0

THE IMPLEMENTATION OF TRAVELLER PROTECTION REGULATIONS FOR TOURISTS DURING COVID-19 PANDEMIC

Author: Nirma Afianita
Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
  3. Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

REFERENSI:

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  2. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  3. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  4. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  5. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  6. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  7. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  8. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  11. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  12. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  13. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

Kata pariwisata secara etimologi merupakan gabungan dari kata pari dan wisata dalam bahasa Sansekerta.  Pari memiliki arti semua, seluruh, penuh, sedangkan wisata berarti perjalanan.  Maka dari penggabungan keduanya dihasilkan kata pariwisata yang dapat diartikan sebagai perjalanan penuh. Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini tidaklah dapat terlepas dari peran pariwisata.  Kini pariwisata merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat, yang setiap kegiatannya memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan sosial dan ekonomi.[1]

United Nation World Tourism Organizations (UNWTO) dalam laporannya menyatakan bahwa pada Januari 2020, kedatangan wisatawan internasional di seluruh dunia naik 4% dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 1,5 miliar.[2] Angka tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sektor pariwisata telah menjadi industri yang memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di dunia.

Di Indonesia sendiri, pariwisata merupakan salah satu sektor yang menjadi andalan dalam perkembangan ekonomi. Badan Pusat Statistik mengemukakan bahwa terdapat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 5,85% pada bulan Januari 2020 apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada bulan Januari 2019.[3] Dengan berbagai macam budaya dan segala kekayaan alam yang dimiliki, potensi yang dimiliki Indonesia dalam bidang pariwisata sangatlah besar.

Pengaturan mengenai kepariwisataan termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor  11  Tahun  2020  tentang  Cipta  Kerja  sebagai  “Keseluruhan  kegiatan  yang  terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai  wujud  kebutuhan  setiap  orang  dan  negara  serta  interaksi  antara  wisatawan  dan  masyarakat  setempat,  sesama  wisatawan,  pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  pengusaha”. Berdasarkan hal tersebut, penting bagi Indonesia untuk memperhatikan pembangunan   pariwisata   di   era   modern   ini   dengan   senantiasa   memperbarui   kebijakan-kebijakan terkait kepariwisataan, agar dapat terus meningkatkan kualitas dan mempertahankan eksistensi pariwisatanya di mata dunia.[4]

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap wisatawan. Perkembangan pariwisata suatu negara tentu saja tidak dapat terlepas dari jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke negara tersebut.  Maka guna meningkatkan jumlah tersebut, adanya jaminan bagi keamanan serta keselamatan wisatawan sangatlah diperlukan. Andai kata suatu negara yang menjadi tujuan wisata gagal dalam membuat wisatawan merasa aman dan menyediakan pelayanan yang baik, hal tersebut tentu saja akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan pariwisata di negara tersebut.[5]

Beranjak   dari   paragraf   sebelumnya, maka   tampak   mengapa   hukum   perlindungan konsumen mendapatkan perhatian yang besar di tengah pesatnya perkembangan   zaman   ini.   Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen menentukan   bahwa “perlindungan konsumen merupakan segala usaha yang memastikan terjaminnya kepastian hukum guna memberikan perlindungan kepada konsumen”.  Hal ini merupakan   wujud   tameng   bagi   konsumen   dari   kesewenangan   pelaku   usaha   dalam mengutamakan kepentingannya di era perdagangan bebas.[6] Konsumen memiliki posisi yang lemah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, maka dari itu dibutuhkan perlindungan hukum yang bersifat mengatur dan melindungi, mengingat kompleksnya permasalahan perlindungan konsumen yang kian muncul di era dimana perkembangan zaman tidak mengenal kata henti.[7]

Pada   12   Maret   2020, World Health Organization   resmi   menetapkan   mewabahnya COVID-19 sebagai pandemi global.[8] Wabah ini menyebar hingga ke lintas negara dengan sangat cepat dan telah meluas ke berbagai belahan dunia. Penyebaran virus Corona mau tidak mau mempengaruhi berbagai aktivitas global, tidak terkecuali sektor pariwisata. UNWTO melaporkan bahwa dalam merespons pandemi ini, 96% dari destinasi wisata di dunia menerapkan larangan perjalanan wisata, baik bagi seluruh negara maupun beberapa negara tertentu.[9]

Indonesia   merupakan   satu   dari   sekian   banyak   negara   yang   merasakan   dampak pandemi ini pada sektor pariwisata. Dalam upayanya mencegah dan mengendalikan penyebaran virus ini, Presiden menerbitkan ketentuan baru yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang mana penerapannya diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Dengan diterapkannya kebijakan tersebut, masyarakat dihadapkan dengan kebiasaan baru yang mengharuskan segala kegiatan untuk dilakukan di dalam rumah dengan adanya imbauan physical distancing dan isolasi mandiri, dengan harapan orang-orang dapat menghindari bepergian keluar apabila tidak ada kepentingan yang mendesak.[10]

Kebijakan ini tentu saja berdampakpula pada penutupan objek wisata di Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit dengan adanya anjuran bagi masyarakat untuk menghindari keramaian guna mencegah penularan virus Corona.[11]

Kemudian   seiring   berjalannya   waktu,  pemerintah   terus   memperbarui   kebijakannya dengan memperhatikan keadaan perputaran roda ekonomi Indonesia yang tidak dapat dibiarkan berhenti begitu saja.  Sektor pariwisata sebagai salah satu   industri   yang   memberikan   kontribusi   cukup   besar   bagi   perekonomian   Indonesia merupakan salah satu yang memerlukan perhatian khusus. Maka dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020/ tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), era new normal resmi berlaku d Indonesia dengan  tetap  memperhatikan  ketentuan-ketentuan  yang  ada  dalam  keputusan  menteri  tersebut. Tempat-tempat wisata di beberapa wilayah di Indonesia diizinkan untuk kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan pembatasan kapasitas pengunjung.  Hal ini bertujuan agar perekonomian dapat tetap berjalan dan memberikan dampak baik khususnya bagi industri pariwisata yang bergantung pada wisatawan domestik.[12]

Selama ini, pengusaha pariwisata diwajibkan untuk senantiasa memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan serta keselamatan untuk wisatawan, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 26 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kewajiban ini secara tidak langsung dimaksudkan guna memberikan jaminan dalam penggunaan jasa pariwisata yang diperoleh  wisatawan,  sehingga  wisatawan  sebagai  konsumen  dapat  terhindar  dari  kerugian  apabila  mengkonsumsi  jasa  pariwisata.[13]

Adapun kewajiban setiap pengusaha pariwisata berdasarkan Pasal 67 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai berikut:

Pasal 67

4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1)Setiap pengusaha pariwisata wajib:

a.menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b.memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;

c.memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;

d.memberikan kenyamanan, keramahan, pelindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;

e.memberikan pelindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;

f.mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;

g.mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;

h.meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

i.berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;

j.turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;

k.memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;

l.memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;

m.menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan

n.memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat”.

Dalam penerapannya, perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili perlindungan hukum bagi konsumen dengan wujud asas-asas dan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.[14] Perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 1   yang   menyatakan bahwa:

Pasal 1

  1. perlindungan   konsumen   adalah   segala   upaya   yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Segala upaya tersebut memiliki tujuan yang menjadi target akhir yang wajib terwujud dalam pelaksanaannya, sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bunyinya:

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan:

a.meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b.mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c.meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d.menciptakan    sistem    perlindungan    konsumen    yang    mengandung    unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e.menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f.meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen”.

Dalam pemenuhan enam tujuan tersebut, tentu saja erat kaitannya dengan asas-asas hukum yang berlaku.  Asas hukum dipahami sebagai nilai-nilai yang lahir dari pikiran dan hati nurani manusia dalam membedakan antara baik dan buruk, yang menjadi dasar tumpuan atau latar belakang dari pembentukan suatu peraturan hukum yang berlaku demi tercapainya ketertiban dalam masyarakat.[15]

Bentuk lain dari perlindungan bagi wisatawan adalah dengan dilakukannya sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) pada sektor pariwisata oleh pemerintah. Sertifikasi tersebut dibuat untuk memastikan penerapan protokol kesehatan dalam pengendalian virus Corona. Kegiatan sertifikasi pada dasarnya bersifat sukarela untuk hotel dan usaha pariwisata lainnya dan tidak dipungut biaya. Kegiatan sertifikasi ini pada sektor wisata diantaranya mencakup hotel, restoran, destinasi daya tarik, homestay, usaha perjalanan wisata, pemandu, SPA, MICE, serta wisata minat khusus. Sementara untuk ekonomi kreatif yakni menjangkau bioskop, seni pertunjukan, musik, seni rupa, fesyen, kuliner, kriya, fotografi, dan permainan. Tim sertifikasi selain dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bakal melibatkan Kementerian Kesehatan, serta sejumlah asosiasi seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia. Selain itu, tim provinsi dan kabupaten kota juga ikut dilibatkan serta lembaga sertifikasi yang nantinya bertugas menjadi asesor atau auditor.[16]

Selain itu pemerintah juga telah mengupayakan perlindungan konsumen dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019. Di dalam peraturan tersebut memerintahkan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota untuk menyusun dan menetapkan peraturan gubernur/peraturan bupati/wali kota yang memuat ketentuan antara lain:
1) kewajiban mematuhi protokol kesehatan antara lain meliputi:

a) perlindungan kesehatan individu yang meliputi:

(1) menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya;

(2) membersihkan tangan secara teratur;

(3) pembatasan interaksi fisik (physical distancing); dan

(4) meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);

b) perlindungan kesehatan masyarakat, antara lain meliputi: (1) sosialisasi, edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19);

(2) Penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses dan memenuhi standar atau penyediaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer);

(3) Upaya penapisan dan pemantauan kesehatan bagi setiap orang yang akan beraktivitas;

(4) Upaya pengatur jaga jarak;

(5) Pembersihan dan disinfeksi lingkungan secara berkala;

(6) Penegakan kedisiplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko dalam penularan dan tertularnya Corona Virus Desease 2019 (COVID-19); dan

(7) Fasilitasi dalam deteksi dini dan penanganan kasus untuk mengantisipasi penyebaran Corona Virus Desease 2019 (COVID-19).

2) Kewajiban mematuhi protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada angka 1) dikenakan kepada perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

3) Tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), meliputi: a)perkantoran/tempat kerja, usaha, dan industri;

b)sekolah/institusi pendidikan lainnya;

c)tempat ibadah;

d)stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandar udara;

e)transportasi umum;

f)kendaraan pribadi;

g)toko, pasar modern, dan pasar tradisional;

h)apotek dan toko obat;

i)warung makan, rumah makan, cafe, dan restoran;

j)pedagang kaki lima/lapak jajanan;

k)perhotelan/penginapan lain yang sejenis;

l)tempat pariwisata;

m)fasilitas layanan kesehatan;

n)area publik, tempat lainnya yang dapat menimbulkan kerumunan massa; dan

o)tempat dan fasilitas umum dalam protokol kesehatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), wajib memfasilitasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9).

5)memuat sanksi terhadap pelanggaran penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9) yang dilakukan oleh perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 5) berupa:

a.Teguran lisan atau teguran tertulis;

b.Kerja sosial;

c.Denda administratif; atau

d.Penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.

Pandemi ini menyebabkan bergesernya orientasi segmen pasar pariwisata yang sebelumnya wisatawan mancanegara menjadi wisatawan nusantara. Pergeseran ini diakibatkan belum pulihnya arus penerbangan internasional sepenuhnya. Maka dari itu, dibutuhkan suatu strategi khusus dari pemerintah dalam menghadapi imbas dari kondisi ini terhadap sektor pariwisata agar tidak membuatnya semakin terpuruk dan dapat segera bangkit kembali. Pariwisata Indonesia haruslah beradaptasi di era new normal dengan selalu memberi perhatian khusus pada aspek kebersihan, keselamatan, dan keamanan.  Implementasi protokol kesehatan di setiap destinasi pariwisata haruslah diusahakan agar terwujud secara maksimal. [17]

Selama ini, menjaga jarak dengan orang lain, menghindari kerumunan, menjauhi keramaian, dan tidak berdesakan bukanlah kebiasaan yang umumnya ada di suatu destinasi pariwisata, khususnya pada masa-masa tertentu seperti pada saat liburan dan akhir pekan. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menjadi ancaman bagi keamanan, kesehatan, serta keselamatan wisatawan dan lebih lanjut akan berdampak kepada bagaimana suatu destinasi wisata akan bertahan di kemudian hari.[18] Sehingga sebagai bentuk perlindungan hukum bagi wisatawan di masa pandemi COVID-19, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dijadikan payung hukum untuk menghindarkan wisatawan dari kerugian, terkhusus kerugian kesehatan yaitu tertular virus Corona.  Pengusaha pariwisata selaku pelaku usaha wajib  memberikan  jaminan  atas  mutu  dan  kondisi  jasa  pemenuhan  kebutuhan  bagi  wisatawan  dan  penyelenggaraan  pariwisata  yang  disediakan.  Caranya adalah dengan memberikan informasi dan keterangan yang benar, jelas dan jujur mengenai bagaimana suatu destinasi pariwisata itu dikelola saat pandemi COVID-19 masih berlangsung. Pengusaha pariwisata juga wajib memastikan senantiasa dipatuhinya protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bentuk pelayanan yang benar dan pemenuhan hak yang dimiliki wisatawan sebagai konsumen. Di lain sisi, wisatawan selaku konsumen juga berkewajiban untuk menaati kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengusaha pariwisata selama masa pandemi COVID-19 demi keamanan dan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Kewajiban konsumen ini perlu ditekankan karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya dapat memberikan perlindungan secara efektif dan maksimal apabila kesadaran hukum dari masyarakat dalam hal ini wisatawan selaku konsumen telah terwujud.[19]


[1] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indo-nesia 2020), hal. 42.

[2] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 883.

[3] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 884.


[1] Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.

[2] Republika.co.id, https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022



[1] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.cit.



[1] Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011), hal 2.

[2] Beritasatu.com, https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.

[3] Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).

[4] Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021, hal. 865.

[5] Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya, hal. 2.

[6] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017), hal. 1.

[7] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018), hal. 13.

[8] Kompas.com, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.

[9] Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.

[10] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 866

[11] Finance.detik.com, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022

[12] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 867

[13] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 868.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection
  2. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism
  3. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation

REFERENCES: 

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  1. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  2. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  3. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  4. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  5. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  6. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  7. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  8. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  11. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  12. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

The word tourism is etymologically a combination of the words pari and tourism in Sanskrit. Pari means all, whole, full, while tourism means journey. Therefore the combination of the two, the word tourism can be interpreted as a full trip. The development of the world economy today cannot be separated from the role of tourism. Today, tourism is an important element in people’s lives, whose activities are closely related to social and economic growth.

United Nations World Tourism Organizations (UNWTO) in its report stated that in January 2020, international tourist arrivals worldwide rose 4% from the previous year, which was 1.5 billion. This number is a proof that the tourism sector has become an industry that has a major influence on economic growth in the world.

In Indonesia itself, tourism is one of the mainstay sectors in economic development. The Central Statistics Agency stated that there was an increase in the number of foreign tourist arrivals by 5.85% in January 2020 when compared to the number of visits in January 2019. With a variety of cultures and all the natural resources it has, Indonesia’s potential in the tourism sector is very large.

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism certainly cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. Therefore in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country’s tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will certainly have a negative impact on the development of tourism in that country.

Proceeding from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is the form of protection to traveller from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Traveller has a weak position in relation to business actors, therefore it is necessary to have a legal protection that regulates and protects traveller, considering the complexity of traveller protection problems that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know the word stop.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, people are faced with a new habit that requires all activities to be carried out at home with the advice of physical distancing and self-isolation, this is done in the hope that people can avoid traveling outside if there is no urgent need.

This policy certainly also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

As time goes by, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07 / MENKES / 382/2020 / concerning Health Protocols for The Public in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

During this time, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism, of course, cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. So in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country that is a tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will of course have a negative impact on the development of tourism in that country.

Moving on from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is a form of shield for consumers from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Consumers have a weak position in relation to business actors, therefore legal protection is needed that is regulating and protecting, given the complexity of consumer protection issues that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know stopping.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, the community is faced with new habits that require all activities to be carried out at home with the appeal of physical distancing and self-isolation, with the hope that people can avoid traveling out if there is no urgent need.

This policy, of course, also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

Then over time, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07/MENKES/382/2020/ concerning Protocols for Public Health in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

So far, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Copyrights. Work. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists, so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

“Article 67

4. The provisions of Article 26 are amended to read as follows:

Article 26

(1)    Every tourism entrepreneur shall:

a.    maintain and respect religious norms, customs, culture, and values that live in the local community;

b. provide an accurate and responsible information;

c. provide non-discriminatory services;

d. provide a comfort, hospitality, security and safety to traveller;

e. provide an insurance protection to tourism businesses with high-risk activities;

f. develop partnerships with local micro, small, and cooperative enterprises that mutually require,strengthen, and profitable each other;

g. prioritize the use of local community products, domestic products, and provide opportunities for local work force;

h. improving the competence of the work force through training and education;

i. play an active role in infrastructure development efforts and community empowerment programs;

j. participate in preventing all forms of acts that violate decency and unlawful activities in the environment where the business is located;

k. maintain a healthy, clean and beautiful environment;

l. maintain the sustainability of the natural and cultural environment;

m. maintain the image of Indonesia through responsible tourism business activities; and

n. comply the business licenses from the central government”.

In its application, traveller protection is a term used to represent legal protection for traveller in the form of principles and rules that regulate and protect traveller interests. Traveller protection is regulated in Article 1 Number 1 Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states that:

“Article 1

consumer protection is all efforts that guarantee legal certainty to provide protection to consumers”.

All of these efforts have objectives that are the final target that must be realized in their implementation, as regulated in Article 3 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states:

“Article 3

Consumer protection aims:

a. increase consumer awareness, ability and independence to protect themselves;

b. elevating the dignity of consumers by preventing them from the negative excesses of the use of goods and/or services;

c.          increasing the empowerment of consumers in choosing, determining, and demanding their rights as consumers;

d. create protection system consumer that contains elements of legal certainty and information disclosure as well as access to information;

e. raise awareness of business actors regarding the importance of consumer protection so that an honest and responsible attitude in doing business grows;

f. improve the quality of goods and/or services that ensure the continuity of the business of producing goods and/or services, health, comfort, security, and safety of consumers”.

In fulfilling these six objectives, it is closely related to the principles of applicable law. Legal principles are understood as values ​​born from the mind and conscience of human in distinguishing between good and bad, which are the basis or background of the formation of an applicable legal regulation for achievement of order in society.

Another form of protection for tourists is to carry out CHSE certification (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) in the tourism sector by the government. The certification was made to ensure the implementation of health protocols in controlling the coronavirus. Certification activities are basically voluntary for hotels and other tourism businesses and are free of charge. This certification activity in the tourism sector includes hotels, restaurants, attraction destinations, homestays, travel businesses, guides, SPA, MICE, and special interest tours. Meanwhile, for the creative economy, it covers cinema, performing arts, music, fine arts, fashion, culinary, crafts, photography, and games. The certification team apart from the Ministry of Tourism and Creative Economy will involve the Ministry of Health, as well as a number of associations such as the Indonesian Hotel and Restaurant Association and the Association of Indonesian Travel Companies. In addition, provincial and district-city teams are also involved as well as certification bodies who will later serve as assessors or auditors.

In addition, the government has also sought consumer protection by issuing Presidential Instruction No. 6 of 2020 concerning Improvement of Discipline and Law Enforcement of Health Protocols in the Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019. The regulation instructs the Governor, Regent, and Mayor to prepare and stipulate a governor/regent/mayor regulation which contains provisions, among others:

1) The obligations to comply with health protocols includes:

a) protection of infividual health which includes:

  1. use personal protective equipment in the form of a mask that covers the nose and mouth to the chin, if you have to leave the house or interact with other people whose health status is unknown;
  2. clean hands regularly;
  3. physical distancing; and
  4. increase endurance by implementing clean and healthy living behaviors;
  5. b)public health protection, including:
  1. socialization, education, and the use of various information media to provide understanding of the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
  2. Provision of hand washing facilities with soap that are easily accessible and meet standards or provision of hand sanitizer;
  3. Health screening and monitoring efforts for everyone who will have an activity;
  4. Social distancing measures;
  5. Periodic cleaning and disinfection of the environment;
  6. Enforcement of discipline on community behavior that is at risk in the transmission and contraction of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); and
  7. Facilitation in early detection and handling of cases to anticipate the spread of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

2) The obligation to comply with health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) as referred to in number 1) is imposed on individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

3) Public places and facilities as referred to in number 2), including:

a. offices/workplaces, businesses, and industries;

b. schools/ other educational institutions;

c.place of worship;

d.stations, terminals, ports, and airports;

e.public transport;

f.private vehicles;

g.shops, modern markets, and traditional markets;

h.pharmacies and drugstores;

i.food stalls, cafes, and restaurants;

j.street vendors/snack stalls;

k.hospitality/other similar hospitality;

l.tourism places;

m.health care facilities;

n.public areas, other places that can cause crowds; and

o.public places and facilities in other health protocols in accordance with the provisions of laws and regulations.

4) individuals, business actors, managers, organizers, or person in charge of public places and facilities as referred to in number 2), shall facilitate the implementation of prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

5) Contains sanctions for violations of the application of health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) carried out by individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

6) The sanctions as referred to in number 5) are in the form of: a)verbal warning or written warning;

b)Social work;

c)Administrative fines; or

d)Termination or temporary closure of business operations.

This pandemic has caused a shift in the orientation of the tourism market segment from foreign tourists to domestic tourists. This shift is due to the fact that international flight flows have not fully recovered. Therefore, a special strategy is needed from the government in dealing with the impact of this condition on the tourism sector so as not to make it worse and can immediately bounce back. Indonesian tourism must adapt to the new normal era by always paying special attention to aspects of cleanliness, safety and security. The implementation of health protocols in every tourism destination must be endeavored to be realized to the fullest.

During this time, keeping a distance from other people, avoiding crowds, staying away from crowds, and not being overcrowded are not habits that generally exist in a tourism destination, especially at certain times such as holidays and weekends. This certainly has the potential to be a threat to the security, health, and safety of tourists and will further have an impact on how a tourist destination will survive in the future.

Therefore as a form of legal protection for tourists during the COVID-19 pandemic, Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can be used as a legal basis to prevent tourists from losses, especially health losses due to contracting the Corona virus. Tourism entrepreneurs as business actors are obliged to provide guarantees for the quality and condition of services to meet the needs of tourists and the provision of tourism services. The way that can be done is to provide true, clear and honest information about how a tourism destination is managed while the COVID-19 pandemic is still ongoing. Tourism entrepreneurs are also required to ensure that the health protocols set by the government are always adhered to as a form of correct service and the fulfillment of the rights of tourists as consumers. On the other hand, tourists as consumers are also obliged to obey the policies that have been set by tourism entrepreneurs during the COVID-19 pandemic for the safety and security of themselves and others. This consumer obligation needs to be emphasized because Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can only provide protection effectively and optimally if legal awareness of the public, in this case tourists as consumers, has been realized.

0

Penerapan Regulasi Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co-author: Ilham M. Rajab

Transportasi umum kini menawarkan bentuk kenyamanan bagi konsumen, yaitu sebuah peningkatan keadaan yang lebih melayani pengguna dan driver transportasi umum sehingga membentuk hal-hal yang dapat memfasilitasi segala kebutuhan bagi driver dan penumpangnya.[1] Selain driver dan penumpangnya sudah tentu menjadi sebuah dampak yang positif dalam bidang pengangkutan. Pengangkutan adalah proses dari orang yang mampu mengikatkan diri untuk mengadakan perpindahan barang dan/atau orang dari satu titik tempat ke tempat tujuan tertentu dengan keadaan seperti semula.[2] Adapun pengertian dari pengangkutan adalah kegiatan menaikan penumpang atau barang pada sebuah alat pengangkut, kegiatan memindahkan penumpang atau barang pada tempat tujuan dengan alat pengangkut, dan menurunkan penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang disepakati.[3]

Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 1

3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang
dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”.

Ojek online merupakan suatu kegiatan pengangkutan karena mampu melakukan kegiatan perpindahan baik orang maupun barang dari satu tempat ke tempat lain dalam keadaan semula dengan menggunakan Kendaraan dalam berlalu lintas di jalan. Dengan kemampuan ojek online melakukan kegiatan pengangkutan tersebut, dasar hukum penyelenggaraannya ojek online pada pasal 137 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 137

(2) Angkutan orang yang menggunakan kendaraan bermotor berupa sepeda motor, mobil penumpang, atau bus”.

Saat ini Kementerian Perhubungan memutuskan aturan baru mengenai penyesuaian tarif ojek online. Aturan tersebut rencananya akan dilakukan pada 29 Agustus 2022 dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi ditetapkan pada 4 Agustus 2022, Kementerian Perhubungan membuat kebijakan perubahan tarif, baik tarif minimal maupun rentang tarif per kilometer untuk jasa transportasi online berbasis kendaraan bermotor roda dua.[4]

Adapun kenaikan tarif ojek online sebagaimana dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, sebagai berikut:[5]

Daftar tarif baru ojek online di Indonesia:

Zona I (Sumatera, Jawa dan Bali)

Biaya jasa batas bawah Rp 1.850/km, batas atas Rp 2.300/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 9.250-Rp 11.500.

Zona II (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.600/km, batas atas Rp 2.700/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 13.000-Rp 13.500.

Zona III (Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.100/km, batas atas Rp 2.600/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 10.500-Rp 13.000.

Sementara itu tarif ojek online yang berlaku per 16 Maret 2020

Zona I

Tarif batas bawah: Rp 1.850/km
Tarif batas atas: Rp 2.300/km
Biaya jasa minimal 4 km pertama Rp 7.000-Rp 10.000

Zona II

Tarif batas bawah: Rp 2.250/km
Tarif batas atas: Rp 2.650/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 9.000 hingga 10.500

Zona III

Tarif batas bawah: Rp 2.100/km
Tarif batas atas: Rp 2.600/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 7.000 hingga Rp 10.000

Dari kenaikan tarif ojek online yang ada tentu memilik dampak terhadap masyarakat, menurut salah satu Non-Governmental Organization yang bergerak di bidang ekonomi dampak dari kenaikan tarif ojek online tersebut antara lain pertama dampak negatif kenaikan tarif sebesar itu pertama adalah dari sisi konsumen, kedua menurutnya adalah dari sisi driver ojek online, dan dampak ketiga, adalah dari sisi ekonomi.[6] Dampak lainnya, terjadi peningkatan biaya transportasi untuk mengirimkan barang. “Sektor lain akan terpukul. Ada dampak turunan, karena transportasi ini menghubungkan antar sektor, bukan hanya mengantarkan orang, tapi juga barang, namun niat baik pemerintah untuk menyejahterakan driver ojek online melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi.[7]

Sementara itu dengan adanya kenaikan tarif ojek online menurut pengamat transportasi berpendapat bahwa kenaikan terlalu tinggi akan mengurangi permintaan penggunaan ojek online dari konsumen yang berpindah ke moda transportasi lain. Kenaikan tarif ini bisa membuat penjualan makanan melalui aplikasi turun, terutama membuat pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah terdampak dan kesulitan berusaha, Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tapi mitra (pengemudi) tetap tidak sejahtera jika tarif terlalu murah, yang senang hanya penumpang. Tetapi apabila kenaikan harga terlalu mahal, akan membebankan konsumen, sehingga hanya pihak pengemudi dan pengembang aplikasi yang diuntungkan. Mengenai permasalahan tersebut sudah semestinya terdapat jalan tengah dari pemerintah bagi seluruh pihak yang bersangkutan.[8]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi

Refrensi:

Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016;

Purwosutjipto H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000;

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013

https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah
https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732
https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi

[1] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[3] kontan https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi diakses pada tanggal 22 Agustus 2022



[1] tirto.id https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] cnbc https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2022


[1] Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016

[2] Purwosutjipto H.M.N, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, h.10

[3]Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 4

0

UTILIZATION OF INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY IN TOURISM DEVELOPMENT

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 2025

REFERENSI: 

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

Pada saat ini Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) telah mengubah pariwisata secara global khususnya pada era 4.0. Rekayasa ulang yang didorong oleh TIK telah secara bertahap menghasilkan pergeseran paradigma baru, mengubah struktur industri dan mengembangkan berbagai peluang dan ancaman. TIK memberdayakan konsumen untuk mengidentifikasi, menyesuaikan dan membeli produk-produk pariwisata dan mendukung globalisasi industri dengan menyediakan alat untuk mengembangkan, mengelola, dan mendistribusikan penawaran di seluruh dunia.[1]

Pengembangan dan promosi pariwisata merupakan salah satu bidang yang sedang gencar digalakkan oleh pemerintah, penggunaan website sebagai alat mempromosikan pariwisata semakin marak digunakan, dapat dilihat dengan maraknya situs-situs pariwisata di Internet.[2]

Pariwisata menjadi daya tarik suatu wilayah dengan objek unggulan lokasi wisata, seni, budaya, kuliner, sejarah serta kegiatan-kegiatan historis (pagelaran adat, upacara adat) di sebuah wilayah. Kegiatan kepariwisataan menjadikan banyak negara menempatkan pariwisata sebagai aspek penting dan integral dalam strategi pengembangan negara, di antaranya dari aspek pendapatan pemerintah, stimulus pengembangan regional dan penciptaan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan nasional hingga hubungan internasional.[3]

Konsep pariwisata yang memanfaatkan TIK dapat juga didefinisikan sebagai e-tourism atau smart tourism. Smart Tourism adalah pemanfaatan segala potensi dan sumber daya yang ada untuk meningkatkan pengalaman di bidang Pariwisata sebagai media promosi.[4] Sebuah destinasi dapat dikatakan smart apabila destinasi tersebut memanfaatkan infrastruktur teknologi secara intensif untuk:[5]

  1. Meningkatkan pengalaman berwisata bagi pengunjung pengunjung dengan mempersonalisasikan dan membuat mereka sadar akan layanan dan produk lokal dan pariwisata yang tersedia untuk mereka di tempat tujuan dan;
  2. Dengan memberdayakan organisasi manajemen destinasi, lembaga lokal dan perusahaan pariwisata untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan berdasarkan data yang dihasilkan di dalam tujuan, dikumpulkan, dikelola dan diproses melalui infrastruktur teknologi.

Mengenai pariwisata sendiri pemerintah telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengertian dari pariwisata terdapat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu:

“Pasal 1

3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,pengusaha,pemerintah, dan pemerintah daerah”.

Adapun pengertian dari pariwisata menurut Organisasi pariwisata dunia, mendefenisikan pariwisata sebagai aktivitas perjalanan dan tinggal seorang di luar tempat tinggal dan lingkungannya selama tidak lebih dari satu tahun berurutan untuk berwisata, bisnis atau tujuan lain dengan tidak untuk bekerja ditempat yang dikunjungi tersebut.[1] Selain menyatakan apa yang dimaksud dengan pariwisata dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 mengatur mengenai pembangunan dari pariwisata itu sendiri, hal ini tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, yang berbunyi:

“Pasal 6

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata”.

Adapun unsur-unsur yang meliputi pembangunan dalam pariwisata, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 7

Pembangunan pariwisata meliputi:

a. industri pariwisata;

b. destinasi pariwisata;

c.pemasaran; dan

d. kelembagaan kepariwisataan”.

Selain dalam undang-undang, mengenai pembangunan pariswisata juga terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 –2025, yang berbunyi:

“Pasal 5

Untuk mensinergikan penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah Daerah dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri”.

Peran pemerintah dalam
mengembangkan dan mengelolah pariwisata secara garis besarnya adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), mempunyai otoritas dalam pengaturan, penyediaan, dan peruntukan berbagai infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan pariwisata dan bertanggung jawab dalam menentukan arah yang dituju perjalanan pariwisata.[1] Sementara itu dalam Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 10

pemerintah dan pemerintah daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”.

Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 17

pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:

a. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan

b. memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar”.

Pemerintah selain memiliki peran memeberi perlindungan, mengembangkan dan memfasilitasi untuk para pelaku usaha pariwisata sebagaimana Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, akan memberikan sanksi hal tersebut terdapat dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 63

(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif;

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a.teguran tertulis;

b.pembatasan kegiatan usaha; dan

c.pembekuan sementara kegiatan usaha”.

(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.

(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”.

Penggunaan teknologi yang berkaitan dengan sektor kepariwisataan harusnya dapat diimplementasikan secara optimal sehingga promosi dari pariwisata di daerah bisa diketahui secara umum secara maksimal. Pemerintah juga telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembangunan, peran pemerintah dan sanksi yang tegas di sektor pariwisata.


[1] Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN hlm 2.


[1] Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta. hal 30


[1] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 258.

[2] Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100 74, hal. 74.

[3] Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019, hal 14.

[4] Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020 hal 261

[5] Ibid

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;
  2. Government Regulation Number 50 of 2011 concerning National Tourism Development Master Plan 2010 2025.

REFERENCE:

  1. Rifki Rahmanda Putra, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Penerapan Konsep Smart Tourism Di Kabupaten Pangandaran, JUMPA Volume 7, Nomor 1, Juli 2020.
  2. Christia Putra, Perancangan dan Implementasi E-Tourism pada SistemInformasi Pariwisata Salatiga, Jurnal Teknologi Informasi-Aiti, Vol. 8. No.1, Februari 2011: 1 – 100.
  3. Diana Sari Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi Komunikasi Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Kota Cirebon, Jurnal Pikom Vol. 20 No. 1 Juni 2019.
  4. Budyanto, Endy Arif, Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia: Menata Ulang Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastuktur, Jurnal Konstruksia Vol 2 No 1 November 2010, 25.
  5. Ratna Medi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Potensi
    Pariwisata Buntu Burake Di Kabupaten Tana Toraja, Jurnal TIN.
  6. Liga suryadana, vanny, 2015, Pengantar Pemasaran Pariwisata, Cetakan ke 1, Bandung: Alvabeta.

At this time Information and Communication Technology (ICT) has changed tourism globally, especially in the 4.0 era. ICT-driven reengineering has gradually resulted in new paradigm shifts, changing industry structures and developing opportunities and threats. ICTs empower consumers to identify, customize and purchase tourism products and support the globalization of the industry by providing tools to develop, manage and distribute offerings worldwide.

The development and promotion of tourism is one area that is being intensively promoted by the government, the use of websites as a tool to promote tourism is increasingly being used, it can be seen by the rise of tourism sites on the Internet.

Tourism is the attraction of an area with superior tourist sites, arts, culture, culinary, history and historical activities (traditional performances, traditional ceremonies) in an area. Tourism activities have made many countries place tourism as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development stimulus and job creation as well as increasing national income to international relations.

The concept of tourism that utilizes Information and Communication Technology (ICT) can also be defined as e-tourism or smart tourism. Smart Tourism is the utilization of all existing potential and resources to improve experience in the tourism sector as a promotional medium. A destination can be classified to be smart if it makes intensive use of its technological infrastructure to:

  1. Improve the travel experience for visitors by personalizing and making the awareness of the local and tourism services and products available to them at their destination and;
  2. By empowering destination management organizations, local agencies and tourism companies to make decisions and take action based on the data generated within the destination, collected, managed and processed through the technological infrastructure.

By empowering destination management organizations, local agencies, and tourism companies to make decisions and take action based on the generated data within the destination, collected, managed, and processed through the technology infrastructure.
The development and promotion of those places where are being intensively promoted by the government by one of the way is using websites as a tool to promote tourism. It can be seen by the rise of tourism sites on the internet.

Regarding tourism, the government has regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, the meaning of tourism is contained in Article 1 number 3 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, namely:

“Article 1

3.Tourism is a variety of tourism activities and is supported by various facilities and services provided by the community, entrepreneurs, government, and local governments.

The definition of tourism according to the World Tourism Organization, defines tourism as a travel activity and the occupy of a person out of their origin residence and environment for no more than one continuous year for the purposes of travel, business, or others with no work activity at the visited place. Tourism activities have made many tourism countries as an important and integral aspect of the country’s development strategy, including from the aspect of government revenue, regional development, and job creation as well as increasing national income to international relation.

In addition to stating what is meant by tourism in Law Number 10 of 2009 regulating the development of tourism itself, this is stated in Article 6 of Law Number 10 of 2009, which reads:

“Article 6

Tourism development is carried out based on the principles as referred to in Article 2 which is realized through the implementation of tourism development plans by taking into account the diversity, uniqueness, and uniqueness of culture and nature, as well as human needs for tourism.

Component of tourism development in tourism, as contained in Article 7 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, are stated as follow:

“Article 7

Tourism development includes:
a. tourism industry;
b. tourism destinations;
c. marketing; and
d. tourism institutions”.

In addition to the law, regarding tourism development is also contained in Article 5 of Government Regulation Number 50 of 2011 concerning the National Tourism Development Master Plan 2010-2025, which reads:

“Article 5

To synergize the preparation of the Provincial Tourism Development Master Plan and the Regency/City Tourism Development Master Plan, as referred to in Article 4, the Regional Government may conduct consultations and coordination with the Minister”.

The role of government in general, developing and managing tourism is to provide infrastructure (not only in physical form), to have authority in the regulation, provision, and allocation of various infrastructures related to tourism needs and to be responsible for determining the direction of tourism travel. Meanwhile in the legislation contained in Article 10 and Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 10”

The government and regional governments encourage domestic investment and foreign investment in the tourism sector in accordance with the national, provincial and district/city tourism development master plans”.

In Article 17 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 17”

The government and local governments are required to develop and protect micro, small, medium and cooperative businesses in the tourism business sector by:

a. made a policy for the provision of tourism business for micro, small, medium enterprises and cooperatives; and

b. facilitates partnerships of micro, small, medium and cooperative enterprises with large scale enterprises”.

The government in addition to having the role of protecting, developing and facilitating tourism business actors as stated in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, will provide sanctions for this matter contained in Article 63 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 63”

(1) Every tourism entrepreneur who does not comply with the provisions as referred to in Article 15 and/or Article 26 shall be subject to administrative sanctions;

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:

a. written warning;

b. limitation of business activities; and

c. temporary suspension of business activities”.

(3) The written warning as referred to in paragraph (2) letter a shall be imposed on the entrepreneur at most 3 (three) times.

(4) Sanctions for limiting business activities are imposed on entrepreneurs who do not comply with the warning as referred to in paragraph (3).

(5) The sanction of temporary suspension of business activities is imposed on entrepreneurs who do not meet the provisions as referred to in paragraph (3) and paragraph (4)”.

The use of technology related to the tourism sector should be implemented optimally so that the promotion of tourism in the region can be known in general to the maximum. The government also has laws and regulations governing development, the role of the government and strict sanctions in the tourism sector.

0

Dukungan Pemerintah terhadap Perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co author: Bryan Hope Putra Benedictus

Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendorong para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk meningkatkan branding usaha. Hal ini dilakukan melalui kegiatan pemberian Nomor Induk Berusaha (NIB) pelaku UMKM bersama Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Menteri BUMN mengatakan, UMKM membutuhkan pendampingan dan dukungan untuk dapat naik kelas. Pelaku UMKM dan ultra mikro disebut memiliki multiplier effect yang kuat. Basis dari pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan sehingga UMKM harus dipastikan bisa go global dan menjadi rantai pasok yang berkesinambungan. Sebanyak 125 nasabah salah satu BUMN mengikuti acara pemberian NIB yang sekaligus merupakan sosialisasi pendaftaran izin usaha melalui sistem Online Single Submission (OSS). Tingkat risiko suatu usaha dibagi menjadi risiko rendah, risiko menengah rendah, risiko menengah tinggi, dan risiko tinggi. Usaha dengan tingkat risiko rendah cukup memiliki NIB sebagai perizinan tunggal. Perizinan tunggal berarti NIB berlaku sebagai legalitas, Standar Nasional Indonesia (SNI), serta Sertifikat Jaminan Produk Halal (SJPH) bagi pelaku usaha yang produk atau jasanya wajib SNI dan halal. Adapun OSS menjadi sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik yang dikelola dan diselenggarakan oleh Kementerian Investasi/BKPM. Penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko melalui sistem OSS merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sampai saat ini, terdapat lebih dari 50.000 pelaku UMKM yang terdaftar NIB. Kegiatan sosialisasi NIB juga telah dilaksanakan di dua kota, yakni Bandung dan Surabaya. Peserta yang hadir di kedua kota tersebut mencapai sebanyak 2.000 pelaku usaha.[1]

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, pengertian UMKM sendiri dijabarkan secara terpisah antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menjelaskan pengertian usaha mikro adalah:

“Pasal 1

  1. Usaha Mikro adalah adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”[2]

Selanjutnya pengertian dari usaha kecil terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang berbunyi:

“Pasal 1

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”[3]

Sementara itu dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, pengertian dari usaha menengah yaitu adalah:

“Pasal 1

3.Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”[4]

Adapun kriteria yang dimaksud berdasarkan pasal-pasal diatas tersebut dapat dilihat pada pasal 87 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah mengubah Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pasal tersebut berbunyi:

“Pasal 87

  1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1)Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah.”[5]

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah.”[5]

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pemerintah memberi kemudahan berusaha, perlindungan dan pemberdayaan dalam UMKM, dan terdapat 8 (Delapan) kemudahan yang akan diberikan (UU Cipta Kerja), yaitu:

  1. Izin tunggal bagi UMKM. Sehingga pelaku UMKM kini hanya cukup mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB). NIB berlaku untuk semua kegiatan usaha (UMKM) mulai izin usaha, izin edar, Standar Nasional Indonesia (SNI), hingga sertifikasi produk halal;
  2. Ketentuan insentif oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah bagi perusahaan besar yang bermitra dengan UMKM. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan bisnis;
  3. Pengelolaan terpadu UMKM melalui sinergi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholders terkait pendampingan berupa dukungan manajemen, Sumber Daya Manusia (SDM), anggaran dan penyediaan prasarana dan sarana;
  4. Kemudahan pembiayaan dan intensif secara fiskal. Di antaranya penyederhanaan administrasi perpajakan, pengajuan izin usaha tanpa biaya, insentif pajak penghasilan, dan insentif kepabeanan bagi UMKM ekspor;
  5. Adanya Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah untuk pengembangan UMKM;
  6. Bantuan dan perlindungan hukum untuk menjaga kelangsungan bisnis UMKM;
  7. Prioritas produk UMKM dalam kegiatan belanja barang dan pengadaan jasa pemerintah. Ketentuannya minimal menyerap 40 persen produk UMKM;
  8. Pola kemitraan UMKM. Rest area, stasiun, terminal, pelabuhan, hingga bandara wajib menyediakan tempat promosi dan penjualan bagi UMKM melalui pola kemitraan. Alokasi lahan pada infrastruktur publik paling sedikit 30 persen dari luas total lahan area komersial.[6]

Peraturan Pemerintah 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah disusun sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal lain yang mendasari dan mendorong perlunya pengaturan yang lebih jelas terkait Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah antara lain bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja dan belum terintegrasi sehingga perlu dilakukan perubahan.[7]

Salah satu prioritas Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia yang akan dilakukan melalui Peraturan Pemerintah 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah penyusunan basis data tunggal usaha mikro, kecil, dan menengah yang akurat. Penyusunan data tunggal ini akan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan sensus, tidak untuk menghitung jumlah tapi untuk mendapatkan data UMKM berdasarkan by name by address. Kemudahan lain bagi UMK yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah perizinan berusaha. UMKM nantinya diberikan kemudahan dalam proses perijinan dimana untuk UMKM yang memiliki risiko rendah terhadap kesehatan, keselamatan, dan lingkungan akan diproses dalam perijinan tunggal yang terdiri dari perijinan berusaha, sertifikat jaminan halal dan sertifikat nasional Indonesia.[8]

Pengklasifikasian suatu usaha dapat dikatakan menjadi Usaha Mikro, Kecil atau Menengah sendiri diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pengklasifikasian terhadap UMKM didasarkan pada kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan.[9] Kriteria modal usaha tersebut secara rinci diatur dalam pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang berbunyi:

“Pasal 35

(3)Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a.Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

b.Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan

c.Usaha Menengah merniliki modal usaha lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.”[10]

Sementara pengklasifikasian usaha berdasarkan hasil penjualan tahunan diatur dalam Pasal 35 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal tersebut mengatur:

“Pasal 35

(5) Kriteria hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:

a.Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

b.Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan

c.Usaha Menengah memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).[11]

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tertib, dan dinamis dalam lingkungan yang merdeka, bersahabat, dan damai.[12] Adapun Ciri-ciri Usaha Mikro Kecil dan Menengah, sebagai berikut:

  1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
  2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
  3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;
  4. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
  5. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
  6. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non-bank;
  7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).[13]

Mengenai ciri-ciri usaha mikro kecil dan menengah dalam poin 7 di atas, bahwa disini terkait izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya, dimana masih banyak usaha mikro kecil dan menengah yang tidak memiliki izin usaha, padahal itu adalah syarat penting dalam pendirian suatu kegiatan usaha dalam bidang perindustrian, hal itu berimplikasi dengan suatu perizinan lingkungan oleh kegiatan usaha mikro kecil dan menengah tersebut. Dimana apabila izin usaha tidak dilakukan, maka kemungkinan besar izin lingkungan pun tidak akan dimiliki oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah.[14]

Kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, serta berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan.[15] Berkembangnya kegiatan usaha usaha mikro kecil menengah, berarti juga mendorong perekonomian bagi masyarakat dengan meningkatnya pendapatan sehingga kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup juga semakin terbuka pula, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, sehingga sangat diperlukan dan ditingkatkan guna meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan untuk menjaga serta mengelola lingkungan hidup disekitar lingkungannnya.[16]

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pemerintah dan pemerintah daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:

“Pasal 7

a.Pendanaan;

b.Sarana dan prasarana;

c.Informasi usaha;

d.Kemitraan;

e.Perizinan usaha;

f.Kesempatan berusaha;

g.Promosi dagang; dan dukungan kelembagaan.”[17]

Bentuk peraturan dari produk usaha mikro kecil dan menengah salah satunya yaitu legalitas usaha, dengan adanya legalitas bagi UMKM ini nantinya akan bermanfaat bagi usaha mikro kecil dan menengah itu sendiri, contohnya adalah untuk mengakses permodalan dari pemerintah/swasta. Selain permodalan, satu hal lain yang tidak kalah penting dalam menjalankan usaha adalah legalitas. Sebab, legalitas usaha merupakan bukti kepatuhan terhadap aturan hukum yang mana mampu memberikan perlindungan terhadap usaha manakala terjadi masalah. Legalitas diperlukan bukan hanya sebagai bantuan modal usaha melainkan juga sebagai syarat mengajukan permodalan.[18] Untuk mempermudah perizinan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan keringanan persyaratan agar mudah dipenuhi oleh usaha mikro kecil dan menengah, khususnya yang dimiliki oleh orang perorangan. Perizinan itu dilaksanakan dengan menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu yang pelaksanaannya wajib dilakukan dengan prinsip penyerderhanaan tata cara pelayanan dan jenis perizinan.[19]

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ini dapat memberikan dukungan bagi pelaku koperasi dan UMKM dalam rangka menjalankan kegiatan berusahanya. Hal ini tentunya merupakan upaya pemerintah dalam rangka mendukung pengembangan UMKM untuk naik kelas, serta mewujudkan UMKM Indonesia yang maju, mandiri, dan berdaya saing serta berkontribusi dalam perekonomian nasional.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Referensi:

cnbcindonesia, https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20220712095546-25-354862/makin-naik-kelas-umkm-dimudahkan-dapat-sertifikasi-nib , diakses pada 8 Agustus 2022.

Ifrani & Nurmaya Safitri, Perizinan Terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Yang Melakukan Pencemaran Lingkungan, dalam Jurnal Al’Adl Vol. XII, No. 2, Juli 2020.

Munsharif Abdul Chalim, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Koperasi Modern Dan UMKM Berdasarkan PP No. 7 Tahun 2021, dalam Jurnal Penelitian Hukum Vol.1, Nomor 1 Tahun 2022.

Edwar James Sinaga, Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol, 6 No, 3, Desember 2017. Dadang Sukandar, (2017), Panduan Membuat Kontrak Bisnis, Jakarta: Visimedia.


[1] cnbcindonesia, https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20220712095546-25-354862/makin-naik-kelas-umkm-dimudahkan-dapat-sertifikasi-nib, diakses pada 8 Agustus 2022.

[2] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[3] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[4] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[5] Pasal 87 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

[6] Munsharif Abdul Chalim, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Koperasi Modern Dan UMKM Berdasarkan PP No. 7 Tahun 2021, dalam Jurnal Penelitian Hukum Vol.1, Nomor 1 Tahun 2022, hal. 26

[7] Munsharif Abdul Chalim, Ibid, hal. 23

[8] Munsharif Abdul Chalim, Ibid, hal. 24

[9] Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[10] Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[11] Pasal 35 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[12] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[13] Ifrani & Nurmaya Safitri, Perizinan Terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Yang Melakukan Pencemaran Lingkungan, dalam Jurnal Al’Adl Vol. XII, No. 2, Juli 2020, hal. 149

[14] Loc. cit

[15] Edwar James Sinaga, Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia, dalam Jurnal Rechtvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 6, No. 3, Desember 2017, hal. 329-348

[16] Ifrani & Nurmaya Safitri, Op. Cit, hal. 150

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

[18] Ifrani & Nurmaya Safitri, Op. Cit, hal. 151

[19] Dadang Sukandar, 2017, Panduan Membuat Kontrak Bisnis, Jakarta: Visimedia, hal. 10

0

COPYRIGHT PROTECTION OF ARCHITECTURAL WORKS DESIGNED BY USING COMPUTER PROGRAM

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek

REFERENSI: 

  1. Leonard Julio Axel Mahal, Perlindungan Hukum Atas Rumah Adat Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, dalam Jurnal Dharmasisya Vol. 1, No.1, Maret 2021
  2. Eko Budihardjo, Arsitek Bicara Tentang Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung, 1987
  3. Hendraningsih, Peran, Kesan, dan Bentuk-bentuk Arsitektur, Djambatan, Bandung, 1985.
  4. H.K. Ishar, Pedoman Umum Merancang Bangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985.
  5. Ambarwati, Ni Made Denny, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Komik Terkait Pembajakan Komik Pada Situs Online, Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (2019)
  6. Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Perlindungan Hukum Terkait Pelanggaran Atas Hak Cipta Terhadap Karya Arsitektur Lanskap, dalam Jurnal Kertha Negara Vol. 9, No. 5 Tahun 2021.
  7. Yogiswari, Ni Made Dharmika, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Hak Cipta Lagu Terhadap Kegiatan Aransemen, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya Hukum Udayana 8, no. 5 (2020)
  8. Jamba, Padrisan, Analisis Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia, Jurnal: Cahaya Keadilan, (2015)
  9. Maharani, Desak Komang Lina, and I. Gusti Ngurah Parwata, Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019)
  10. Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015)
  11. Khwarizmi Maulana Simatupang, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital, dalam Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 15, No. 1, Maret 2021
  12. Ahmad M. Ramli, Hak Cipta Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif (Bandung: P,T. ALUMNI, 2018)

Perkembangan pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari peranan para arsitektur yang menghasilkan karya-karya hak cipta dibidang arsitektur, hal ini dapat terlihat dengan jelas terutama pembangunan aspek fisiknya, dimana banyak sekali terdapat bangunan- bangunan indah dan megah dengan gaya arsitektur yang bervariasi antara satu dengan yang lain. Konstruksi bangunan tersebut dapat berupa rumah tinggal, perkantoran, pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, dan lainnya, yang mempunyai nilai artistik yang khas dan unik dengan gaya- gaya arsitektur yang indah.[1] Namun, di Indonesia sendiri perlindungan dan pembahasan mengenai perlindungan karya arsitektur juga jarang dibahas terlebih juga karena masih kurangnya kesadaran mengenai perlindungan karya arsitektur. Berdasarkan hal ini, maka timbul pertanyaan, bagaimana seharusnya perlindungan Hak Cipta terhadap karya arsitektur yang didesain menggunakan program komputer?

Pada umumnya arsitektur didefinisikan sebagai Seni penciptaan ruang dan bangunan untuk memberi wadah kepada kehidupan bersama.[2] Selanjutnya menurut Van Romondt, salah seorang guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia dengan berbahagia.[3] Arsitektur dalam pengertian di atas hanya diasosiasikan dengan penciptaan bangunan-bangunan dan ruangan-ruangan yang indah dan hanya sebagai tempat bagi kehidupan manusia. Arsitektur yaitu suatu seni untuk mendesain bangunan sehingga mempunyai nilai keindahan/estetika. Keindahan adalah nilai-nilai yang menyenangkan mata, pikiran dan telinga.[4]

Sementara program komputer memiliki pengertian berdasarkan Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu:

“Pasal 1

9.Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu”.

Pengertian Hak Cipta sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

“Pasal 1

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hak cipta lahir dan timbul dari hasil olah pikir manusia dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan sastra. Hak cipta timbul secara otomatis seketika suatu ciptaan lahir. Hak cipta merupakan hak perdata yang melekat pada diri pihak pencipta. Hak cipta merupakan hak privat. Pembenarannya ialah karena suatu ciptaan dilahirkan oleh kreasi pencipta. Kreasi yang muncul dari adanya olah pikiran dan kreativitas dari sang pencipta. Suatu hak cipta haruslah lahir dari kreativitas manusia bukan yang telah ada di luar aktivitas atau di luar hasil kreativitas manusia. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Disebut hak eksklusif karena hak tersebut hanya diperuntukkan bagi pencipta, dengan demikian melarang/membatasi pihak lain untuk menggunakan hak tersebut tanpa izin pencipta. Pemegang hak cipta yang bukan pencipta hanya memiliki Sebagian dari hak ekslusif yaitu berupa hak ekonomi. Hak moral dibedakan dengan hak ekonomi, hak ekonomi mengandung nilai ekonomis, sedangkan hak moral sama sekali tidak memiliki nilai ekonomis.[1]

Hak moral ialah hak yang melekat kepada diri pencipta. Hak moral tidak dapat dihapus biarpun jangka waktu perlindungan hak cipta telah berakhir. Hak moral tidak dapat dialihkan selama pencipta masih, tetapi dapat dialihkan denga wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah pencipta meninggal dunia. Hak moral juga mencakup dalam hak-hak terkait (neighboring rights).[2]

Hak ekonomi merupakan hak bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapat nilai ekonomis atas ciptaannya. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemegang hak ekonomi ialah: penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuk; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian; pengaransemen atau pentrasformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukkan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan.[3]

Hak–hak tersebut tidak hanya memberi keuntungan terhadap diri pribadi namun juga memberikan harapan kepada pertumbuhan ekonomi kreatif, perkembangan ekonomi kreatif yang pesat perlu dibentengi dengan perlindungan hukum mengigat hak cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional.[4]

Karya arsitektur termasuk sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal tersebut berbunyi:

“Pasal 40

(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:

a.buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b.ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c.alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d.lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e.drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f.karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

g.karya seni terapan;

h.karya arsitektur;

i.peta;

j.karya seni batik atau seni motif lain;

k.karya fotografi;

l.Potret;

m.karya sinematografi;

n.terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

o.terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

p.kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;

q.kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

r.permainan video; dan

s.Program Komputer.”

Selain hasil karya yang dilindungi, terdapat juga hasil karya yang tidak dilindungi hak cipta berdasarkan pasal 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu:

“Pasal 41

Hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi:

a.hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;

b.setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan

c.alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.

“Pasal 58

1.Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:

a.buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b.ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c.alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d.lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e.drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f.karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

g.karya arsitektur;

h.peta; dan

i.karya seni batik atau seni motif lain,

berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.

Pasal 59

1.Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:

a.karya fotografi;

b.Potret;

c.karya sinematografi;

d.permainan video;

e.Program Komputer;

f.perwajahan karya tulis;

g.terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

h.terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

i.kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer atau media lainnya; dan

j.kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli,

berlaku selama 50 (1ima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman.

Dalam penjelasan pada Pasal 40 huruf h Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan karya arsitektur antara lain, wujud fisik bangunan, penataan letak bangunan, gambar rancangan bangunan, gambar teknis bangunan, dan model atau maket bangunan. Dari penjelasan mengenai pengertian karya arsitektur ini dapat dilihat bahwa suatu karya arsitektur tidaklah harus berbentuk bangunan nyata, melainkan cukup dengan adanya gambar rancangan saja sudah dapat dinyatakan sebagai suatu karya arsitektur.[1]

Berdasarkan penjelasan tersebut, Gambar rancangan arsitektur yang didesain melalui program komputer pun dapat mengalami pengubahan yang tidak akan dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, jika pengubahan tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis[na1] , sesuai dengan ketentuan pada Pasal 44 ayat 1 dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Adapun bunyi pasal tersebut ialah:

“Pasal 44

(1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:

a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;

b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;

c.ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

d.pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta

(3)Dalam hal Ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.”

Selanjutnya mengenai siapa yang berhak atas hak cipta dari suatu karya arsitektur yang didesain pada suatu program komputer dapat diketahui berdasarkan perjanjian yang dilakukan oleh para pihak. Dalam membuat karya arsitektur dengan menggunakan program komputer, sebelum digunakan, pencipta karya harus menyetujui syarat dan ketentuan penggunaan yang tercantum pada kebijakan program komputer. Dalam hal syarat dan ketentuan penggunaan menetapkan bahwa hak cipta atas ciptaan direncanakan untuk diproduksi dimana pencipta yang menggunakan program komputer menyetujui syarat dan ketentuan penggunaan, maka hak cipta atas ciptaan tersebut akan menjadi diproduksi dengan tunduk pada perjanjian kepemilikan hak cipta yang ditetapkan berdasarkan syarat dan ketentuan yang telah disetujui sebelumnya oleh pengguna yang tercantum pada kebijakan program komputer.

Kemungkinan terjadinya pelanggaran hak cipta pada karya arsitektur tergolong cukup tinggi. Pelanggaran Hak Cipta pada karya arsitektur dapat berupa dilakukannya peniruan atau penjiplakan secara penuh dan utuh suatu karya cipta arsitektur tanpa seizin pencipta yang bersangkutan, juga dapat berupa meniru, menambah, merubah, beberapa bentuk dari karya cipta arsitektur tanpa seizin pencipta sehingga menghasilkan karya cipta arsitektur baru. Pelanggaran Hak Cipta peniruan terkait karya arsitektur ini berupa kemiripan hingga nyaris serupa antara karya arsitektur yang satu dengan yang lainnya. Hak Cipta merupakan permasalahan budaya dan paradigma dalam pandangan tradisional yang hingga saat ini belum sepenuhnya lenyap, bahwasanya anggapan masyarakat suatu ciptaan selaku milik bersama dan walaupun hak individu atas ciptaan mendapatkan pengakuan, tetapi bentuk yang lebih ditonjolkan lebih pada perspektif moral Hak Cipta ketimbang nilai ekonomisnya.[1] Apabila karya arsitektur dari seorang arsitek dijiplak atau ditiru tanpa izin, ia akan mengalami kerugian dari segi ekonomi maupun segi moral. Pencipta dapat manfaat ekonomi atas ciptaannya sendiri serta produk terkait karena Hak Ekonomi tersebut.[2]

Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di dalamnya mengatur perlindungan yang diberikan untuk para pencipta atas karyanya dimana disebutkan:

“Pasal 9

(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”

Kemudian Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur hak ekonomi dari pencipta dan pemegang hak cipta sebagaimana berbunyi:

“Pasal 9

(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:

a.penerbitan Ciptaan;

b.Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;

c.penerjemahan Ciptaan;

d.pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;

e.Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;

f.pertunjukan Ciptaan;

g.Pengumuman Ciptaan;

h.Komunikasi Ciptaan;

i.penyewaan Ciptaan.

Hal ini mendukung pihak pencipta agar apabila terjadi kasus peniruan karya cipta arsitektur, sudah merupakan pelanggaran Hak Cipta. Dengan adanya hak ekonomi, melarang orang lain menggunakan suatu karya cipta dengan tujuan mengkomersialkannya tanpa seizin pencipta. Maksud dari menggunakan karya tersebut untuk komersial sebagai halnya diatur dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu pemanfaatan ciptaan dan/atau produk terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.[1]

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mengatur secara detail mengenai pokok-pokok dari karya arsitektur yang dapat dilindungi sebagai syarat penilaian untuk menentukan suatu karya arsitektur bisa dikatakan sebagai karya orisinil atau karya hasil menjiplak dari karya lain. Dari segi hak moral dan juga hak ekonomi, perbuatan menjiplak karya arsitektur tanpa mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengkomersialkannya merupakan suatu pelanggaran.[2]

Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur bahwa gugatan perdata dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta karya arsitektur yang mengalami kerugian karena terjadi pelanggaran atas karyanya. Adapun bunyi pasal tersebut ialah:

“Pasal 99

  • Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait.”

Tidak hanya gugatan perdata yang dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang, tuntutan pidana juga dapat diajukan terhadap pelaku pelanggaran hak cipta karya arsitektur tanpa izin pencipta yang karya baru dari hasil peniruan tersebut dikomersialisasikan. Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur ketentuan pidananya yang berbunyi:

“Pasal 113

melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta yang berbentuk penerbitan Ciptaan, segala bentuk penggandaan ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, dan/atau pengumuman ciptaan untuk digunakan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Semenjak berlakunya Undang – Undang Hak Cipta terbaru yakni Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa pelanggaran Hak Cipta merupakan delik aduan, sebagai halnya tercantum dalam Pasal 120 UU Hak Cipta tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini merupakan delik aduan. Bisa disimpulkan bahwa harus ada orang yang melapor dahulu dengan permintaan untuk melakukan tuntutan terhadap orang atau pihak tertentu agar tindak pidana dapat dilakukan penuntutan.[1] Harapan kedepannya terjadinya suatu pelanggaran hak cipta bisa dicegah dengan adanya pengaturan serta sanksi pidana yang besar, terutama di bidang karya arsitektur yang memiliki kemungkinan terjadinya suatu pelanggaran hak cipta di kemudian hari. Sangat dianjurkan kepada pencipta maupun pemegang hak cipta agar karya ciptanya dicatatkan, walaupun tidak memerlukan pencatatan karena Hak Cipta bersifat otomatis yang muncul ketika sebuah karya telah tercipta. Apabila di kemudian hari terjadi sengketa atas suatu karya cipta, Surat Pencatatan Ciptaan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan.[2] Oleh karena itu, penting untuk mencatatkan karya arsitektur sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek yang mengatur bahwa arsitek berhak mendaftarkan kekayaan intelektual atas hasil karyanya.


[1] Jamba, Padrisan, Analisis Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia, Jurnal: Cahaya Keadilan, Tahun 2015, hal. 34-35

[2] Maharani, Desak Komang Lina, and I. Gusti Ngurah Parwata, Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019): 9



[1] Yogiswari, Ni Made Dharmika, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Hak Cipta Lagu Terhadap Kegiatan Aransemen, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya Hukum Udayana 8, no. 5 Tahun 2020, hal. 703

[2] Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Op. Cit., hal 338



[1] Ambarwati, Ni Made Denny, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Komik Terkait Pembajakan Komik Pada Situs Online, Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 Tahun 2019, hal. 7

[2] Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Perlindungan Hukum Terkait Pelanggaran Atas Hak Cipta Terhadap Karya Arsitektur Lanskap, dalam Jurnal Kertha Negara Vol. 9, No. 5 Tahun 2021, hlm. 337


[1] Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015)

[2] Khwarizmi Maulana Simatupang, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital, dalam Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 15, No. 1, Maret 2021, hal. 71

[3] Loc. cit

[4] Ahmad M. Ramli, Hak Cipta Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif (Bandung: P,T. ALUMNI, 2018)


[1] Leonard Julio Axel Mahal, Perlindungan Hukum Atas Rumah Adat Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, dalam Jurnal Dharmasisya Vol. 1, No.1, Maret 2021, hlm. 523.

[2] Eko Budihardjo, Arsitek Bicara Tentang Arsitektur Indonesia, (Alumni, Bandung, 1987), hal. 75.

[3] Hendraningsih, Peran, Kesan, dan Bentuk-bentuk Arsitektur, (Djambatan, Bandung, 1985), hal. 5.

[4] H.K. Ishar, Pedoman Umum Merancang Bangunan, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985), hal. 75.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 28 of 2014 concerning the Copyright
  2. Law Number 6 of 2017 concerning Architect

REFERENCE:

  1. Leonard Julio Axel Mahal, Perlindungan Hukum Atas Rumah Adat Sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, dalam Jurnal Dharmasisya Vol. 1, No.1, Maret 2021
  2. Eko Budihardjo, Arsitek Bicara Tentang Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung, 1987
  3. Hendraningsih, Peran, Kesan, dan Bentuk-bentuk Arsitektur, Djambatan, Bandung, 1985.
  4. H.K. Ishar, Pedoman Umum Merancang Bangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985.
  5. Ambarwati, Ni Made Denny, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Komik Terkait Pembajakan Komik Pada Situs Online, Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (2019)
  6. Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Perlindungan Hukum Terkait Pelanggaran Atas Hak Cipta Terhadap Karya Arsitektur Lanskap, dalam Jurnal Kertha Negara Vol. 9, No. 5 Tahun 2021.
  7. Yogiswari, Ni Made Dharmika, and I. Nyoman Mudana, Perlindungan Hukum Hak Cipta Lagu Terhadap Kegiatan Aransemen, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya Hukum Udayana 8, no. 5 (2020)
  8. Jamba, Padrisan, Analisis Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia, Jurnal: Cahaya Keadilan, (2015)
  9. Maharani, Desak Komang Lina, and I. Gusti Ngurah Parwata, Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019)
  10. Ok Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015)
  11. Khwarizmi Maulana Simatupang, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Digital, dalam Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 15, No. 1, Maret 2021
  12. Ahmad M. Ramli, Hak Cipta Disrupsi Digital Ekonomi Kreatif (Bandung: P,T. ALUMNI, 2018)

The development of development in Indonesia cannot be separated from the role of architects who produce copyrighted works in the field of architecture, this can be seen clearly, especially the development of the physical aspect, where there are so many beautiful and magnificent buildings with architectural styles that vary from one to another. other. The construction of the building can be in the form of residential houses, offices, shopping centers, recreation centers, and others, which have distinctive and unique artistic values ​​with beautiful architectural styles. However, in Indonesia itself, the protection and discussion of the protection of architectural works is also rarely discussed, especially because there is still a lack of awareness about the protection of architectural works. Based on this, the question arises, how should copyright protection be applied to architectural works designed using computer programs?

In general, architecture is defined as the art of creating spaces and buildings to provide a forum for common life. Furthermore, according to Van Ramondt, a professor at the Bandung Institute of Technology (ITB), architecture is a space where people live happily. Architecture in the above sense is only associated with the creation of beautiful buildings and rooms and only as a place for human life. Architecture is the art of designing buildings so that they have aesthetic/beauty values. Beauty is values ​​that are pleasing to the eye, mind and ear.

While a computer program has an understanding based on Article 1 number 9 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely:

“Article 1

9.Computer Program is a set of instructions that are expressed in the form of language, code, scheme, or in any form intended for computers to work to perform a certain function or to achieve a certain result.”

The definition of Copyright itself is stated in Article 1 number 1 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright which states that: 

“Article 1

1.Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is realized in tangible form without reducing restrictions. in accordance with the provisions of the legislation.”

Copyright is born and arises from the results of human thought in the fields of science, art, and literature. Copyright arises automatically as soon as a work is born. Copyright is a civil right attached to the creator. Copyright is a private right. The justification is because a creation is born by the creator’s creation. Creations that arise from the thought and creativity of the creator. A copyright must be born from human creativity, not something that already exists outside the activity or the result of human creativity. Copyright is an exclusive right which consists of moral rights and economic rights. It is called an exclusive right because the right is only reserved for the creator, thus prohibiting/restricting other parties from using the right without the author’s permission. Copyright holders who are not creators only have part of the exclusive rights, namely in the form of economic rights. Moral rights are distinguished from economic rights, economic rights contain economic value, while moral rights have no economic value at all.

Moral rights are rights attached to the creator. Moral rights cannot be removed even after the copyright protection period has expired. Moral rights cannot be transferred as long as the creator is still alive, but can be transferred by will or other reasons in accordance with the provisions of the legislation after the author dies. Moral rights also include neighboringrights.

Economic rights are the rights for creators or copyright holders to get economic value for their creations. Activities that economic rights holders can perform are: publication of inventions; duplication of creation in all forms; translation of inventions; adaptation; arrangement or transformation of the invention; distribution of creations or copies thereof; invention show; announcement of invention; creative communication; and rental of inventions.

These rights not only provide personal benefits but also give hope to the growth of the creative economy, the rapid development of the creative economy needs to be fortified with legal protection considering that copyright is the most important basis of the national creative economy.

Architectural works are included as one of the protected works under Article 40 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The article reads:

“Article 40

(1)Protected works include works in the fields of science, art, and literature, consisting of:

a.books, pamphlets, presentations of published works, and all other written works;

b.lectures, lectures, speeches, and other similar creations;

c.teaching aids made for the benefit of education and science;

d.songs and/or music with or without subtitles;

e.drama, musical drama, dance, choreography, wayang, and mime;

f.works of art in all forms such as paintings, drawings, carvings, calligraphy, sculptures, sculptures, or collages;

g.applied art;

h.architectural works;

i.map;

j.batik art or other motif art;

k.photographic works;

l.Portrait;

m.cinematographic works;

n.translation, interpretation, adaptation, anthology, database, adaptation, arrangement, modification and other works resulting from the transformation;

o.translation, adaptation, arrangement, transformation, or modification of traditional cultural expressions;

p.compilation of Works or data, either in a format that can be read with a Computer Program or other media;

q.a compilation of traditional cultural expressions as long as the compilation is an original work;

r.video games; and

s.Computer program.”

In addition to protected works, there are also works that are not protected by copyright under Article 41 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely:

“Article 41

Works that are not protected by copyright include:

a. works that have not been realized in real form;

b. any ideas, procedures, systems, methods, concepts, principles, findings or data even though they have been expressed, stated, described, explained, or combined in a Work; and

c. a tool, object, or product that is created only to solve a technical problem or whose form is only intended for functional needs.”

Classification of protection against a copyright is divided into protection for 70 years, 50 years and 25 years depending on the creation. Protection for architectural works is valid for the lifetime of the creator and continues for 70 years after the author’s death, while protection for computer programs is valid for 50 (fifty) years since the announcement was made, in accordance with the contents Article 58 paragraph (1) and 59 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The article reads:

“Article 58

(1)Copyright Protection of Works:

a.books, pamphlets, and all other written works;

b.lectures, lectures, speeches, and other similar creations;

c.teaching aids made for the benefit of education and science;

d.songs or music with or without subtitles;

e.drama, musical drama, dance, choreography, wayang, and mime;

f.works of art in all forms such as paintings, drawings, carvings, calligraphy, sculptures, sculptures, or collages;

g.architectural works;

h.map; and

i.a batik art work or other motif art,is valid for the life of the Creator and continues for 70 (seventy) years after the Creator’s death, commencing on January 1 of the following year.

“Article 59

(1)Copyright Protection of Works:

a.photographic works;

b.Portrait;

c.cinematographic works;

d.video games;

e.Computer program;

f.the appearance of the written work;

g.translation, interpretation, adaptation, anthology, database, adaptation, arrangement, modification and other works resulting from the transformation;

h.translation, adaptation, arrangement, transformation or modification of traditional cultural expressions;

i.compilation of Works or data, whether in a format that can be read by Computer Programs or other media; and

j.compilation of traditional cultural expressions as long as the compilation is an original work,

valid for 50 (fifty) years from the first announcement.

In the explanation of Article 40 letter h of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, it is stated that what is meant by architectural works include, among others, the physical form of the building, the layout of the building, drawings of building designs, technical drawings of buildings, and building models or mockups. From the explanation of the meaning of this architectural work, it can be seen that an architectural work does not have to be in the form of a real building, but it is sufficient that the design drawing alone can be declared as an architectural work.

Based on the explanation above, Architectural design drawings designed through computer programs can also undergo changes that will not be considered as copyright infringement, if the changes are made based on considerations of technical implementation, in accordance with the provisions of Article 44 paragraph 1 and paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The article reads as follows:

“Article 44

(1)The use, retrieval, reproduction, and/or modification of a Work and/or Related Rights product in whole or in part substantially is not considered a Copyright infringement if the source is mentioned or fully stated for the purposes of:

a.education, research, writing scientific papers, compiling reports, writing criticism or reviewing a problem without prejudice to the reasonable interests of the Author or Copyright Holder;

b.security and administration of government, legislature and judiciary;

c.lectures for educational and scientific purposes only; or

d.performances or performances that are free of charge provided that they do not harm the reasonable interests of the Author

(3)In the event that the Creation is in the form of an architectural work, the alteration as referred to in paragraph (1) shall not be considered as a Copyright infringement if it is carried out based on considerations of technical implementation.”

Furthermore, who is entitled to the copyright of an architectural work designed on a computer program can be known based on an agreement made by the parties. In making architectural work in a computer program, of course, before using the computer program, the creator of the work must agree to the terms and conditions of use of the computer program. If the terms and conditions of use regulate the copyright of a work to be produced, and the user of the computer program agrees to the terms and conditions of use, then the copyright of the work to be produced follows the copyright ownership agreement contained in the terms and conditions. terms that have been previously agreed upon by the user of the computer program.

The possibility of copyright infringement on architectural works is quite high. Copyright infringement on architectural works can be in the form of imitation or replication in full and intact an architectural copyrighted work without the permission of the relevant creator, it can also be in the form of imitating, adding, changing, several forms of architectural copyrighted works without the permission of the creator so as to produce new architectural works. Copyright infringement of imitation related to this architectural work is in the form of similarities to almost the same between one architectural work and another. Copyright is a cultural and paradigm problem in the traditional view which until now has not completely disappeared, that the community assumes a creation as a common property and even though individual rights to a work get recognition, the form that is highlighted is more in the moral perspective of Copyright than its economic value. If the architectural work of an architect is replicated or imitated without permission, he will experience losses from an economic and moral point of view. The creator gets economic benefits from his own creation and related products because of the Economic Rights.

Article 9 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright in it regulates the protection given to creators for their works where it is stated:

“Article 9

(3) Any person without the permission of the Author or Copyright Holder is prohibited from Reproduction and/or Commercial Use of Works.”

Then Article 9 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright regulates the economic rights of creators and copyright holders as follows:

“Article 9

(1)The Creator or Copyright Holder as referred to in Article 8 has economic rights to:

a.publication of Works;

b.Reproduction of Works in all its forms;

c.translation of Works;

d.adapting, arranging, or transforming the Works;

e.Distribution of Works or copies thereof;

f.performances of Creation;

g.Announcement of Works;

h.Creative Communications;

i.rental of Works.

This supports the creator so that if there is a case of imitation of architectural copyrighted works, it is already a Copyright violation. With the existence of economic rights, prohibiting other people from using a copyrighted work with the aim of commercializing it without the permission of the creator. The purpose of using the work for commercial purposes is as regulated in Article 1 number 24 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely the use of related works and/or products with the aim of obtaining economic benefits from various sources or paid.

Law Number 28 of 2014 concerning Copyright has not regulated in detail the main points of architectural works that can be protected as a condition of assessment to determine that an architectural work can be said to be an original work or a work of imitation from other works. In terms of moral rights as well as economic rights, the act of replicating architectural works without obtaining permission from the creator or copyright holder to commercialize them is a violation.

Article 99 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright stipulates that a civil lawsuit can be filed by the creator or copyright holder of architectural works who suffer losses due to infringement of their works. The article reads as follows:

“Article 99

(1)Authors, Copyright Holders, or Related Rights owners have the right to file a claim for compensation to the Commercial Court for infringement of Copyright or Related Rights products.”

Not only civil lawsuits that can be filed by creators or holders, criminal charges can also be filed against perpetrators of copyright infringement of architectural works without the permission of the creator whose new works of imitation are commercialized. Article 113 paragraph (3) of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright regulates the criminal provisions which read:

“Article 113

(3)violates the economic rights of the Creator in the form of publishing the work, all forms of duplicating the work, distributing the work or copies thereof, and/or publishing the work. for commercial use shall be punished with imprisonment for a maximum of 4 (four) years and/or a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).”

Since the enactment of the latest Copyright Law, namely Law no. 28 of 2014 concerning Copyright states that Copyright infringement is a complaint offense, as stated in Article 120 of the Copyright Law, a criminal act as referred to in this law is a complaint offense. It can be concluded that there must be someone who reports first with a request to make a claim against a certain person or party so that a criminal act can be prosecuted. It is hoped that in the future the occurrence of a copyright infringement can be prevented by the existence of regulations and large criminal sanctions, especially in the field of architectural works which have the possibility of a copyright infringement in the future. It is highly recommended to creators and copyright holders that their copyrighted work be registered, even though it does not require registration because Copyright is automatic which appears when a work has been created. If in the future there is a dispute over a copyrighted work, the Copyright Registration Letter can be used as evidence in court. Therefore, it is important to register architectural works as regulated in Article 21 of Law Number 6 of 2017 concerning Architects which stipulates that architects have the right to register intellectual property for their works.

1 2 3 4 5 6 18
Translate