat dan para pihak, betapa masalah lingkungan terutama sampah plastik perlu mendapatkan perhatian serius. Sebagaimana diketahui, KLHK sejak awal mendukung kampanye The Rising Tide, dan secara konsisten mendorong produsen agar menyusun road map pengurangan sampah dengan target pengurangan 30 persen timbulan sampah per Desember 2029. Strategi pengurangan sampah plastik industri sudah diuraikan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah. Produsen juga didorong untuk memproduksi kemasan plastik yang lebih besar (size up) mengutamakan kemasan besar, untuk membantu pemerintah mengejar target pengurangan timbulan sampah plastik. Sebagai tindak lanjut dari gerakan The Rising Tide, para stakeholders menyerukan komitmen bersama bertajuk “Indonesia Stop Wariskan Sampah”. Komitmen ini melibatkan pemerintah yang diwakili KLHK, produsen, industri daur ulang, dan komunitas penggerak lingkungan.[1]

Kampanye The Rising Tide mengasilkan sebuah komitmen yang disepakati bersama sebagai berikut:[2]

Pemerintah:

  1. Memberikan dukungan terkait dengan kebijakan pengelolaan sampah oleh masyarakat, produsen dan pemda, mendorong regulasi daerah tentang pengelolaan sampah serta memfasilitasi peran industri daur ulang dalam pengurangan sampah;
  2. Mendukung pulau Bali sebagai proyek pengembangan awal dari gerakan The Rising Tide;
  3. Mendukung mata rantai sistem daur ulang di Indonesia, mulai dari hulu sampai hilir yaitu masyarakat/produsen, dari after consumption hingga produksi bahan daur ulang untuk menekan angka impor recycled plastic nasional;
  4. Mendorong percepatan penyusunan peta jalamn pengurangan sampah oleh produsen melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019, untuk melakukan Extended Producers Responsibility (EPR) serta mendorong upsizing sebagai usaha untuk mengurangi timbulan sampah;
  5. Mendukung gerakan sirkular ekonomi dalam pengelolaan sampah di Indonesia.

Produsen:

  1. Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah;
  2. Bekerja sama dan mendukung aktivitas yang dilakukan oleh stakeholders yang dapat meningkatkan angka collection rate dan recycling rate;
  3. Berkomitmen untuk terus melakukan gerakan ekonomi sirkular sebagai bagian dari EPR;
  4. Berkomitmen untuk melakukan produksi yang bertanggung jawab dan sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019, dengan melakukan Upsizing Product sebagai usaha untuk mengurangi timbulan sampah.

Industri Daur Ulang:

  1. Memperkuat infrastructure collection dan proses daur ulang;
  2. Mendukung produsen untuk melaksanakan EPR;
  3. Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/ konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah.

Komunitas Penggerak Lingkungan:

  1. Berperan serta aktif mengedukasi masyarakat/ konsumen untuk melakukan pilah sampah dari rumah;
  2. Terus menginisiasi gerakan akar rumput yang membawa dampak positif bagi lingkungan, dengan melanjutkan The Rising Tide sebagai ajang tahunan, dan kegiatan Triumph of Us pada 2025;
  3. Mendukung dan menjadi partner pemerintah dan produsen untuk mengurangi timbulan sampah dengan berbagai aktivitas edukasi;
  4. Mendukung EPR produsen dengan berbagai aktivitas untuk meningkatkan collection rate.

Peningkatan jumlah sampah plastik setiap tahun naik drastis. Akar dari permasalahan ini adalah produsen yang masih terus menggunakan bahan plastik pada produk mereka. Selama ini, permasalahan sampah masih dibebankan hanya pada tanggung jawab konsumen. Sementara pihak produsen masih nyaris tak tersentuh kewajiban untuk bertanggung jawab atas produk yang mereka hasilkan. Ketimpangan tanggung jawab semacam ini harus segera diruntuhkan.[3] Pemerintah sebenarnya telah memiliki landasan hukum yang mengatur pengurangan sampah produsen terutama sampah yang sulit diurai dan tidak dapat diguna ulang, seperti kemasan plastik. Dasar hukum tersebut yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari tahun 2020 sampai tahun 2029. Peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah seperti dimandatkan dalam pasal 15. Adapun bunyi dari pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah:

Pasal 15

Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”.

Dalam perkembangan prinsip hukum lingkungan hal ini dikenal dengan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR). Prinsip ini merupakan suatu pendekatan kebijakan lingkungan dimana tanggung jawab produsen terhadap sebuah produk diperluas sampai kepada tahap pasca konsumen dari siklus hidup produk tersebut. Jika hal ini dapat diterapkan secara efektif maka tentunya instrumen ini dapat mengurangi sampah plastik secara maksimal karena diselesaikan langsung dari akar masalahnya.[1]Pengurangan timbulan sampah oleh produsen ini dilakukan melalui penggunaan bahan produk dari material yang mudah diurai, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah yang wajib dilakukan. Selain itu, dalam rangka pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi dengan penarikan kembali sampah yang disertai dengan penyediaan fasilitas penampungan.[2] Berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, disebutkan bahwa:

Pasal 4

(1) Pengurangan Sampah dilakukan terhadap produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang:

a. sulit diurai oleh proses alam;

b.tidak dapat didaur ulang; dan/atau

c.tidak dapat diguna ulang

Produk, kemasan produk, dan/atau wadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.plastik;

b.kaleng alumunium;

c.kaca; dan

d.kertas”.

Upaya pengurangan sampah oleh produsen dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Pengurangan Sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan melalui:

a.pembatasan timbulan sampah;

b.pendauran ulang sampah; dan

c.pemanfaatan kembali sampah.

(2) Pembatasan timbulan Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara:

a.menggunakan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan Sampah sesedikit mungkin; dan/atau

b.tidak menggunakan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang sulit diurai oleh proses alam.

(3) Pendauran ulang Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara:

a.menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang; dan/atau

b.menggunakan bahan baku produksi hasil daur ulang.

(4) Pemanfaatan kembali Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara menggunakan bahan baku produksi yang dapat diguna ulang”.

Tak cukup pada penggunaan material yang tepat, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan dalam rangka pengurangan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Selain itu, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi kepada konsumen agar turut berperan dalam pengurangan sampah. Pemerintah juga dapat memberikan penghargaan dan juga publikasi kinerja tidak baik kepada produsen.[1]

Pertanggungjawaban produsen untuk mengelola sampah dari kemasan yang mereka produksi bukanlah hal yang mustahil diterapkan di Indonesia. Diperlukan upaya hukum yang lebih jelas dalam skema yang lebih variatif untuk memudahkan perusahaan/produsen dalam upaya pengelolaan sampah yang mereka produksi. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah memasukkan skema tanggung jawab produsen ini sebagai salah satu syarat dipenuhinya izin lingkungan. Hal ini bisa dimasukkan dalam komponen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) yang menjadi kewajiban dari perusahaan. Sehingga dengan serta merta menjadi tanggung jawab dengan prosedur yang jelas dan dapat dilakukan evaluasi secara berkala oleh instansi pemerintah.[2]

Tentu ini bukan hal yang mudah, karena secara naluriah bertentangan dengan prinsip dasar dari perusahaan untuk memperoleh laba secara maksimal, dengan menambah biaya produksi. Tapi ini haruslah dilakukan untuk usaha yang berkelanjutan, untuk memastikan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan masih memungkinkan untuk kegiatan manusia kedepannya. Sehingga segala upaya yang mungkin dilakukan perlu dicoba untuk memaksimalkan upaya dalam mengatasi permasalahan sampah plastik yang telah menjadi masalah global saat ini.[3]

Selanjutnya mengenai pengenaan sanksi terhadap pengelolaan sampah sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat pengaturan mengenai sanksi administratifyang dapat dikenakan sebagaimana berbunyi:
Pasal 32

(1) Bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif kepada pengelola sampah yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a.paksaan pemerintahan;

b.uang paksa; dan/atau

c.pencabutan izin.

Ketentuan lebihlanjut mengenai penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Sementara itu, terdapat juga pengaturan mengenai sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Hal tersebut terkandung pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatakan:

Pasal 40

Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[1]

Secara normatif, Indonesia telah memiliki sejumlah produk hukum peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum dan rujukan dalam mendorong pelibatan perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha dalam tata kelola sampah khususnya sampah plastik hasil akhir atau buangan produk mereka. Indonesia bahkan telah memiliki Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Namun, implementasi tanggung jawab produsen berdasarkan peta jalan tersebut agaknya masih akan menemui berbagai tantangan. Diperlukan upaya hukum yang lebih jelas dalam skema yang lebih variatif untuk memudahkan perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha dalam upaya pengelolaan sampah hasil akhir produk mereka. Dengan mengadopsi dan extended producer responsibility (EPR), salah satu alternatif upaya yang dapat ditempuh adalah dengan memasukkan kewajiban pengelolaan sampah khususnya sampah plastik di dalam komponen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) sebagai syarat yang harus dipenuhi perusahaan/produsen/penanggung jawab usaha. Dengan demikian, juga dapat dilakukan evaluasi secara berkala oleh instansi pemerintah.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen

Referensi:

detik.com, https://news.detik.com/berita/d-6240509/klhk-dorong-produsen-perbesar-kemasan-plastik, diakses pada 19 Agustus 2022.

aliansizerowaste.id, https://aliansizerowaste.id/2021/02/19/permen-lhk-nomor-75-tahun-2019-solusi-jitu-pengurangan-sampah-produsen/, diakses pada 19 Agustus 2022.

Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Tinjauan Normatif Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Produsen dalam Pengaturan Tata Kelola Sampah Plastik di Indonesia, dalam Jurnal Bina Hukum Lingkungan Vol. 6, No. 2, Februari 2022.


[1] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah


[1] aliansizerowaste.id, Loc.cit.

[2]Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Op.cit., hal. 197

[3]Loc.cit


[1] Maskun, Hasbi Assidiq, Siti Nurhaliza Bachril, Nurul Habaib Al Mukarramah, Tinjauan Normatif Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Produsen dalam Pengaturan Tata Kelola Sampah Plastik di Indonesia, dalam Jurnal Bina Hukum Lingkungan Vol. 6, No. 2, Februari 2022, hal. 186-187

[2] aliansizerowaste.id, Loc.cit.


[1] Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah



[1] detik.com, https://news.detik.com/berita/d-6240509/klhk-dorong-produsen-perbesar-kemasan-plastik, diakses pada 19 Agustus 2022.

[2] Loc.cit.

[3] aliansizerowaste.id, https://aliansizerowaste.id/2021/02/19/permen-lhk-nomor-75-tahun-2019-solusi-jitu-pengurangan-sampah-produsen/, diakses pada 19 Agustus 2022.

0

UTILIZATION OF INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY IN TOURISM DEVELOPMENT

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 2025

REFERENSI: 

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

Pada saat ini Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) telah mengubah pariwisata secara global khususnya pada era 4.0. Rekayasa ulang yang didorong oleh TIK telah secara bertahap menghasilkan pergeseran paradigma baru, mengubah struktur industri dan mengembangkan berbagai peluang dan ancaman. TIK memberdayakan konsumen untuk mengidentifikasi, menyesuaikan dan membeli produk-produk pariwisata dan mendukung globalisasi industri dengan menyediakan alat untuk mengembangkan, mengelola, dan mendistribusikan penawaran di seluruh dunia.[1]

Pengembangan dan promosi pariwisata merupakan salah satu bidang yang sedang gencar digalakkan oleh pemerintah, penggunaan website sebagai alat mempromosikan pariwisata semakin marak digunakan, dapat dilihat dengan maraknya situs-situs pariwisata di Internet.[2]

Pariwisata menjadi daya tarik suatu wilayah dengan objek unggulan lokasi wisata, seni, budaya, kuliner, sejarah serta kegiatan-kegiatan historis (pagelaran adat, upacara adat) di sebuah wilayah. Kegiatan kepariwisataan menjadikan banyak negara menempatkan pariwisata sebagai aspek penting dan integral dalam strategi pengembangan negara, di antaranya dari aspek pendapatan pemerintah, stimulus pengembangan regional dan penciptaan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan nasional hingga hubungan internasional.[3]

Konsep pariwisata yang memanfaatkan TIK dapat juga didefinisikan sebagai e-tourism atau smart tourism. Smart Tourism adalah pemanfaatan segala potensi dan sumber daya yang ada untuk meningkatkan pengalaman di bidang Pariwisata sebagai media promosi.[4] Sebuah destinasi dapat dikatakan smart apabila destinasi tersebut memanfaatkan infrastruktur teknologi secara intensif untuk:[5]

  1. Meningkatkan pengalaman berwisata bagi pengunjung pengunjung dengan mempersonalisasikan dan membuat mereka sadar akan layanan dan produk lokal dan pariwisata yang tersedia untuk mereka di tempat tujuan dan;
  2. Dengan memberdayakan organisasi manajemen destinasi, lembaga lokal dan perusahaan pariwisata untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan berdasarkan data yang dihasilkan di dalam tujuan, dikumpulkan, dikelola dan diproses melalui infrastruktur teknologi.

Mengenai pariwisata sendiri pemerintah telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengertian dari pariwisata terdapat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu:

“Pasal 1

3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,pengusaha,pemerintah, dan pemerintah daerah”.

Adapun pengertian dari pariwisata menurut Organisasi pariwisata dunia, mendefenisikan pariwisata sebagai aktivitas perjalanan dan tinggal seorang di luar tempat tinggal dan lingkungannya selama tidak lebih dari satu tahun berurutan untuk berwisata, bisnis atau tujuan lain dengan tidak untuk bekerja ditempat yang dikunjungi tersebut.[1] Selain menyatakan apa yang dimaksud dengan pariwisata dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 mengatur mengenai pembangunan dari pariwisata itu sendiri, hal ini tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, yang berbunyi:

“Pasal 6

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata”.

Adapun unsur-unsur yang meliputi pembangunan dalam pariwisata, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 7

Pembangunan pariwisata meliputi:

a. industri pariwisata;

b. destinasi pariwisata;

c.pemasaran; dan

d. kelembagaan kepariwisataan”.

Selain dalam undang-undang, mengenai pembangunan pariswisata juga terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 –2025, yang berbunyi:

“Pasal 5

Untuk mensinergikan penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah Daerah dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri”.

Peran pemerintah dalam
mengembangkan dan mengelolah pariwisata secara garis besarnya adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), mempunyai otoritas dalam pengaturan, penyediaan, dan peruntukan berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata dan bertanggung jawab dalam menentukan arah yang dituju perjalanan pariwisata.[1] Sementara itu dalam Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 10

pemerintah dan pemerintah daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”.

Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 17

pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:

a. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan

b. memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar”.

Pemerintah selain memiliki peran memeberi perlindungan, mengembangkan dan memfasilitasi untuk para pelaku usaha pariwisata sebagaimana Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, akan memberikan sanksi hal tersebut terdapat dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 63

(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif;

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.teguran tertulis;

b.pembatasan kegiatan usaha; dan

c.pembekuan sementara kegiatan usaha”.

(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.

(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”.

Penggunaan teknologi yang berkaitan dengan sektor kepariwisataan harusnya dapat diimplementasikan secara optimal sehingga promosi dari pariwisata di daerah bisa diketahui secara umum secara maksimal. Pemerintah juga telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembangunan, peran pemerintah dan sanksi yang tegas di sektor pariwisata.


[1] Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN hlm 2.


[1] Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta. hal 30


[1] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 258.

[2] Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100 74, hal. 74.

[3] Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019, hal 14.

[4] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 261

[5] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;
  2. Government Regulation Number 50 of 2011 concerning National Tourism Development Master Plan 2010 2025.

REFERENCE:

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

At this time Information and Communication Technology (ICT) has changed tourism globally, especially in the 4.0 era. ICT-driven reengineering has gradually resulted in new paradigm shifts, changing industry structures and developing opportunities and threats. ICTs empower consumers to identify, customize and purchase tourism products and support the globalization of the industry by providing tools to develop, manage and distribute offerings worldwide.

The development and promotion of tourism is one area that is being intensively promoted by the government, the use of websites as a tool to promote tourism is increasingly being used, it can be seen by the rise of tourism sites on the Internet.

Tourism is the attraction of an area with superior tourist sites, arts, culture, culinary, history and historical activities (traditional performances, traditional ceremonies) in an area. Tourism activities have made many countries place tourism as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development stimulus and job creation as well as increasing national income to international relations.

The concept of tourism that utilizes Information and Communication Technology (ICT) can also be defined as e-tourism or smart tourism. Smart Tourism is the utilization of all existing potential and resources to improve experience in the tourism sector as a promotional medium. A destination can be classified to be smart if it makes intensive use of its technological infrastructure to:

  1. Improve the travel experience for visitors by personalizing and making the awareness of the local and tourism services and products available to them at their destination and;
  2. By empowering destination management organizations, local agencies and tourism companies to make decisions and take action based on the data generated within the destination, collected, managed and processed through the technological infrastructure.

By empowering destination management organizations, local agencies, and tourism companies to make decisions and take action based on the generated data within the destination, collected, managed, and processed through the technology infrastructure.
The development and promotion of those places where are being intensively promoted by the government by one of the way is using websites as a tool to promote tourism. It can be seen by the rise of tourism sites on the internet.

Regarding tourism, the government has regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, the meaning of tourism is contained in Article 1 number 3 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, namely:

“Article 1

3.Tourism is a variety of tourism activities and is supported by various facilities and services provided by the community, entrepreneurs, government, and local governments.

The definition of tourism according to the World Tourism Organization, defines tourism as a travel activity and the occupy of a person out of their origin residence and environment for no more than one continuous year for the purposes of travel, business, or others with no work activity at the visited place. Tourism activities have made many tourism countries as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development, and job creation as well as increasing national income to international relation.

In addition to stating what is meant by tourism in Law Number 10 of 2009 regulating the development of tourism itself, this is stated in Article 6 of Law Number 10 of 2009, which reads:

“Article 6

Tourism development is carried out based on the principles as referred to in Article 2 which is realized through the implementation of tourism development plans by taking into account the diversity, uniqueness, and uniqueness of culture and nature, as well as human needs for tourism.

Component of tourism development in tourism, as contained in Article 7 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, are stated as follow:

“Article 7

Tourism development includes:
a. tourism industry;
b. tourism destinations;
c. marketing; and
d. tourism institutions”.

In addition to the law, regarding tourism development is also contained in Article 5 of Government Regulation Number 50 of 2011 concerning the National Tourism Development Master Plan 2010-2025, which reads:

“Article 5

To synergize the preparation of the Provincial Tourism Development Master Plan and the Regency/City Tourism Development Master Plan, as referred to in Article 4, the Regional Government may conduct consultations and coordination with the Minister”.

The role of government in general, developing and managing tourism is to provide infrastructure (not only in physical form), to have authority in the regulation, provision, and allocation of various infrastructures related to tourism needs and to be responsible for determining the direction of tourism travel. Meanwhile in the legislation contained in Article 10 and Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 10”

The government and regional governments encourage domestic investment and foreign investment in the tourism sector in accordance with the national, provincial and district/city tourism development master plans”.

In Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 17”

The government and local governments are required to develop and protect micro, small, medium and cooperative businesses in the tourism business sector by:

a. made a policy for the provision of tourism business for micro, small, medium enterprises and cooperatives; and

b. facilitates partnerships of micro, small, medium and cooperative enterprises with large scale enterprises”.

The government in addition to having the role of protecting, developing and facilitating tourism business actors as stated in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, will provide sanctions for this matter contained in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 63”

(1) Every tourism entrepreneur who does not comply with the provisions as referred to in Article 15 and/or Article 26 shall be subject to administrative sanctions;

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:

a. written warning;

b. limitation of business activities; and

c. temporary suspension of business activities”.

(3) The written warning as referred to in paragraph (2) letter a shall be imposed on the entrepreneur at most 3 (three) times.

(4) Sanctions for limiting business activities are imposed on entrepreneurs who do not comply with the warning as referred to in paragraph (3).

(5) The sanction of temporary suspension of business activities is imposed on entrepreneurs who do not meet the provisions as referred to in paragraph (3) and paragraph (4)”.

The use of technology related to the tourism sector should be implemented optimally so that the promotion of tourism in the region can be known in general to the maximum. The government also has laws and regulations governing development, the role of the government and strict sanctions in the tourism sector.

0

Perlindungan Hak Cipta dalam Penyelenggaraan Perpustakaan Daerah Berbasis Digital

author: Nirma Afianita; Co-author: Ilham M. Rajab, Bryan Hope Putra Benedictus, & Ratumas Amaraduhita Rengganingtyas Arham

Minat baca masyarakat Indonesia sejatinya masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) dan dipublikasikan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.[1] Salah satu faktor penyebab minimnya minat baca masyarakat ini ialah kurangnya sarana perpustakaan dan akses bahan bacaan bagi masyarakat. Berdasarkan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 2019, perpustakaan umum yang tersedia sejumlah 23.611 perpustakaan, sedangkan perpustakaan umum yang dibutuhkan sebanyak 91.191 perpustakaan. Dengan kata lain, tingkat ketersediaan perpustakaan umum hanya mencapai 26 persen. Sedangkan jumlah rasio ketercukupan koleksi pada masing-masing jenis perpustakaan masih di bawah standar rasio koleksi yang dibutuhkan, dimana satu koleksi untuk satu penduduk/pemustaka.[2] Kurangnya ketersediaan perpustakaan dan koleksi perpustakaan yang masih di bawah standar rasio yang dibutuhkan inilah yang membuat masyarakat kesulitan dalam mendapatkan akses untuk membaca. Oleh sebab itu untuk mengatasi problematika tersebut, pemerintah mengupayakan perpustakaan berbasis digital, khususnya perpustakaan daerah agar bahan bacaan mudah diakses oleh masyarakat dimana saja mereka berada.

Salah satu daerah di Indonesia tengah mendorong perpustakaan daerah setempat untuk meningkatkan layanan perpustakaan, khususnya dengan memanfaatkan kemajuan pada era digital saat ini.[3] Kemajuan teknologi dalam bidang informasi, penemuan jaringan internet, serta informasi digital telah memberikan dampak positif yang sangat besar dalam lingkup perpustakaan. Salah satu bentuk kemajuan perpustakaan di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi adalah perpustakaan dan koleksi perpustakaan berbasis digital.[4] Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan (“UU Perpustakaan”), perpustakaan dan koleksi perpustakaan didefinisikan sebagai berikut:

“Pasal 1

  1. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
  2. Koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan”.[5]

Menilik dari pasal tersebut, perpustakaan digital dapat diartikan sebagai bentuk digitalisasi perpustakaan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi untuk menyelenggarakan dan mengelola koleksi perpustakaan berbasis digital. Digitalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses pemberian atau pemakaian sistem digital.[6]

Menurut Gatot Subrata ada beberapa hal yang mendasari pemikiran tentang perlunya dilakukan digitasi perpustakaan adalah sebagai berikut:

  1. Perkembangan teknologi informasi dikomputer semakin membuka peluang-peluang baru bagi pengembangan teknologi informasi perpustakaan yang murah dan mudah diimplementasikan oleh perpustakaan di Indonesia. Oleh karena itu, saat ini teknologi informasi sudah menjadi keharusan bagi perpustakaan di Indonesia, terlebih untuk mengahadapi tuntutan kebutuhan bangsa Indonesia sebuah masyarakat yang berbasis pengetahuan terhadap informasi di masa mendatang;
  2. Perpustakaan sebagai lembaga edukatif, informatif, preservatif dan rekreatif yang diterjemahkan sebagai bagian aktifitas ilmiah, tempat penelitian, tempat pencarian data/informasi yang otentik, tempat menyimpan, tempat penyelenggaraan seminar dan diskusi ilmiah, tempat rekreasi edukatif, dan kontemplatif bagi masyarakat luas. Maka perlu didukung dengan sistem teknologi informasi masa kini dan masa yang akan datang yang sesuai kebutuhan untuk mengakomodir aktifitas tersebut, sehingga informasi dari seluruh koleksi yang ada dapat diakses oleh berbagai pihak yang membutuhkannya dari dalam maupun luar negeri;
  3. Dengan fasilitas digitasi perpustakaan, maka koleksi-koleksi yang ada dapat dibaca/dimanfaatkan oleh masyarakat luas baik di Indonesia, maupun dunia internasional;
  4. Volume pekerjaan perpustakaan yang akan mengelola puluhan ribu hingga ratusan ribu, bahkan bisa jutaan koleksi, dengan layanan mencakup masyarakat sekolah (peserta didik, tenaga kependidikan, dan masyarakat luas), sehingga perlu didukung dengan sistem otomasi yang futuristik (punya jangkauan kedepan), sehingga selalu dapat mempertahanan layanan yang prima.[7]

Upaya digitalisasi koleksi buku perpustakaan sejatinya termasuk ke dalam kegiatan pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pelayanan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan (“PP Nomor 24/2014”). Pasal 21 PP Nomor 24/2014 menjelaskan:

“Pasal 21

  1. Perpustakaan yang telah memiliki sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dapat melengkapi sarana teknologi informasi dan komunikasi untuk:
  2. pengelolaan koleksi;
  3. penyelenggaraan pelayanan;
  4. pengembangan perpustakaan; dan
  5. kerja sama perpustakaan.
  6. Sarana teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi”.[8]

Dalam mengelola koleksi buku perpustakaan berbasis digital khusunya karya hasil penelitian dan jurnal, perpustakaan harus memperhatikan 4 (empat) prinsip digitalisasi, yakni:[9]

  1. Privasi. Prinsip ini berkenaan dengan kerahasiaan dan keamanan database koleksi digital. Maka dari itu, pada sistem jaringan perpustakaan digital perlu ditanamkan sistem keamanan (mosesax). Selain itu, perpustakaan juga harus memberikan batasan-batasan terhadap koleksi local content yang akan diakses. Misalnya, pengguna hanya dapat membaca namun tidak dapat mengunduh koleksi perpustakaan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pembajakan ciptaan digital;
  2. Properti. Prinsip ini berkenaan dengan kewajiban penyerahan karya cetak dan rekam, dimana karya cetak dan rekam yang sudah diserahkan ke perpustakaan tersebut merupakan milik perpustakaan sepenuhnya;
  3. Keaslian. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa: “Informasi manajemen hak cipta dan informasi elektronik hak cipta yang dimiliki pencipta dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak”.[10] Berdasarkan pasal tersebut, maka perpustakaan dalam mempublikasikan imformasi koleksi perpustakan dalam bentuk digital wajib mencantumkan identitas penulis asli;
  4. Hak akses. Jika prinsip keaslian digunakan untuk melindungi penulis asli atau pencipta karya, maka hak akses adalah hak bagi pengguna koleksi perpustakaan digital. Hak ini memiliki arti bahwa seluruh koleksi local content dapat diakses secara bebas dan dapat dibaca secara keseluruhan (full text) dengan syarat bahwa pengguna tidak dapat mengunduh koleksi perpustakan.

Perpustakaan digital ini dapat diselenggarakan oleh perpustakaan berdasarkan kepemilikannya dengan standar nasional perpustakaan sebagai acuannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 dan 17 UU Perpustakaan yang menjelaskan bahwa:

“Pasal 16

Penyelenggaraan perpustakaan berdasarkan kepemilikan terdiri atas:

  1. perpustakaan pemerintah;
  2. perpustakaan provinsi;
  3. perpustakaan kabupaten/kota;
  4. perpustakaan kecamatan;
  5. perpustakaan desa;
  6. perpustakaan masyarakat;
  7. perpustakaan keluarga; dan
  8. perpustakaan pribadi.

Pasal 17

Penyelenggaraan perpustakaan dilakukan sesuai dengan standar nasional perpustakaan”.[11]

                  Perpustakaan digital sejatinya merupakan bentuk perkembangan perpustakaan di era kemajuan teknologi dan informasi yang telah dicita-citakan dalam UU Perpustakaan, tidak terkecuali perpustakaan daerah berbasis digital. Selanjutnya, penyelenggaraan perpustakaan daerah berbasis digital berpedoman pada PP Nomor 24/2014 dan peraturan daerah (perda) di daerah terkait, dengan memperhatikan prinsip-prinsip digitalisasi agar tidak terjadi pelanggaran hak cipta.

Dalam suatu proses pengembangan perpustakaan digital, aspek hukum dan etika dalam informasi menjadi hal yang sangat penting pada era informasi saat ini. Aspek legalitas menyangkut etika dalam digitalisasi, transaksi elektronik, dan hak cipta (intellectual property). Sampai saat ini masih banyak perdebatan yang terjadi diberbagai kalangan masyarakat tentang bagaimana sebaiknya mengatur penggunaan teknologi digital agar tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan tentang hak serta kewajiban orang. Sebagai sebuah masyarakat modern, perpustakaan memerlukan pengaturan tentang hak dan kewajiban dalam cara menyajikan, menyimpan, menyebarkan dan menggunakan informasi dalam kegiatan pendidikan tinggi. Perpustakaan juga masih bekerja dengan prinsip-prinsip legal dan etika yang didasarkan pada tradisi cetak. Manakala teknologi digital membawa ciri-ciri baru kedunia kepustakawanan, maka adalah tugas pustakawan untuk memahami aturan-aturan baru yang diperlukan agar kegiatan perpustakaan tetap pada koridor hukum yang berlaku di sebuah masyarakat.[12]

Mengenai hak moral, pencipta dapat memiliki informasi elektronik hak cipta yang meliputi informasi tentang suatu ciptaan, yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan pengumuman ciptaan; nama pencipta, alias atau nama samarannya; pencipta sebagai pemegang hak cipta; masa dan kondisi penggunaan ciptaan; nomor; dan kode informasi. Informasi elektronik hak cipta yang dimiliki pencipta tersebut dilarang untuk dihilangkan, diubah dan dirusak. Adapun pasal 112 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjelaskan sanksi terhadap pelanggaran tersebut yang berbunyi:

“Pasal 112

Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk penggunaan secara komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.[13]

Perbuatan pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 112 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berbunyi:

“Pasal 44

  • Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
  • pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta;
  • keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
  • ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
  • pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta”.[14]

Meskipun demikian, perpustakaan daerah berbasis digital menjumpai beberapa masalah seperti minimnya jangkauan internet dan komputer yang memadai. Menanggapi hal tersebut, pemerintah daerah diharapkan mampu untuk menyediakan perpustakaan keliling untuk menjangkau daerah-daerah plosok maupun pesisir. Tujuannya agar masyarakat di daerah-daerah plosok dan pesisir tersebut juga bisa dengan mudah mangakses layanan perpustakaan sehingga akan berdampak pada peningkatan minat baca dan sumber daya manusia.[15]

Kompleksitas peran perpustakaan digital sebagai sarana pendidikan, informasi, budaya dan sarana mencerdaskan bangsa maka memandang perlu adanya upaya pemerintah untuk mengembangkan perpustakaan digital dalam membangun aksesibilitas informasi masyarakat berbasis pada budaya masyarakat. Dengan perpustakaan berbasis digital, informasi apapun yang dibutuhkan dapat dengan mudah dan cepat di dapat, sehingga prosesnya menjadi lebih efisien, efektif. Selain itu perpustakaan berbasis digital dalam menyelenggarakan jaringan kerja sama baik di dalam negeri maupun luar negeri dalam hal koleksi buku-buku, jurnal, penelitian, majalah, karya ilmiah yang lainnya. Penggunaan ciptaan dalam upaya menyelenggaraan perpustakaan daerah berbasis digital harus tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jangan sampai mencederai hak moral dari pencipta itu sendiri.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan

Referensi:


[1] https://www.kemenkopmk.go.id/tingkat-literasi-indonesia-memprihatinkan-kemenko-pmk-siapkan-peta-jalan-pembudayaan-literasi diakses pada 16 Agustus 2022

[2] https://satudata.perpusnas.go.id/index.php/2021/06/30/laporan-kinerja-instansi-pemerintah-lkip-perpustakaan-nasional-ri-tahun-2019/ diakses pada 16 Agustus 2022

[3] https://kalteng.antaranews.com/berita/580905/dprd-kotim-dorong-digitalisasi-perpustakaan-daerah diakses pada 8 Agustus 2022

[4] Wahdah Siti. (2020). Perpustakaan Digital, Koleksi Digital dan Undang-Undang Hak Cipta. Pustaka Karya: Jurnal Ilmiah Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 8(2). 27.

[5] Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan

[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

[7] Subrata, Gatot, 2009. Perpustakaan Digital. Pustakawan Perpustakaan UM, Oktober 2009

[8] Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan

[9] Wahdah Siti. (2020). Perpustakaan Digital, Koleksi Digital dan Undang-Undang Hak Cipta. Pustaka Karya: Jurnal Ilmiah Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 8(2). 30-31.

[10] Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[11] Pasal 16 dan 17 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan

[12] Hartono, Strategi Pengembangan Perpustakaan Digital Dalam Membangun Aksesibilitas Informasi: Sebuah Kajian Teoritis pada Perpustakaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, dalam Jurnal Perpustakaan Vol. 8, No. 1 Tahun 2017, hal. 76.

[13] Pasal 112 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[14] Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[15] https://kalteng.antaranews.com/berita/580905/dprd-kotim-dorong-digitalisasi-perpustakaan-daerah diakses pada 8 Agustus 2022

1 3 4 5 6 7 24
Translate