Kendala Kekayaan Intelektual sebagai Objek Jaminan Utang

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Made Indra

Pemerintah Indonesia secara resmi menjadikan kekayaan intelektual para pelaku ekonomi kreatif nasional sebagai salah satu jaminan untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan.[1] Dalam pengaturannya pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif (“PP Ekonomi Kreatif”) menjelaskan bahwa objek jaminan utang berbasis kekayaan intelektual dapat dilaksanakan dalam bentuk, antara lain (a) jaminan fidusia atas kekayaan intelektual; (b) kontrak dalam kegiatan ekonomi kreatif; dan/atau (c) hak tagih dalam kegiatan ekonomi kreatif. Pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah tersebut menyebabkan pelaku usaha untuk dapat menjadikan Kekayaan Intelektualnya sebagai objek jaminan atas utangnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 PP ekonomi kreatif yang disebut sebagai Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut:

“Pasal 1

6. Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra”.

Dengan Peraturan Pemerintah tersebut, sekarang Kekayaan Intelektual yang timbul maupun lahir karena kemampuan intelektual manusia, baik di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dapat dijadikan objek jaminan utang. Walaupun dinilai dapat membantu pelaku ekonomi kreatif, masih terdapat banyak tantangan dalam penerapan Kekayaan Intelektual sebagai objek jaminan utang di Indonesia. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tantangan tersebut bagi Usaha Mikro Kecil Menengah berbasis kekayaan intelektual untuk bisa masuk pasar dan mengakses modal dari pihak eksternal, serta Kekayaan Intelektual juga dinilai sebagai sektor dengan produktivitas yang rendah dan memiliki fluktuasi pada return atau value yang tinggi. Sehingga dalam melakukan pembiayaan, bank perlu untuk menyiapkan cadangan yang lebih besar dalam praktiknya. Lebih lanjut, menurutnya belum terdapatnya bentuk perikatan yang dipersyaratkan dan Lembaga penilai khusus untuk menilai Kekayaan Intelektual sebagai acuan bank menyebabkan bank kesulitan untuk mendapatkan pengembalian atas kredit/pembayaran yang telah diberikan.[2]

Dalam pengaturannya, PP Ekonomi Kreatif tersebut memberikan peluang bagi pelaku ekonomi kreatif untuk mengajukan utang dengan memberikan jaminan berupa Kekayaan Intelektualnya. Pengajuan utang tersebut dengan menggunakan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang bagi Lembaga keuangan bank maupun non-bank. Untuk dapat melakukan pengajuan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, hal tersebut terdapat dalam Pasal 7 PP Ekonomi Kreatif, yang berbunyi:

“Pasal 7

(1)Pembiayaan berbasis kekayaan intelektual diajukan
oleh Pelaku Ekonomi Kreatif kepada lembaga
keuangan bank atau lembaga keuangan non bank.

(2)Persyaratan pengajuan Pembiayaan berbasis
Kekayaan Intelektual paling sedikit terdiri atas:

a. proposal Pembiayaan;

b. memiliki usaha Ekonomi Kreatif;

c. memiliki perikatan terkait Kekayaan Intelektual
produk Ekonomi Kreatif; dan

d. memiliki surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual”.

Sementara dalam Pasal 10 PP Ekonomi Kreatif, terdapat pengaturan atas Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang dengan dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 10

Kekayaan Intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang berupa:

a.Kekayaan Intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan

b.Kekayaan Intelektual yang sudah dikelola baik secara sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain”.

Berdasarkan Pasal tersebut, maka untuk dapat menjadi objek jaminan utang harus terlebih dahulu tercatat atau terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kekayaan Intelektual sudah dikelola oleh sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain, setelah melakukan pengajuan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, maka Lembaga keuangan bank maupun Lembaga keuangan non-bank akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:[3]

  1. Verifikasi terhadap usaha ekonomi kreatif;
  2. Verifikasi surat pencatatan atau sertifikat Kekayaan Intelektual;
  3. Penilaian Kekayaan Intelektual yang dijadikan agunan;
  4. Pencairan dana kepada pelaku ekonomi kreatif; dan
  5. Penerimaan pengembalian biaya dari pelaku usaha kreatif sesuai perjanjian

Terhadap nilai kekayaan intelektual yang bersifat fluktuatif, maka perlu adanya dukungan peran Lembaga penilai aset. Dibutuhkannya Lembaga tersebut juga karena perbankan dan non-bank tidak memiliki pengalaman untuk menilai aset kekayaan intelektual. Sehingga Lembaga negara, seperti BI, OJK, Menteri Keuangan, Badan pariwisata dan Ekonomi Kreatif, DJKI, Lembaga Litbang, Universitas, serta Lembaga swasta perlu membentuk Lembaga penilai aset kekayaan intelektual. Lembaga Penilai Aset tersebut, juga harus disertifikasi dan diakreditasi oleh kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan terdaftar juga di Bank Indonesia jika melakukan valuasi Kekayaan Intelektual atas efek atau surat utang berjangka kurang dari 1 (satu) tahun.[4]

Mengenai kekayaan intelektual, dapat disimpulkan bahwa penerapan aturan atas kekayaan intelektual menjadi objek jaminan masih memiliki banyak tantangan dalam pelaksanaannya. Hal ini dilihat dari masih banyaknya aturan yang belum diatur ataupun diperjelas, misalnya terkait kepada metode penilaian Kekayaan Intelektual dan teknik pelaksanaan eksekusi. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan kebingungan atau bahkan sengketa bagi pihak bank dan/atau non-bank yang memberikan pinjaman dengan pelaku usaha ekonomi kreatif di Indonesia. Memang terkait adanya sengketa telah diatur dalam Pasal 40 PP Ekonomi Kreatif dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 40

(1)Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

(2)Penyelesaian sengketa pada lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank di luar pengadilan dilakukan oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.”

Adanya suatu sengketa terkait kepada ekonomi kreatif dapat diselesaikan melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan dengan sengketa pada lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank dilakukan oleh lembaga alternatif yang mendapatkan persetujuan dari OJK. Walaupun begitu, masih kurangnya kejelasan terkait skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual menyebabkan perlunya untuk OJK mengeluarkan aturan pelaksana yang lebih jelas lagi. OJK tengah menyusun kerangka regulasi yang mengatur kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang di sektor perbankan. Melalui aturan yang sedang disusun oleh tim pengaturan, diharapkan dapat mendukung implementasi kekayaan intelektual sebagai salah satu obyek jaminan utang dan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian serta manajemen risiko yang baik.[5]

Dasar Hukum:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif

Referensi


[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20220719081748-4-356605/aturan-jokowi-kekayaan-intelektual-bisa-jadi-jaminan-utang, diakses pada 11 September 2022.

[2] Novina Putri Bestari, “OJK Ungkap Banyak Tantangan KEKAYAAN INTELEKTUAL Jadi Jaminan Utang,” https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220902110306-37-368746/ojk-ungkap-banyak-tantangan-Kekayaan Intelektual-jadi-jaminan-utang, diakses pada 11 September 2022.

[3] Dian Cahyaningrum, “Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang Pelaku Ekonomi Kreatif,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI (Agustus 2022), hlm 4.

[4] Koran Sindo, “Sudah Siapkah Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang,” https://nasional.sindonews.com/read/837191/16/sudah-siapkah-kekayaan-intelektual-sebagai-jaminan-utang-1658812035?showpage=all, diakses pada 11 September 2022.

[5] Ferrika Sari, “OJK Susun Aturan Agar Hak Kekayaan Intelektual Menjadi Jaminan Kredit di Perbankan,” https://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-susun-aturan-agar-hak-kekayaan-intelektual-menjadi-jaminan-kredit-di-perbankan, diakses pada 19 September 2022.

Pembaharuan Kepatuhan Emiten dalam Prosedur Stock Split dan Reverse Stock

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Fikri Fatihuddin

Dewasa ini, Perusahaan Terbuka (Emiten) akan dilarang melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split) atau penggabungan nilai nominal saham (reverse stock) selama dua tahun sejak IPO (Initial Public Offering). Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2022 tentang Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham oleh Perusahaan Terbuka (POJK 15/2022)[1], namun peraturan ini baru akan diberlakukan 6 (enam) bulan sejak peraturan ini disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam POJK No. 15/2022 Perusahaan Terbuka dilarang melakukan Pemecahan Saham atau Penggabungan Saham dalam jangka waktu:

a. 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal pencatatan saham dalam rangka Penawaran Umum perdana saham; dan/atau

b. 12 (dua belas) bulan sejak:

  1. Tanggal efektif pernyataan pendaftaran dalam rangka penambahan modal Perusahaan Terbuka dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu(HMETD/Right Issue);
  2. Tanggal pelaksanaan penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan hak memesan efek terlebih dahulu(Non-HMETD/Private Placement) yang terakhir, kecuali penambahan modal dalam rangka program kepemilikan saham Perusahaan Terbuka;
  3. Tanggal pelaksanaan Pemecahan Saham atau Penggabungan Saham sebelumnya; atau
  4. Tanggal efektifnya pernyataan penggabungan usaha atau peleburan usaha[2].

Artinya, emiten juga dilarang stock split atau reverse stock setahun sejak penambahan modal melalui rights issue, maupun penambahan modal tanpa melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu private placement, kecuali terdapat upaya perbaikan kondisi keuangan[1]. Emiten juga dilarang stock split atau reverse stock setahun sejak aksi stock split/reverse stock sebelumnya.

Terdapat beberapa syarat sebelum melakukan stock split dan/atau reverse stock. Syarat-syarat tersebut meliputi:

  1. Mendapatkan Persetujuan RUPS;
  2. Mendapatkan persetujuan prinsip oleh Bursa Efek;
  3. Memperoleh laporan penilaian yang disusun oleh Penilai yang terdaftar di OJK di bidang pengawasan sektor pasar modal;
  4. Tidak dalam waktu 24 bulan setelah IPO;
  5. Tidak dalam waktu 12 bulan sejak:

a. Tanggal efektif pendaftaran dalam rangka penambahan modal
Emiten dengan memberikan right issue;

b. Tanggal pelaksanaan penambahan modal dengan cara private
placement;

c. Tanggal pelaksanaan stock split atau reverse stock;

d. Tanggal efektif pernyataan Penggabungan Usaha (Merger) atau
Peleburan Usaha (Konsolidasi).

6. Untuk Emiten yang sahamnya tercatat dalam bursa efek, wajib
menunjuk 1 (satu) pihak yang akan melakukan pembelian saham
akibat reverse stock.
7. Untuk Emiten yang sahamnya tidak tercatat dalam bursa efek, wajib
memiliki mekanisme penyelesaian terhadap saham pecahan sebagai
akibat reverse stock.

Sebelum dibuat POJK No. 15/2022, stock split ataupun reverse stock cukup dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemilik saham masing-masing. Saat ini, untuk Emiten yang ingin melakukan rencana stock split atau reverse stock tidak bisa dilakukan apabila belum mendapatkan persetujuan prinsip dari Bursa Efek. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 5 ayat (1) POJK No. 15/2022 yang berbunyi:

“Pasal 5

(1)Dalam hal saham Perusahaan Terbuka tercatat di Bursa Efek, Perusahaan Terbuka wajib memperoleh persetujuan prinsip atas rencana Pemecahan Saham dan rencana Penggabungan Saham Perusahaan Terbuka dari Bursa Efek tempat saham Perusahaan Terbuka dicatatkan”.

Persetujuan prinsip yang diberikan dari Bursa Efek harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Tingkat likuiditas perdagangan saham Perusahaan Terbuka;
  2. Harga saham dan fluktuasi harga saham Perusahaan Terbuka;
  3. Kinerja fundamental keuangan Perusahaan Terbuka;
  4. Rasio Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham;
  5. Jumlah saham beredar yang dimiliki oleh masyarakat;
  6. Pengawasan perdagangan saham Perusahaan Terbuka;
  7. Laporan penilaian saham yang disusun oleh Penilai;
  8. Pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan[1].

Meskipun demikian, agar memperjelas tentang pelaksanaan permohonan stock split atau reverse stock kepada Bursa Efek, maka Bursa Efek wajib membuat ketentuan pelaksana paling lambat 3(tiga) bulan sejak POJK No. 15/2022 berlaku.

Mengenai HMETD/rights issue dijelaskan pada Peraturan OJK No. 32/POJK.04/2015 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (POJK 32/2015), yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.”

Sebagaimana yang diterangkan POJK No. 15/2022, terdapat ketentuan baru yang mengatur tentang beberapa larangan jangka waktu stock split atau reverse stock bagi HMETD/right issue ataupun Non-HMETD/Private Placement. Yaitu selama 12 bulan sejak penambahan  modal

Sebagaimana hukum pada umumnya, tentu pelanggaran dari Emiten terhadap ketentuan-ketentuan baik dari syarat maupun prosedur stock split atau reverse stock telah diancam sanksi administratif. Sanksi administratif yang dimaksud dapat berupa:

  1. peringatan tertulis;
  2. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
  3. pembatasan kegiatan usaha;
  4. pembekuan kegiatan usaha;
  5. pencabutan izin usaha;
  6. pembatalan persetujuan; dan/atau
  7. pembatalan pendaftaran[1].

Dari kesemua sanksi tersebut, dapat diberikan dengan atau tanpa peringatan tertulis terlebih dahulu.

Sebelumnya, stock split  dan reverse stock tidak memiliki payung hukum yang tepat. Pada awal mula UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal), stock split dan reverse stock tidak begitu diterangkan secara eksplisit dalam batang tubuh UU Pasar Modal, namun keduanya menjadi bagian penting dari Informasi atau Fakta Material karena dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek[2]. Seiring berjalannya waktu, praktik stock split dan reverse stock dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemegang sahamnya masing-masing. Sehingga, keberadaan POJK No. 15/2022 ini dapat memberikan kepastian hukum yang menerangkan kejelasan prosedur dalam stock split dan reverse stock sehingga semua aktifitas tersebut dapat dilakukan secara tertib dan terkendali.

Dasar Hukum

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Peraturan OJK No. 32/POJK.04/2015 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2022 tentang Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham oleh Perusahaan Terbuka

Referensi

Cnbc indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220909125004-17-370735/perhatian-emiten-dilarang-stock-split-2-tahun-sejak-ipo, Diakses pada tanggal 11 Septermber 2022


[1] Pasal 38 ayat (4) POJK No. 15/2022

[2] Penjelasan Pasal 1 Angka 7 UU No 8 Tahun 1995



[1] Pasal 6 POJK No. 15/2022


[1] Pasal 13 ayat (1) POJK No. 15/2022


[1] Cnbcindonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220909125004-17-370735/perhatian-emiten-dilarang-stock-split-2-tahun-sejak-ipo, diakses pada tanggal 11 September 2022

[2] Pasal 12 ayat (1) POJK No. 15/2022

REGULATION AND SECURITY IMPLEMENTATION RELATED TO INVESTMENT IN TOURISM SECTOR

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja

REFERENSI: 

  1. Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018.
  2. IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II.
  3. Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung.
  4. H. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Divisi Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
  5. Kusnowibowo, 2013, Hukum Investasi Internasional, Pustaka Reka Cipta, Bandung.
  6. Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan (Jakarta: Pembangunan, 1965), hal 28-41 & 4996; Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Pembangunan & Ghalia Indonesia, 1987), hal 25-32, Beberapa pikiran Sekitar Pancasila (Bandung: Alumni,1983).
  7. Grandnaldo Yohanes Tindangen, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jurnal Lex Administratum, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2016.
  8. Lovienna Renisitoresmi, Perlindungan Hukum Bagi Investor di Sektor Pariwisata Indonesia, Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1.

Pariwisata adalah sektor dengan relevansi ekonomi yang signifikan di beberapa negara.[1] Kegiatan pariwisata yang beragam menimbulkan pergerakan bisnis di berbagai daerah dan berbagai bidang, termasuk investasi. Hal tersebut sebagaimana terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 4

Kepariwisataan bertujuan:

a.meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

b.meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c.menghapus kemiskinan;

d.mengatasi pengangguran;

e.melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;

f.memajukan kebudayaan;

g.mengangkat citra bangsa;

h.memupuk rasa cinta tanah air;

i.memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan

j.mempererat persahabatan antar bangsa”.

Kegiatan investasi di bidang pariwisata merupakan kegiatan yang berorientasi untuk memberikan pengembalian investasi yang cepat dan aman.[2]

Bahwa kontribusi sektor pariwisata memberikan peningkatan kontribusi untuk roda perekonomian nasional, sektor pariwisata memiliki potensi yang bernilai ekonomi dengan daya saing yang tinggi, bahwa bahan baku pariwisata tidak akan habis-habis, sedangkan bahan baku usaha–usaha lainnya sangatlah terbatas jumlahnya.[3]

Pada konstitusional, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan:

“Pasal 33

(1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Berkaitan dengan mencapai sasaran tersebut, pemerintah memberikan prioritas dan arah kebijakan pembangunan salah satunya adalah peningkatan investasi dan ekspor nonmigas, arah kebijakan investasi selayaknya mendasari ekonomi kerakyatan berdasarkan asas kekeluargaan dan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Tujuan investasi tersebut ialah
mempercepat laju pembangunan di negara tersebut.[4]

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan penanaman modal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sistem hukum investasi secara garis besar
terdiri dari bidang hukum mengenai perizinan, permodalan, bentuk usaha, status pelakunya (investor), lokasi, lingkungan obyek, dan lain sebagainya.[5] Izin investasi bukanlah merupakan sesuatu yang dapat diberikan secara cuma-cuma, namun
haruslah didasarkan pada adanya pertimbangan penilaian. Aspek perizinan dalam hukum investasi merupakan kewenangan untuk memberikan atau menolak.[6]

Indonesia merupakan negara yang sedang membangun. Untuk membangun diperlukan adanya modal atau investasi yang besar. Kegiatan penanaman modal sudah dimulai sejak tahun 1967, yaitu sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Keberadaan kedua instrumen hukum itu, diharapkan agar investor, baik investor asing maupun investor domestik untuk dapat menanamkan investasinya di Indonesia.[7]

Dengan adanya kedua peraturan tersebut maka menjamin dan menciptakan keamanan berinvestasi, memberikan perlindungan hukum terhadap investasi yang ditanamkan oleh investor atau penanaman modal.[8]

Mengenai perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan aspek keadilan. Orang sebagai subjek hukum merupakan pendukung atau pembawa hak sejak ia dilahirkan hidup sampai ia mati walaupun ada pengecualian bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah menjadi sebagai subjek hukum sepanjang kepentingannya mendukung untuk itu.[9]

Menurut Philipus M. Hadjon berkaitan dengan perlindungan hukum terdapat perlindungan hukum preventif, perlindungan hukum preventif yakni subyek hukum mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan dan pendapatnya sebelum pemerintah memberikan hasil keputusan akhir. Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu. Artinya bahwa perlindungan hukum preventif mencegah terjadinya timbul sengketa.[10]

Bentuk perlindungan preventif dalam pelaksanaan penanaman investasi di indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Adapun dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menyatakan:

“Pasal 1

1.Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri
maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha
di wilayah negara Republik Indonesia”.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga mengatur bentuk usaha dari penanaman modal, yang berbunyi:

“Pasal 5

(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam
bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak
berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Berkaitan dengan investasi sendiri, maka dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan kewajiban penanam modal, yang berbunyi:

“Pasal 15

Setiap penanam modal berkewajiban:

  1. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal
    dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi
    Penanaman Modal;menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi
    kegiatan usaha penanaman modal; danmematuhi semua ketentuan peraturan perundang-
    undangan”.

Dalam kegiatan penanaman modal, investor harus mematuhi aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, terutama mengenai jenis pendirian usaha. Meskipun pemerintah membuka seluas-luasnya bagi investor untuk masuk ke Indonesia, masih ada bisnis tertentu yang tidak diperbolehkan. Usaha yang dibatasi tersebut tercantum dalam daftar negatif penanaman modal yang diatur dalam Pasal 77 Nomor 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyatakan:
“Pasal 12”
(1) Semua bidang usaha terbuka untuk kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya dilakukan oleh Pemerintah;
(2) Bidang-bidang usaha yang ditutup untuk penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
sebuah. budidaya dan industri narkotika golongan I;
b. segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino;
c. Jenis penangkapan ikan sebagaimana tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES);
d. pemanfaatan atau ekstraksi karang dan pemanfaatan atau ekstraksi karang dari alam yang digunakan untuk bahan bangunan kalsium kapur, akuarium, dan cinderamata/perhiasan, serta karang hidup atau mati dari alam;
e. industri pembuatan senjata kimia; dan
f. industri kimia dan industri bahan perusak lapisan ozon”.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak hanya menjamin dan memberikan perlindungan hukum bagi para penanam modal melainkan juga memberikan sanksi, hal ini terdapat dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang berbunyi:

“Pasal 34

  • Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban
    sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai
    sanksi administratif berupa:
  • peringatan tertulis;
  • pembatasan kegiatan usaha;
  • pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
    penanaman modal; atau
  • pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
    penanaman modal”.
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
    undangan.
  • Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau
    usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Selain memiliki sanksi yang tegas pemerintah akan menjamin kepastian hukum, berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanaman modal sejak proses
pengurusan perizinan hingga berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta membuka kesempatan-kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro,kecil,menengah dan koperasi.[11]

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah berusaha agar dalam praktek tidak ada lagi perlakuan perbedaan antara penanaman modal dalam negeri dan luar negeri. Agar orang atau badan mau menanamkan modalnya maka bermacam cara yang dilakukan pemerintah agar penanaman modalnya membuahkan hasil atau margin yang diinginkannya.[12] Pengaturan mengenai investasi pada bidang bisnis jasa pariwisata berbentuk perlindungan bagi investor di sektor pariwisata tidak jauh berbeda dengan perlindungan hukum bagi investor yang lain, yaitu terdapat pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, karena dalam Undang-Undang Kepariwisataan tidak terdapat aturan yang khusus mengenai investasi.


[1] Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018, hal 157.

[2] Ibid

[3] IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II), hal. 69

[4] Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018, hal 158

[5] Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, hal. 3-4.

[6] Ibid

[7] H. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Divisi Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 1.

[8] Kusnowibowo, 2013, Hukum Investasi Internasional, Pustaka Reka Cipta, Bandung, hal. 2

[9] Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan (Jakarta: Pembangunan, 1965), hal 28-41 & 4996; Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Pembangunan & Ghalia Indonesia, 1987), hal 25-32, Beberapa pikiran Sekitar Pancasila (Bandung: Alumni,1983), hal 47-64

[10] Ibid

[11] Grandnaldo Yohanes Tindangen, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jurnal Lex Administratum, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2016, Universitas Sam Ratulangi, hal. 18

[12] Lovienna Renisitoresmi, Perlindungan Hukum Bagi Investor di Sektor Pariwisata Indonesia, Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1, hal 4.

LEGAL BASIS:

  1. The 1945 State Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 25 of 2007 concerning investment capital;
  3. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;
  4. Law Number 11 of 2020 concerning Capital Invesment

REFERENCE:

  1. Lis Julianti, Standar Perlindungan Hukum Kegaiatan Investasi PadaBisnis Jasa Pariwisata di Indonesia, KERTHA WICAKSANA Volume 12, Nomor 2, 2018.
  2. IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Bali, (Selanjutnya disebut IGN Parikesit Widiatedja II.
  3. Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung.
  4. H. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Divisi Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
  5. Kusnowibowo, 2013, Hukum Investasi Internasional, Pustaka Reka Cipta, Bandung.
  6. Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan (Jakarta: Pembangunan, 1965), hal 28-41 & 4996; Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Pembangunan & Ghalia Indonesia, 1987), hal 25-32, Beberapa pikiran Sekitar Pancasila (Bandung: Alumni,1983).
  7. Grandnaldo Yohanes Tindangen, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jurnal Lex Administratum, Volume 4 Nomor 2 Tahun 2016.
  8. Lovienna Renisitoresmi, Perlindungan Hukum Bagi Investor di Sektor Pariwisata Indonesia, Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1.

Tourism is a sector with significant economic relevance in several countries. Diverse tourism activities lead to business movements in various regions and various fields, including investment. This is as contained in Article 4 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 4

Tourism aims to:

a.increase economic growth;

b.improve people’s welfare;

c.eradicating poverty;

d.overcoming unemployment;

e.conserving nature, environment, and resources;

f.promote culture;

g.raise the image of the nation;

h.fostering a sense of love for the homeland;

i.strengthen national identity and unity; and

j.strengthen the friendship between nations.

Investment activities in the tourism sector are activities that are oriented toward providing a fast and safe return on investment.

That the contribution of the tourism sector provides an increasing contribution to the national economy, the tourism sector has potential economic value with high competitiveness, that tourism raw materials will not run out, while the raw materials for other businesses are very limited in number.

In the constitution, Article 33 of the 1945 Constitution, states:

“Article 33

(1) The economy is structured as a joint effort based on the principle of kinship”.

In relation to achieving these targets, the government gives priorities and directions for development policies, one of which is increasing investment and non-oil and gas exports, the direction of investment policies should be to base a people’s economy based on the principle of kinship and based on economic democracy to achieve prosperity and welfare of the people as stipulated in Article 33 paragraph (1) the 1945 Constitution with the principles of togetherness, efficiency, justice, sustainability, environmental insight, independence, and maintaining a balance of progress and national economic unity. The purpose of the investment is to accelerate the pace of development in the country.

In relation to the implementation of investment, based on Law Number 25 of 2007 concerning Investment, the investment legal system broadly

Consists of the legal fields regarding licensing, capital, a form of business, the status of the perpetrator (investor), location, object environment, and others. etc. permit investment that can be given free of charge but must be based on an appraisal consideration. The aspect of licensing in investment is the authority to grant or refuse.

Indonesia is a developing country. To build requires a large capital or investment. Investment activities have been started since 1967, namely since the issuance of Law Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment and Law Number 6 of 1968 concerning Domestic Investment. With the existence of these two legal instruments, it is hoped that investors, both foreign and domestic investors, can invest in Indonesia.

The existence of these two regulations, it guarantees and creates investment security and provides legal protection for investments made by investors or investment.

Legal protection is closely related to the aspect of justice. People as legal subjects are supporters or bearers of rights since they are born alive until they die, although there are exceptions that babies who are still in their mother’s womb are considered to have become legal subjects as long as their interests support it.

According to Philipus M. Hadjon related legal protection, there is preventive legal protection, preventive legal protection, namely legal subjects have the opportunity to file objections and opinions before the government gives the final decision. This legal protection is contained in laws and regulations that contain signs and limitations in doing something. This means that preventive legal protection prevents disputes from arising.

The form of preventive protection in the implementation of investment in Indonesia is regulated in Law Number 25 of 2007 concerning Investment. Article 1 number 1 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, states:

“Article 1

  1. Investment is all forms of investment activities, both by domestic investors and foreign investors to conduct business in the territory of the Republic of Indonesia”.

Article 5 paragraph (1) of Law Number 5 of 2007 concerning Investment also regulates the form of business of investment, which reads:

“Article 5

(1) Domestic investment can be carried out in the form of a business entity in the form of a legal entity, not a legal entity or individual business, in accordance with the provisions of the legislation”.

With regard to own investment, Article 15 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment states the obligations of investors, which reads:

“Article 15

Every investor is obliged to:

a.    apply the principles of good corporate governance;

b.    carry out corporate social responsibility;

c.    make a report on investment activities

Coordinating

Investment

d.    respecting the cultural traditions of the community around the location

of investment business activities; and

e.    comply with all statutory provisions”.

In the invesment activity, investors must comply with rules made by the government, especially regarding the type of business establishment. Although the government is open to many investors as possible to Indonesia, there are still specific businesses in particular which are not allowed. The restricted businesses are listed on the negative list of investment which is regulated in Article 77 Number 2 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, which states:
“Article 12
(1) All business sectors are open for investment activities, except for business sectors which are stated as closed for investment or activities that only be carried out by Government;
(2) The business sectors are closed for investment as refer to paragraph (1) as follow:
a. cultivation and the narcotics industry of class I;
b. all forms of gambling and/or casino activities;
c. Fish catching species as listed in Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES);
d. utilization or extraction of corals and utilization or extraction of corals from nature which are used for building calcium lime materials, aquariums, and souvenirs/jewelry, as well as live or death corals from nature;
e. chemical weapons manufacturing industry; and
f. chemical industry and ozone layer depleting material industry”.

In Law Number 25 of 2007 concerning Investment, not only guarantees and provides legal protection for investors but also provides sanctions, this is contained in Article 34 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, which reads:

“Article 34

(1)The business entity or individual business as referred to in Article 5 which does not fulfill the obligations as stipulated in Article 15 may be subject to administrative sanctions in the form of:

a.written warning;

b.limitation of business activities;

c. suspension of business activities and/or investment facilities; or

d. revocation of business activities and/or investment facilities”.

(2) The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) shall be imposed by the competent agency or institution in accordance with the provisions of the legislation.

(3) In addition to being subject to administrative sanctions, business entities or individual businesses may be subject to other sanctions in accordance with the provisions of laws and regulations”.

Having strict sanctions, the government will guarantee legal certainty, business, and business security for investment from the licensing process until the end of activities investment the provisions of laws and regulations, as well as opening opportunities for development and providing protection to micro-enterprises. small, medium, and cooperative.

In Law Number 25 of 2007 concerning Investment, it has been attempted so that in practice there is no longer any difference in treatment between domestic and foreign investments. For people or entities to invest their capital, the government uses various methods so that their investment produces the desired results or margins.

The regulation regarding investment in the tourism service business sector in the form of protection for investors in the tourism sector is not much different from the legal protection for other investors, which is contained in Law Number 25 of 2007 concerning Investment, because in the Tourism Law there are no rules that especially regarding investment.

Pelanggaran terhadap Pemakaian Tenaga Listrik di Indonesia

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Alexandra Hartono Lee

Seorang pelanggan Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) dikenakan sanksi hingga lebih dari Rp41.000.000 atau terbilang empat puluh satu juta rupiah akibat pemakaian yang dinilai tidak normal oleh pihak PLN.[1] PLN curiga bahwa pelanggan melakukan pencurian listrik akibat menurunnya jumlah tagihan yang harus dibayar. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tali segel meteran tersebut putus, dan perubahan pola penggunaan listrik yang berubah drastis memperkuat dugaan pencurian listrik oleh PLN atas pelanggan ini.[2] Padahal, pelanggan mengatakan bahwa posisi meteran listrik yang diletakkan di luar rumah berarti orang lain mempunyai akses terhadap meteran tersebut, termasuk apabila ada “oknum” yang sengaja merusak segel meteran. Akibatnya, tidak hanya sanksi berupa pembayaran uang, PLN juga melakukan pemutusan aliran listrik ke rumah pelanggan ini serta penyitaan meteran listrik. Kini kondisi listrik pelanggan telah dinyalakan kembali dengan menggunakan sistem token sementara, dan meteran akan diperiksa oleh PLN untuk mencari penyebab kerusakan segelnya. Namun kenyataannya, kejadian ini tidak hanya terjadi pada satu pelanggan, melainkan ada banyak orang lain yang mengalami hal serupa.

Jumlah sanksi yang dikenakan bisa dibilang cukup bombastis, hingga membuat masyarakat bertanya-tanya dasar hukum dari pengenaan sanksi yang begitu merugikan. Secara umum, pencurian listrik masuk dalam tindak pidana pencurian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana[3], Pasal 362 yang berbunyi:

Pasal 362

barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Kini sudah berlaku peraturan perundang-undangan yang mengatur pencurian listrik secara lebih spesifik, seperti tercantum dalam salah satu foto yang diunggah oleh pelanggan tersebut[3]. Pelanggaran yang dikenakan oleh PLN adalah Pelanggaran II, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) (“Perdir PLN 88/2016”). Definisi P2TL adalah sebagai berikut:[4]

Pasal 1

6.rangkaian kegiatan meliputi perencanaan, pemeriksaan, tindakan teknis dan/atau hukum dan penyelesaian yang dilakukan oleh PLN terhadap lnstalasi PLN dan/atau lnstalasi Pemakai Tenaga Listrik dari PLN”.

Pasal 5 ayat (2) Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) menjelaskan wewenang dari pertugas pelaksana lapangan P2TL yang berbunyi:

“Pasal 5

(2) Petugas pelaksana lapangan P2TL, berwenang:

a. melakukan pemutusan sementara atas sambungan tenaga listrik dan/atau alat pembatas dan pengukur pada pelanggan yang harus dikenakan tindakan pemutusan sementara;

b. melakukan pembongkaran rampung atas sambungan tenaga listrik pada pelanggan dan bukan pelanggan;

c. melakukan pengambilan barang bukti berupa alat pembatas dan pengukur atau peralatan lainnya”.

Ada beberapa golongan pelanggaran yang diatur dalam P2TL, dan yang dikenakan terhadap pelanggan ini adalah pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya.[5] D Dapat disimpulkan bahwa PLN menganggap pelanggan telah melakukan sebuah pelanggaran yang mengakibatkan pengukuran energi listrik yang terpakai termanipulasi dan tidak sesuai jumlahnya dengan yang tercantum pada meteran listrik, sehingga tagihan listrik yang harus dibayar menjadi lebih sedikit daripada yang seharusnya. Pemakaian listrik yang tidak terukur inilah yang dikenakan denda oleh PLN karena pelanggan tidak berhak menggunakan listrik tanpa membayar. Adapun golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik yang berbunyi:

Pasal 13

(1) Terdapat 4 golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik, yaitu:

a. Pelanggaran Golongan I merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya tetapi tidak mempengaruhi pengukuran energi;

b. Pelanggaran Golongan ll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya;

c. Pelanggaran Golongan lll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya dan mempengaruhi pengukuran energi;

d. Pelanggaran Golongan lV merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh bukan pelanggan yang menggunakan tenaga listrik tanpa alas hak yang sah”.

Terhadap pelanggar ketentuan tersebut, Pasal 14 ayat (1) Perdir PLN 88/2016 mengatur pula mengenai sanksi yang berlaku yaitu:

“Pasal 14

(1) Pelanggan yang melakukan Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi berupa:

a.Pemutusan Sementara;

b.Pembongkaran Rampung;

c.Pembayaran Tagihan Susulan;

d.Pembayaran Biaya P2TL Lainnya”.

Sesungguhnya, hukuman yang diberikan terhadap pelanggan tersebut adalah hukuman yang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi yang dikenakan bukanlah denda, melainkan pembayaran tagihan yang selama ini tertunggak; seakan-akan untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban dengan membayar tenaga listrik yang selama ini tidak dibayarkan. Permasalahannya terletak pada kebenaran mengenai kerusakan segel meteran tersebut; apakah benar pelanggan dalam kasus ini merusaknya untuk melakukan pencurian listrik, atau benar ada oknum lain yang berusaha merugikan pelanggan? Hal ini berarti PLN harus memperbaiki caranya menindaklanjuti temuan-temuan yang mencurigakan, karena alih-alih menangkap pencuri listrik, pengenaan sanksi pembayaran “tagihan” yang jumlahnya sangat besar serta pengenaan sanksi lainnya seperti pemutusan listrik dan penyitaan meteran justru menyebabkan kerugian bagi pelanggan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap PLN.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor 088/Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL)

Referensi:

CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta Akibat Segel Meteran Putus”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220826075542-85-839338/pelanggan-pln-kena-denda-rp41-juta-akibat-segel-meteran-putus , diakses 26 Agustus 2022.

Anisa Indraini, “Viral Pelanggan PLN Didenda Rp 41 Juta Akibat Dituding Curi Listrik”, https://finance.detik.com/energi/d-6255929/viral-pelanggan-pln-didenda-rp-41-juta-akibat-dituding-curi-listrik , diakses 26 Agustus 2022.



[1] Ibid., Pasal 13 ayat (1).

[2] Perdir PLN 88/2016, Pasal 14 ayat (1).


[1] CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta”, diakses 26 Agustus 2022.

[2] Indonesia, Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor 088/Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), Perdir PLN 88/2016, Pasal 1 angka 6.


[3]  CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta Akibat Segel Meteran Putus”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220826075542-85-839338/pelanggan-pln-kena-denda-rp41-juta-akibat-segel-meteran-putus, diakses 26 Agustus 2022.

[2] Anisa Indraini, “Viral Pelanggan PLN Didenda Rp 41 Juta Akibat Dituding Curi Listrik”, https://finance.detik.com/energi/d-6255929/viral-pelanggan-pln-didenda-rp-41-juta-akibat-dituding-curi-listrik, diakses 26 Agustus 2022.

[3] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 362.

FRANCHISE AGREEMENT IN THE HOSPITALITY BUSINESS IN INDONESIA

Author : Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba

REFERENSI: 

  1. Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020.
  2. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
  3. Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.
  4. Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
  5. Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992.
  6. Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004.

Di masa sekarang, perkembangan dunia perekonomian semakin berkembang pesat dan kompleks. Perkembangan bisnis semakin dimudahkan dengan bentuk kerjasama bisnis dan kecanggihan teknologi di dalam pelaksanaannya. Perkembangan terhadap bentuk kerjasama bisnis melahirkan suatu konsep bisnis baru yang semakin memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi bisnis, salah satunya adalah bisnis waralaba atau franchise.[1]

Perjanjian bisnis franchise termasuk dalam perjanjian yang tidak bernama (innominaat), yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Perjanjian tidak bernama (innominaat) merupakan perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus. Lahirnya perjanjian tersebut di dalam prakteknya berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak atau kebebasan dalam mengadakan suatu perjanjian. Perkembangan bentuk kerjasama bisnis ini membuka jalan bagi terciptanya fasilitas-fasilitas dan bentuk-bentuk bisnis baru, diantaranya bisnis waralaba, atau dalam bahasa asing disebut juga dengan franchise sistem waralaba atau franchise tidak membutuhkan investasi langsung, tetapi melibatkan kerjasama dengan pihak lain.[2]

Rumusan yang lain mengatakan perjanjian franchising adalah suatu perjanjian dimana franchisee menjual produk atau jasa sesuai dengan cara dan prosedur yang telah ditetapkan oleh franchisor yang membantu melalui iklan, promosi, dan jasa-­jasa nasihat lainnya.[3]

Pengertian waralaba sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

“Pasal 1

  • Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.
  • Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.
  • Pemberi Waralaba Lanjutan adalah Penerima Waralaba yang diberi hak oleh Pemberi Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba Lanjutan.
  • Penerima Waralaba Lanjutan adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima hak dari Pemberi Waralaba Lanjutan untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba”.

Mewaralabakan adalah suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distribusi produk serta pelayanannya dengan membagi standar pemasaran dan operasional. Pemegang franchise (waralaba) yang membeli suatu suatu bisnis yang menarik manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan lain yang disediakan oleh pemilik franchise.[1]

Franchise jika dilihat dari aspek unsurnya, maka dapat ditemukan adanya 4 unsur, yaitu sebagai berikut:

  1. Pemberian hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu;
    1. Lisensi untuk menggunakan tanda pengenal usaha, biasanya merek dagang atau jasa, yang akan menjadi ciri pengenal dari bisnis franchise (waralaba);
    1. Lisensi untuk menggunakan rencana pemasaran dan bantuan yang luas oleh franchisor kepada franchisee; dan
    1. Pembayaran oleh franchisee kepada franchisor berupa sesuatu yang bernilai bagi franchisor selain dari harga borongan bonafide atas barang yang terjual.[2]

Dasar hukum yang mengatur kriteria waralaba sendiri terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

“Pasal 3

Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha;Terbukti sudah memberikan keuntungan;Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;Mudah diajarkan dan diaplikasikan;Adanya dukungan yang berkesinambungan; danHak kekayaan intelektual yang terdaftar”.

Lahirnya suatu perjanjian pada dasarnya dapat kita lihat pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dalam hal ini memuat suatu Asas Konsensualitas yaitu suatu asas yang menyebutkan bahwa perjanjian itu ada sejak dibuatnya kata sepakat antara para pihak. Perjanjian yang dibuat tersebut mengikat dan berlaku seperti undang-undang para pihak yang membuatnya yang dalam hal ini antara pihak franchisor dengan pihak franchisee. Dengan kata lain, perjanjian franchise (waralaba) sudah sah sejak ada kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok, walaupun belum atau tidak diikuti dengan suatu perbuatan formal.[3]

Adapun ketentuan mengenai perjanjian waralaba sendiri diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

“Pasal 4

  • Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.
  • Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia”.

Biasanya di dalam perjanjian waralaba, diadakan suatu tindakan pendahuluan berupa perundingan antara para pihak. Perjanjian ini, lazimnya pihak franchisee memohon kepada pihak franchisor untuk dapat membuka perusahaan franchise dibawah merek dari franchisor di daerah tertentu. Setelah permohonan tersebut ditanggapi lalu diadakan survei ke lokasi dimana perusahaan tersebut akan beroperasi untuk mengetahui syarat bagi dibukanya perusahaan, terutama dari segi pemasaran atau standart bangunan. Selain melalui tahap perundingan dan survei ke lokasi terdapat juga tahap untuk mempelajari isi format perjanjian yang diperuntukan bagi franchisee.[4]

Berdasarkan lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, materi atau klausula perjanjian waralaba sekurang-kurangnya memuat:

  1. Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat jelas pemilik/penanggung jawab perusahaan yang mengadakan perjanjian waralaba, yaitu pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dan penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan.
    1. Jenis hak kekayaan intelektual, yaitu jenis hak kekayaan intelektual pemberi waralaba, seperti merek dan logo perusahaan, desain gerai/tempat usaha, sistem manajemen atau pemasaran atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan.
    1. Kegiatan usaha, yaitu kegiatan usaha yang diperjanjikan seperti perdagangan eceran/ritel, pendidikan, restoran, apotek, atau bengkel.
    1. Hak dan kewajiban pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dan penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan, yaitu hak dan kewajiban meliputi:
  2. Pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan:
  3. Hak untuk menerima fee atau royalty dari penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan; dan
  4. Kewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada penerima waralaba dan penerima waralaba lanjutan
  5. Penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan:
  6. Hak untuk menggunakan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba; dan
  7. Kewajiban untuk menjaga kode etik/kerahasiaan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang diberikan pemberi waralaba.
    1. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan oleh pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan, seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer dan program IT pengelolaan kegiatan usaha.
    1. Wilayah usaha, yaitu batasan wilayah yang diberikan oleh pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan untuk mengembangkan bisnis waralaba seperti wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau di seluruh wilayah Indonesia.
    1. Jangka waktu perjanjian waralaba, yaitu batasan mulai dan berakhir perjanjian waralaba terhitung sejak surat perjanjian ditandatangani oleh pemberi waralaba dengan penerima waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dengan penerima waralaba lanjutan.
    1. Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara atau ketentuan, termasuk waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan, seperti fee atau royalty apabila disepakati dalam perjanjian waralaba yang menjadi tanggung jawab penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan.
    1. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris, yaitu kepemilikan atas waralaba dan peralihan waralaba apabila terjadi perubahan kepemilikan karena pengalihan kepemilikan atas waralaba atau meninggalnya pemilik waralaba.
    1. Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan forum penyelesaian sengketa, dengan menggunakan pilihan hukum Indonesia.
    1. Tata cara perpanjangan dan pengakhiran perjanjian waralaba, seperti pengakhiran perjanjian waralaba tidak dapat dilakukan secara sepihak atau perjanjian waralaba berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian waralaba berakhir. Perjanjian waralaba dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan Bersama.
    1. Jaminan dari pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan untuk tetap menjalankan kewajibannya kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan sesuai dengan isi perjanjian waralaba hingga jangka waktu perjanjian waralaba berakhir.
    1. Jumlah gerai/tempat usaha yang akan dikelola oleh penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan dalam jangka waktu perjanjian waralaba.

Pihak penerima waralaba dan pemberi waralaba setelah menyetujui isi dari perjanjian tersebut, maka mulai dari saat itulah hak dan kewajiban masing-masing pihak harus dipenuhi. Dalam hal ini kewajiban dari pemberi waralaba perhotelan diantaranya adalah program pelatihan, jasa engineering, jasa food & beverage dan membantu pemasaran produk guna memperoleh keuntungan. Sedangkan kewajiban dari penerima waralaba perhotelan adalah melakukan kualifikasi produk, standart pelayanan, standart management yang sama dengan hotel milik pemberi waralaba perhotelan dan pembayaran fee yang meliputi jasa penjualan, pemasaran, distribusi hotel serta yang lainnya seperti yang telah disepakati bersama. Hak dari para pihak diantaranya, untuk pihak pemberi waralaba perhotelan mendapatkan pembayaran fee yang meliputi jasa penjualan, pemasaran dan distribusi hotel seperti yang telah disepakati bersama serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan waralaba. Sementara itu hak dari penerima waralaba perhotelan ialah memperoleh segala informasi mengenai hal-hal yang berkaitan bisnis waralaba yang mereka lakukan, serta berhak menggunakan nama, cap dagang, dan logo milik franchisor atau pemberi waralaba perhotelan yang sudah terkenal dalam dunia bisnis.[5]

Sementara itu dasar hukum yang mengatur mengenai kewajiban pemberi waralaba sendiri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 7

  • Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran Waralaba kepada calon Penerima Waralaba pada saat melakukan penawaran.
  • Prospektus penawaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit mengenai :Data identitas pemberi waralaba;Legalitas usaha pemberi waralaba;Sejarah kegiatan usahanya;Struktur organisasi pemberi waralaba;Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;Jumlah tempat usaha;Daftar penerima waralaba; danHak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba”.

Pasal 8

Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan”.

Selanjutnya pemberi waralaba juga wajib untuk mendaftarkan prospektus tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 10

  • Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba”.

Setelah perjanjian waralaba dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak, penerima waralaba harus mendaftarkan perjanjian waralaba yang sudah disepakati tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 11

  • Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian Waralaba”.

Apabila prospektus penawaran waralaba dan perjanjian waralaba telah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, maka selanjutnya Menteri Perdagangan akan menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 12

  • Menteri menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba apabila permohonan pendaftaran Waralaba telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  • Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
  • Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun”.

Selanjutnya adapun sanksi yang diatur dalam kegiatan waralaba sendiri salah satunya diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 16

  • Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, dan/atau Pasal 11.
  • Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:peringatan tertulis;denda; dan/ataupencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba”.

[1] Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004), hal. 20-21.

[2] Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992, hal. 5.

[3] Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004, hal. 19

[4] Ibid.

[5] Ibid


[1] Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020, hal. 1.

[2] Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 16.

[3] Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.

LEGAL BASIS:

  1. Civil Code;
  2. Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising;
  3. Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning Franchise Implementation

REFERENCE:

  1. Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020.
  2. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
  3. Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.
  4. Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
  5. Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992.
  6. Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004.

At present, the development of the world economy is growing rapidly and complex. Business development is increasingly facilitated by the form of business cooperation and technological sophistication in its implementation. The development of the form of business cooperation gave birth to a new business concept that increasingly provides convenience in conducting business transactions, one of which is a franchise business.

Franchise business agreements are included in unnamed agreements (innominaat), namely agreements that arise, grow, live, and develop in the practice of community life.agreements (innominaat) are agreements that have not been specifically regulated. The birth of the agreement in practice is based on the principle of freedom of contract or freedom to enter into an agreement. The development of this form of business cooperation opens the way for the creation of new facilities and forms of business, including a franchise business, or in a foreign language also known as a franchise system or franchise that does not require direct investment, but involves cooperation with other parties.

Another formulation says that a franchising is an agreement in which the franchisee sells products or services in accordance with the ways and procedures established by the franchisor who assists through advertising, promotions, and other advisory services.

The definition of franchise itself has actually been regulated in Article 1 number 1 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising, which states:

“Article 1

  1. franchising is a special right owned by an individual or business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven successful and can be utilized and/or used by other parties based on the franchise agreement”.

Furthermore, the Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising has also provided an understanding of who the parties involved in this business are. This understanding is contained in Article 1 points 3-6 which states:

“Article 1

3.   Franchisor is an individual or business entity that grants the right to utilize and/or use its Franchise to the Franchisee.

4.   Franchisee is an individual or business entity that is granted the right by the Franchisor to utilize and/or use the Franchise owned by the Franchisor.

5.   Continuing Franchisor is a Franchisee who is given the right by the Franchisor to appoint a Continuing Franchisor.

6. Continuing Franchisee is an individual or business entity that receives rights from the Continuing Franchisor to utilize and/or use the Franchise”.

Franchising is a method of marketing and business expansion. A business expands the market and distribution of its products and services by sharing marketing and operational standards. A franchisor who purchases a business that benefits from customer awareness of the trade name, proven systems and other services provided by the franchisor.

If viewed from the aspect of the elements, it can be found that there are 4 elements in the franchise, namely as follows:

  1. Granting the right to do business in certain businesses;
  2. A license to use a business identification mark, usually a trademark or service mark, which will identify the franchise business (franchise);
  3. License to use extensive marketing plans and assistance by the franchisor to franchisees; and
  4. Payment by the franchisee to the franchisor form of something of value to the franchisor other than the bona fide for the goods sold.

The legal basis that regulates franchise criterias itself is contained in Article 3 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 3

Franchising must meet the following criterias:

a.Has business characteristics;

b.Proven to be profitable;

c.Has written standards for services and goods and/or services offered;

d.Easy to conduct and apply;

e.There is ongoing support; and

f.Registered intellectual property”.

The birth of an agreement can basically be seen in Article 1320 of the Civil Code, which in this case contains a principle of consensuality, which is a principle which states that the agreement existed since an agreement was made between the parties. The agreement made is binding and applies as the law of the parties who made it which in this case is between the franchisor and the franchisee. In other words, the franchise is valid since there is an agreement from the parties regarding the main matters, even though it has not been or has not been followed by a formal act.

The provisions regarding the franchise agreement itself are regulated in Article 4 paragraph (1) and paragraph (2) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 4

(1)Franchising is carried out based on a written agreement between the Franchisor and the Franchisee with due observance of Indonesian law.

(2)In the event that the agreement as referred to in paragraph (1) is written in a foreign language, the agreement must be translated into Indonesian.”

Usually in a franchise agreement, a preliminary action is held in the form of negotiations between the parties. In this agreement, the franchisee asks the franchisor to be able to open a franchise under the franchisor’s brand in a certain area. After the request is responded to, a survey is conducted to the location where the company will operate to find out the requirements for opening the company, especially in terms of marketing or building standards. In addition to going through the negotiation and site survey stages, there is also a stage to study the contents of the agreement format intended for franchisees.

Based on attachment II to the Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising, the material or clauses of the franchise agreement must at least contain:

  1. Name and address of the parties, namely the name and clear address of the owner/responsible person of the company entering into the franchise agreement, namely the franchisor or continued franchisor and franchisee or continued franchisee.
  2. Types of intellectual property rights, namely the types of intellectual property rights of the franchisor, such as company brands and logos, design of outlets/business places, management or marketing systems or franchised cooking spices.
  3. Business activities, namely agreed business activities such as retail/retail trading, education, restaurants, pharmacies, or workshops.
  4. The rights and obligations of the franchisor or continued franchisor and franchisee or continued franchisee, namely the rights and obligations include:

a. The franchisor or continued franchisor:

1)The right to receive fees or royalties from the franchisee or continued franchisee; and

2)The obligation to provide continuous guidance to franchisees and franchisees

b. Franchisee or continued franchisee:

1)The right to use intellectual property rights or business characteristics owned by the franchisor; and

2)The obligation to maintain the code of ethics/confidentiality of intellectual property rights or business characteristics given by the franchisor.

5.Assistance, facilities, operational guidance, training, and marketing provided by the franchisor or advanced franchisor to the franchisee or advanced franchisee, such as facility assistance in the form of providing and maintaining computers and IT programs for managing business activities.

6.Business area, which is the area limit given by the franchisor or continued franchisor to the franchisee or continued franchisee to develop a franchise business such as the Sumatra, Java and Bali areas or throughout Indonesia.

7.The term of the franchise agreement, namely the start and end of the franchise agreement as of the agreement letter is signed by the franchisor with the franchisee or the continuing franchisor with the continued franchisee.

8.The procedure for payment of fees, namely the procedures or provisions, including the time and method of calculating the amount of compensation, such as fees or royalties if agreed upon in the franchise agreement which is the responsibility of the franchisee or continued franchisee.

9.Ownership, change of ownership, and rights of heirs, namely ownership of the franchise and transfer of franchise if there is a change of ownership due to the transfer of ownership of the franchise or the death of the franchise owner.

10.Dispute resolution, namely the establishment of a dispute resolution forum, using Indonesian law options.

11.The procedure for extending and terminating a franchise agreement, such as terminating a franchise agreement cannot be done unilaterally or the franchise agreement ends automatically if the period specified in the franchise agreement ends. The franchise agreement can be extended again if desired by both parties with the provisions stipulated together.

12.Guarantee from the franchisor or continuing franchisor to continue to carry out their obligations to the franchisee or continued franchisee in accordance with the contents of the franchise agreement until the term of the franchise agreement ends.

13.Number of outlets/business places that will be managed by the franchisee or continued franchisee within the period of the franchise agreement.

After agreed to the contents of the agreement, the franchisee and the franchisor must fulfill the rights and obligations of each party. In this case, the obligations of the hotel franchisor include training programs, engineering services, food & beverage services, and help to market the product to gain profit. Meanwhile, the obligations of the hotel franchisee are to qualify for products, service standards, and management standards which are the same as the hotel owned by the franchisor, and to pay fees which include sales, marketing, hotel distribution, and other services as mutually agreed. The rights of the hotel franchisor are to receive fees which include hotel sales, marketing, and distribution services as mutually agreed upon, as well as supervising the implementation of the franchise. Meanwhile, the rights of the hotel franchisee are to obtain information regarding the franchise business and to use the hotel franchisor’s name, trademark, and logo.

Meanwhile, the legal basis governing the obligations of the franchisor itself is regulated in Article 7 paragraph (1) paragraph (2) and Article 8 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 7

(1) The franchisor shall provide the Franchise offer prospectus to the prospective Franchisee at the time of making the offer.

(2) The Franchise offer prospectus as referred to in paragraph (1) shall contain at least:

a.Data on the identity of the franchisor;

b.The legality of the franchisor’s business;

c.History of its business activities;

d.The franchisor’s organizational structure;

e.Financial statements for the last 2 (two) years;

f.Number of places of business;

g.List of franchisees; and

h.the rights and obligations of the franchisor and franchisee”.

Article 8

Franchisors are obligated to provide continuous guidance in the form of training, management operational guidance, marketing, research, and development to Franchisees”.

Furthermore, the franchisor is also required to register the prospectus as regulated in Article 10 paragraph (1) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

Article 10

  • Franchisors are required to register the Franchise offering prospectus before making a Franchise agreement with the Franchisee”.

After the franchise agreement is made and agreed upon by both parties, the franchisee must register the agreed franchise agreement as stipulated in Article 11 paragraph (1) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

Article 11

  • The Franchisee is obliged to register a Franchise agreement”.

If the franchise offer prospectus and franchise agreement meet the requirements for registration, then the Minister of Trade will then issue a Franchise Registration Certificate as stipulated in Article 12 paragraph (4), paragraph (5), and paragraph (6) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchise which statess:

Article 12

  • The Minister issues a Franchise Registration Certificate if the application for Franchise registration has met the requirements as referred to in paragraph (1) and paragraph (2).
    • The Franchise Registration Certificate as referred to in paragraph (4) is valid for a period of 5 (five) years.
    • In the event that the Franchise agreement has not expired, the Franchise Registration Certificate may be extended for a period of 5 (five) years”.

Furthermore, the sanctions against unlawful franchise activity are regulated in Article 16 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states::

Article 16

  • The Minister, Governor, Regent/Mayor in accordance with their respective authorities may impose administrative sanctions for Franchisor and Franchisee who violate the provisions as referred to in Article 8, Article 10, and/or Article 11.
  • The sanctions as referred to in paragraph (1) may be in the form of:
    • written warning;
      • fine; and/or
      • revocation of Franchise Registration Certificate”.

1 2 3 4 5 12
Translate