0

LEGAL RISK OF UNAUTHORIZED DISTRIBUTION OF FILM FOOTAGE ON SOCIAL MEDIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta  

REFERENSI:  Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020).
“Hak Cipta: Mengenal Lebih Dalam Hak Cipta di Indonesia)? https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/
Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019.  
Dalam perkembangan zaman, Film semakin dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Dalam hal penayangan Film, Bioskop merupakan tempat pertama untuk menyaksikan Film dengan menggunakan layar lebar. Setelah itu, ketika film-film telah selesai waktunya untuk tayang di Bioskop, maka film-film tersebut dapat diputar ulang oleh media lain yang memiliki lisensi dari pihak yang bersangkutan. Dalam hal pemutaran film, banyak oknum masyarakat yang melakukan kegiatan pengunggahan cuplikan film ke dalam media sosial mereka. Pengunggah bertujuan untuk memberikan gambaran kepada pengikutnya tentang apa yang telah ia lihat di dalam Bioskop atau semata-mata hanya untuk kesenangannya.[1]  
Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa: “Pasal 25 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”  

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan pengertian mengenai ciptaan, yaitu: “Pasal 1 (3) setiap hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.”  

Sementara pengertian mengenai Film dapat ditemukan pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang berbunyi: “Pasal 1 Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.”  

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yang dimaksud dengan “karya sinematografi” adalah: “Pasal 40 Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.”  

Ada beberapa bentuk kegiatan yang dianggap sebagai pelanggaran hak cipta antara lain mengutip sebagian atau seluruh ciptaan orang lain yang kemudian dimasukkan ke dalam ciptaannya sendiri (tanpa mencantumkan sumber) sehingga membuat kesan seolah-olah karyaannya sendiri (disebut dengan plagiarisme), mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak tanpa mengubah bentuk maupun isi untuk kemudian diumumkan, dan memperbanyak ciptaan orang lain dengan sengaja tanpa izin dan dipergunakan untuk kepentingan komersial.[2]  

Pelanggaran hak cipta terhadap karya sinematografi sebelumnya adalah pembajakan film melalui cakram optik berupa kepingan CD yang dijual secara ilegal dipasar bebas, seiring berjalannya waktu kini pelanggaran terhadap hak cipta sinemtografi banyak terjadi melalui internet, bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi terhadap sebuah karya cipta sinematografi melalui internet yaitu: Penyebaran konten film melalui website; Pengunduhan film melalui internet tanpa izin; Mengunduh film atau video dan menyiarkan video tersebut tanpa menyertakan nama pencipta.[3]  

Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari kemajuan teknologi dibidang elektronika dengan tersedianya alat rekam gambar seperti audio dan video yang canggih, yang dapat merekam lagu dan film karya orang lain tanpa izin pencipta atau pemegang Hak Cipta dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan tanpa membayar pajak dan royalti kepada negara dan pencipta sehingga dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap Hak Cipta dan terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan maraknya film untuk dibajak antara lain faktor ekonomi yang menurut pembajak sangat menguntungkan baginya serta bagi penonton membandingkan harga menonton bajakan atau bioskop sangat lah jauh harganya, faktor sosial dan budaya dimana masyarakat sendiri pun masih senang untuk membeli CD bajakan yang terjual di pasaran dan bagi mereka lumrah serta sudah membudaya bagi lingkungan masyarakat, dan faktor pendidikan dimana kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat adanya aturan hukum yang mengatur Hak Cipta seseorang serta faktor penegakan hukum bahwa kurangnya kesadaran dari masyarakat berkaitan dengan aspek-aspek hukum terutama penegakan hukum terhadap pembajakan terhadap sinematografi (film/video). Hal ini akan banyak menimbulkan dampak bagi pemerintah, pembuat film, pembajak, serta masyarakat antara lain bagi pemerintah menimbulkan kerugian dengan berkurangnya pendapatan negara terhadap hasil pajak film tersebut dan kas negara pun ikut berkurang, bagi pembuat film dengan melihat penurunan jumlah penonton yang menonton suatu hasil karya mereka yang akan membuat pembuat film dirugikan karena berapa orang yang menonton suatu film tersebut akan menimbulkan dampak besar bagi pendapatan suatu film tersebut, bagi pembajak ialah mendapatkan dampak besar bagi perbuatan membajaknya, hal ini jelas tidaklah adil bagi pembuat film dikarenakan dengan mudahnya seorang pembajak mendapat pendapatan besar hasil bajakan nya yang bermodalkan sangat sedikit dari hasil pendapatanya, serta dampak bagi konsumen ialah mempunyai sifat yang tidak menghargai serta menghormati suatu hasil cipta yang dibuat oleh pencipta yang bertujuan baik untuk menghibur para konsumen.[4]  
Selanjutnya, untuk menentukan apakah perbuatan yang dilakukan tersebut dapat dijerat pidana atau tidak, perlu dilihat terlebih dahulu apakah perbuatan tersebut bersifat komersial, melanggar hak ekonomi dari pencipta/pemegang hak cipta atau tidak. Jika perbuatan menyebarkan cuplikan film tersebut bersifat komersial dan melanggar hak pencipta/pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, serta dilakukan tanpa izin, maka perbuatan tersebut dapat dijerat dengan ketentuan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta:  
“Pasal 113
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”  
Tapi, jika penyebaran cuplikan film tersebut bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta menyatakan tidak keberatan atas penyebarluasan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 huruf d UU Hak Cipta: “Pasal 43 huruf d Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta meliputi:   d. pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluaan tersebut.”   Selain itu, dalam hal seseorang memiliki dan menyebarkan suatu cuplikan film yang dilekati hak cipta, terlebih terhadap film yang seharusnya hanya dapat dinikmati bagi pelanggan berbayar di suatu platform streaming digital, patut diduga yang bersangkutan telah melakukan pembajakan sebagaimana dalam pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu: “Pasal 1 23. penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi”.   Jika benar telah terjadi pembajakan, maka pelaku dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 113 ayat (4) UU Hak Cipta sebagai berikut: “Pasal 113 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”  

Pelanggaran hak cipta pada film atau sinematografi bukan hanya dalam bentuk komersial, tetapi dapat juga dalam bentuk non-komersial. Tindakan mengunggah cuplikan film ke dalam sosial media dianggap dapat menurunkan antusias masyarakat untuk menonton film di bioskop. Akibatnya, nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pencipta film tidak sampai kepada masyarakat. Seiring berjalannya waktu, mengunggah cuplikan film di media sosial menjadi trend di masyarakat. Tentunya hal ini tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE. Dan untuk setiap orang yang melakukan hal tersebut, dapat diancam pidana 10 tahun dan/atau denda Rp 4 Miliar.
LEGAL BASIS:    
Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
Law Number 33 of 2009 concerning FilmLaw Number 28 of 2014 concerning Copyrights  

REFERENCE: Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020).
“Hak Cipta: Mengenal Lebih Dalam Hak Cipta di Indonesia)? https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/
Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019.  

In these days, films are increasingly enjoyed by the public, especially the people of Indonesia. In terms of showing films, the cinema is the first place to watch films using the big screen. After that, when the time for the films has finished to be shown in cinemas, then the films can be replayed by other media that have a license from the party concerned. In terms of film screenings, many people in the community carry out the activities of uploading film footage to their social media. The uploader aims to give his followers an idea of ​​what he has seen in the Cinema or is purely for his enjoyment.  
Based on Article 25 of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions states that: “Article 25 Electronic Information and/or Electronic Documents compiled into intellectual works, internet sites, and intellectual works contained in them are protected as Intellectual Property Rights based on the provisions of the legislation.”  

Article 1 point 3 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright provides the definition of creation, namely: “Article 1 (3) every work in the fields of science, art, and literature produced on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill, or expertise expressed in a tangible form.”  

Meanwhile, the notion of film can be found in Article 1 paragraph 1 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, which reads: “Article 1 Films are works of art and culture which are social institutions and mass communication media that are made based on cinematographic rules with or without sound and can be shown.”  

Meanwhile, in the Elucidation of Article 40 paragraph (1) letter m of Law Number 28 of 2014, what is meant by “cinematographic works” are: “Article 40 Works in the form of moving images, including documentaries, advertising films, reports or story films made with screenplays, and cartoons. Cinematographic works can be made on celluloid tape, video tape, video disc, optical disc and/or other media that allow it to be shown in cinema, wide screen, television, or other media. Cinematography is an example of an audiovisual form.”
 
There are several forms of activities that are considered as copyright infringement, including quoting part or all of other people’s creations which are then included in their own creations (without including the source) so as to make the impression as if their own work (called plagiarism), taking other people’s creations for reproduced without changing the form or content to be published later, and reproduce the creations of others intentionally without permission and used for commercial purposes.  

Copyright infringement on previous cinematographic works is piracy of films through optical discs in the form of CDs which are sold illegally in the free market, as time goes by now many violations of cinematographic copyrights occur through the internet, other forms of infringement that occur against a cinematographic copyright through the internet namely:
1)  Dissemination of film content through the website;
2)   Downloading movies over the internet without permission;
3) Download movies or videos and broadcast those videos without including the name of the creator.  

The negative impact caused by technological advances in the field of electronics with the availability of image recording equipment such as sophisticated audio and video, which can record songs and films by other people without the permission of the creator or copyright holder and aims to earn profits without paying taxes and royalties to the state and creators so that it can be called a copyright infringement and there are many factors that can cause many films to be pirated, including economic factors which according to pirates are very profitable for them and for viewers comparing the price of watching pirated movies or cinemas is very far in price, social and cultural factors where the people themselves are still happy to buy pirated CDs that are sold on the market and for them it is normal and has become entrenched in the community, and the educational factor where there is a lack of socialization and public knowledge of the existence of legal rules that regulate a person’s copyright and fac law enforcement tor that the lack of awareness from the public is related to legal aspects, especially law enforcement against piracy of cinematography (film/video). This will have a lot of impact on the government, filmmakers, pirates, and the community, among others, for the government, causing losses by reducing state revenues from the tax proceeds of the film and reducing the state treasury. their work that will make filmmakers disadvantaged because how many people watch a film will have a big impact on the income of a film, for pirates is to get a big impact for the act of piracy, this is clearly unfair to filmmakers because it is easy for a pirate to get The large income from pirated products that have very little capital from their income, and the impact on consumers is that they have a nature that does not appreciate and respect a copyright made by a creator with a good aim to entertain consumers.  
Furthermore, to determine whether the act committed can be criminally charged or not, it is necessary to first see whether the act is commercial in nature, violates the economic rights of the creator/copyright holder or not. If the act of distributing the film footage is commercial in nature and violates the rights of the creator/copyright holder to obtain economic benefits from the work, and is carried out without permission, then the act can be charged with criminal provisions, as regulated in Article 113 paragraph (3) of the Copyright Law:  
Article 113
Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use. Commercial shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).  
However, if the distribution of the film footage is non-commercial and/or benefits the creator or related parties, or the creator expresses no objection to the distribution, then the act is not considered a copyright infringement, as regulated in Article 43 letter d of the Copyright Law:   Article 43 letter d Acts that are not considered as copyright infringement include:   d. creation and dissemination of copyrighted content through information and communication technology media that are non-commercial and/or beneficial to the creator or related parties, or the creator expresses no objection to the creation and dissemination.”  
In addition, in the event that someone owns and distributes a film clip with a copyright attached, especially to a film that should only be enjoyed by paid subscribers on a streaming platform, it is reasonable to suspect that the person concerned has committed piracy as stated in Article 1 number 23 of the Law. Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely:   “Article 1 23. Illegal reproduction of works and/or related rights products and distribution of goods resulting from the reproduction is intended widely to obtain economic benefits”.   If it is true that piracy has occurred, then the perpetrator can be charged with the provisions of Article 113 paragraph (4) of the Copyright Law as follows:   “Article 113 Everyone who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) committed in the form of piracy, shall be punished with imprisonment for a maximum of 10 (ten) years and/or a fine of a maximum of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah).”  
Copyright infringement on films or cinematography is not only in a commercial form, but can also be in a non-commercial form. The act of uploading film footage into social media is considered to reduce public enthusiasm for watching films in cinemas. As a result, the values ​​that film creators want to convey do not reach the public. Over time, uploading film footage on social media has become a trend in society. Of course, this is not justified by the Copyright Act and the ITE Law. And for every person who does this, can be threatened with 10 years imprisonment and/or a fine of IDR 4 billion.

[1] Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020), h. 2-3

[2] https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/ diakses pada tanggal 13 Juli 2022 pukul 14.46

[3] Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019, hlm. 17

[4] Dita Shahnaz Saskia, Op. Cit, hal. 34-35

0

Sanksi Terhadap Shooting Film yang Tidak Memiliki Izin

Monday, 3rd January 2022

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Joshua Bernando

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial, maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum. Seperti contoh, apabila pelaku usaha perfilman ingin melakukan usaha pembuatan film, melalui proses shooting film dan penyiaran, maka harus melakukan proses perizinan dan mendapatkan izin dari pihak yang mempunyai kewenangan dalam hal tersebut.

Memperoleh izin tersebut harus mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku, dan izin tersebut harus sudah didapatkan sebelum shooting dilaksanakan. Izin biasanya diperlukan apabila pelaku usaha film menggunakan tempat umum, dan bukti pemberian izin oleh pihak yang berwenang biasanya berbentuk surat yang berisi perihal dan tanda tangan oleh pihak yang berwenang (dalam bentuk tulisan).

Selain itu, permintaan izin juga merupakan bagian dari etika yang berkaitan dengan moral, dimana etika merupakan unsur yang diterapkan dalam kode etik profesi pelaku usaha perfilman memiliki kode etik yang harus dipatuhi.

Mengacu pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menjelaskan bahwa pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film dalam hal ini harus didahului menyampaikan pemberitahuan film kepada Menteri, dengan disertai dengan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Serta dijelaskan pada Pasal 18 ayat (1) & ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa Pelaku Usaha pembuatan film yang akan membuat film wajib memiliki Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF) dimana TPPF tersebut harus meliputi : 

  1. nama pemilik hak cipta atas film yang dibuat; 
  2. judul film; 
  3. isi cerita/sinopsis dalam bahasa Indonesia; 
  4. nama produser, sutradara, dan penulis; dan 
  5. jadwal dan lokasi pembuatan film. [2]

Apabila tidak terpenuhinya izin lokasi atau izin tidak diberikan oleh pihak yang berwenang pada tempat/lokasi tersebut, maka dapat dikatakan tidak terpenuhinya syarat untuk memperoleh izin pembuatan film melalui Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF).

Selain itu, mengacu pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan, dinyatakan bahwa: 

“ Pasal 6

  • Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor kebudayaan, dikenai sanksi administratif. 
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    • teguran tertulis; 
    • denda administratif; 
    • penutupan sementara; 
    • pengenaan daya paksa polisional; dan/atau 
    • pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha. [3]

Pada Pasal 5 jo. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Yang dimaksud menjunjung tinggi adalah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan.

Terkait dengan proses shooting izin dan terdapat pelanggaran etika dan moral yang dilakukan oleh rumah produksi, maka film tersebut tidak boleh ditayangkan atau disiarkan terkait dengan pelanggaran kode etik penyiaran yang harus dipatuhi oleh stasiun televisi, tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran : 

“(1) Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan etika profesi yang dimiliki oleh profesi tertentu yang ditampilkan dalam isi siaran agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif di masyarakat.”[4]

 Berkaitan dengan kewenangan KPI pada Pasal 8 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjelaskan bahwa KPI dalam menjalankan fungsinya mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program penyiaran. [5]

Pemenuhan syarat dalam perizinan suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pelaku usaha perfilman, perlu dilakukan untuk dalam hal melaksanakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi, pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenai sanksi yang bersifat administratif hingga pembubaran/pencabutan perizinan berusaha.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
  4. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan
  5. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Legal Basis: Law Number 33 of 2009 concerning Film

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government. The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection. For example, if a film business actor wants to do a film-making business, through the film shooting and broadcasting process, then they must carry out a licensing process and get permission from the party who has the authority in this regard.

Obtaining the permit must follow the applicable procedures, and the permit must be obtained before shooting is carried out. Permits are usually required if the film business actor uses a public place, and evidence of granting a permit by the competent authority is usually in the form of a letter containing the subject matter and signature by the authorized party (in writing).

Aside from that, the request for permission is also part of ethics related to morals, where ethics is an element that is applied in the professional code of ethics for film business actors who have a code of ethics that must be obeyed.

Referring to Article 17 paragraph (1) of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that filmmaking by film-making business actors in this case must be preceded by submitting a film notification to the Minister, accompanied by the title of the film, the content of the story, and the plan for making the film. As well as explained in Article 18 paragraph (1) & paragraph (3) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector, it is explained that filmmaking Business Actors who will make films are required to have a Film Making Notification Sign (TPPF) where the TPPF must include:

  1. the name of the copyright owner for the film made;
  2. movie title;
  3. the content of the story/synopsis in Indonesian;
  4. names of producers, directors and writers; and
  5. filming schedule and location

If the location permit is not fulfilled or the permit is not granted by the competent authority at the place/location, it can be said that the requirements for obtaining a filmmaking permit are not met through the Film Making Notification Sign (TPPF).

Aside from that, referring to Article 6 paragraph (1) and paragraph (2) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector, it is stated that:

” Article 6

  • Every Business Actor, based on the results of Supervision found a discrepancy or violation of the Business Licensing in the cultural sector, is subject to administrative sanctions.
  • The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:
    • written warning; 
    • administrative fines; 
    • temporary closure; 
    • the imposition of police coercion; and/or
    • dissolution or revocation of Business License.“

In Article 5 jo. Elucidation of Article 5 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that film activities and film business are carried out based on freedom to be creative, innovate, and work by upholding religious values, ethics, morals, decency, and national culture. What is meant by upholding is that it must be in line and must not be contradictory.

Related to the shooting permit process and there are ethical and moral violations committed by the production house, the film may not be shown or broadcast related to violations of the broadcasting code of ethics that must be obeyed by television stations, as stated in Article 10 paragraph (1) of the Indonesian Broadcasting Commission Regulation. Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct:

“(1) Broadcasting institutions are required to pay attention to the professional ethics of certain professions that are displayed in broadcast content so as not to harm and cause negative impacts in society.”

In relation to the authority of KPI in Article 8 paragraph (2) letter d of Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting which explains that KPI in carrying out its functions has the authority to provide sanctions for violations of regulations and guidelines for broadcasting behavior as well as broadcasting program standards.

Fulfillment of requirements in licensing a business activity carried out by business actors, in this case film business actors, needs to be carried out in order to carry out legal obligations that must be fulfilled, business actors who do not have permits may be subject to administrative sanctions up to the dissolution/revocation of business licenses.

Legal Basis :

  1. Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting
  2. Law Number 33 of 2009 concerning Film
  3. Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector
  4. Minister of Education Regulation Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector
  5. Regulation of the Indonesian Broadcasting Commission Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct
Translate