1

Hak Asasi Privasi Data dalam Pengelolaanya oleh Negara

Author: Bryan Hope Putra Benedictus; Co-author: Megarini Adila Putri Lubis

Legal Basis:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  3. Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
  4. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik

Kebocoran data pribadi masyarakat Indonesia sudah berulang kali terjadi dalam beberapa tahun belakangan. Data pribadi tersebut terdiri dari berbagai macam informasi bersifat privasi yang kemudian diperjualbelikan dan rawan digunakan untuk tindak kejahatan. Kejahatan atas kebocoran data yang sedang mendapat banyak perhatian adalah yang dilakukan oleh salah satu hacker yang melakukan pembocoran data terhadap data lembaga pemerintahan, 1,3 miliar registrasi kartu SIM dan data pemilih Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data pemilih yang diduga bocor itu, menampilkan provinsi, kota, kecamatan, kelurahan, tempat pemungutan suara (TPS), NIK, kartu keluarga, nama, tempat lahir, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, dan alamat.[1] Data-data yang sudah diretas ini dapat diminta bukti keasliannya oleh anggota grup melalui grup aplikasi kirim pesan yang dibuat oleh hacker dan kemudian dikirimkan data secara lengkap dan spesifik sebagai bukti kebocoran data tersebut memang benar terjadi. Kebocoran data Informasi pribadi penduduk Indonesia diduga dapat dijual ke sejumlah entitas, termasuk perusahaan, lembaga penegak hukum, dan pemerintah asing yang dapat digunakan untuk hal-hal yang merugikan pemilik data pribadi, seperti penggunaan data untuk kepentingan pribadi, pencurian identitas, bahkan peneroran secara langsung.[2]

Data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.[3] Lebih lanjut mengenai data pribadi, Pasal 1 Angka 29 Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, menjelaskan bahwa:

“Pasal 1

29. Data Pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Sistem Elektronik dan /atau nonelektronik.”[4]

Perlindungan data pribadi secara umum pengertiannya mengacu pada praktik, perlindungan, dan aturan mengikat yang diberlakukan untuk melindungi informasi pribadi dan memiliki hak untuk memutuskan bagaimana informasi tersebut digunakan.[5] Perlindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh negara yang mana disebutkan dengan jelas pada Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945  menjelaskan bahwa:

“Pasal 28G

  • Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”[6]

          Dalam perlindungan data pribadi, pemilik data pribadi memiliki hak atas data pribadinya. Hak atas pribadinya (privacy rights) berkaitan dengan data pribadi, yang mana dalam penggunaan dan penyebaran data pribadi harus sesuai dengan keinginan pemilik data pribadi tersebut. Meskipun International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak secara tegas menyebutkan istilah ‘data pribadi’, namun secara substansial pelindungan atas data pribadi adalah bagian dari privasi atau kehidupan pribadi setiap orang.[7] Hal ini diatur berdasarkan Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa:

“Pasal 26

  • Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.”[8]

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:[9]

  1. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
  2. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai.
  3. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan data pribadi sejauh ini hanya diatur oleh peraturan perundang-undangan sesuai dengan sektor-sektor terkait yang mengatur tentang ini. Seperti halnya perlindungan data berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum juga mengatur penyelenggaraan teknologi informasi oleh bank dengan penerapan tata kelola dan mitigasi risiko terhadap meningkatnya pelayanan personalisasi sehingga menyebabkan tingginya kebutuhan atas data sehingga berpotensi meningkatnya risiko kebocoran data nasabah. Maka dari itu, peraturan perlindungan data pribadi sebenarnya sudah ada dan berlaku, tetapi masih perlu peraturan khusus yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap perlindungan data pribadi. Saat ini Rancangan Undang-Undang mengenai Perlindungan Data Pribadi yang salah satunya mengatur mengenai hak pemilik data pribadi atau yang disebut dengan subjek data pribadi  akan segera disahkan menjadi undang-undang pada saat rapat paripurna DPR terdekat.[10] Dengan adanya peraturan perlindungan data pribadi diharapkan timbul bukan hanya kesadaran dan pengetahuan oleh masyarakat atau subjek data pribadi  dalam perindungan data pribadi, melainkan juga diikuti dengan pelaksanaan tanggung jawab dari lembaga pemerintahan yang memiliki tugas dan fungsi menjaga hak privasi atas data diri masyarakat Indonesia.


[1] “Punya Ribuan Member, Grup Telegram Bjorka Bisa Cek Data Bocor KPU.” CNN Indonesia, 9 September 2022, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220909130101-192-845624/punya-ribuan-member-grup-telegram-bjorka-bisa-cek-data-bocor-kpu. diakses 11 September 2022.

[2] Hezkiel Bram Setiawan, dan Fatma Ulfatun Najicha. “Perlindungan Data Pribadi Warga Negara Indonesia Terkait Dengan Kebocoran Data.” Jurnal Kewarganegaraan, vol. 6, no. 1, 2022, hlm. 979, https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/view/2657. Diakses 11 September 2022.

[3] Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik

[4] Pasal 1 Angka 29 Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

[5] Wahyudi Djafar. “Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi dan Kebutuhan Pembaruan1.” Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 26 August 2019,  https://law.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1043/2019/08/Hukum-Perlindungan-Data-Pribadi-di-Indonesia-Wahyudi-Djafar.pdf. diakses 11 September 2022.

[6] Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

[7] Edmon Makarim. “Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kebocoran Data Pribadi Oleh: Edmon Makarim*).” Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 10 July 2020, https://law.ui.ac.id/pertanggungjawaban-hukum-terhadap-kebocoran-data-pribadi-oleh-edmon-makarim/. diakses 12 September 2022.

[8] Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[9] Penjelasan Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[10] “Ini Hak Pemilik Data Pribadi yang Diatur RUU PDP.” Republika, 12 September 2022, https://www.republika.co.id/berita/ri2ve4428/ini-hak-pemilik-data-pribadi-yang-diatur-ruu-pdp. diakses 12 September 2022.


Referensi

  • Djafar, Wahyudi. “Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi dan Kebutuhan Pembaruan1.” Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 26 August 2019,https://law.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1043/2019/08/Hukum-Perlindungan-Data-Pribadi-di-Indonesia-Wahyudi-Djafar.pdf. Diakses 11 September 2022.
  • Makarim, Edmon. “Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Kebocoran Data Pribadi Oleh: Edmon Makarim*).” Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 10 July 2020, https://law.ui.ac.id/pertanggungjawaban-hukum-terhadap-kebocoran-data-pribadi-oleh-edmon-makarim/. Diakses 12 September 2022.
  • Setiawan, Hezkiel Bram, and Fatma Ulfatun Najicha. “Perlindungan Data Pribadi Warga Negara Indonesia Terkait Dengan Kebocoran Data.” Jurnal Kewarganegaraan, vol. 6, no. 1, 2022, pp. 972-986, https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/view/2657. Diakses 11 September 2022.
  • “Ini Hak Pemilik Data Pribadi yang Diatur RUU PDP.” Republika, 12 September 2022, https://www.republika.co.id/berita/ri2ve4428/ini-hak-pemilik-data-pribadi-yang-diatur-ruu-pdp. Diakses 12 September 2022.
  • “Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.” JDIH KEMKOMINFO, 21 April 2022, https://jdih.kominfo.go.id/infografis/view/19. Diakses 12 September 2022.
  • “Punya Ribuan Member, Grup Telegram Bjorka Bisa Cek Data Bocor KPU.” CNN Indonesia, 9 September 2022, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220909130101-192-845624/punya-ribuan-member-grup-telegram-bjorka-bisa-cek-data-bocor-kpu. Diakses 12 September 2022.
1

FRANCHISE AGREEMENT IN THE HOSPITALITY BUSINESS IN INDONESIA

Author : Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba

REFERENSI: 

  1. Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020.
  2. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
  3. Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.
  4. Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
  5. Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992.
  6. Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004.

Di masa sekarang, perkembangan dunia perekonomian semakin berkembang pesat dan kompleks. Perkembangan bisnis semakin dimudahkan dengan bentuk kerjasama bisnis dan kecanggihan teknologi di dalam pelaksanaannya. Perkembangan terhadap bentuk kerjasama bisnis melahirkan suatu konsep bisnis baru yang semakin memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi bisnis, salah satunya adalah bisnis waralaba atau franchise.[1]

Perjanjian bisnis franchise termasuk dalam perjanjian yang tidak bernama (innominaat), yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Perjanjian tidak bernama (innominaat) merupakan perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus. Lahirnya perjanjian tersebut di dalam prakteknya berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak atau kebebasan dalam mengadakan suatu perjanjian. Perkembangan bentuk kerjasama bisnis ini membuka jalan bagi terciptanya fasilitas-fasilitas dan bentuk-bentuk bisnis baru, diantaranya bisnis waralaba, atau dalam bahasa asing disebut juga dengan franchise sistem waralaba atau franchise tidak membutuhkan investasi langsung, tetapi melibatkan kerjasama dengan pihak lain.[2]

Rumusan yang lain mengatakan perjanjian franchising adalah suatu perjanjian dimana franchisee menjual produk atau jasa sesuai dengan cara dan prosedur yang telah ditetapkan oleh franchisor yang membantu melalui iklan, promosi, dan jasa-­jasa nasihat lainnya.[3]

Pengertian waralaba sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

“Pasal 1

  • Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.
  • Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.
  • Pemberi Waralaba Lanjutan adalah Penerima Waralaba yang diberi hak oleh Pemberi Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba Lanjutan.
  • Penerima Waralaba Lanjutan adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima hak dari Pemberi Waralaba Lanjutan untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba”.

Mewaralabakan adalah suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distribusi produk serta pelayanannya dengan membagi standar pemasaran dan operasional. Pemegang franchise (waralaba) yang membeli suatu suatu bisnis yang menarik manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan lain yang disediakan oleh pemilik franchise.[1]

Franchise jika dilihat dari aspek unsurnya, maka dapat ditemukan adanya 4 unsur, yaitu sebagai berikut:

  1. Pemberian hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu;
    1. Lisensi untuk menggunakan tanda pengenal usaha, biasanya merek dagang atau jasa, yang akan menjadi ciri pengenal dari bisnis franchise (waralaba);
    1. Lisensi untuk menggunakan rencana pemasaran dan bantuan yang luas oleh franchisor kepada franchisee; dan
    1. Pembayaran oleh franchisee kepada franchisor berupa sesuatu yang bernilai bagi franchisor selain dari harga borongan bonafide atas barang yang terjual.[2]

Dasar hukum yang mengatur kriteria waralaba sendiri terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

“Pasal 3

Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha;Terbukti sudah memberikan keuntungan;Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;Mudah diajarkan dan diaplikasikan;Adanya dukungan yang berkesinambungan; danHak kekayaan intelektual yang terdaftar”.

Lahirnya suatu perjanjian pada dasarnya dapat kita lihat pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dalam hal ini memuat suatu Asas Konsensualitas yaitu suatu asas yang menyebutkan bahwa perjanjian itu ada sejak dibuatnya kata sepakat antara para pihak. Perjanjian yang dibuat tersebut mengikat dan berlaku seperti undang-undang para pihak yang membuatnya yang dalam hal ini antara pihak franchisor dengan pihak franchisee. Dengan kata lain, perjanjian franchise (waralaba) sudah sah sejak ada kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok, walaupun belum atau tidak diikuti dengan suatu perbuatan formal.[3]

Adapun ketentuan mengenai perjanjian waralaba sendiri diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

“Pasal 4

  • Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.
  • Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia”.

Biasanya di dalam perjanjian waralaba, diadakan suatu tindakan pendahuluan berupa perundingan antara para pihak. Perjanjian ini, lazimnya pihak franchisee memohon kepada pihak franchisor untuk dapat membuka perusahaan franchise dibawah merek dari franchisor di daerah tertentu. Setelah permohonan tersebut ditanggapi lalu diadakan survei ke lokasi dimana perusahaan tersebut akan beroperasi untuk mengetahui syarat bagi dibukanya perusahaan, terutama dari segi pemasaran atau standart bangunan. Selain melalui tahap perundingan dan survei ke lokasi terdapat juga tahap untuk mempelajari isi format perjanjian yang diperuntukan bagi franchisee.[4]

Berdasarkan lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, materi atau klausula perjanjian waralaba sekurang-kurangnya memuat:

  1. Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat jelas pemilik/penanggung jawab perusahaan yang mengadakan perjanjian waralaba, yaitu pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dan penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan.
    1. Jenis hak kekayaan intelektual, yaitu jenis hak kekayaan intelektual pemberi waralaba, seperti merek dan logo perusahaan, desain gerai/tempat usaha, sistem manajemen atau pemasaran atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan.
    1. Kegiatan usaha, yaitu kegiatan usaha yang diperjanjikan seperti perdagangan eceran/ritel, pendidikan, restoran, apotek, atau bengkel.
    1. Hak dan kewajiban pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dan penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan, yaitu hak dan kewajiban meliputi:
  2. Pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan:
  3. Hak untuk menerima fee atau royalty dari penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan; dan
  4. Kewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada penerima waralaba dan penerima waralaba lanjutan
  5. Penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan:
  6. Hak untuk menggunakan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba; dan
  7. Kewajiban untuk menjaga kode etik/kerahasiaan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang diberikan pemberi waralaba.
    1. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan oleh pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan, seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer dan program IT pengelolaan kegiatan usaha.
    1. Wilayah usaha, yaitu batasan wilayah yang diberikan oleh pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan untuk mengembangkan bisnis waralaba seperti wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau di seluruh wilayah Indonesia.
    1. Jangka waktu perjanjian waralaba, yaitu batasan mulai dan berakhir perjanjian waralaba terhitung sejak surat perjanjian ditandatangani oleh pemberi waralaba dengan penerima waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dengan penerima waralaba lanjutan.
    1. Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara atau ketentuan, termasuk waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan, seperti fee atau royalty apabila disepakati dalam perjanjian waralaba yang menjadi tanggung jawab penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan.
    1. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris, yaitu kepemilikan atas waralaba dan peralihan waralaba apabila terjadi perubahan kepemilikan karena pengalihan kepemilikan atas waralaba atau meninggalnya pemilik waralaba.
    1. Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan forum penyelesaian sengketa, dengan menggunakan pilihan hukum Indonesia.
    1. Tata cara perpanjangan dan pengakhiran perjanjian waralaba, seperti pengakhiran perjanjian waralaba tidak dapat dilakukan secara sepihak atau perjanjian waralaba berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian waralaba berakhir. Perjanjian waralaba dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan Bersama.
    1. Jaminan dari pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan untuk tetap menjalankan kewajibannya kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan sesuai dengan isi perjanjian waralaba hingga jangka waktu perjanjian waralaba berakhir.
    1. Jumlah gerai/tempat usaha yang akan dikelola oleh penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan dalam jangka waktu perjanjian waralaba.

Pihak penerima waralaba dan pemberi waralaba setelah menyetujui isi dari perjanjian tersebut, maka mulai dari saat itulah hak dan kewajiban masing-masing pihak harus dipenuhi. Dalam hal ini kewajiban dari pemberi waralaba perhotelan diantaranya adalah program pelatihan, jasa engineering, jasa food & beverage dan membantu pemasaran produk guna memperoleh keuntungan. Sedangkan kewajiban dari penerima waralaba perhotelan adalah melakukan kualifikasi produk, standart pelayanan, standart management yang sama dengan hotel milik pemberi waralaba perhotelan dan pembayaran fee yang meliputi jasa penjualan, pemasaran, distribusi hotel serta yang lainnya seperti yang telah disepakati bersama. Hak dari para pihak diantaranya, untuk pihak pemberi waralaba perhotelan mendapatkan pembayaran fee yang meliputi jasa penjualan, pemasaran dan distribusi hotel seperti yang telah disepakati bersama serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan waralaba. Sementara itu hak dari penerima waralaba perhotelan ialah memperoleh segala informasi mengenai hal-hal yang berkaitan bisnis waralaba yang mereka lakukan, serta berhak menggunakan nama, cap dagang, dan logo milik franchisor atau pemberi waralaba perhotelan yang sudah terkenal dalam dunia bisnis.[5]

Sementara itu dasar hukum yang mengatur mengenai kewajiban pemberi waralaba sendiri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 7

  • Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran Waralaba kepada calon Penerima Waralaba pada saat melakukan penawaran.
  • Prospektus penawaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit mengenai :Data identitas pemberi waralaba;Legalitas usaha pemberi waralaba;Sejarah kegiatan usahanya;Struktur organisasi pemberi waralaba;Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;Jumlah tempat usaha;Daftar penerima waralaba; danHak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba”.

Pasal 8

Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan”.

Selanjutnya pemberi waralaba juga wajib untuk mendaftarkan prospektus tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 10

  • Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba”.

Setelah perjanjian waralaba dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak, penerima waralaba harus mendaftarkan perjanjian waralaba yang sudah disepakati tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 11

  • Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian Waralaba”.

Apabila prospektus penawaran waralaba dan perjanjian waralaba telah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, maka selanjutnya Menteri Perdagangan akan menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 12

  • Menteri menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba apabila permohonan pendaftaran Waralaba telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  • Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
  • Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun”.

Selanjutnya adapun sanksi yang diatur dalam kegiatan waralaba sendiri salah satunya diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 16

  • Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, dan/atau Pasal 11.
  • Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:peringatan tertulis;denda; dan/ataupencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba”.

[1] Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004), hal. 20-21.

[2] Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992, hal. 5.

[3] Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004, hal. 19

[4] Ibid.

[5] Ibid


[1] Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020, hal. 1.

[2] Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 16.

[3] Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.

LEGAL BASIS:

  1. Civil Code;
  2. Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising;
  3. Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning Franchise Implementation

REFERENCE:

  1. Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020.
  2. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
  3. Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.
  4. Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
  5. Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992.
  6. Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004.

At present, the development of the world economy is growing rapidly and complex. Business development is increasingly facilitated by the form of business cooperation and technological sophistication in its implementation. The development of the form of business cooperation gave birth to a new business concept that increasingly provides convenience in conducting business transactions, one of which is a franchise business.

Franchise business agreements are included in unnamed agreements (innominaat), namely agreements that arise, grow, live, and develop in the practice of community life.agreements (innominaat) are agreements that have not been specifically regulated. The birth of the agreement in practice is based on the principle of freedom of contract or freedom to enter into an agreement. The development of this form of business cooperation opens the way for the creation of new facilities and forms of business, including a franchise business, or in a foreign language also known as a franchise system or franchise that does not require direct investment, but involves cooperation with other parties.

Another formulation says that a franchising is an agreement in which the franchisee sells products or services in accordance with the ways and procedures established by the franchisor who assists through advertising, promotions, and other advisory services.

The definition of franchise itself has actually been regulated in Article 1 number 1 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising, which states:

“Article 1

  1. franchising is a special right owned by an individual or business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven successful and can be utilized and/or used by other parties based on the franchise agreement”.

Furthermore, the Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising has also provided an understanding of who the parties involved in this business are. This understanding is contained in Article 1 points 3-6 which states:

“Article 1

3.   Franchisor is an individual or business entity that grants the right to utilize and/or use its Franchise to the Franchisee.

4.   Franchisee is an individual or business entity that is granted the right by the Franchisor to utilize and/or use the Franchise owned by the Franchisor.

5.   Continuing Franchisor is a Franchisee who is given the right by the Franchisor to appoint a Continuing Franchisor.

6. Continuing Franchisee is an individual or business entity that receives rights from the Continuing Franchisor to utilize and/or use the Franchise”.

Franchising is a method of marketing and business expansion. A business expands the market and distribution of its products and services by sharing marketing and operational standards. A franchisor who purchases a business that benefits from customer awareness of the trade name, proven systems and other services provided by the franchisor.

If viewed from the aspect of the elements, it can be found that there are 4 elements in the franchise, namely as follows:

  1. Granting the right to do business in certain businesses;
  2. A license to use a business identification mark, usually a trademark or service mark, which will identify the franchise business (franchise);
  3. License to use extensive marketing plans and assistance by the franchisor to franchisees; and
  4. Payment by the franchisee to the franchisor form of something of value to the franchisor other than the bona fide for the goods sold.

The legal basis that regulates franchise criterias itself is contained in Article 3 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 3

Franchising must meet the following criterias:

a.Has business characteristics;

b.Proven to be profitable;

c.Has written standards for services and goods and/or services offered;

d.Easy to conduct and apply;

e.There is ongoing support; and

f.Registered intellectual property”.

The birth of an agreement can basically be seen in Article 1320 of the Civil Code, which in this case contains a principle of consensuality, which is a principle which states that the agreement existed since an agreement was made between the parties. The agreement made is binding and applies as the law of the parties who made it which in this case is between the franchisor and the franchisee. In other words, the franchise is valid since there is an agreement from the parties regarding the main matters, even though it has not been or has not been followed by a formal act.

The provisions regarding the franchise agreement itself are regulated in Article 4 paragraph (1) and paragraph (2) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 4

(1)Franchising is carried out based on a written agreement between the Franchisor and the Franchisee with due observance of Indonesian law.

(2)In the event that the agreement as referred to in paragraph (1) is written in a foreign language, the agreement must be translated into Indonesian.”

Usually in a franchise agreement, a preliminary action is held in the form of negotiations between the parties. In this agreement, the franchisee asks the franchisor to be able to open a franchise under the franchisor’s brand in a certain area. After the request is responded to, a survey is conducted to the location where the company will operate to find out the requirements for opening the company, especially in terms of marketing or building standards. In addition to going through the negotiation and site survey stages, there is also a stage to study the contents of the agreement format intended for franchisees.

Based on attachment II to the Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising, the material or clauses of the franchise agreement must at least contain:

  1. Name and address of the parties, namely the name and clear address of the owner/responsible person of the company entering into the franchise agreement, namely the franchisor or continued franchisor and franchisee or continued franchisee.
  2. Types of intellectual property rights, namely the types of intellectual property rights of the franchisor, such as company brands and logos, design of outlets/business places, management or marketing systems or franchised cooking spices.
  3. Business activities, namely agreed business activities such as retail/retail trading, education, restaurants, pharmacies, or workshops.
  4. The rights and obligations of the franchisor or continued franchisor and franchisee or continued franchisee, namely the rights and obligations include:

a. The franchisor or continued franchisor:

1)The right to receive fees or royalties from the franchisee or continued franchisee; and

2)The obligation to provide continuous guidance to franchisees and franchisees

b. Franchisee or continued franchisee:

1)The right to use intellectual property rights or business characteristics owned by the franchisor; and

2)The obligation to maintain the code of ethics/confidentiality of intellectual property rights or business characteristics given by the franchisor.

5.Assistance, facilities, operational guidance, training, and marketing provided by the franchisor or advanced franchisor to the franchisee or advanced franchisee, such as facility assistance in the form of providing and maintaining computers and IT programs for managing business activities.

6.Business area, which is the area limit given by the franchisor or continued franchisor to the franchisee or continued franchisee to develop a franchise business such as the Sumatra, Java and Bali areas or throughout Indonesia.

7.The term of the franchise agreement, namely the start and end of the franchise agreement as of the agreement letter is signed by the franchisor with the franchisee or the continuing franchisor with the continued franchisee.

8.The procedure for payment of fees, namely the procedures or provisions, including the time and method of calculating the amount of compensation, such as fees or royalties if agreed upon in the franchise agreement which is the responsibility of the franchisee or continued franchisee.

9.Ownership, change of ownership, and rights of heirs, namely ownership of the franchise and transfer of franchise if there is a change of ownership due to the transfer of ownership of the franchise or the death of the franchise owner.

10.Dispute resolution, namely the establishment of a dispute resolution forum, using Indonesian law options.

11.The procedure for extending and terminating a franchise agreement, such as terminating a franchise agreement cannot be done unilaterally or the franchise agreement ends automatically if the period specified in the franchise agreement ends. The franchise agreement can be extended again if desired by both parties with the provisions stipulated together.

12.Guarantee from the franchisor or continuing franchisor to continue to carry out their obligations to the franchisee or continued franchisee in accordance with the contents of the franchise agreement until the term of the franchise agreement ends.

13.Number of outlets/business places that will be managed by the franchisee or continued franchisee within the period of the franchise agreement.

After agreed to the contents of the agreement, the franchisee and the franchisor must fulfill the rights and obligations of each party. In this case, the obligations of the hotel franchisor include training programs, engineering services, food & beverage services, and help to market the product to gain profit. Meanwhile, the obligations of the hotel franchisee are to qualify for products, service standards, and management standards which are the same as the hotel owned by the franchisor, and to pay fees which include sales, marketing, hotel distribution, and other services as mutually agreed. The rights of the hotel franchisor are to receive fees which include hotel sales, marketing, and distribution services as mutually agreed upon, as well as supervising the implementation of the franchise. Meanwhile, the rights of the hotel franchisee are to obtain information regarding the franchise business and to use the hotel franchisor’s name, trademark, and logo.

Meanwhile, the legal basis governing the obligations of the franchisor itself is regulated in Article 7 paragraph (1) paragraph (2) and Article 8 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 7

(1) The franchisor shall provide the Franchise offer prospectus to the prospective Franchisee at the time of making the offer.

(2) The Franchise offer prospectus as referred to in paragraph (1) shall contain at least:

a.Data on the identity of the franchisor;

b.The legality of the franchisor’s business;

c.History of its business activities;

d.The franchisor’s organizational structure;

e.Financial statements for the last 2 (two) years;

f.Number of places of business;

g.List of franchisees; and

h.the rights and obligations of the franchisor and franchisee”.

Article 8

Franchisors are obligated to provide continuous guidance in the form of training, management operational guidance, marketing, research, and development to Franchisees”.

Furthermore, the franchisor is also required to register the prospectus as regulated in Article 10 paragraph (1) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

Article 10

  • Franchisors are required to register the Franchise offering prospectus before making a Franchise agreement with the Franchisee”.

After the franchise agreement is made and agreed upon by both parties, the franchisee must register the agreed franchise agreement as stipulated in Article 11 paragraph (1) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

Article 11

  • The Franchisee is obliged to register a Franchise agreement”.

If the franchise offer prospectus and franchise agreement meet the requirements for registration, then the Minister of Trade will then issue a Franchise Registration Certificate as stipulated in Article 12 paragraph (4), paragraph (5), and paragraph (6) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchise which statess:

Article 12

  • The Minister issues a Franchise Registration Certificate if the application for Franchise registration has met the requirements as referred to in paragraph (1) and paragraph (2).
    • The Franchise Registration Certificate as referred to in paragraph (4) is valid for a period of 5 (five) years.
    • In the event that the Franchise agreement has not expired, the Franchise Registration Certificate may be extended for a period of 5 (five) years”.

Furthermore, the sanctions against unlawful franchise activity are regulated in Article 16 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states::

Article 16

  • The Minister, Governor, Regent/Mayor in accordance with their respective authorities may impose administrative sanctions for Franchisor and Franchisee who violate the provisions as referred to in Article 8, Article 10, and/or Article 11.
  • The sanctions as referred to in paragraph (1) may be in the form of:
    • written warning;
      • fine; and/or
      • revocation of Franchise Registration Certificate”.

1

Implementasi Pengaturan Perlindungan bagi Anak dari Konten Negatif di Media Sosial

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Made Indra Sukma Adnyana

Pengguna internet Indonesia menjadi sorotan setelah 210 juta pengguna internet dalam negeri yang didominasi oleh pengguna media sosial dan pemain game online. Penggunaan media sosial tersebut tidak hanya berasal dari usia dewasa, tetapi juga terdapat dari usia dini, yaitu usia 5 tahunan.[1] Dalam menggunakan media sosial, anak-anak harus dapat menghindari pengaruh konten-konten negatif yang dapat merusak perkembangan diri mereka, misalnya saja konten negatif yang berisikan ujaran kebencian hingga dari pornografi. Hal ini, karena masih banyak anak usia sekolah belum memahami cybercrime dan Undan-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan melihat dari literasi digital anak-anak Indonesia yang masih rendah. Padahal memperhatikan konten yang diakses oleh anak-anak merupakan hal penting, karena mereka adalah yang paling rentan terkena kasus cyber bullying, sexual image, dan sexual meesages dibandingkan orang-orang dewasa dan belum matang secara mental maupun emosional.[2] Indonesia telah memiliki regulasi yang berkait dengan menggunakan internet terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).

Sementara itu berdasarkan Pasal 4 UU ITE menyatakan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik memiliki beberapa tujuan diantaranya, yaitu (1) Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dab bertanggung jawab; dan (2) memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.[3]

UU ITE sebagai Cyber Law dapat menjadi suatu upaya dalam melakukan penanganan tindak pidana maupun pencegahan tindak pidana dengan saranan teknologi digital, terutama konten negatif. Penegakan UU ITE terhadap konten negatif dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Teknologi (“Kominfo”). Pengawasan tersebut dilaksanakan untuk melindungi kepentingan umum dari gangguan yang disebabkan oleh penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Pasal 40

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

            Kominfo dalam melaksanakan pengelolaan penanganan konten negatif akan melakukan klasifikasi, yaitu: (1) Informasi/dokumen elektronik yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan; (2) Informasi/dokumen elektronik yang melanggar norma sosial yang berlaku di masyarakat; dan (3) Informasi elektronik/dokumen elektronik tertentu yang membuat dapat diaksesnya konten negatif yang terblokir.[4] Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (“PPI”), pengawasan yang dilaksanakan oleh Kominfo supaya masyarakat tidak melakukan pelanggaran konten negatif di media digital saat ini, seperti misalnya pornografi, pencemaran nama baik, dan pelanggaran lainnya.[5]  

Berkaitan dengan penggunaan internet adapun peraturan di bawahnya yaitu pada  Pasal 2 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik (“PM Kominfo Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik”) yang tujuannya sebagai berikut:

“Pasal 2

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mengklasifikasikan Permainan Interaktif Elektronik yang membantu:

  1. Penyelenggara dalam memasarkan produk Permainan Interaktif Elektronik sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia; dan
  2. masyarakat Pengguna, termasuk orang tua dalam memilih Permainan Interaktif Elektronik yang sesuai dengan usia Pengguna”.

Walaupun telah terdapat pengaturan terhadap penggunaan media sosial dan game online di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa masih belum menghilangkan dampak negatif bagi anak-anak selama dilakukan secara berlebihan, misalnya saja media sosial yang dapat mengganggu kesehatan fisik, menimbulkan gangguan mental, terpapar konten negatif dengan unsur SARA, terpapar hoaks, mengganggu relasi di dunia nyata, dan memicu kejahatan.[6]

Adapun sanksi yang berkaitan dengan konten negatif terdapat dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Pasal 45

  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.

“Pasal 45 A

  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  • Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

“Pasal 45 B

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Selain terdapat dalam UU ITE yang melindungi hak anak dari kekerasan dan konten negatif lainnya, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut:

“Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

            Perlindungan terhadap hak anak merupakan kewajiban bagi pemerintah dan tanggung jawab lingkungan dari anak tersebut dengan melakukan pengawasan atas konten yang dapat diakses. Sehingga pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Kominfo terhadap akses anak, harus dapat ditingkatkan lagi dengan menghapus dan/atau memblokir situs-situs maupun konten yang tidak sesuai untuk anak-anak usia dini. Terlebih lagi, Indonesia juga telah memiliki undang-undang yang mengatur terkait Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik sehingga permainan-permainan online tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, walaupun dalam praktiknya masih terdapat permainan yang tidak sesuai dengan usia dari pemainnya.  Oleh karena hal itu, pengawasan dari pemerintah juga harus diimbangi dengan keterlibatan orang tua maupun lingkungan dalam mengirimkan aduan kepada Kominfo atau lembaga terkait atas konten-konten negatif yang dapat merusak maupun mempengaruhi anak-anak.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  • Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik

Referensi


[1] Tim MNC Portal, “INAYES Goes to School, Kolaborasi INAYES dna Pemprov DKI Jakarta Lawan Kecanduan Social Media dan Game Online,” https://edukasi.sindonews.com/read/866425/212/inayes-goes-to-school-kolaborasi-inayes-dan-pemprov-dki-jakarta-lawan-kecanduan-social-media-dan-game-online-1661418497, diakses pada 27 Agustus 2022.

[2] Pratiwi Agustini, “Yossi: Banyak Anak Belum Paham Cybercrime dan UU ITE,” https://aptika.kominfo.go.id/2020/10/yossi-banyak-anak-belum-paham-cybercrime-dan-uu-ite/, diakses pada 27 Agustus 2022.

[3] Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 19 Tahun 2016, LN.2016/No.251, TLN No.5952, Pasal 4.

[4] Kominfo, “Ragam Konten yang Bisa Diadukan Melalui aduankonten.id,” https://www.kominfo.go.id/content/detail/10331/ragam-konten-yang-bisa-diadukan-melalui-aduankontenid/0/videografis, diakses pada 28 Agustus 2022.

[5] Muhammad Agusta Wijaya, “Pengawasan Konten Media Sosial untuk Hindari Kerugian Publik,” https://mmc.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/pengawasan-konten-media-sosial-untuk-hindari-kerugian-publik, diakses pada 28 Agustus 2022.

[6] Kompas, “6 Dampak Negatif Media Sosial, Siswa Wajib Hati-Hati,” https://edukasi.kompas.com/read/2021/05/28/060700871/6-dampak-negatif-media-sosial-siswa-wajib-hati-hati?page=all, diakses pada 27 Agustus 2022.

1

Pembatasan Hak Imunitas Advokat dalam Menjalankan Tugas Profesi

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Megarini Adila Putri Lubis

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan mengenai jaminan yang diberikan kepada seluruh warga negara atas pengakuan, keadilan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga dikuatkan dengan prinsip atau asas yang berlaku di Indonesia selaku negara hukum, yaitu asas persamaan di hadapan hukum atau dikenal dengan istilah Equality Before the Law. Unsur-unsur asas equality before the law harus adanya persaman di depan hukum seluruh warga Negara Indonesia tanpa adanya prinsip non dikriminasi baik pejabat maupun non pejabat, memberikan jaminan hak asasi manusia guna untuk mendapatkan perlindungan didalam negara berdasarkan Pancasila.[1] Salah satu bentuk persamaan tersebut adalah seluruh warga negara berhak untuk menerima bantuan hukum sebagai bentuk jaminan sama di hadapan hukum atas kepentingan hukum yang sedang dilalui.

Bantuan hukum salah satunya dapat diberikan oleh seorang advokat, yaitu seseorang yang menawarkan jasa dalam bidang hukum dengan persyaratan yang sudah diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Pasal 1 Angka 2 UU Advokat menjelaskan definisi jasa hukum adalah sebagai berikut:

“Pasal 1

2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.[2]

            Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak berusaha dengan kapasitas maksimalnya sebagai advokat yang diberikan kuasa untuk membela hak-hak klien. Sehingga dalam proses pembelaan klien tersebut, advokat memiliki dan dilindungi hak imunitas atau kekebalan hukum. Hak imunitas advokat dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan profesinya dalam membela kepentingan klien.[3] Adanya hak imunitas advokat yang diatur dalam undang-undang karena dalam membela klien tidak dihinggapi rasa takut, merasa aman dan dilindungi negara melalui pemerintah.[4] Hak imunitas advokat ini diatur pada Pasal 16 UU Advokat menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.[5]

Penjelasan Hak imunitas pada Pasal 16 UU Advokat diatas dikuatkan kembali dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa hak imunitas ini berlaku baik didalam maupun diluar persidangan. Namun hak imunitas advokat ini hanya berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas profesinya saat pembelaan klien dengan itikad baik.[6] Dalam penjelasan Pasal 16 UU Advokat dinyatakan bahwa itikad baik adalah advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan untuk membela kepentingan kliennya harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku.[7] Sehingga hak kekebalan hukum atas advokat ini memiliki pengecualian jika seorang advokat dalam profesinya melakukan hal-hal melanggar hukum dengan itikad buruk untuk memenuhi kepentingan klien.

Diketahui bahwa seorang advokat suatu perusahaan swasta menjadi tersangka atas perbuatan Obstruction of Justice yang mana menghalangi, merintangi, mencegah dalam penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Tim Penyidik pada kasus korupsi perusahaan tersebut.[8] Perbuatan Obstruction of Justice ini diatur pada Pasal 221 Ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 221

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat rihu lima ratus rupiah:

2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian”.[9]

Komisi Pemberantasan Korupsi juga meyakinkan bahwa seorang advokat yang ditetapkan sebagai seorang tersangka berdasarkan tuduhan Undang-Undang Tindak pidana korupsi sebagai pihak yang melawan karena perbuatan menghalang-halangi dalam penanganan kasus korupsi jelas ada ancaman pidananya.[10] Mengenai perbuatan yang menghalang-halangi proses penangan kasus korupsi, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi”.[11]

            Berdasarkan perbuatan dengan tidak adanya itikad baik oleh pengacara dalam hal melakukan pembelaan terhadap klien atas tugas profesi inilah yang menggugurkan dan menimbulkan pembatasan atas hak imunitas seorang advokat. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hak imunitas bisa hilang manakala advokat yang bersangkutan melakukan perilaku-perilaku sebagai berikut:[12]

  1. Advokat yang bersangkutan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien, baik disengaja maupun tidak;
  2. Advokat yang bersangkutan berbuat atau bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,  atau pengadilan;
  3. Advokat yang bersangkutan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesi;
  4. Advokat yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau melakukan perbuatan tercela;
  5. Advokat yang bersangkutan melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi:

  • Atmaja, Ida Wayan Dharma Punia. “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi.” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, p. 9. https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/43617. Diakses 27 Agustus 2022.
  • Sartono, dan Bhekti Suryani. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat. Jakarta, Dunia Cerdas, 2013. Diakses 28 Agustus 2022.
  • Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016)
  • Radityo, Muhammad. “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. Diakses 28 August 2022.
  • Yahman, dan Nurin Tarigan. Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta, Prenada Media, 2019. Diakses 28 August 2022.
  • “Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” Mahkamah Konstitusi RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095. Diakses 28 August 2022.

[1] Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016), hal. 27.

[2] Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[3] Yahman & Nurin Tarigan, Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:Prenada Media, 2019), hlm. 76.

[4] Ibid., hlm. 77

[5] Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[6] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, hlm. 9.

[7] Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” MK RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095.(diakses 28 August 2022).

[8] M. Radityo, “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. (diakses 28 August 2022)

[9] Pasal 221 Ayat (1) Angka 2 KUHP

[10] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, 2018, hlm. 9

[11] Pasal 221 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[12] Sartono & Bhekti Suryani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat (Jakarta: Dunia Cerdas, 2013), hlm. 90

1

Urgensi Penerbitan Sertifikat Kepemelikan Bangunan Gedung Rumah Susun bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Ratumas Amaraduhita Rengganingtyas Arham

Usaha di bidang properti saat ini berkembang sangat pesat. Sayangnya, permintaan perumahan yang semakin banyak tidak sebading dengan keterbatasan lahan terutama di wilayah perkotaan. Keterbatasan lahan di wilayah perkotaan inilah yang membuat bidang perumahan mulai beralih dari perumahan ke rumah susun atau yang sering disebut juga sebagai satuan rumah susun. Terdapat 2 (dua) jenis sertifikat yang menjadi bukti kepemilikan atas satuan rumah susun, yaitu Sertifikat Hak Milik Sarusun (“SHMRS”) dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (“SKBG Sarusun”).[1]

Salah satu bukti kepemilikan berupa sertifikat kepemilikan atas satuan rumah susun ialah Sertifikat Hak Milik Sarusun (“SHMRS”). Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rumah Susun”), SHMRS didefinisikan sebagai berikut:

“Pasal 1

11. Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan”.[2]

Umumnya, SHM Sarusun digunakan bagi masyarakat kelas menengah ke atas untuk membeli satuan rumah susun dalam bentuk unit apartemen. Oleh sebab itu, SKBG Sarusun hadir sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat berpenghasilan rendah (“MBR”).

Urgensi penerbitan SKBG Sarusun dilatarbelakangi oleh sejumlah problematika dalam mewujudkan hunian di perkotaan bagi MBR yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan.[3] Bagi pemerintah, problematika yang dihadapi berupa semakin terbatasnya fiskal dan pemerintah daerah yang belum mampu mengendalikan harga lahan di perkotaan untuk rumah susun umum. Bagi para pengembang, semakin melambungnya harga lahan di perkotaan tidak memungkinkan mereka untuk menyediakan perumahan maupun apartemen dengan harga yang terjangkau bagi MBR. Sedangkan bagi MBR, tantangan dalam memiliki hunian adalah daya beli yang tidak menjangkau harga pasar perumahan saat ini. Oleh karena itu, SKBG Sarusun dengan cara mendayagunakan Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD) dan tanah wakaf yang belum dimanfaatkan serta dengan sistem sewa menjadi salah satu solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut,[4] Berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU Rumah Susun, Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (“SKBG Sarusun”) didefinisikan sebagai berikut:

“Pasal 1

12. Sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun yang selanjutnya disebut SKBG sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa”.

Selain diatur dalam UU Rumah Susun, SKBG Sarusun saat ini memiliki pengaturan yang lebih terperinci. SKBG Sarusun diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  Nomor 17 Tahun 2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Penerbitan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun. Ketiga regulasi tersebut pada pokoknya mengatur mengenai pihak yang menerbitkan sertifikat, dokumen terkait, dan masa berlaku SKBG Sarusun.

          Kesimpulannya, penerbitan SKBG Sarusun menjadi penting dan diperlukan dalam rangka mendorong skema penyediaan tanah untuk pembangunan rusun dengan pendayagunaan tanah wakaf dan pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD) dengan cara sewa. Selain itu, SKBG Sarusun meberikan sejumlah manfaat bermukim bagi MBR dan pemerintah. Manfaat tersebut antara lain:[5]

  1. Memberikan kepastian tinggal bagi MBR, sebab SKBG Sarusun merupakan sertifikat kepemilikan berjangka waktu dan dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia;
  2. Menjangkau kemampuan MBR untuk memiliki rusun umum dengan harga lebih rendah, komponen tanah hanya memperhitungkan harga sewa dan bukan harga beli; dan
  3. Pemerintah tetap memiliki jaminan atas kepemilikan aset.

Dasar Hukum:

– Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

– Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun

Referensi:

Arthalia Saputra. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Satuan Rumah Susun Terkait Hak Kepemilikan. Arena Hukum, 13(1). 118.

https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

https://realestat.id/berita-properti/skbg-sarusun-jawab-kebutuhan-hunian-mbr-di-perkotaan/ diakses pada 21 Agustus 2022


[1] Arthalia Saputra. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Satuan Rumah Susun Terkait Hak Kepemilikan. Arena Hukum, 13(1). 118.

[2] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

[3] https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

[4] https://realestat.id/berita-properti/skbg-sarusun-jawab-kebutuhan-hunian-mbr-di-perkotaan/ diakses pada 21 Agustus 2022

[5] https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

1 2 3 4 5 18
Translate