0

Energy Sector Investment: Solutions and Problems

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-Author : Robby Malaheksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
  2. Permen ESDM No 21 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT. PLN (Persero)

REFERENSI :

  1. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta
  2. Dewan Energi Nasional. Ketahanan Energi. 2014. Jakarta. 2014
  3. Akhir 2016, Harga Batu Bara Acun Tembus US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton,  diakses tanggal 31 Maret 2022.
  4. Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010.
  5. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, diakses tanggal 2 April 2022

Investasi Energi Terbarukan Capai Rp30 Triliun Sepanjang 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, diakses tanggal  2 April 2022

LEGAL BASIS:

  1. Government Regulation No. 79 of 2014 on National Energy Policy
  2. Permen ESDM No. 21 of 2016 concerning The Purchase of Electricity from Biomass Power Plants and Biogas Power Plants by PT. PLN (Persero)

REFERENCE :

  1. Agency for the Assessment and Application of Technology. Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta
  2. National Energy Council. Energy Security. 2014. Jakarta. 2014
  3. At the end of 2016, Acun Coal Price Reached US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton, accessed March 31, 2022.
  4. Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s renewable Enrgi Development Strategy”. 2010.
  5. Renewable Energy and Energy Conservation (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, accessed April 2, 2022
  6. Renewable Energy Investment Reaches RP30 Trillion Throughout 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, accessed April 2, 2022

Penggunaan energi di Indonesia ternyata masih bergantung sepenuhnya pada Energi yang tidak dapat di perbaharui seperti Minyak Bumi, Batubara dan Gas alam sebagai sumber kebutuhan energi. Sedangkan melihat dari hasil implementasi yang telah di lakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan bauran Energi terbarukan (ET) masih mengalami berbagai kendala. Kendala yang di maksud antara lain kendala teknis, non teknis dan persaingan harga tarif dengan energi fosil yang cendrung lebih murah, sehingga menyebabkan pembangunan Energi terbarukan menjadi terhambat dan baruan Energi yang di capai dari ET baru sekitar 6,2 % secara keseluurhan dengan pertumbuhan 0,39 % per tahun.

Energi yang dapat diperbaharui (renewable energy) ini memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh energi yang tidak dapat diperbaharui (non renewable energy), yaitu energi tersebut tidak akan pernah berhenti atau habis selama siklus alam masih berlangsung, ramah lingkungan dan dapat meminimalisir polusi lingkungan. Sedangkan non renewable energy merupakan energi yang akan habis jika di pakai terus menerus dana mengahsilkan polusi jika di gunakan, namn memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan energi yang lebih besar dari pda renewable energy dengan konsentrasi yang lebih sedikit.[1]

Upaya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan sebagaimana tertulis pada Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menjelaskan tentang prioritas pengembangan eergi nasional sebagai berikut :

“Pasal 11

  • Untuk mewujudkan keseimbangan keekonomian Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, prioritas pengembangan Energi nasional didasarkan pada prinsip:
  • Memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian.
  • Meminimalkan penggunaan minyak bumi.
  • Memanfaatkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru.
  • Menggunakan batu bara sebagai andalan pasokan energi Nasional.” [2]

Indonesia sendiri mematok targer pencapaian energi sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 9 huruh (f) PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagai berikut :

“Pasal 9

  • Tercapainya bauran Energi Primer yang optimal:
  1. Pada tahun 2025 peran energi baru daan energi terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 % sepanjang keekonomian terpenuhi.
  2. Pada tahun 2025 peran minyak bumi kurang urang dari 25% dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari 20%
  3. Pada tahun 2025 peran batubara minimal 30% dan pada tahu 2050 minimal 25%.
  4. Pada tahun 2025 peran gas bumi minimal 22% dan pada tahun 2050 minimal 24%[3]

Bila melihat dari hasil implementasi yang telah di lakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan targetan tersebut, sampai tahun 2015 dalam perincian sumber energi secara keseluruhan disemua sektor. Minyak bumi masih menjadi tumpuan utama masyrakat Indonesia dengan persentase sebesar 43%, disusul kemudian Batubar dan gas bumi masing-masing 28,7% dan 22%. Sisanya, yaitu hanya sebanyak 6,2% yang berasal dari sumbangsih energi terbarukan dalam baruan pemanfaataan energi nasional. Ini artinya pemanfaatan energi terbarukan masih belum maksimal sampai dengan saat ini dan belum bisa menutupi pertumbuhan konsumsi energi sampai 3,2% dan konsumsi listrik sekitar 6% setiap tahunnya, sedangkan bauran energi terbarukan bertambah 0,36 % per-tahunnya. Hal ini akan membuat sulit untuk mencapai target 23% pada tahun 2025. [4]

Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi oleh kondisi energi terbarukan Indonesia, seperti masih mengalami berbagai masalah teknis, non teknis, perizinan yang menghambat perkembangan energi baru dan terbarukan nasional. Tidak hanya itu keterbatasan infrastruktur juga menjadi salah satu faktor permasalahan dalam penggunaan energi terbarukan, yang menyebabkan adanya akses pembatasan bagi masyarakat, penerapan insentif pajak yang semakin tinggi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dalam bentuk resiko dan penugasan eksplorasi kepada BUMN, ditambah dengan adanya tantangan global yang di hadapi oleh Indonesia, sehingga penggunaan potensi sumber daya energi nasional yang ada belum efisien dan masih sangat rendah bila di bandingkan dengan potensi yang dimiliki.[5]

Dengan adanya permasalahan tersebut, sehingga dalam penggunaan energi di Indonesia, masih dilakukan dengan sumber energi yang tidak dapat di perbaharui, hal ini juga di dorong dengan tarif listrik dari energi fosil (batubara) di anggap lebih murah karena harga batubara dunia yang rendah dan ketergantungan kepada sumber energi berbasis minyak dikarenakan subsidi yang di berikan, serta komponen-komponen energi terbarukan yang mahal dikarenakan harus mengimpor dari luar negeri dan terbatasnya industri energi terbarukan di Indonesia. Berdasarkan permasalahan energi terbarukan yang melanda, maka di perlukan sebuah strategi untuk pengembangan energi terbarukan yang dapat meningkatkan perkembangan energi terbarukan di Indonesia secara signifikan untuk mencapai targetan bauran energi terbarukan pada tahun 2025 dan 2050, serta mendapatkan solusi untuk menuju pemanfaatan energi terbarukan yang optimal dan efisien demi kepentingan ketahanan energi nasional.[6]

Salah satu tujuan dari pengembangan energi terbarukan adalah meningkatkan investasi sektor ESDM khussnya energi terbarukan. Tahun 2016 Investasi di sektor energi terbarukan mencapai U$D 1,593 Miliar dengan rincian U$D 1,13 Miliar (panas bumi), U$D 0,41 Miliar (Bioenergi), U$D 0,056 Miliar (PLTS dan PLTMh), dan U$D 0,003 Miliar (Konservasi Energi). Dari ke-4 bidang Investasi tersebut hanya gabungan Investasi PLTS dan PLTMh yang pencapaiannya tidak sesuai target di tahun 2016 dengan prosentase 56% dari pencapaian toal sebesar U$D 0,1 Miliar.[7]

Sektor panas bumi dapat melebihi target yang dicanangkan dalam Investasi yakni sebesar U$D 0,96 Miliar di karenakan pada tahun 2016 banyak terdapat PLTP yang COD (Commercial Operating Date). Sedangkan untuk Bioenergi dikarenakan ketertarikan Investor terhadap kebijakan Permen ESDM No 21 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT. PLN (Persero). Menurut Laporan kinerja dari EBTKE[8] tahun 2016 tercatat ada sekitar 15 Badan Usaha yang berinvestasi di sektor Bioenergi.

Melihat beberapa permasalahan yang di hadapai maka perlu dicarikan solusi agar dapat meningkatkan peranan energi terbarukan dalam bauran energi di Indonesia, solusi tersebut dapat berupa :[9]

  1. Potensi energi terbarukan (matahari, angin, air, bioenergi, panas bumi) yang dimiliki Indonesia perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk menambah kapasitas terpasang pembangkit listrik, rasio elektrifikasi dan penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan yang dicanangkan PP. No.79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, mengingat daya bangun pembangkit listrik yang harus ditingkatkan dari 4 GW/tahun menjadi 6 GW/tahun dan bertahap menjadi 12 GW/tahun
  2. Menjalankan feed in tariff energi terbaharukan yang ada untuk Investor dan di bantu subsidi listrik ET dari Pemerintah untuk konsumen sampai biaya pokok penyediaan listrik ET memungkinkannya untuk di cabutnya subsidi harga listrik ET.
  3. Memberikan pajak emisis C kepada pengelola pembangkit listrik energi fossil, sebagi bentuk komitmen negara terhadap perjanjian penurunan emisis dengan dunia serta utnuk pembangunan Energi ramah lingkungan di Indoneia.
  4. Pembebasan pajak impor peralatan energi terbaharukan dan mendorong produsen peralatan energi terbaharukan lokal melalui pembebeasa pajak dan dukungan keuangan secara langsung.
  5. Menggencarkan studi dan penelitian serta mengidentivikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbaharukan secara lengkap di setiap wilayah, merumuskan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konservasi energi yang sesuai dengan kondisi Indonesia dengan di dukung anggaran dana dari Pemerintah.
  6. Perlu adanya dukungan berupa kebijakan bantuan investasi dari pemerintah sekitar 20 – 30% untuk menggairahkan pembangunan energi terbarukan ditengah masih mahalnya harga operasional untuk membangun pembangkitan energi terbarukan, faktor perizinan, biaya eksplorasi dan pengeboran (panas bumi), pembelian bahan baku (biomassa), perencanaan dan sebagainya.
  7. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kemudian lembaga lembaganya baik kementerian ESDM, Kementerian Riset, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau pun lembaga lain saling bekerja sama secara nyata untuk pengembangan di bidang energi terbarukan tanpa mengedepankan ego sektoral.
  8. Mensosialisasikan dan memberi pendidikan kepada masyrakat mengenai energi terbaharukan agar isu-isu negatih yag ada pada benak masyarakat mengenai pemnafaatan energi terbaharukan dapat tertanggulangi.

Berdasarkan data Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM), Singapura menjadi kontributor terbesar dalam investasi sektor energi terbarukan di Indonesia. Pada 2020, nilai investasinya mencapai US$ 453,1 juta. Secara akumulasi dari 2016-2020, Investasi Energi terbarukan dari Singapura mencapai US$ 1.176,9 juta atau kontribusinya mencapai 34,5 persen dari total investasi asing sektor energi terbarukan di Indonesia.

Kontributor selanjutnya adalah Korea Selatan, yang dalam 5 tahun terakhir ini nilai investasinya mencapai US$ 564,8 juta atau berkontribusi sebesar 16,6 persen dari keseluruhan investasi asing sektor  ET di Indonesia. Kemudian disusul oleh Belanda yang mencapai total US$ 502 juta (14,7 persen), Jepang total US$ 416,7 juta (12,2 persen), dan China total US$ 191,9 juta (5,6 persen). China ada diurutan ke lima yang memiliki investasi besar di Indonesia dan terus menigkat dari tahun ke tahun kecuali di 2020 yang turun karena dampak Covid-19[10]

Pertumbuhan energi terbarukan harus dipercepat, karena kepedulian terhadap perubahan iklim dan dukungan untuk lingkungan, keberlanjutan, terus tumbuh, dan permintaan akan sumber energi yang lebih bersih pun juga terus meningkat. Tahun 2022 merupakan tahun kritis untuk transisi energi, sehingga kesuksesan tahun ini akan menjadi penentu keberhasilan dalam pencapaian komitmen netral karbon pada tahun 2050. Semua stakeholders, baik pemerintah maupun swasta perlu melakukan upaya terbaik untuk mewujudkan energi bersih yang berkelanjutan, yang pada akhirnya membawa kita lebih dekat menuju tercapainya kondisi netral karbon.


[1] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta

[2] Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[3] Pasal 9 huruh (f) PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[4] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 2

[5] Akhir 2016, Harga Batu Bara Acun Tembus US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton,  diakses tanggal 31 Maret 2022.

[6] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 2

[7] Dewan Energi Nasional, Ketahanan Energi. 2014. Jakarta. 2014

[8] Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, diakses tanggal 2 April 2022

[9] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 11-12

[10] Investasi Energi Terbarukan Capai Rp30 Triliun Sepanjang 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, diakses tanggal  2 April 2022

The use of energy in Indonesia is still completely dependent on energy that cannot be renewed such as petroleum, coal and natural gas as a source of energy needs. Meanwhile, seeing from the results of the implementation that has been done by the Government to realize the renewable energy mix (ET) is still experiencing various obstacles. The constraints that are meant between the design of technical, non-technical constraints and tariff price competition with fossil energy are  cheaper, thus causing the development of renewable energy to be hampered and recently The energy achieved from the new ET is about 6.2% in a comprehensive manner  with a growth of 0.39% per year.

This renewable energy has a priority that is not owned by non-renewable energy, that is, it will never stop or run out as long as the natural cycle is still ongoing, environmentally friendly and can minimize environmental pollution.  While non-renewable energy is energy that will be consumed if used continuously funds to produce pollution if used, namn has the advantage that it can produce more energy than pda renewable energy with less concentration.[1]

Efforts to optimize the use of renewable energy as written in Article 11 paragraph (2) of Government Regulation No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy which explains the priorities of national eergi development as follows:

“Article 11 paragraph (2):

  1. Maximize the use of renewable energy by paying attention to the level of economy.
  2. Minimize the use of petroleum.
  3. Utilizing the utilization of natural gas and new energy.
  4. Using coal as a mainstay of the National energy supply.”

Indonesia itself pegs the targer of energy achievement as mentioned in Article 9 huruh (f) PP No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy as a provision:

“Article 9 letter (f):

  1. By 2025 the role of new energy and renewable energy is at least 23% and by 2050 at least 31% as long as the economy is fulfilled.
  2. By 2025 the role of petroleum is less than 25% and by 2050 it will be less than 20%.
  3. By 2025 the role of coal is at least 30% and by 2050 at least 25%.
  4. By 2025 the role of natural gas is at least 22% and by 2050 it is at least 24%.[2]

If we saw from the results of the implementation that has been carried out by the Government to realize this target, until 2015 in the details of energy sources as a whole in all sectors. Petroleum is still the main focus of the Indonesian community with a percentage of 43%, followed by Batubar and natural gas respectively 28.7% and 22%. The rest, namely hanya as much as 6.2% which comes from the contribution of renewable energy in the new national energy utilization.  This means that the use of renewable energy is still not optimal until now and has not been able to cover the growth of energy consumption up to 3.2% and electricity consumption of about 6% annually, while the renewable energy mix increased by 0.36% per year.  This will make it difficult to reach the 23% target by 2025. [3]

The forms of problems faced by Indonesia’s renewable energy conditions, such as still experiencing various technical, non-technical, licensing problems that hinder the development of new and national renewable energy. Not only that, limited infrastructure is also one of the problem factors in the use of renewable energy, which causes access restrictions for the community, the application of higher tax incentives for Geothermal Power Plants (PLTP), in the form of risk and exploration assignments to SOEs, plus with the global challenges faced by Indonesia, so that the use of the potential of existing national energy resources is not yet efficient and is still very low when compared to its potential.[4]

With these problems, so that energy use in Indonesia is still carried out with energy sources that cannot be renewed, this is also driven by electricity tariffs from fossil energy (coal) which are considered cheaper because of low world coal prices and dependence on electricity. oil-based energy sources due to subsidies provided, as well as expensive renewable energy components due to having to import from abroad and the limited renewable energy industry in Indonesia. Based on the renewable energy problems that hit, a strategy is needed for the development of renewable energy that can significantly increase the development of renewable energy in Indonesia to achieve the target of the renewable energy mix in 2025 and 2050, as well as to find solutions for optimal and efficient use of renewable energy. in the interest of national energy security.[5]

One of the goals of renewable energy development is to increase investment in the ESDM sector, especially renewable energy. In 2016 investment in the renewable energy sector reached U$D 1.593 billion with details of U$D 1.13 Billion (geothermal), U$D 0.41 Billion (Bioenergy), U$D 0.056 Billion (PLTS and PLTMh), and U$D 0.003 Billion (Energy Conservation). Of the 4 investment fields, only a combination of PLTS and PLTMh investments whose achievements were not on target in 2016 with a percentage of 56% of the toal achievement of U$D 0.1 billion.[6]

The geothermal sector can exceed the target set in the Investasi which is US $ D 0.96 billion because in 2016 there are many COD (Commercial Operating Date) PLTP.   As for Bioenergy due to investor interest in the esdm candy policy  No. 21 of 2016 concerning the purchase of electricity from biomass power plants and biogas power plants by PT. PLN (Persero). According to the performance report from EBTKE[7] in 2016, there were about 15 Business Entities that invested in the Bioenergy sector.

Looking at some of the problems that are addressed, it is necessary to find solutions in order to increase the role of renewable energy in the energy mix in Indonesia, these solutions can be in the form of:[8]

  1. The potential of renewable energy (solar, wind, water, bioenergy, geothermal) owned by Indonesia needs to be utilized to the maximum to increase the installed capacity of power plants, electrification ratios and reduce greenhouse gas emissions in accordance with the pp. No.79 of 2014 on National Energy Policy, considering the power plant building power that must be increased from 4 GW / year to 6 GW / year and gradually to 12 GW / year
  2. Running the feed in tariff of the latest energy that exists for investors and assisted by et electricity subsidies from the Government for consumers until the cost of providing ET electricity allows it to be revoked et electricity price subsidies.
  3. Providing C emissions tax to fossil energy power plant managers, as a form of state commitment to emissions reduction agreements with the world and for the development of environmentally friendly energy in Indonesia.
  4. The exemption of the import tax on renewable energy equipment and encourages local renewable energy equipment manufacturers through tax relief and direct financial support.
  5. Intensifying studies and research and identifying every type of potential energy resources in each region, formulating basic specifications and engineering standards of energy conservation systems in accordance with Indonesian conditions with the support of government budgets.
  6. There needs to be support in the form of investment assistance policies from the government of around 20-30% to stimulate renewable energy development amid the high operational price to build renewable energy generation, licensing factors, exploration and drilling costs (geothermal), purchase of raw materials (biomass), planning and so on.
  7. The central government and local government, then the institutions of the ministry of energy and mineral resources, ministry of research, and ministry of environment and forestry or other institutions cooperate with each other in real terms for development in the field of renewable energy tanpa put forward sectoral ego.
  8. Socializing and educating the community about renewable energy so that the issues of the country are in the minds of the community regarding the use of the renewable energy can be overcome.

Based on data from the Investment Coordinating Board (BKPM), Singapore is the largest contributor in renewable energy sector investment in Indonesia.  In 2020, the investment value reached US $ 453.1 million. Accumulated from 2016-2020, renewable energy investment from Singapore reached US$ 1,176.9 million or its contribution reached 34.5 percent of the total foreign investment of  the renewable energy sector in Indonesia.

The next contributor is South Korea, which in the last 5 years has an investment value of US $ 564.8 million or contribute 16.6 percent of the overall foreign investment of the ET sector in Indonesia. It was followed by the Netherlands which reached a total of US$ 502 million (14.7 percent), Japan totaled US$ 416.7 million (12.2 percent), and China totaled US $ 191.9 million (5.6 percent).  China is ranked fifth which has a large investment in Indonesia and continues to increase from year to year except in 2020 which fell due  to the impact of Covid-19.[9]

The growth of renewable energy must be accelerated, because concern for climate change and support for the environment, sustainability, continues to grow, and the demand for cleaner energy sources also continues to increase. 2022 is the year for the energy transition, so this year’s success will be the determinant of success in achieving carbon neutral commitments by 2050.  All stakeholders, both government and private, need to make their best efforts to realize sustainable clean energy, which ultimately brings us closer to achieving carbon neutral conditions.


[1] Agency for the Assessment and Application of Technology. Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta

[2] Article 9 huruh (f) PP No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy

[3] Fikri Azikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s Renewable Energy Development Strategy”. 2010. Pg. 2

[4] End of 2016, Acun Coal Price Reached US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/economy/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton, accessed on March 31, 2022.

[5] Fikri Azikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s Renewable Energy Development Strategy”. 2010. Pg. 2

[6] National Energy Council, Energy Security. 2014. Jakarta. 2014

[7] Renewable New Energy and Energy Conservation (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, retrieved April 2, 2022

[8] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Renewable Enrgi Development Strategy Indonesian”. 2010. P. 11-12

[9] Renewable Energy Investment Reaches RP30 Trillion Throughout 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, retrieved April 2, 2022

0

FOREIGN INVESTMENT IN THE INDONESIAN FISHERY SECTOR AFTER THE ENTRY OF LAW NUMBER 11 OF 2020 CONCERNING JOB CREATION

Author : Nirma Afianita, Co-Author : Alfredo Joshua Bernando

DASAR HUKUM :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
  3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Ikan
  6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengelolaan Ikan

BUKU-BUKU :

  1. Likadja, Frans E & Daniel F. Bessi. (1998). Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan. Jakarta : Ghalia Indonesia
  2. Afrianto, Eddy. (1996). Kamus Istilah Perikanan. Bandung : Kanisius.
  3. Sornarajah, M. (2004). The International Law on Foreign Investment. Cambridge : Cambridge University Press.

INTERNET :

Badan Koordinasi Penanaman Modal (2020). “Penanaman Modal Asing di Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (diakses pada tanggal 4 November 13.07)

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020). “Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sektor-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.49)

Kementerian Investasi / BKPM (2020) “UU Cipta Kerja : Dorong Investasi, Ciptakan Lapangan Kerja” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-dorong-investasi-ciptakan-lapangan-kerja (diakses pada tanggal 4 November pukul 13.10)

Muhammad Yunus (2020) “7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan” https://sulsel.suara.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-kerja-terhadap-sektor-kelautan-dan-perikanan?page=all (diakses pada tanggal 5 November Pukul 13.28)

Oki Pratama (2020). “ Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia” https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (diakses pada 4 November 2021, pukul 15.40)

Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina (2021) “Omnibus Law, UU ‘Sapu Jagad’ di Bidang Hukum”  https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu-sapu-jagad-di-bidang-hukum (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.40)

LEGAL BASIS :

  1. 1945 Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as Amended by Law Number 45 of 2009
  3. Law Number 25 of 2007 concerning Investment
  4. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation
  5. Minister of Maritime Affairs and Fisheries Regulation Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fish Supervisory Duties
  6. Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 5 of 2021 concerning Fish Management Business

BOOKS :

  1. Likadja, Frans E & Daniel F. Bessi. (1998). Law of the Sea and Fisheries Act. Jakarta : Ghalia Indonesia
  2. Afrianto, Eddy. (1996). Dictionary of Fisheries Terms. Bandung : Kanisius.
  3. Sornarajah, M. (2004). The International Law on Foreign Investment. Cambridge : Cambridge University Press.

INTERNET :

Investment Coordinating Board (2020). “Foreign Investment in Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/article-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (accessed on November 4, 13.07)

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020). “Analysis of the Law on Employment Creation in the Marine and Fisheries Sector”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sector-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (accessed on November 5, 2021 at 8.49)

Ministry of Investment / BKPM (2020) “Job Creation Law: Encouraging Investment, Creating Jobs” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-push-investasi-ciptakan -employment (accessed on November 4th at 13:10)

Muhammad Yunus (2020) “7 Negative Impacts of the Job Creation Law on the Marine and Fisheries Sector” https://sulsel.voice.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-karya- on-the-marine-and-fisheries-sector?page=all (accessed on November 5th at 13:28)

Oki Pratama (2020). “Water Conservation as an Effort to Maintain Indonesia’s Marine and Fishery Potential” https://kkp.go.id/djprl/article/21045-konservasi-perairan-as-Effort-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (accessed at November 4, 2021, 3:40 p.m.) Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina (2021) “Omnibus Law, Law ‘Sweeping the Universe’ in the Legal Sector” https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu -sapu-universe-in-the-law (accessed on November 5, 2021 at 8.40)

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan fakta yang menunjukan hal demikian maka Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi dengan lautan. Indonesia sebagai negara ‘maritim’ memiliki kekayaan dibidang kelautan dan juga perikanan yang amat luas, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Hanya 2,01 juta km2 yang berupa daratan.[1]

            Dalam hal potensi kelautan, terdapat jenis dan potensi yang sangat beragam, mulai dari pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagaianya, dan dalam hal potensi perikanan, Indonesia juga memiliki bidang usaha di bidang perikanan yang beragam seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan budidaya atau akuakultur, dan usaha perikanan pengolahan.

            Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan nasional. Pada tahun 2019, nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai Rp 73.681.883.000 dimana nilai tersebut naik 10.1% dari hasil ekspor tahun sebelumnya, yakni tahun 2018. Hasil laut seperti udang, tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan serta rumput laut merupakan komoditas yang dicari. Banyaknya hasil produksi perkanan di Indonesia perlu dipertahankan dan dijaga. Tanpa pengelolaan dan pengawasan yang baik, perikanan di Indonesia rentan terjadi pelanggaran.[2]

            Bidang perikanan sebagai salah satu sektor yang sangat penting bagi pembangunan nasional, khususnya di bidang penyediaan kebutuhan protein hewani untuk penduduk Indonesia. Hasil laut yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, khususnya di wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Potensi sumber daya alam hayati di ZEEI merupakan potensi yang memberikan kemungkinan untuk dimanfaatkan secara langsung. Sumber daya alam hayati tersebut, sekaligus berfungsi sebagai pendukung sumber daya perikanan di seluruh perairan Indonesia.[3]

Saat ini pemanfaatan sumber daya ikan untuk meningkatkan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengolahan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum masih kurang optimal. Sehingga perlu adanya pembangunan dalam mengoptimalkan sumber daya ikan tersebut. Fasilitas dan infrastruktur yang memadai menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan kualitas pemanfaatan sumber daya ikan yang ada di Indonesia. Untuk meingkatkan pembangunan ekonomi dalam sektor perikanan di Indonesia diperlukan suatu kegiatan usaha dalam mengolah hasil sumber daya ikan tersebut. Bahwa sektor perikanan di Indonesia masih memerlukan beberapa pembenahan, seperti sumber daya manusia yang berkualitas, keamanan berusaha, konsistensi kebijakan, kepastian huku, kebijakan pajak yang baik, hingga ketersediaan sumber modal.[4]

            Ketersediaan modal yang masih terbatas menjadikan pertumbuhan yang lamban untuk meningkatkan kualitas perikanan di Indonesia. Untuk mempercepat pembangunan ekonomi di sektor perikanan maka pemerintah Republik Indonesia memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pengertian dari penanaman modal itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.[5]

            Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolak ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melihat tujuan dari penanaman modal yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, target untuk mencapai pertumbuhan pembangunan ekonomi yang tinggi disektor perikanan Indonesia tidak lain salah satunya adalah dari tingkat investasi penanaman modal, baik penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri. Target tersebut dapat ditempuh apabila kebijakan-kebijakan mengenai penanaman modal dan suasana usaha sudah kondusif dan atraktif bagi para penanam modal.

            Penanaman modal asing (PMA) terhadap sektor perikanan di Indonesia dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia [6], namun di sisi lain ada beberapa dalmpak yang dialami oleh golongan nelayan lokal. Dampak-dampak tersebut dapat mematikan usaha nelayan lokal dan mengurangi pendapatan di sektor lokal. Hal ini menimbulkan pro dan kontra mengenai penanaman modal asing di sektor perikanan dan pertumbuhan ekonomoi masyarakat lokal. Banyak perusahaan asing yang kerap melakukan kecurangan-kecurangan di sektor perikanan, misalnya status hukum perusahaan tidak berubah menjadi perusahaan PMA, perusahaan yang fiktif, langsung membawa ikan keluar negeri dan pelanggaran fishing ground.

            Akan tetapi, pemerintah sudah mulai mengatasi permasalahan-permasalah tersebut, dengan langkah-langkah dan kebijakan yang dilakukan dan diterapkan oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2014-2019, yang menentang keras tentang penangkapan ikan yang merusak lingkungan, contohnya Perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan SNI. Sejak pergantian periode masa jabatan, terpilihnya Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) yang baru yakni Edhy Prabowo, hal tersebut diperbolehkan kembali, tetapi setelah tertangkapnya mantan Menteri KKP tersebut, dan digantikan oleh Sakti Wahyu Trenggono, peraturan mengenai larangan untuk menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan SNI tersebut diberlakukan kembali.

            Persoalan mengenai perizinan untuk menanam modal dari pihak asing maupun dalam negeri juga sudah dimudahkan, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dimana peraturan perundang-undangan tersebut menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal diyakini akan membawa dampak positif terutama dalam hal mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja untuk meningkatkan perekonomian nasional. Hal ini dijabarkan oleh BKPM karena Undang-Undang Cipta Kerja membuat lebih mudahnya pembukaan usaha (kemudahaan berusaha) dalam hal perizinan berusaha bagi investor, serta di penguatan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) dimana hal ini ditegaskan oleh Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bahwa berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja akan memberikan ruang yang sangat besar bagi UMKM.[7]

            Serta dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengenai perubahan tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana dalam perubahan ini terjadi pemindahan kekuasaan, yakni sentralisasi, dimana pemerintah pusat mengambil alih urusan perizinan usaha di bidang perikanan, dibantu dengan pemerintah daerah.[8]

Sebelum membahas dampak pelaksanaan prosedur penanaman modal asing di sektor perikanan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kita harus memahami Pengertian Penanaman Modal Asing atau Foreign Investment  menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negri.[9] Selanjutnya, definisi Foreign Investment juga dikemukakan oleh Para Ahli salah satunya oleh seorang akademisi hukum Prof. M. Sornarajah, dimana ia mengartikan bahwa foreign investment adalah transfer modal, baik yang nyata maupun yang tidak nyata dari suatu negara ke negara lain, tujuannya untuk digunakan di negara tersebut agar menghasilkan keuntungan di bawah pengawasan dari pemilik modal, baik secara total atau sebagian.[10]

Indonesia dijuluki sebagai negara maritim, dimana julukan ini melekat karena sebagaian besar wilayah Indonesia dikelilingi oleh Perairan, konsep negara maritim ini dimaksud dengan negara yang luas wilayah perairannya lebih besar daripada wilayah daratannya. Oleh karena wilayah perairan Indonesia lebih luas daripada daratan, maka Indonesia memiliki potensi yang lebih besar di bidang kelautan dan perikanan.

Perikanan di Indonesia adalah salah satu sektor atau bidang yang patut menjadi sorotan dalam hal investasi, karena potensinya yang besar untuk dikembangkan serta dikelola. Pengertian perikanan itu sendiri tercantum dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang berbunyi :

“ Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, prduksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. “[11]

Undang-Undang Perikanan mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana terdapat beberapa pasal yang dirubah melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja , atau Omnibus Law. Omnibus Law adalah istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah Undang-Undang lain. Konsep Undang-Undang itu umumnya ditemukan dalam sistem hukum seperti di Amerika Serikat, dan jarang ditemui dealam sistem hukum sipil seperti di Indonesia.[12] Dimana di Indonesia Omnibus Law itu baru pertama kali diterapkan melalui berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Cakupan perubahan Undang-Undang di dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut sangat luas, salah satunya di bidang perikanan, salah satu perubahan ada pada sentralisasi kewenangan, yang sebelumnya kewenangan semua berada di tangan Kementrian Kelautan dan Perikanan, sekarang dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Apabila terdapat kewenangan yang berada pada Pemerintah Daerah sekalipun, maka Kriteria untuk memiliki izin usaha-nya harus dibuat oleh Pemerintah Pusat.

Perubahan yang signifikan berada pada perizinan usaha yang dipermudah, dimana terdapat banyak sektor yang perizinan usahanya diselenggarakan berdasarkan perizinan berusaha berbasis risiko. Pada peraturan sebelumnya, terdapat prosedur yang lebih rumit bagi Investor untuk menanam modal pada sektor perikanan, akan tetapi sekarang setelah dipermudahnya izin untuk investor terutama investor asing, maka membuka peluang untuk para investor terutama investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, melalui penanaman modal asing dalam hal untuk memajukan perekonomian nasional.

Beberapa Pasal Undang-Undang Cipta Kerja menggabungkan jenis-jenis izin. Contohnya, Pasal 18 Angka 16 Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan terminologi “Perizinan Berusaha”, dimana teks asli pada Undang-Undang sebelumnya menggunakan 2 (dua) terminologi berbeda yaitu “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”. Dapat diartikan bahwa terjadi penyederhanaan perizinan berusaha yang dilakukan oleh pemerintah melalui berlakunya peraturan ini. Contoh lainnya adalah Pasal 27 Angka 5 dan Pasal 27 Angka 6 Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan frasa “Perizinan Berusaha” dimana teks pada Undang-Undang sebelumnya adalah SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Tidak ada pasal maupun penjelasan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dapat memberikan pemahaman mengenai bagaiamana materi muatan dan fungsi izin-izin tersebut dapat dipertahankan setelah diubah/dileburkan ke dalam “Perizinan Berusaha”. [13]

Selain hal tersebut, Pasal 22 Angka 1 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah “Izin Lingkungan” menjadi “Persetujuan Lingkungan”. Digantinya izin menjadi persetujuan akan menurunkan fungsi, efektivitas, dan pengendalian. Izin memiliki kemampuan untuk secara efektif berfungsi sebagai instrumen pengendalian kegiatan, pencegahan pelanggaran, dan pengawasan masyarakat.[14]

Karena sekarang dipermudahnya urusan perizinan yang sederhana, Untuk membuka peluang di sektor perikanan agar banyak investor yang masuk, dalam hal ini khususnya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di sektor perikanan Indonesia , karena tahun-tahun sebelumnya sektor perikanan di Indonesia adalah sektor yang paling tidak diminati oleh investor.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak hanya menimbulkan dampak positif, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif, salah satunya juga berkaitan dengan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat, dimana hal ini dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. Di sektor perikanan, kewenangan untuk menetapkan potensi perikanan yang sebelumnya berada pada Menteri berpindah ke Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden. Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan ikan.[15] Sentralisasi kewenangan kepada pemerintah pusat juga mereduksi hak otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[16]

Pengawasan pemerintah mengenai penanaman modal di sektor perikanan Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law banyak mengganti dan/atau mencabut peraturan yang berlaku, dengan memberlakukan peraturan yang baru. Sehingga, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja tersebut, Pemerintah pada sektornya masing-masing mengeluarkan banyak aturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu sendiri.

Seperti pembahasan sebelumnya, telah dibahas tentang sentralisasi dimana sebelumnya kewenangan diserahkan kepada Menteri atau Pemerintah Daerah, sekarang kewenangan tersebut berada pada Pemerintah Pusat. Akan tetapi, tidak banyak terjadi perubahan dalam hal pengawasan di sektor Perikanan.

Dalam sektor perikanan, pengawasan di sektor perikanan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. Dimana dijelaskan bahwa pengawas perikanan adalah pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan telah diangkat menjadi pengawas perikanan, dapat berasal dari instansi pusat maupun instansi daerah.[17]

Pengawasan terhadap sektor Perikanan yang dilakukan oleh Pengawas Perikanan dijelaskan dalam Bab III tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas, dan dalam Pasal 9 mengatur hal-hal yang diawasi oleh pengawas perikanan, yang berbunyi :

Pasal 9

  • Pelaksanaan tugas pengawasan perikanan di WPPNRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dilakukan terhadap :
  • penangkapan ikan;
  • pembudidayaan ikan dan pembenihan ikan;
  • pengangkutan dan distribusi keluar masuk ikan;
  • pelindungan jenis ikan;
  • terjadinya pencemaran akibat perbuatan manusia;
  • pemanfaatan plasma nutfah;
  • penelitian dan pengembangan perikanan;
  • pembangunan kapal perikanan di galangan kapal; dan
  • pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia pada usaha perikanan.
  • Pelaksanaan tugas Pengawas Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
  • patroli pengawasan; dan
  • pemantauan pergerakan Kapal Perikanan.
  • Patroli pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilaksanakan untuk:
    • mencegah terjadinya kegiatan perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur serta kegiatan yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya;
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian izin pemanfaatan plasma nutfah;
    • memeriksa tingkat pencemaran akibat perbuatan manusia;
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian izin penelitian dan pengembangan perikanan; dan
    • memeriksa kelengkapan, keabsahan, dan kesesuaian sertifikat dan kriteria kepatuhan hak asasi manusia pada Usaha Perikanan.
  • Pemantauan pergerakan Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan untuk:
    • mengetahui posisi, pergerakan, dan aktivitas Kapal Perikanan;
  • mendeteksi kepatuhan operasional Kapal Perikanan; dan
  • penyelamatan terhadap Kapal Perikanan yang menghadapi masalah di laut.
  • Apabila dalam patroli pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat Kapal Perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal Pengawas Perikanan dan/atau awak Kapal Perikanan, Pengawas Perikanan dapat melakukan tindakan khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. [18]

Dalam sektor perikanan, dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengolahan Ikan, Pada Pasal 26 dijelaskan bahwa Menteri, Gubernur Bupati / Walikota mempunyai kewenangan untuk mengawasi pemenuhan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha yang ingin melakukan usaha di sektor perikanan.[19]

Pada dasarnya pengawasan di sektor perikanan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban antara penanam modal yang melakukan kegiatan usaha dengan pemerintah sebagai menerima modal. Pengawasan ini sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha mulai dari prosedur-prosedur yang telah ditetapkan sampai pada pelaksanaan kegiatan usaha agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan atas peraturan yang berlaku.

Pelaksanaan PMA di sektor perikanan Indonesia memiliki peranan penting dalam memajukan perekonomian untuk mewujudkan pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, pada prinsipnya memberi penyederhanaan perizinan dan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha maupun investor untuk memulai dan menjalankan usaha di Indonesia. Salah satu sektor usaha prioritas pada UU Cipta Kerja ini yaitu sektor kelautan dan perikanan, dikarenakan pada tahun-tahun sebelumnya sektor kelautan dan perikanan yang paling tidak diminati oleh investor,  baik asing maupun dalam negeri.

Akan tetapi, sentralisasi kewenangan kepada Pemerintah Pusat dapat melemahkan fungsi otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan merupakan tugas penting yang harus dilaksanakan dalam bidang apapun, dalam sektor perikanan pengawasan dilakukan oleh Pengawas Perikanan dimana dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan, mengatur tentang pengawasan dalam aktivitas penangkapan ikan hingga perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia pada usaha perikanan. Dimana pengawasan dilakukan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban, antara penanam modal dengan pemerintah.

Dalam hal pelaksanaan prosedur, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja pada sektor perikanan, terkait dengan sentralisasi kewenangan, Pemerintah Pusat harus memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah, karena apabila penentuan kriteria berada pada Pemerintah Pusat, maka hasilnya tidak akan objektif, karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda terkait perikanan, dan Pemerintah Daerah merupakan perwakilan setiap daerah yang lebih mengetahui dan mendalami potensi-potensi pada daerah itu sendiri. Serta dalam hal pengawasan, baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus melakukan pengawasan yang lebih ketat terkait sektor perikanan, karena sektor perikanan sedang membuka peluang untuk para investor asing agar bisa menanamkan modalnya.


[1] Oki Pratama, “ Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia” https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (diakses pada 4 November 2021, pukul 15.40)

[2] ibid

[3] Frans E. Likadja & Daniel F. Bessi, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), h. 41.

[4] Eddy Afrianto, et.al., Kamus Istilah Perikanan, Kanisius, Bandung, hlm 103

[5] UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[6]Badan Koordinasi Penanaman Modal, “Penanaman Modal Asing di Indonesia” https://www.investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia (diakses pada tanggal 4 November 13.07)

[7] Kementerian Investasi / BKPM, “UU Cipta Kerja : Dorong Investasi, Ciptakan Lapangan Kerja” https://www.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita/uu-cipta-kerja-dorong-investasi-ciptakan-lapangan-kerja (diakses pada tanggal 4 November pukul 13.10)

[8] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

[9] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[10] M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 7.

[11] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

[12] Yuli Nurhanisah & Chyntia Devina, “Omnibus Law, UU ‘Sapu Jagad’ di Bidang Hukum”  https://web.archive.org/web/20200217084242/http://indonesiabaik.id/infografis/omnibus-law-uu-sapu-jagad-di-bidang-hukum (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.40)

[13] Indonesia Ocean Justice Initiative, “Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan”, https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/10/IOJI-Analisis-UU-Cipta-Kerja-Sektor-Kelautan-dan-Perikanan.pdf (diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 8.49)

[14] Ibid.

[15] Muhammad Yunus, “7 Dampak Negatif UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan” https://sulsel.suara.com/read/2020/10/07/115220/7-dampak-negatif-uu-cipta-kerja-terhadap-sektor-kelautan-dan-perikanan?page=all (diakses pada tanggal 5 November Pukul 13.28)

[16] Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[17] Pasal 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Ikan

[18] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/Permen-KP/2020 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan

[19] Pasal 26 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Usaha Pengelolaan Ikan

Indonesia is the largest archipelagic country in the world, with facts that show this, Indonesia is an archipelagic country surrounded by oceans. Indonesia as a ‘maritime’ country has vast wealth in the field of marine and fisheries, stretching from Sabang to Merauke. Indonesia has 17,499 islands with a total area of ​​around 7.81 million km2. Of the total area of ​​3.25 million km2 is the ocean and 2.55 million km2 is the Exclusive Economic Zone (EEZ). Only 2.01 million km2 is land.

In terms of marine potential, there are very diverse types and potentials, ranging from marine tourism, maritime industry, transportation services and so on. or aquaculture, and fishery processing business.

Fisheries are one of the sectors that are relied upon for national development. In 2019, the export value of Indonesian fishery products reached Rp. 73,681,883,000, which was an increase of 10.1% from the export results of the previous year, namely 2018. Marine products such as shrimp, tuna, squid, octopus, crabs and seaweed are commodities that searching for. The large number of fish products in Indonesia need to be maintained and maintained. Without good management and supervision, fisheries in Indonesia are vulnerable to violations.

The fishery sector is one sector that is very important for national development, especially in the field of providing animal protein needs for the Indonesian population. Indonesia’s marine products are very abundant, especially in the ZEEI (Indonesian Exclusive Economic Zone) area. The potential of living natural resources in ZEEI is a potential that provides the possibility to be utilized directly. These biological natural resources also function as a supporter of fishery resources in all Indonesian waters.

Currently, the use of fish resources to improve the standard of living in a sustainable and equitable manner through fishery processing, supervision, and law enforcement systems is still not optimal. So there is a need for development in optimizing these fish resources. Adequate facilities and infrastructure are one of the main factors to improve the quality of utilization of fish resources in Indonesia. To increase economic development in the fisheries sector in Indonesia, a business activity is needed to process the results of these fish resources. That the fisheries sector in Indonesia still needs some improvements, such as quality human resources, business security, policy consistency, legal certainty, good tax policies, to the availability of capital sources.

The limited availability of capital makes growth slow to improve the quality of fisheries in Indonesia. To accelerate economic development in the fisheries sector, the government of the Republic of Indonesia provides opportunities for foreign parties to invest in Indonesia. The definition of investment itself according to Law Number 25 of 2007 concerning Investment is an investment activity to carry out business in the territory of the Republic of Indonesia carried out by foreign investors, both those who use foreign capital wholly or jointly with domestic investors. .

According to Law Number 25 of 2007 concerning Investment (UUPM) Article 3 paragraph (2) states that the objectives of implementing investment are, among others, to increase national economic growth, create employment opportunities, promote sustainable economic development, improve the competitiveness of the business world. nationally, increasing the capacity and capability of national technology, encouraging the development of the people’s economy, turning the potential economy into a real economic power by using funds originating from within the country as well as from abroad and improving the welfare of the people. Seeing the purpose of investment in accordance with Law Number 25 of 2007 concerning Investment, the target to achieve high economic development growth in the Indonesian fisheries sector is none other than the level of investment investment, both foreign investment or domestic investment. . This target can be achieved if the policies regarding investment and the business atmosphere are conducive and attractive for investors.

Foreign investment (PMA) in the fisheries sector in Indonesia can help increase economic growth in Indonesia, but on the other hand there are several impacts experienced by local fishermen. These impacts can kill local fishing businesses and reduce income in the local sector. This raises the pros and cons of foreign investment in the trade sector and local community economic growth. Many foreign companies often commit fraud in the fisheries sector, for example the legal status of the company does not change to a PMA company, a fictitious company, directly bringing fish out of the country and violating the fishing ground.

However, the government has started to address these problems, with the steps and policies implemented and implemented by the former Minister of Maritime Affairs and Fisheries for the 2014-2019 period, which strongly opposes fishing that damages the environment, for example, capture fisheries using fishing gear. fish that do not comply with SNI. Since the change of term of office, the election of the new Minister of Maritime Affairs and Fisheries (KKP), namely Edhy Prabowo, has been allowed to return, but after the arrest of the former Minister of Marine Affairs and Fisheries, and replaced by Sakti Wahyu Trenggono, regulations regarding the prohibition of using inappropriate fishing gear with the SNI re-enacted.

The issue of licensing for investment from foreign and domestic parties has also been facilitated, with the issuance of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. Where the legislation according to the Investment Coordinating Board is believed to have a positive impact, especially in terms of encouraging investment and creating jobs to improve the national economy. This is explained by the BKPM because the Job Creation Law makes it easier to open a business (ease of doing business) in terms of business licensing for investors, as well as in strengthening MSMEs (Micro, Small and Medium Enterprises) where this is emphasized by the Head of BKPM Bahlil Lahadalia that the enactment of The Job Creation Act will provide a very large space for MSMEs.

As well as in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation regarding changes to Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as amended by Law Number 45 of 2009, where in this change there is a transfer of power, namely centralization, where the central government take over business licensing affairs in the fishery sector, assisted by the local government.

Before discussing the impact of implementing foreign investment procedures in the fishery sector after the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, we must understand the Definition of Foreign Investment according to Article 1 Number 3 of Law Number 25 of 2007 is an investment activity to carry out business in the territory of the Republic of Indonesia carried out by foreign investors, whether using fully foreign capital or in joint ventures with domestic investors. Furthermore, the definition of Foreign Investment was also put forward by experts, one of which was a legal academic, Prof. M. Sornarajah, where he means that foreign investment is the transfer of capital, both real and intangible, from one country to another, the purpose of which is to be used in that country to generate profits under the supervision of the owner of the capital, either in total or in part.

Indonesia is dubbed as a maritime country, where this nickname is attached because most of Indonesia’s territory is surrounded by waters. Because Indonesia’s territorial waters are wider than the mainland, Indonesia has greater potential in the marine and fisheries sector.

Fisheries in Indonesia is one of the sectors or fields that deserves to be highlighted in terms of investment, because of its great potential to be developed and managed. The definition of fishery itself is stated in Article 1 Point 1 of Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries, which reads:

” Article 1

In this Law what is meant by:

1. Fishery is all activities related to the management and utilization of fish resources and their environment from pre-production, production, processing to marketing, which are carried out in a fishery business system. “

The Fisheries Law refers to Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as amended by Law Number 45 of 2009, where there are several articles that have been amended through the issuance of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, or the Omnibus Law. Omnibus Law is a term to refer to a law that deals with various topics and is intended to amend, trim and/or revoke a number of other laws. The concept of the law is generally found in legal systems such as in the United States, and is rarely encountered in civil law systems such as in Indonesia. Where in Indonesia the Omnibus Law was implemented for the first time through the enactment of Law No 11 of 2020 concerning Job Creation.

The scope of the amendments to the Law in the Job Creation Act is very broad, one of which is in the field of fisheries, one of the changes is in the centralization of authority, previously all authority was in the hands of the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, is now transferred to the Central Government. Even if there is authority that lies with the Regional Government, the criteria for having a business license must be made by the Central Government.

A significant change is in the simplified business licensing, where there are many sectors whose business licenses are carried out based on risk-based business licensing. In the previous regulation, there were more complicated procedures for investors to invest in the fisheries sector, but now that permits have been made easier for investors, especially foreign investors, it opens up opportunities for investors, especially foreign investors to invest in Indonesia, through foreign investment in matters to advance the national economy.

Several Articles of the Job Creation Law combine different types of permits. For example, Article 18 Number 16 of the Job Creation Law which uses the terminology “Business Licensing”, where the original text in the previous Law used 2 (two) different terminology, namely “location permit” and “management permit”. It can be interpreted that there is a simplification of business licensing carried out by the government through the enactment of this regulation. Another example is Article 27 Number 5 and Article 27 Number 6 of the Job Creation Law which uses the phrase “Business Licensing” where the texts in the previous Law were SIUP (Fishing Business Permit), SIPI (Fishing Permit), and SIKPI (Fish Transport Vessel Permit). There are no articles or explanations in the Job Creation Act that can provide an understanding of how the content and function of these permits can be maintained after being changed/consolidated into “Business Licensing”.

In addition to this, Article 22 Number 1 of the Job Creation Law changes the “Environmental Permit” to “Environmental Approval”. The replacement of permits into approvals will reduce the function, effectiveness, and control. Permits have the ability to effectively function as an instrument for controlling activities, preventing violations, and supervising the community.

Because now simple licensing matters are made easier, To open up opportunities in the fishery sector so that many investors enter, in this case especially foreign investors who want to invest in the Indonesian fishery sector, because in previous years the fisheries sector in Indonesia was the least desirable sector. by investors.

The enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation not only has a positive impact, but also has a negative impact, one of which is also related to the centralization of the authority of the central government, where this can reduce the control function on the level of exploitation of marine and fishery resources. In the fishery sector, the authority to determine fishery potential, which was previously in the hands of the Minister, is transferred to the Central Government, led by the President. In fact, the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries is a technical institution that is qualified and authorized in terms of fish management. The centralization of authority to the central government also reduces the autonomy rights owned by regional governments, both provincial and district based on Article 18 paragraph (5) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Government supervision regarding investment in the Indonesian fishery sector after the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation or the Omnibus Law has replaced and/or revoked the applicable regulations, by enacting new regulations. Thus, after the enactment of the Job Creation Law, the Government in their respective sectors issued many implementing regulations which were derivatives of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation itself.

Like the previous discussion, we have discussed centralization where previously the authority was delegated to the Minister or Regional Government, now the authority lies with the Central Government. However, not much has changed in terms of supervision in the Fisheries sector.

In the fishery sector, supervision in the fishery sector is regulated in the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fisheries Supervisory Duties. Where it is explained that fishery supervisors are civil servants who meet the requirements and have been appointed as fisheries supervisors, they can come from central or regional agencies.

Supervision of the Fisheries sector carried out by the Fisheries Supervisor is described in Chapter III regarding Procedures for the Implementation of Duties, and in Article 9 regulates matters that supervised by the fishery supervisor, which reads:

“Article 9”

(1) The implementation of fishery supervision duties at WPPNRI as referred to in Article 8 letter a, shall be carried out on:

a. fish catching;

b. fish farming and fish hatchery;

c. transportation and distribution in and out of fish;

d. protection of fish species;

e. the occurrence of pollution due to human actions;

f. utilization of germplasm;

g. fishery research and development;

h. construction of fishing vessels in shipyards; and

i. protection and respect for human rights in fishery business.

(2) The implementation of the Fishery Supervisory duties as referred to in paragraph (1) shall be carried out by:

a. surveillance patrols; and

b. monitoring the movement of fishing vessels.

(3) Supervision patrols as referred to in paragraph (2) letter a, are carried out for:

a. prevent illegal, unreported and unregulated fishing activities and activities that damage fish resources and the environment;

b. check the completeness, validity and suitability of the germplasm utilization permit;

c. check the level of pollution due to human actions;

d. check the completeness, validity, and suitability of fishery research and development permits; and

e. check the completeness, validity, and suitability of certificates and criteria for compliance with human rights in fishery businesses.

(4) Monitoring the movement of Fishing Vessels as referred to in paragraph (2) letter b, is carried out for:

a. knowing the position, movement, and activity of the Fishing Vessel;

b. detect operational compliance of Fishing Vessels; and

c. rescue of fishing vessels facing problems at sea.

(5) If in the surveillance patrol as referred to in paragraph (3) there are fishing vessels trying to escape and/or fighting and/or endangering the safety of the fisheries supervisory ship and/or the crew of the fishing vessel, the fisheries supervisor can take special actions in accordance with the provisions of the legislation. -invitation. “

In the fishery sector, the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 5 of 2021 concerning Fish Processing Business is issued, Article 26 explains that the Minister, Governor, Regent / Mayor have the authority to supervise the fulfillment of obligations that must be fulfilled by business actors who want to do business in the fishery sector.

Basically, supervision in the fisheries sector aims to create a balance of rights and obligations between investors conducting business activities and the government as receiving capital. This supervision is very necessary to maintain business continuity starting from the established procedures to the implementation of business activities so that there are no deviations from the applicable regulations.

The implementation of PMA in the Indonesian fishery sector has an important role in advancing the economy to realize national development. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, in principle, provides simplification of licensing and ease of doing business for business actors and investors to start and run businesses in Indonesia. One of the priority business sectors in the Job Creation Law is the marine and fishery sector, because in previous years the marine and fishery sector was the least attractive to investors, both foreign and domestic.

However, the centralization of authority to the central government can weaken the autonomy function given to regional governments. Supervision is an important task that must be carried out in any field, in the fisheries sector supervision is carried out by the Fisheries Supervisor where in Article 9 of the Regulation of the Minister of Maritime Affairs and Fisheries Number 47/Permen-KP/2020 concerning the Implementation of Fisheries Supervisory Duties, regulates supervision in fishing activities until protection and respect for human rights in fishery business. Where supervision is carried out to create a balance of rights and obligations, between investors and the government. In terms of the implementation of procedures, after the enactment of the Job Creation Law in the fisheries sector, related to the centralization of authority, the Central Government must give wider authority to the Regional Government, because if the determination of the criteria is with the Central Government, the results will not be objective, because each regions have different potentials related to fisheries, and the Regional Government is the representative of each region who is more aware of and explores the potentials of the region itself. As well as in terms of supervision, both the Central Government and Regional Governments must carry out stricter supervision related to the fisheries sector, because the fisheries sector is opening up opportunities for foreign investors to invest their capital.

0

BUSINESS FIELDS THAT ARE LIMIRED AND SUPERVISED BASED ON PRESIDENTAL REGULATION NO. 49 OF 2021 CONCERNING THE FIELD OF INVESTMENT BUSINESS

Author : Ananta Mahatyanto

Co Author : Rizky Tri Cahyanto

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal
  4. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal
  5. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal
  6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 /  POJK.01 / 2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan

REFERENSI:

  1. Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut
  2. Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all
  3. Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all
  4. Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-p

[1] Law Number 25 of 2007 concerning Investment

[2] Dhaniswara K Harjono, “Investment Law”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, p. 20

[4] Presidential Regulation Number 49 of 2021 concerning Amendments to Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector

  1. raktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

JURNAL:

  1. Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

E-BOOK:

  1. Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 25 of 2007 concerning Investment
  2. Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  3. Presidential Regulation Number 44 of 2016 concerning List of Business Fields Closed and Business Fields Open With Requirements in the Investment Sector
  4.  Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector
  5. Presidential Regulation Number 49 of 2021 concerning Amendments to Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning the Investment Business Sector
  6. Financial Services Authority Regulation Number 22 / POJK.01 / 2015 concerning Criminal Acts in the Financial Services Sector

REFERENCE :

  1. Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut
  2. Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all
  3. Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all
  4. Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-praktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

JOURNAL:

  1. Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

E-BOOK:

  1. Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Penanaman Modal adalah penyertaan Modal dalam badan usaha dengan cara membeli saham atau obligasi dari badan usaha tersebut.[1] Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Penanaman Modal bertujuan untuk :

  1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
  2. Menciptakan lapangan kerja
  3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
  4. Meningkatkan daya saing dunia usaha nasional
  5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanamkan Modal, baik oleh penanam Modal dalam Negeri maupun penanam Modal Asing untuk melakukan usaha diwilayah Negara Republik Indonesia.[2] Investasi atau Penanaman Modal adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau badan hukum, menyisihkan sebagian pendapatannya agar dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu tertentu akan mendapatkan hasil atau keuntungan.[3]

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Pelaksana memberikan pengertian yang sama mengenai Penanaman Modal, yaitu sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008), dan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (Perka BKPM No. 12/2009) yang menyatakan :

“Penanaman Modal diartikan sebagai segala bentuk kegiatan menanamkan Modal, baik oleh Penanam Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia” [4]

Penanaman Modal terbuka untuk semua bidang usaha baik penanam Modal dalam Negeri maupun penanam Modal Asing sebagaimana tercantum didalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

“Semua bidang usaha terbuka bagi Penanaman Modal, kecuali Bidang Usaha:

  1. Yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal
  2. Untuk kegiatan yang hanya dapat dilajukan oleh pemerintah pusat.” [5]

Adapun perubahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

“Bidang usaha terbuka sebagai mana dimaksud pada ayat (1) adalah bidang usaha yang bersifat komersil”[6]

Bidang Usaha Terbuka dan Bidang Usaha Tertutup adalah istilah yang dikenal dalam Penanaman Modal. Kedua bidang usaha ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Ketentuan mengenai semua bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal bidang usaha kegiatan Penanaman Modal terdiri atas :

  1. Bidang Usaha Terbuka
  2. Bidang Usaha Tertutup
  3. Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan. [7]

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Terbuka adalah Bidang Usaha yang dilakukan tanpa persyaratan dalam rangka Penanaman Modal.[8]

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Tertutup adalah Bidang Usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan Penanaman Modal.[9]

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanam Modal Asing adalah :

  1. Produksi senjata, mesin, alat peledak, dan peralatan perang
  2. Bidang usaha yang secara eksplsit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-Undang[10]

Berkaitan dengan Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal juga mengatur mengenai Bidang Usaha Yang Terbuka dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1), yang menyatakan bidang Usaha dengan persyaratan tertentu scbagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan Bidang Usaha yang dapat diusahakan oleh semua Penanam Modal termasuk Koperasi dan UMKM yang mernenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Persyaratan Penanaman Modal untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
  2. Persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan Modal Asing
  3. Persyaratan Penanaman Modal dengan Izin Khusus. [11]

Ketentuan mengenai Legalisasi Investasi minuman keras beralkohol dibeberapa provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Utara sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Investasi industri minuman keras beralkohol ini masuk dalam Daftar Bidang Usaha dengan Persyaratan Tertentu sebagai tertuang dalam Lampiran III angka 31,32, dan 33 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 sebagai salah satu bidang usaha dari 46 bidang usaha dengan persyaratan. Seperti, Industri Minuman Keras Mengandung beralkohol, Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur, Industri Minuman Mengandung, Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol, Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol. Jenis Investasi ini hanya dapat dilakukan di 4 provinsi dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Di luar itu, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) dapat menetapkan provinsi lain berdasarkan usulan dari Gubernur.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, mengeluarkan/mencabut bidang usaha miras dari daftar bidang usaha tertutup yang dilarang diusahakan untuk kegiatan Penanaman Modal. Oleh karena itu, Pasal 14 huruf a Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 telah mencabut Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.[12]

Dalam rangka pembatasan pelaksanaan Penanaman Modal serta pengendalian dan pengawasan minuman yang mengandung alkohol, diperlukan perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Sebelumnya dalam Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Penanaman Modal sektor industri minuman keras mengandung alkohol, industri minuman mengandung alkohol anggur, dan minuman mengandung malt, ini masih diperbolehkan di empat provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua. Dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahatan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal ini disebutan prinsipnya semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi Penanaman Modal. Bidang usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal merupakan bidang usaha yang bersifat komersil. Sedangkan bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi Penanaman Modal terdiri dari beberapa jenis. [13]

Rumusan norma amanat pembentukan peraturan perundang-undangan tersendiri dalam hal pengawasan miras beralkohol yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yaitu :

  1. Persyaratan Penanaman Modal untuk Penanaman Modal Dalam Negeri
  2. Persyaratan Penanaman Modal dengan pembatasan kepemilikan Modal Asing
  3. Persyaratan Penanaman Modal dengan Izin Khusus
  4. Persyaratan Penanaman Modal lainnya yaiut Bidang Usaha yang dibatasi dan diawasi secara ketat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri dibidang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol. [14]

Berkaitan dengan akta pengikatan saham dan kuasa saham tersebut beresiko untuk dikategorikan sebagai praktek Nominee arrangement.Dalam perjanjian tersebut kuasa atas saham tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Nominee arrangement tidak diperbolehkan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.[15] Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yaitu:

  1. Penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing yang melakukan Penanamn Modal dalam bentuk pereorang terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain
  2. Dalam hal penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. [16]

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) UU Penanaman Modal melarang penanam Modal dalam Negeri dan penanam Modal Asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam PT untuk dan atas nama orang lain. Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Penanaman Modal selanjutnya mengatur bahwa perjanjian Nominee Arrangement dinyatakan batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan secara tegas bahwa saham dikeluarkan atas nama pemiliknya, sehingga untuk penanam Modal diwajibkan atas nama pemegang saham, dan tidak diperbolehkan nama saham berbeda dengan pemilik sebenarnya.[17]

Penyelesaian sengketa Penanaman Modal dalam Negeri diatur didalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,  dalam hal terjadi sengketa di bidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan penanam Modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat apabila tidak tercapai mufakat, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terjadi sengketa di bidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan penanam Modal dalam Negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak. Apabila penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.[18]

Dalam hal terjadi sengketa dibidang Penanaman Modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal Asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Pemerintah Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and National of other States dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1968, dengan adanya ratifikasi ini maka Investor Asing dapat terlindung dari resiko Investasi termasuk dari resiko politik.[19]

 Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 /  POJK.01 / 2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan, pihak yang berwenang melakukan penyidikan, yaitu :

  1. Pejabat Penyidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipekerjakan OJK.
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan OJK dan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik. [20]

Sanksi yang dapat diberikan terhadap Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing dapat berupa Sanksi Administif sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu :

  1. Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan tebatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan aats nama orang lain.
  2. Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
  3. Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. [21]

[1] Penanam Modal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.lektur.id/Penanaman-Modal#:~:text=Menurut%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,obligasi%20dari%20badan%20usaha%20tersebut,  diakses pada tanggal 7 Maret 2022

[2] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

[3] Dhaniswara K Harjono, “Hukum Penanaman Modal”, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007,hlm. 20

[4] Ibid.

[5] Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[6] Pasal 2 ayat (1) a Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[7] Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal

[8] Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan

[9] Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal

[10] Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[11] Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[12] Memahami Perbedaan Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/memahami-perbedaan-bidang-usaha-tertutup-dan-bidang-usaha-terbuka-lt6040b886f3f29?page=all, pada tanggal 8 Maret 2022

[13] Pemerintah Putuskan Industri Miras Tertutup Untuk Investasi, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-putuskan-industri-miras-tertutup-untuk-Investasi-lt60bdc8efc6959/?page=all, pada tanggal 8 Maret 2022

[14] Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor  10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal

[15] Amri Hakim, “Hukum Praktik Saham Pinjam Nama (Nomine Arrangement)”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-praktik-saham-pinjam-nama-nominee-arrangement–lt4dafe64c121c5

[16] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

[17] Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[18] Judhy Maramis, “Penyelesaian Sengketa Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Vol. V, No. 4, 2016

[19] Ibid.

[20]

[21] Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

According to the Indonesian Dictionary (KBBI), Investment is the participation of Capital in a business entity by buying shares or bonds from the business entity. As stated in Article 3 Paragraph (2) of Law No. 25 of 2007 on Investment, Investment aims to:

  1. Increase national economic growth
  2. Creating jobs
  3. Promote sustainable economic development
  4. Increase competitiveness of the national business world
  5. Increase national technological capacity and capabilities

Based on Law No. 25 of 2007 on Investment, Investment is any form of investment activity, both by domestic investors and foreign investors to conduct business in the Region of the Republic of Indonesia.[1] Investment is an activity carried out by a person or legal entity, setting aside some of his income so that it can be used to conduct a business in the hope that at some time will get results or profits.[2]

Law No. 25 of 2007 on Investment and Implementing Regulation provides the same understanding of Investment, as stated in Article 1 Paragraph (1) of Law No. 25 of 2007 on Investment, Article 1 paragraph (7) of Government Regulation No. 45 of 2008 on Guidelines for Incentives and Ease of Investment in the Region (Government Regulation No. 45 of 2008),  and Article 1 paragraph (1) of BKPM Head Regulation No. 12 of 2009 on Guidelines and Procedures for Investment Applications (Perka BKPM No. 12/2009) which states:

“Capital Investment is interpreted as all forms of capital investment activites, both by Domestic Investors and Foreign Investors to conduct business in the territory of the Republic Indonesia”.

Investment is open to all business fields both domestic investors and foreign investors as stated in Article 2 of Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business, namely :

“All business fields are open to investment, except business fields:

  1. Declared closed for Investment
  2. For activites that can only be done by the central government

As for the changes as stated in Article 2 of Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning investment business, namely:

“The field of open business as refrred to in paragtaph (1) is a field of business of a commercial nature.”

Open Business Field and Closed Business Field is a term known in Investment. Both of these business fields are regulated in Law No. 25 of 2007 on Investment, Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business. Provisions regarding all business fields or types of businesses that are declared closed and open with the requirements as stated in Article 12 of Law No. 25 of 2007 on Investment. In Article 2 paragraph (1) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning the List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment in the field of Investment activities consisting of:

  1. Open Business Field
  2. Closed Buisness Field
  3. Open Business Field With Persyaratan

Based on Article 1 paragraph (2) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning The List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment In Open Business Fields are Business Fields that are carried out without requirements in the framework of Investment.

Based on Article 1 paragraph (3) of Presidential Regulation No. 44 of 2016 concerning The List of Closed Business Fields and Open Business Fields With Requirements in the Field of Investment in Closed Business Fields are certain Business Fields that are prohibited from being pursued as Investment activities.[3]

Based on Article 12 paragraph (2) of Law No. 25 of 2007 on Investment in Business Areas Closed to Foreign Investors are:

  1. Production of weapons, gunpowder, explosive devices, and war equipment
  2. Business fields that are externally declared closed under the Law

Related to the Field of Closed Business and Open Business, Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business also regulates the Open Business Field with the requirements stipulated in Article 6 paragraph (1), which states the business field with certain requirements as referred to in Article 3 paragraph (1) letter c is a Business Field that can be attempted by all Investors including Cooperatives and MSMEs that meet the following requirements:

  1. Investment Requirements for Domestic Investment
  2. Investment Requirements with restriction on foreign capital ownership
  3. Investment Requirements with Special Permission

Provisions regarding the Legalization of Investment of alcoholic liquor in several provinces namely Bali, East Nusa Tenggara, Papua, and North Sulawesi as stated in Annex to Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business, Investment in the alcoholic liquor industry is included in the List of Business Fields with Certain Requirements as stated in Annex III number 31, 32, and 33 Presidential Regulation No. 10 of 2021 as one of the business fields of 46  business field with requirements. Such as, Liquor Industry Contains Alcoholic, Beverage Industry Contains Wine Alcohol, Beverage Industry Contains, Retail Trade Liquor or Alcoholic, Retail Trade Street Liquor or Alcoholic. This type of investment can only be done in 4 provinces concerning local culture and wisdom. Beyond that, the Investment Coordinating Board (BKPM) can establish other provinces based on proposals from the Governor.

As stated in Article 77 paragraph (2) of Law No. 11 of 2020 on Copyright Work that amends Article 12 of Law No. 25 of 2007 on Investment, issues / revokes the business field of liquor from the list of closed business fields that are prohibited from being attempted for Investment activities. Therefore, Article 14 letter a Presidential Regulation No. 10 of 2021 has revoked Presidential Regulation No. 76 of 2007 on Criteria and Requirements for The Preparation of Closed Business Fields and Open Business Fields with Requirements in the Field of Investment.

To limit the implementation of investment and control and supervision of beverages containing alcohol, changes are needed to presidential regulation No. 10 of 2021 on investment business. Previously in Presidential Regulation No. 10 of 2021 on Investment Business, Investment sector of liquor industry contains alcohol, beverage industry contains wine alcohol, and beverages containing malt, this is still allowed in four provinces namely Bali, East Nusa Tenggara (NTT), North Sulawesi, and Papua. In Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning Investment Business, it is called in principle all business fields are open to Investment activities, except business fields that are declared closed to Investment. The business field is open to investment activities is a commercial business field. While the business field that is declared closed to investment consists of several types.

Formulation of the mandate norm for the establishment of its laws and regulations in terms of supervision of alcoholic beverages contained in Article 6 paragraph (1) letter d of Presidential Regulation No. 49 of 2021 concerning Changes to Presidential Regulation No. 10 of 2021 concerning the Field of Investment Business, namely:

  1. Investment Requirements for Domestic Investment
  2. Investment Requirements with restrictions on foreign capital ownership
  3. Investment Requirements with Special Permission
  4. Other Investment Requirements are Business Fields that are limited and closely monitored and regulated in their laws and regulations in the field of control and supervision of alcoholic beverages.[4]

Concerning the deed of binding of the shares and the power of the stock is at risk to be categorized as a nominee arrangement practice. In the agreement, the power of the shares is transferred to others. Nominee arrangements are not allowed since the enacting of Law No. 25 of 2007 on Investment.  Based on Article 33 paragraph (1) of Law No. 25 of 2007 on Investment, namely:

  1. Domestic Investors and Foreign Investors who invest in limited liability companies are prohibited from making agreements and/or statements affirming that ownership of shares in limited liability companies for and on behalf of others
  2. In the event that domestic investors and foreign investors make agreements and/or statements as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement is declared null and void.

As stated in Article 33 paragraph (1) of the Investment Law prohibits domestic investors and foreign investors from making agreements and/or statements affirming that share ownership in PT is for and on behalf of others. Article 33 paragraph (2) of the Investment Act further provides that the Nominee Arrangement agreement is declared null and void.

Based on Article 48 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies, expressly states that shares are issued on behalf of their owners, so that investors are required on behalf of shareholders, and are not allowed to name shares different from the actual owner.

Settlement of domestic investment disputes is regulated in Article 32 of Law No. 25 of 2007 on Investment, in the event of disputes in the field of Investment between the Government and investors, the parties first resolve the dispute through deliberation and consensus if no consensus is reached, the resolution of the dispute can be done through arbitration or alternative dispute resolution or court following the provisions of the dispute.  laws and regulations. In the event of a dispute in the field of Investment between the Government and domestic investors, the parties can resolve the dispute through arbitration based on the agreement of the parties. If dispute resolution through arbitration is not agreed, the settlement of the dispute will be done in court.

In the event of a dispute in the field of Investment between the Government and Foreign Investors, the parties will resolve the dispute through international arbitration that must be agreed upon by the parties. The Government of Indonesia has also ratified the Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and National of other States by Law No. 5 of 1968, with this ratification, Foreign Investors can be protected from investment risks including political risks.[5]

As stated in Article 3 of The Financial Services Authority Regulation No. 22 / POJK.01 / 2015 on Investigation of Criminal Acts in the Financial Services Sector, the authorities conduct investigations, namely:

  1. The Investigation Officer of the State Police of the Republic of Indonesia is employed by OJK
  2. Civil Servants employed by OJK and given special aunthority as Investigators.

Sanctions that can be given against Domestic Investors and Foreign Investments can be administrative sanctions as contained in Article 33 of Law No. 25 of 2007 on Investment, namely:

  1. Domestic investors and foreign investors who invest in the form of limited investments are prohibited from makin agreements and/or statemets affirming that share ownership in limited liability companies for and on behalf of others.
  2. If domestic investors and foreign investors make agreements and/or statements as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement are declared null and void.

In the case of investors who carry out business activites under agreements or cooperation contratcs with the Government to commit corporate crimes in the form of tax crimes, inflatinf recovery costs, and other forms of cost inflating to minimize profits that result in state losses based on findings or examinations by the competent authorities and have received court rulings with permanent legal force, The government terminates the agreement or cooperation contract with the investor concerned.

1 2
Translate