0

PELUNCURAN APLIKASI BARU DITJEN PAJAK, DARI PEMETAAN KEPATUHAN HINGGA TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Author : Bryan Hope Putra Benedictus, Co-Author : Anggie Fauziah Dwiliandari

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-24/PJ/2019 menjelaskan Compliance Risk Management (“CRM”) sebagai proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh yang mencakup identifikasi, pemetaan, dan mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak serta evaluasinya. Dalam perkembangannya, Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) menyempurnakan implementasi CRM sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-39/PJ/2021. Setelah lebih dulu menggunakan CRM untuk Fungsi Pengawasan dan Pemeriksaan, Fungsi Penagihan, Fungsi Ekstensifikasi, Transfer Pricing, dan Edukasi Perpajakan, DJP secara resmi meluncurkan 2 (dua) aplikasi terbarunya, yakni CRM Fungsi Penegakan Hukum dan CRM Fungsi Penilaian. Keduanya merupakan alat indikator dalam menentukan prioritas wajib pajak yang perlu dilakukan tindakan penegakan hukum atau kegiatan penilaian secara teratur dan efisien. Aplikasi CRM yang baru diluncurkan ini akan menjadi landasan bagi DJP menuju implementasi Core Tax Administration System atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (“PSIAP”) pada 2023.

Aplikasi CRM merupakan salah satu perwujudan dari reformasi fundamental sebagai prasyarat implementasi sistem administrasi perpajakan modern, serta pembaruan perpajakan berkelanjutan dari amnesti pajak serta tranparansi informasi keuangan. Tidak hanya itu, aplikasi CRM juga didukung oleh banyak business intelligence, di antaranya Smartweb, Ability to Pay, Dashboard WP Madya, dan Smartboard. Produk-produk ini merupakan upaya serius DJP untuk mewujudkan komitmennya menjadi data driven organisation.

Pada prinsipnya, CRM Fungsi Penegakan Hukum akan memberikan gambaran terkait dengan wajib pajak yang mendapat prioritas untuk dilakukan penegakan hukum terhadapnya, dengan mengacu pada beberapa ketentuan pasal berikut ini.

  1. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU No. 16 Tahun 2000”) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”).
  2. Pasal 37A, 38, 39, 39A, 41, 41A, 41B, dan 41C Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU No. 28 Tahun 2007”) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP.
  3. Pasal 40 UU HPP.

CRM Fungsi Penegakan Hukum juga memetakan 3 (tiga) tindak pidana perpajakan yang membuat wajib pajak memiliki risiko tinggi. Ketiga tindak pidana yang dimaksud, yaitu pungut tidak setor (Pasal 39A ayat (1) UU KUP), faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (Pasal 39A ayat (1) UU KUP), dan percobaan restitusi atau kompensasi pajak (Pasal 39A ayat (2) UU KUP). Di sisi lain, CRM Fungsi Penilaian akan memberikan peta kepatuhan wajib pajak yang didasarkan pada kegiatan-kegiatan yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU PPh”), serta Pasal 16C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU PPN”).

Pasal 10

  • “Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
  • Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
  • Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.”[1]

Pasal 16C

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiriatau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”[2]

Pengembangan aplikasi CRM dinilai sebagai terobosan dalam menjawab tantangan keterbatasan sumber daya manusia dan waktu (early warning berdasarkan posisi risiko). Kedua aplikasi CRM yang baru diluncurkan oleh DJP ini merupakan hasil kerja sama dan kolaborasi daribanyak pihak dan pemangku kepentingan, di antaranya direktorat teknis terkait sebagai business owner, pengembang aplikasi, dan unit vertikal sebagai pengguna. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP, Dasto Ledyanto, mengenai kedua aplikasi CRM.[3] Proses pengembangan CRM dilakukan melalui berbagai tahapan dan international best practice OECD CRM Model, dengan pemenuhan parameter penilaian kesehatan otoritas pajak se-dunia, Tax Administration Diagnostic Assessment Tools (“TADAT”).[4]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Referensi:

DDTC.co.id, https://news.ddtc.co.id/prioritas-wajib-pajak-dalam-penegakan-hukum-djp-pakai-aplikasi-baru-38434, diakses pada 15 Juni 2022.


[1] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991

[2] Pasal 16C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

[3] DDTC.co.id, https://news.ddtc.co.id/prioritas-wajib-pajak-dalam-penegakan-hukum-djp-pakai-aplikasi-baru-38434, diakses pada 15 Juni 2022.

[4] ibid.

0

KEABSAHAN MOU KOPERASI SIMPAN PINJAM

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Ratumas Amaraduhita Renggangningtyas Arham

Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Bersama (KSP SB) dan Koperasi Simpan Pinjam Fadillah Insan Mandiri (KSP FIM) dinyatakan tidak sah oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM).[1] Melalui siaran pers Mei 2022 lalu, Komenkop UKM mengatogorikan MoU dalam bentuk novasi tersebut cacat hukum sebab belum diputuskan dan disepakati dalam Rapat Anggota.

Berdasarkan Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Margaretha Donda dkk. dalam “Asas Itikad Baik dalam Memorandum of Understanding Sebagai Dasar Pembuatan Kontrak”, MoU adalah:

“MoU atau Memorandum of Understanding adalah sebuah bentuk letter of intent atau bentuk pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, merupakan suatu tulisan tanpa menjanjikan apapun sebagai awal untuk kesepakatan”.[2]

Di Indonesia, MoU atau nota kesepahaman sendiri tidak diatur secara spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Namun, MoU dapat dibuat atas dasar asas kebebasan berkontrak dan tetap berlaku baginya asas pacta sunt servanda yang tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan:

“Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”[3]

Dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Bersama (KSP SB) dan Koperasi Simpan Pinjam Fadillah Insan Mandiri (KSP FIM), MoU yang dimaksud dinyatakan dalam bentuk novasi dengan nomor perjanjian 403/KSP SB/PENGAWAS-PENGURUS/04-2022 dan nomor KSP FIM 030/MOU/KSP-FIM/IV/2022 berisi tentang pengalihan kewajiban KSP SB kepada KSP FIM.[4] Maka berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, KSP SB dan KSP FIM telah mengikatkan diri satu sama lain sesuai dengan pengertian perjanjian dalam KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian adalah:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.[5]

Sedangkan suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi syarat sah perjanjian yang termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan:

“Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. Suatu pokok persoalan tertentu
  4. Suatu sebab yang tidak dilarang”.[6]

Pokok permasalahan dari MoU antara KSP SB dan KSP FIM ialah MoU diputuskan dan disepakati di luar Rapat Anggota. Rapat Anggota adalah rapat yang diselenggarakan oleh pengurus dan dihadiri oleh anggota, pengurus dan pengawas. Sedangkan Rapat Anggota Luar Biasa adalah Rapat Anggota yang diselenggarakan apabila terjadi keadaan yang mengharuskan adanya keputusan cepat/segera yang wewenangnya ada pada Rapat Anggota.[7] Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Permenkop UKM) Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi, Rapat Anggota berwenang untuk menetapkan keputusan lain. Pasal 5 huruf d Permenkop UKM 19/2015 menyebutkan:

“Rapat Anggota berwenang:

d. menetapkan keputusan lain dalam batas yang ditentukan dalam Anggaran Dasar.”[8]

Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa MoU Koperasi Simpan Pinjam (maupun keputusan lain) sejatinya dapat ditetapkan apabila menjadi pembahasan dalam Rapat Anggota. Rapat Anggota wajib dilakukan oleh koperasi minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun buku dan dapat diselenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa apabila terdapat hal mendesak yang harus segera diputuskan, yang wewenangnya terletak pada Rapat Anggota. [9]

Referensi:

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  • Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

[1] CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220525202546-92-801282/kemenkop-ukm-sebut-mou-2-koperasi-simpan-pinjam-cacat-hukum diakses pada 15 Juni 2022

[2] Margaretha Donda dkk. (2019). Asas Itikad Baik dalam Memorandum of Understanding Sebagai Dasar Pembuatan Kontrak. Jurnal Notaire Universitas Airlangga 2(2). 235-236

[3] Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[4] CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220525202546-92-801282/kemenkop-ukm-sebut-mou-2-koperasi-simpan-pinjam-cacat-hukum diakses pada 15 Juni 2022

[5] Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[6] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[7] Pasal 1 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

[8] Pasal 5 huruf d Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

[9] Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 8 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Rapat Anggota Koperasi

0

CORPORATE CRIMES RELATED TO NUCLEAR POWER IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Adinda Aisyah Chairunnisa

DASAR HUKUM:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi  
REFERENSI: Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia. Bayu Media, Malang, 2005, hlm. xii-xivMuladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta“The Science of Nuclear Power”
https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power
Untar, “Hukum Pidana di Bidang Sumber Daya Alam”
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/buktipenelitian_10216001_2A171206.pdf
“Non-renewable resources” 
https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources
“Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Dalam mengahasilkan sumber daya alamnya, bumi menghasilkan dua jenis sumber daya, yakni Sumber daya terbarukan dan tak terbarukan. Kedua sumber tersebut sumber energi yang digunakan manusia untuk memenuhi fungsi kehidupan setiap harinya. Perbedaan antara kedua jenis sumber daya ini adalah bahwa sumber daya yang dapat diperbarui secara alami dapat mengisi kembali dirinya sendiri sementara sumber daya yang tidak dapat diperbarui tidak. Ini berarti bahwa sumber daya yang tidak dapat diperbaru jumlahnya terbatas dan tidak dapat digunakan secara berkelanjutan.[1]
Terdapat empat jenis utama sumber daya tak terbarukan yakni minyak, gas alam, batu bara, dan energi nuklir. Minyak, gas alam, dan batu bara secara kolektif disebut bahan bakar fosil tetapi energi nuklir berasal dari unsur radioaktif, terutama uranium, yang diekstraksi dari bijih yang ditambang dan kemudian disuling menjadi bahan bakar.[2] Secara ilmiah, energi nuklir sendiri adalah bentuk energi yang dilepaskan dari nukleus, inti atom, yang terdiri dari proton dan neutron. Sumber energi ini dapat dihasilkan dengan dua cara: fisi – ketika inti atom terpecah menjadi beberapa bagian – atau fusi – ketika inti bergabung bersama.[3] Dalam pemanfaatan sumber daya alamnya, Indonesia memiliki dasar yakni UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3)Pasca amandemen yang menyatakan:[na1]    “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”[4]   Sehingga sesuai dengan pasal yang disebutkan sebelumnya, pemanfaatan sumber daya yang ada di Indonesia merupakan suatu hal yang dikelola oleh pemerintah untuk kemakmuran rakyat. [na2] Sedangkan dalam hal nuklir, Indonesia memiliki pengaturannya yakni Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pada Undang – Undang tersebut menjelaskan pengertian ketenaganukliran:   “Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir.”[5]  
Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tentu hal ini dapat menjadi hal yang rawan kejahatan. Salah satu dari kejahatan tersebut adalah kejahatan korporasi. Kejahatan Korporasi atau kejahatan kerah putih diartikan sebagai kejahatan yang dimotivasi secara finansial dan biasanya dilakukan oleh para profesional dalam bidang bisnis dan aparat pemerintah.[6] Kemudian terdapat pendapat dari kriminolog dalam pengertiannya dikemukakan oleh kriminolog Marshall Clinard dan Richard Quinney yang, dalam teks klasik mereka Sistem Perilaku Kriminal, menyerukan perbedaan di antara jenis kejahatan kerah putih[na3] . Kejahatan kerah putih sendiri adalah kejahatan yang dilakukan oleh kaum elit, pengusaha, banker, atau para perjabat yang mempunyai peran dan fungsi strategis atau akses kebijakan strategis melalui korupsi, kecurangan, dan penipuan yang sangat merusak serta menimbulkan korban yang bersifat masal.[7] Kriminolog tersebut mengidentifikasi kejahatan korporasi dan kejahatan pekerjaan sebagai jenis umum dari kejahatan kerah putih. Kejahatan korporasi mengacu pada situasi di mana pejabat perusahaan melakukan tindakan kriminal atau berbahaya untuk kepentingan korporasi, sedangkan kejahatan kerja mengacu pada situasi di mana individu karyawan melakukan kejahatan terhadap korporasi, tempat kerja, atau konsumen selama masa kerja.[8] Sehingga dalam hal ketenaganukliran ini, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dapat saja dilakukan oleh pejabat ataupun karyawan perusahaan bidang ketenagnukliran.
Di Indonesia sendiri kejahatan korporasi tidak diatur secara eksplisit pada suatu peraturan yang menampung seluruh jenis kejahatannya akan tetapi Indonesia mencantumkan bentuk – bentuk kejahatan pidana pada tiap – tiap peraturan yang relevan dan terdapat peraturan yang mengatur tata cara pidana terhadap korporasi yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.[na4] 
Lantas bagaimanakah kejahatan korporasi yang diatur pada bidang ketenaganukliran Indonesia? Undang – Undang Ketenaganukliran tidak mengatur secara khusus mengenai kejahatan korporasi yang dapat terjadi, namun bentuk – bentuk kejahatan yang tercantum dapat dilakukan oleh korporasi, ketentuan tersebut yakni Pidana pada Ketenaganukliran, tercantum pada Bab 8 Undang – Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 41 hingga Pasal 44 yang menyatakan bahwa:[na5] 
(1)Barangsiapa membangun, mengoperasikan, atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
(2)Barangsiapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 42
(1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan Kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 43
(1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 44 (1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) untuk penghasil limbah radioatif tingkat rendah dan tingkat sedang dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.[na6]  Walaupun tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mengenai pengertian barang siapa, kita dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendefinisikan setiap orang atau dapat disamakan dengan barang siapa adalah perseorangan atau termasuk korporasi.[9] Hal ini menunjukan bahwa Korporasi pun dapat terjerat dalam pasal-pasal ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang dimana hal ini juga termasuk pada bidang pembahasan ini yaitu ketenaganukliran, ditemukan tiga model pertanggungjawaban:[10] Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab. Gagasan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena penguruslah yang akan selalu dianggap sebagai pelaku dari delik tersebut. Kedua, Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Model ini memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya dengan menetapkan pengurus sebagai yang bertanggung jawab, tidaklah cukup.[11][na7]  Merujuk pada pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, disebutkan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi;Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atauKorporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegak dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.[12] Dalam pertanggung jawabannya terhadap kejahatan, perusahaan tunduk pada peraturan – pertaruran yang berlaku, menjadikan perusahaan sebagai sebuah subjek hukum dan dijatuhkan hukum sesuai dengan ketentuan pertanggung jawaban yang berlaku.      
LEGAL BASIS:
The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations

REFERENCES:  Setiyono, Crime Corporations: Victimology Analysis and Corporate Liability in Indonesian Criminal Law. Bayu Media, Malang, 2005, p. xii-xiv Muladi and Dwija Priyatno, 2013, Corporate Criminal Liability (Revised Edition), Kencana Pernada Media Group, Jakarta “The Science of Nuclear Power”
https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power
Untar , “Criminal Law in the Field of Natural Resources”
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/elektropenelitian_10216001_2A171206.pdf
“Non-renewable resources”  
https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources
“Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml  

Indonesia is a country that rich in natural resources. In producing its natural resources, the earth has two types of resources: renewable and non-renewable. Both sources are sources of energy that humans use to fulfil life functions every day. The difference between these two types of resources is that a renewable resource can naturally replenish itself while a non-renewable resource cannot. This means that non-renewable resources are limited in number and cannot be used sustainably.  
There are four primary non-renewable resource types: oil, natural gas, coal and nuclear. Oil, natural gas, and coal are collectively called fossil fuels. Still, nuclear energy comes from radioactive elements, especially uranium, extracted from ore mined and refined into fuel. Scientifically, nuclear energy is a form of energy released from the nucleus of an atom, which consists of protons and neutrons. This energy source can be generated in two ways: fission – when the nucleus of an atom is split into several pieces – or fusion – when the nuclei are joined together. In the utilization of its natural resources, Indonesia has a basis, namely the 1945 Constitution of the Unitary State of the Republic of Indonesia article 33 number 3 after the amendment which states:   “Earth, water and the wealth contained therein are controlled by the state and used as much as possible for the prosperity of the people”   So in accordance with the article previously mentioned, the utilization of existing resources in Indonesia is something that is managed by the government for the prosperity of the people. Meanwhile, in terms of nuclear, Indonesia has the regulation, namely Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy. The law explains the meaning of nuclear energy:     “Nuclear energy is matters relating to the utilization, development, and control of nuclear science and technology as well as the supervision of activities related to nuclear power.”   With abundant natural resources, of course this can be a crime-prone thing. One of these crimes is corporate crime.     Corporate crime or white-collar crime is defined as a financially motivated crime and is usually perpetrated by business professionals and government officials. In this sense, criminologists Marshall Clinard and Richard Quinney put forward corporate crime. Their classic text, The System of Criminal Behavior, called for a distinction between types of white-collar crime. White-collar crime itself is a crime committed by elites, businessmen, bankers, or officials who have strategic roles and functions or access strategic policies through corruption, fraud, and fraud which are very destructive and cause mass victims. The authors identify corporate and occupational crime as common types of white-collar crime. Corporate crime is when a company official commits a criminal or harmful act for the corporation’s benefit. In contrast, an occupational crime is when an individual employee commits a crime against the corporation, workplace, or consumer during their tenure. So in this nuclear case, corporate crime is a crime that can be committed by officials or employees of nuclear companies.            
In Indonesia, corporate crime is not regulated explicitly in a regulation that accommodates all types of crimes. Still, Indonesia lists the forms of criminal offences in each relevant law. Some rules regulate criminal procedures against corporations, namely the Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations.      
So how are corporate crimes regulated in Indonesia’s nuclear sector? The Nuclear Law does not specifically regulate corporate crimes that can occur, but the forms of crimes listed can be carried out by corporations, the provisions of which are Crimes on Nuclear Energy, listed in Chapter 8 of Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Articles 41 to 44 which states that:    
(1) Whoever builds, operates, or decommissions a nuclear reactor without a permit as referred to in Article 17 paragraph (2) shall be punished with imprisonment for a maximum of 15 (fifteen) years and a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah)  
(2) Whoever commits an act as referred to in paragraph (1) which causes nuclear loss, shall be punished with life imprisonment or imprisonment for a maximum of 20 (twenty) years and a maximum fine of Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah).  
(3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.  
Article 42
(1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 19 paragraph (1) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 50,000,000.00 (fifty million rupiahs). ). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to confinement for a maximum of 6 (six) months.   Article 43
(1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 17 paragraph (1) shall be punished with a fine of not more than Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.   Article 44 (1) Whoever commits an act that is contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (2) for high-level radioactive waste producer shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp.300,000,000.00 ( three hundred million rupiah).   (2) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (1) for low-level and medium-level radioactive waste producers shall be punished with a maximum fine of Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.   Although it is not explained in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy regarding the definition of whosoever, we can refer to Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption which defines every person or can be equated with whoever is an individual or including a corporation. This shows that corporations can also be entangled in articles of criminal provisions in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy.     Regarding corporate criminal liability, which is also included in the field of discussion, namely nuclear energy, three models of liability were found: First, the corporate management as the maker and management is responsible. This idea is based on the idea that legal entities cannot be held criminally accountable, because it is the management who will always be considered the perpetrators of the offense. Second, the Corporation as a responsible maker and administrator. So this model realizes that the corporation is the maker but the responsibility is left to the management. Third, the corporation as the maker and also as the one who is responsible. This model pays attention to the development of the corporation itself, because it turns out that simply assigning the board as the responsible person is not enough.   Referring to article 4 paragraph (2) of the Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations, it is stated that in imposing a crime against a corporation, the Judge can assess the corporation’s faults, including: Corporations can obtain profits or benefits from the crime or the crime is carried out for the benefit of the corporation;Corporations allow criminal acts to occur; orthe Corporation does not take the necessary steps to prevent, prevent a bigger impact and ensure compliance with applicable legal provisions in order to avoid the occurrence of criminal acts.     In being responsible for crimes, the company complies with the applicable regulations, makes the company a legal subject and is imposed by law by the applicable liability provisions.  

[1] https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources Diakses pada tanggal 9 Juni 2022 pukul 13.02

[2] ibid

[3] https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power diakses pada tanggal 09 Juni 2022 Pukul 13.15

[4] Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar NKRI 1945

[5] Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

[6] https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/970/keberadaan-kerah-putih-dibalik-kasus-pencucian-uang.html diakses pada tanggal 14 Juni 2022 pukul 20.51

[7] Frassminggi Kamasa, Kejahatan Kerah Putih, Kontraterorisme dan Perlindungan Hak Konstitusi Warga Negara dalam Bidang Ekonomi, Jurnal Konstitusi Vol. 11, No. 4, 2014, hal. 783

[8]https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml Diakses pada tanggal 09 Juni 2022 pukul 17.31

[9] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[10] Muladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta, hlm. 83

[11] Setiyono, 2005, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayu Media, Malang, hlm. 12-14.

[12] Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi


0

REVISI RANCANGAN UNDANG-UNDANGAN SEBAGAI LANDASAN PERBAIKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Adinda Aisyah Chairunnisa

Pada hari Selasa tanggal 24 Mei 2022, DPR secara resmi telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Rapat Paripurna DPR ke-23 masa sidang V tahun sidang 2021-2022).[1] Yang dimana, revisi dari Rancangan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini nantinya akan menjadi landasan hukum untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.[2]

            Dalam pengertiannya, Omnibus Law sendiri merupakan suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.[3] Konsep Omnibus Law ini dalam undang-undang bertujuan untuk menyasar isu besar yang memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang sekaligus (lintas sektor) untuk kemudian dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya, sehingga diharapkan tidak terjadi konkurensi/persengketaan dan atau perlawanan antara norma yang satu dengan yang lainnya.[4] Akan tetapi Undang – Undang Omnibus yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja oleh Mahakamah Konstitusi dianggap sebagai inkonstitusionalitas bersyarat. Hal ini dikarenakan Mahakmah Konstitusi hendak menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan. Kemudian, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.[5]

            Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan untuk membenahi Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut. Hal ini kemudian dijadikan kesempatan untuk membenahi Rancangan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang nantinya dapat menjadi landasan untuk membenahi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun poin – poin yang direvisi adalah sebagai berikut:[6]

  1. Perubahan penjelasan Pasal 5 huruf g yang mengatur mengenai asas keterbukaan.
  2. Perubahan Pasal 9 mengatur mengenai penanganan pengujian peraturan perundang-undangan.
  3. Penambahan Bagian Ketujuh dalam Bab IV Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan.
  4. Penambahan Pasal 42A mengatur mengenai Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus law.
  5. Perubahan Pasal 49 mengatur mengenai Rancangan Undang-Undang beserta daftar inventarisasi dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
  6. Perubahan Pasal 58 mengatur mengenai pengharmonisasian pembulatan dan pemantapan konsepsi atas Rancangan Peraturan Daerah.
  7. Perubahan Pasal 64 mengatur mengenai penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus.
  8. Perubahan Pasal 72 mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang setelah Rancangan Undang-Undang disetujui bersama, namun belum disampaikan kepada presiden.
  9. Perubahan Pasal 73 mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang setelah disetujui bersama, namun telah disampaikan kepada presiden.
  10. Perubahan Pasal 78 mengatur mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.
  11. Perubahan Pasal 85 mengatur mengenai mengenai pengundangan.
  12. Perubahan Pasal 95 mengatur mengenai substansi penyandang disabilitas.
  13. Perubahan Pasal 95A mengatur mengenai pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang.
  14.  Perubahan Pasal 96 mengatur mengenai partisipasi masyarakat termasuk penyandang disabilitas.
  15. Penambahan pasal 97A , 97B, 97C dan pasal 97D mengatur mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, evaluasi regulasi, serta peraturan perundang-undangan di lingkungan pemerintah.
  16. Perubahan Pasal 98 mengatur mengenai keikutsertaan jabatan analis hukum selain perancang peraturan perundang-undangan.
  17. Perubahan Pasal 99 mengatur mengenai keikutsertaan jabatan fungsional analis legislatif, dan tenaga ahli dalam pembentukan Undang-Undang Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota selain perancang peraturan perundang-undangan.
  18. Perubahan Lampiran I Bab II huruf D, mengenai Naskah Akademik.
  19. Perubahan Lampiran II mengenai teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Referensi:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law

https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-kanwil-terkini-2/metode-omnibus-law-dalam-pembentukan-produk-hukum-daerah

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law


[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.32

[2] Ibid

[3]  https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-kanwil-terkini-2/metode-omnibus-law-dalam-pembentukan-produk-hukum-daerah Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.42

[4] Ibid

[5] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816 Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.51

[6] Dirangkum oleh CNN pada berita https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220525200405-32-801273/19-poin-perubahan-ruu-ppp-tambah-pasal-atur-metode-omnibus-law Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 14.32

1 2 3 4
Translate