0

Perlindungan Sistem Pembayaran dalam Bertransaksi secara Digital

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Made Indra Sukma Adnyana

Bank Indonesia melaporkan data peningkatan transaksi ekonomi dan keuangan digital yang menunjukkan kiamat bagi ATM. Gubernur Bank Indonesia menjelaskan nilai transaksi uang elektronik pada Agustus 2022 mengalami pertumbuhan 43,24% year on year (yoy) dengan nilai mencapai Rp. 35,5 triliun. Nilai transaksi digital banking sendiri meningkat 31,40% yoy menjadi Rp. 4.557,5 triliun. Menanggapi kenaikan transaksi ekonomi dan keuangan digital, Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa transaksi ekonomi dan keuangan digital tetap mengalami kenaikan karena ditopang oleh peningkatan akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, perluasan dan kemudahan dalam sistem pembayaran digital. Kenaikan ekonomi dan keuangan tersebut terjadi bahkan pada waktu Indonesia sedang mengalami tantangan tekanan dari inflasi.[1]

Sebagaimana dijelaskan bahwa transaksi keuangan dan ekonomi digital tidak akan lepas dari yang disebut dengan sistem pembayaran digital. Sistem pembayaran digital dalam penggunaannya memiliki banyak manfaat bagi konsumen dimana memudahkan pembayaran, meningkatkan efektivitas dan efisiensi waktu, meningkatkan customer loyality, pengendalian biaya, komisi rendah, dan meningkatkan efisiensi dalam pembayaran sebuah produk secara online.[2] Walaupun begitu, terdapat permasalahan-permasalahan yang harus diperhatikan dalam penggunaannya, misalnya dalam faktor keamanan transaksi dan ketersediaan infrastruktur pembayaran. Ketersediaan yang dimaksud mengacu kepada ketersediaan, kestabilan dan kecepatan pada jaringan internet, ketersediaan sistem, serta kecepatan dari transaksi yang dapat dilakukan oleh konsumen. Oleh karena hal tersebut, dibutuhkannya pengaturan lebih lanjut terkait pelaksanaan suatu sistem pembayaran di Indonesia, terutama perlindungan data konsumen dari peretasan dan penyebaran informasi konsumen merupakan risiko yang harus dihindari dan ditangani dengan cepat.[3]

Dalam pengaturan terkait sistem pembayaran digital, Indonesia melalui Bank Indonesia telah mengaturnya berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 24/7/PADG/2022 tentang Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Oleh Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan digitalisasi dan inovasi pada sistem pembayaran sehingga perlunya peningkatan efisiensi industri sistem pembayaran dan percepatan inklusi ekonomi dan keuangan digital. Terlebih lagi, perkembangan digitalisasi dan inovasi dalam bidang digital juga meningkatkan risiko dengan semakin kompleks suatu kegiatan dan variasi model bisnis penyelenggaraan sistem pembayaran.[4]

Terbitnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran merupakan salah satu implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (“BPSI”). BPSI 2025 diharapkan dapat memberikan arahan yang jelas dalam pengedaran uang moneter, dan stabilitas sistem keuangan. Hal ini karena BPSI memiliki 5 (lima) visi, yaitu:[5]

  1. Mendukung integrasi ekonomi keuangan digital nasional;
  2. Mendukung digitalisasi perbankan melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan;
  3. Menjamin interlink antara fintech dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi;
  4. Menjamin keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan konsumen, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat; dan
  5. Menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital antarnegara dengan memperhatikan prinsip resiprokalitas.

Sehingga integritas keuangan digital Indonesia melalui pengaturan terkait sistem pembayaran, merupakan bentuk mendukung perkembangan ekonomi dan keuangan di Indonesia terutama dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman serba digital sekarang ini. Sistem Pembayaran sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran menyatakan sebagai suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, Lembaga, mekanisme infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran. Definisi tersebut memberikan penjelasan jika sistem pembayaran tidak hanya menyangkut kepada aturan, tetapi juga kepada Lembaga, mekanisme dan sampai kepada akses ke sumber dana untuk pembayaran yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana. Definisi tersebut dinyatakan sebagai berikut:

“Pasal 1

1.Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, mekanisme, infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.”

Peraturan Bank Indonesia tersebut, juga mengatur terkait penyelenggaraan sistem pembayaran dimana bagi Penyedia Jasa Pembayaran (“PJP”) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (“PIP”) memiliki kewajibannya masing-masing. Pada pokoknya berdasarkan Pasal 31 jo 38 PBI Nomor 22/23/PBI/2020 menjelaskan bahwa kewajibannya meliputi pemenuhan aspek antara lain (1) tata Kelola; (2) manajemen risiko termasuk prinsip kehati-hatian; (3) standar keamanan sistem informasi; (4) interkoneksi dan interoperabilitas; dan (5) pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terhadap aspek standar keamanan sistem informasi diatur lebih jelas dalam peraturan tersebut Pasal 34 jo 41 PBI Nomor 22/23/PBI/2020 yang menyatakan bahwa aspek standar keamanan sistem informasi mencakup kepada sebagai berikut:

a. ketersediaan kebijakan dan prosedur tertulis sistem informasi;

b. penggunaan sistem yang aman dan andal paling sedikit:

  1. pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data;
  2. pengelolaan fraud;
  3. pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan keandalan sistem; dan
  4. pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi;

c. penerapan standar keamanan siber;

d. pengamanan data dan/atau informasi; dan

e. pelaksanaan audit sistem informasi secara berkala.

Melalui pengaturan tersebut, maka keamanan sistem informasi harus memenuhi standar yang telah diatur dalam peraturan Bank Indonesia dan wajib memenuhi aspek-aspek sebagaimana diwajibkan, seperti manajemen risiko. Terdapat sanksi bagi pihak yang melanggar kewajiban mengenai sistem pembayaran digital, mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 78 PBI No. 22/23/PBI/2020, bagi PJP dan PIP yang melakukan pelanggaran sebagaimana diwajibkan, dapat dikenakan sanksi sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:

“Pasal 78

(1)Bank Indonesia berwenang mengenakan sanksi administratif kepada PJP dan PIP atas pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 56, Pasal 65, dan Pasal 67 berupa:

a. teguran;

b.denda;

c. penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan termasuk pelaksanaan kerja sama; dan/atau

d. pencabutan izin sebagai PJP atau penetapan sebagai PIP.”

Oleh dengan kewenangan tersebut, Bank Indonesia dapat memberikan sanksi kepada PJP dan/atau PIP jika terjadinya pelanggaran atas keamanan sistem informasi yang berguna untuk melindungi tidak hanya kepada PJP ataupun PIP, tetapi juga kepada konsumen sebagai pengguna jasanya.

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan dalam bidang teknologi informasi, mendorong kepada perkembangan terhadap sistem pembayaran di Indonesia yang sebelumnya konvensional menjadi serba digital. Walaupun begitu, terdapat permasalahan-permasalahan yang perlu ditangani demi kelancaran pembayaran digital di Indonesia, terutama di bagian keamanan dimana serangan siber maupun penggunaan data pribadi nasabah tanpa izin dari nasabah bersangkutan masih marak terjadi. Masyarakat sebagai konsumen atau pengguna jasa perlu untuk dilindungi dari ancaman atau permasalahan yang bisa terjadi dari penggunaan pembayaran digital. Oleh sebab tersebut, pelaksanaan peraturan-peraturan terkait kepada sistem pembayaran perlu untuk ditegakkan demi menghindari dari adanya kerugian yang diterima oleh konsumen akibat adanya permasalahan keamanan.

Dasar Hukum:

  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran
  • Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 24/7/PADG/2022 tentang Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Oleh Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran

Referensi

  • Venti Eka Satya, “Pengaturan Sistem Pembayaran Digital Untuk Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPRI RI Vol XIII (Januari 2021), hlm. 20-22.
  • Cantika Adinda Putri, “Simak! Kiamat ATM di Depan Mata, BI Kasih Bukti Terbaru,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20220922195907-4-374310/simak-kiamat-atm-di-depan-mata-bi-kasih-bukti-terbaru, diakses pada 25 September 2022.
  • Jefry Tarantang, dkk, “Perkembangan Sistem Pembayaran Digital Pada Era Revolusi Industri 4.0 Di Indonesia,” Jurnal Al Qardh Vol 4 (Juli 2019), hlm. 62-70.

[1] Cantika Adinda Putri, “Simak! Kiamat ATM di Depan Mata, BI Kasih Bukti Terbaru,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20220922195907-4-374310/simak-kiamat-atm-di-depan-mata-bi-kasih-bukti-terbaru, diakses pada 25 September 2022.

[2] Jefry Tarantang, dkk, “Perkembangan Sistem Pembayaran Digital Pada Era Revolusi Industri 4.0 Di Indonesia,” STIH Palangka Raya Jurnal Al Qardh Vol 4 (Juli 2019), hlm. 70.

[3] Venti Eka Satya, “Pengaturan Sistem Pembayaran Digital Untuk Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPRI RI Vol XIII (Januari 2021), hlm. 22.

[4] BI, “Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran,” https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/PBI_222320.aspx, diakses pada 26 September 2022.

[5] Ibid.

Pembaharuan Kepatuhan Emiten dalam Prosedur Stock Split dan Reverse Stock

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Fikri Fatihuddin

Dewasa ini, Perusahaan Terbuka (Emiten) akan dilarang melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split) atau penggabungan nilai nominal saham (reverse stock) selama dua tahun sejak IPO (Initial Public Offering). Hal ini diatur dalam Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2022 tentang Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham oleh Perusahaan Terbuka (POJK 15/2022)[1], namun peraturan ini baru akan diberlakukan 6 (enam) bulan sejak peraturan ini disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam POJK No. 15/2022 Perusahaan Terbuka dilarang melakukan Pemecahan Saham atau Penggabungan Saham dalam jangka waktu:

a. 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal pencatatan saham dalam rangka Penawaran Umum perdana saham; dan/atau

b. 12 (dua belas) bulan sejak:

  1. Tanggal efektif pernyataan pendaftaran dalam rangka penambahan modal Perusahaan Terbuka dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu(HMETD/Right Issue);
  2. Tanggal pelaksanaan penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan hak memesan efek terlebih dahulu(Non-HMETD/Private Placement) yang terakhir, kecuali penambahan modal dalam rangka program kepemilikan saham Perusahaan Terbuka;
  3. Tanggal pelaksanaan Pemecahan Saham atau Penggabungan Saham sebelumnya; atau
  4. Tanggal efektifnya pernyataan penggabungan usaha atau peleburan usaha[2].

Artinya, emiten juga dilarang stock split atau reverse stock setahun sejak penambahan modal melalui rights issue, maupun penambahan modal tanpa melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu private placement, kecuali terdapat upaya perbaikan kondisi keuangan[1]. Emiten juga dilarang stock split atau reverse stock setahun sejak aksi stock split/reverse stock sebelumnya.

Terdapat beberapa syarat sebelum melakukan stock split dan/atau reverse stock. Syarat-syarat tersebut meliputi:

  1. Mendapatkan Persetujuan RUPS;
  2. Mendapatkan persetujuan prinsip oleh Bursa Efek;
  3. Memperoleh laporan penilaian yang disusun oleh Penilai yang terdaftar di OJK di bidang pengawasan sektor pasar modal;
  4. Tidak dalam waktu 24 bulan setelah IPO;
  5. Tidak dalam waktu 12 bulan sejak:

a. Tanggal efektif pendaftaran dalam rangka penambahan modal
Emiten dengan memberikan right issue;

b. Tanggal pelaksanaan penambahan modal dengan cara private
placement;

c. Tanggal pelaksanaan stock split atau reverse stock;

d. Tanggal efektif pernyataan Penggabungan Usaha (Merger) atau
Peleburan Usaha (Konsolidasi).

6. Untuk Emiten yang sahamnya tercatat dalam bursa efek, wajib
menunjuk 1 (satu) pihak yang akan melakukan pembelian saham
akibat reverse stock.
7. Untuk Emiten yang sahamnya tidak tercatat dalam bursa efek, wajib
memiliki mekanisme penyelesaian terhadap saham pecahan sebagai
akibat reverse stock.

Sebelum dibuat POJK No. 15/2022, stock split ataupun reverse stock cukup dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemilik saham masing-masing. Saat ini, untuk Emiten yang ingin melakukan rencana stock split atau reverse stock tidak bisa dilakukan apabila belum mendapatkan persetujuan prinsip dari Bursa Efek. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 5 ayat (1) POJK No. 15/2022 yang berbunyi:

“Pasal 5

(1)Dalam hal saham Perusahaan Terbuka tercatat di Bursa Efek, Perusahaan Terbuka wajib memperoleh persetujuan prinsip atas rencana Pemecahan Saham dan rencana Penggabungan Saham Perusahaan Terbuka dari Bursa Efek tempat saham Perusahaan Terbuka dicatatkan”.

Persetujuan prinsip yang diberikan dari Bursa Efek harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Tingkat likuiditas perdagangan saham Perusahaan Terbuka;
  2. Harga saham dan fluktuasi harga saham Perusahaan Terbuka;
  3. Kinerja fundamental keuangan Perusahaan Terbuka;
  4. Rasio Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham;
  5. Jumlah saham beredar yang dimiliki oleh masyarakat;
  6. Pengawasan perdagangan saham Perusahaan Terbuka;
  7. Laporan penilaian saham yang disusun oleh Penilai;
  8. Pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan[1].

Meskipun demikian, agar memperjelas tentang pelaksanaan permohonan stock split atau reverse stock kepada Bursa Efek, maka Bursa Efek wajib membuat ketentuan pelaksana paling lambat 3(tiga) bulan sejak POJK No. 15/2022 berlaku.

Mengenai HMETD/rights issue dijelaskan pada Peraturan OJK No. 32/POJK.04/2015 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (POJK 32/2015), yang berbunyi:

Pasal 1

  1. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.”

Sebagaimana yang diterangkan POJK No. 15/2022, terdapat ketentuan baru yang mengatur tentang beberapa larangan jangka waktu stock split atau reverse stock bagi HMETD/right issue ataupun Non-HMETD/Private Placement. Yaitu selama 12 bulan sejak penambahan  modal

Sebagaimana hukum pada umumnya, tentu pelanggaran dari Emiten terhadap ketentuan-ketentuan baik dari syarat maupun prosedur stock split atau reverse stock telah diancam sanksi administratif. Sanksi administratif yang dimaksud dapat berupa:

  1. peringatan tertulis;
  2. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
  3. pembatasan kegiatan usaha;
  4. pembekuan kegiatan usaha;
  5. pencabutan izin usaha;
  6. pembatalan persetujuan; dan/atau
  7. pembatalan pendaftaran[1].

Dari kesemua sanksi tersebut, dapat diberikan dengan atau tanpa peringatan tertulis terlebih dahulu.

Sebelumnya, stock split  dan reverse stock tidak memiliki payung hukum yang tepat. Pada awal mula UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal), stock split dan reverse stock tidak begitu diterangkan secara eksplisit dalam batang tubuh UU Pasar Modal, namun keduanya menjadi bagian penting dari Informasi atau Fakta Material karena dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek[2]. Seiring berjalannya waktu, praktik stock split dan reverse stock dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemegang sahamnya masing-masing. Sehingga, keberadaan POJK No. 15/2022 ini dapat memberikan kepastian hukum yang menerangkan kejelasan prosedur dalam stock split dan reverse stock sehingga semua aktifitas tersebut dapat dilakukan secara tertib dan terkendali.

Dasar Hukum

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Peraturan OJK No. 32/POJK.04/2015 Tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2022 tentang Pemecahan Saham dan Penggabungan Saham oleh Perusahaan Terbuka

Referensi

Cnbc indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220909125004-17-370735/perhatian-emiten-dilarang-stock-split-2-tahun-sejak-ipo, Diakses pada tanggal 11 Septermber 2022


[1] Pasal 38 ayat (4) POJK No. 15/2022

[2] Penjelasan Pasal 1 Angka 7 UU No 8 Tahun 1995



[1] Pasal 6 POJK No. 15/2022


[1] Pasal 13 ayat (1) POJK No. 15/2022


[1] Cnbcindonesia, https://www.cnbcindonesia.com/market/20220909125004-17-370735/perhatian-emiten-dilarang-stock-split-2-tahun-sejak-ipo, diakses pada tanggal 11 September 2022

[2] Pasal 12 ayat (1) POJK No. 15/2022

FRANCHISE AGREEMENT IN THE HOSPITALITY BUSINESS IN INDONESIA

Author : Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba

REFERENSI: 

  1. Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020.
  2. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
  3. Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.
  4. Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
  5. Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992.
  6. Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004.

Di masa sekarang, perkembangan dunia perekonomian semakin berkembang pesat dan kompleks. Perkembangan bisnis semakin dimudahkan dengan bentuk kerjasama bisnis dan kecanggihan teknologi di dalam pelaksanaannya. Perkembangan terhadap bentuk kerjasama bisnis melahirkan suatu konsep bisnis baru yang semakin memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi bisnis, salah satunya adalah bisnis waralaba atau franchise.[1]

Perjanjian bisnis franchise termasuk dalam perjanjian yang tidak bernama (innominaat), yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Perjanjian tidak bernama (innominaat) merupakan perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus. Lahirnya perjanjian tersebut di dalam prakteknya berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak atau kebebasan dalam mengadakan suatu perjanjian. Perkembangan bentuk kerjasama bisnis ini membuka jalan bagi terciptanya fasilitas-fasilitas dan bentuk-bentuk bisnis baru, diantaranya bisnis waralaba, atau dalam bahasa asing disebut juga dengan franchise sistem waralaba atau franchise tidak membutuhkan investasi langsung, tetapi melibatkan kerjasama dengan pihak lain.[2]

Rumusan yang lain mengatakan perjanjian franchising adalah suatu perjanjian dimana franchisee menjual produk atau jasa sesuai dengan cara dan prosedur yang telah ditetapkan oleh franchisor yang membantu melalui iklan, promosi, dan jasa-­jasa nasihat lainnya.[3]

Pengertian waralaba sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yang berbunyi:

“Pasal 1

  1. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

“Pasal 1

  • Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.
  • Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.
  • Pemberi Waralaba Lanjutan adalah Penerima Waralaba yang diberi hak oleh Pemberi Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba Lanjutan.
  • Penerima Waralaba Lanjutan adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima hak dari Pemberi Waralaba Lanjutan untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba”.

Mewaralabakan adalah suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distribusi produk serta pelayanannya dengan membagi standar pemasaran dan operasional. Pemegang franchise (waralaba) yang membeli suatu suatu bisnis yang menarik manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan lain yang disediakan oleh pemilik franchise.[1]

Franchise jika dilihat dari aspek unsurnya, maka dapat ditemukan adanya 4 unsur, yaitu sebagai berikut:

  1. Pemberian hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu;
    1. Lisensi untuk menggunakan tanda pengenal usaha, biasanya merek dagang atau jasa, yang akan menjadi ciri pengenal dari bisnis franchise (waralaba);
    1. Lisensi untuk menggunakan rencana pemasaran dan bantuan yang luas oleh franchisor kepada franchisee; dan
    1. Pembayaran oleh franchisee kepada franchisor berupa sesuatu yang bernilai bagi franchisor selain dari harga borongan bonafide atas barang yang terjual.[2]

Dasar hukum yang mengatur kriteria waralaba sendiri terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

“Pasal 3

Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Memiliki ciri khas usaha;Terbukti sudah memberikan keuntungan;Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;Mudah diajarkan dan diaplikasikan;Adanya dukungan yang berkesinambungan; danHak kekayaan intelektual yang terdaftar”.

Lahirnya suatu perjanjian pada dasarnya dapat kita lihat pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dalam hal ini memuat suatu Asas Konsensualitas yaitu suatu asas yang menyebutkan bahwa perjanjian itu ada sejak dibuatnya kata sepakat antara para pihak. Perjanjian yang dibuat tersebut mengikat dan berlaku seperti undang-undang para pihak yang membuatnya yang dalam hal ini antara pihak franchisor dengan pihak franchisee. Dengan kata lain, perjanjian franchise (waralaba) sudah sah sejak ada kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok, walaupun belum atau tidak diikuti dengan suatu perbuatan formal.[3]

Adapun ketentuan mengenai perjanjian waralaba sendiri diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

“Pasal 4

  • Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.
  • Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia”.

Biasanya di dalam perjanjian waralaba, diadakan suatu tindakan pendahuluan berupa perundingan antara para pihak. Perjanjian ini, lazimnya pihak franchisee memohon kepada pihak franchisor untuk dapat membuka perusahaan franchise dibawah merek dari franchisor di daerah tertentu. Setelah permohonan tersebut ditanggapi lalu diadakan survei ke lokasi dimana perusahaan tersebut akan beroperasi untuk mengetahui syarat bagi dibukanya perusahaan, terutama dari segi pemasaran atau standart bangunan. Selain melalui tahap perundingan dan survei ke lokasi terdapat juga tahap untuk mempelajari isi format perjanjian yang diperuntukan bagi franchisee.[4]

Berdasarkan lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, materi atau klausula perjanjian waralaba sekurang-kurangnya memuat:

  1. Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat jelas pemilik/penanggung jawab perusahaan yang mengadakan perjanjian waralaba, yaitu pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dan penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan.
    1. Jenis hak kekayaan intelektual, yaitu jenis hak kekayaan intelektual pemberi waralaba, seperti merek dan logo perusahaan, desain gerai/tempat usaha, sistem manajemen atau pemasaran atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan.
    1. Kegiatan usaha, yaitu kegiatan usaha yang diperjanjikan seperti perdagangan eceran/ritel, pendidikan, restoran, apotek, atau bengkel.
    1. Hak dan kewajiban pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dan penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan, yaitu hak dan kewajiban meliputi:
  2. Pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan:
  3. Hak untuk menerima fee atau royalty dari penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan; dan
  4. Kewajiban untuk memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada penerima waralaba dan penerima waralaba lanjutan
  5. Penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan:
  6. Hak untuk menggunakan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba; dan
  7. Kewajiban untuk menjaga kode etik/kerahasiaan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang diberikan pemberi waralaba.
    1. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan oleh pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan, seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer dan program IT pengelolaan kegiatan usaha.
    1. Wilayah usaha, yaitu batasan wilayah yang diberikan oleh pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan untuk mengembangkan bisnis waralaba seperti wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau di seluruh wilayah Indonesia.
    1. Jangka waktu perjanjian waralaba, yaitu batasan mulai dan berakhir perjanjian waralaba terhitung sejak surat perjanjian ditandatangani oleh pemberi waralaba dengan penerima waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dengan penerima waralaba lanjutan.
    1. Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara atau ketentuan, termasuk waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan, seperti fee atau royalty apabila disepakati dalam perjanjian waralaba yang menjadi tanggung jawab penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan.
    1. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris, yaitu kepemilikan atas waralaba dan peralihan waralaba apabila terjadi perubahan kepemilikan karena pengalihan kepemilikan atas waralaba atau meninggalnya pemilik waralaba.
    1. Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan forum penyelesaian sengketa, dengan menggunakan pilihan hukum Indonesia.
    1. Tata cara perpanjangan dan pengakhiran perjanjian waralaba, seperti pengakhiran perjanjian waralaba tidak dapat dilakukan secara sepihak atau perjanjian waralaba berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian waralaba berakhir. Perjanjian waralaba dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan Bersama.
    1. Jaminan dari pemberi waralaba atau pemberi waralaba lanjutan untuk tetap menjalankan kewajibannya kepada penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan sesuai dengan isi perjanjian waralaba hingga jangka waktu perjanjian waralaba berakhir.
    1. Jumlah gerai/tempat usaha yang akan dikelola oleh penerima waralaba atau penerima waralaba lanjutan dalam jangka waktu perjanjian waralaba.

Pihak penerima waralaba dan pemberi waralaba setelah menyetujui isi dari perjanjian tersebut, maka mulai dari saat itulah hak dan kewajiban masing-masing pihak harus dipenuhi. Dalam hal ini kewajiban dari pemberi waralaba perhotelan diantaranya adalah program pelatihan, jasa engineering, jasa food & beverage dan membantu pemasaran produk guna memperoleh keuntungan. Sedangkan kewajiban dari penerima waralaba perhotelan adalah melakukan kualifikasi produk, standart pelayanan, standart management yang sama dengan hotel milik pemberi waralaba perhotelan dan pembayaran fee yang meliputi jasa penjualan, pemasaran, distribusi hotel serta yang lainnya seperti yang telah disepakati bersama. Hak dari para pihak diantaranya, untuk pihak pemberi waralaba perhotelan mendapatkan pembayaran fee yang meliputi jasa penjualan, pemasaran dan distribusi hotel seperti yang telah disepakati bersama serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan waralaba. Sementara itu hak dari penerima waralaba perhotelan ialah memperoleh segala informasi mengenai hal-hal yang berkaitan bisnis waralaba yang mereka lakukan, serta berhak menggunakan nama, cap dagang, dan logo milik franchisor atau pemberi waralaba perhotelan yang sudah terkenal dalam dunia bisnis.[5]

Sementara itu dasar hukum yang mengatur mengenai kewajiban pemberi waralaba sendiri diatur dalam Pasal 7 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 7

  • Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran Waralaba kepada calon Penerima Waralaba pada saat melakukan penawaran.
  • Prospektus penawaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit mengenai :Data identitas pemberi waralaba;Legalitas usaha pemberi waralaba;Sejarah kegiatan usahanya;Struktur organisasi pemberi waralaba;Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;Jumlah tempat usaha;Daftar penerima waralaba; danHak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba”.

Pasal 8

Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan”.

Selanjutnya pemberi waralaba juga wajib untuk mendaftarkan prospektus tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 10

  • Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba”.

Setelah perjanjian waralaba dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak, penerima waralaba harus mendaftarkan perjanjian waralaba yang sudah disepakati tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 11

  • Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian Waralaba”.

Apabila prospektus penawaran waralaba dan perjanjian waralaba telah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, maka selanjutnya Menteri Perdagangan akan menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berbunyi:

Pasal 12

  • Menteri menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba apabila permohonan pendaftaran Waralaba telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  • Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
  • Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun”.

Selanjutnya adapun sanksi yang diatur dalam kegiatan waralaba sendiri salah satunya diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 16

  • Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, dan/atau Pasal 11.
  • Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:peringatan tertulis;denda; dan/ataupencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba”.

[1] Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004), hal. 20-21.

[2] Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992, hal. 5.

[3] Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004, hal. 19

[4] Ibid.

[5] Ibid


[1] Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020, hal. 1.

[2] Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 16.

[3] Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.

LEGAL BASIS:

  1. Civil Code;
  2. Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising;
  3. Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning Franchise Implementation

REFERENCE:

  1. Baiq Nanda Refina Githary Putri, Efektivitas Perjanjian Franchise Jaringan Perhotelan OYO Dengan Mitra (Studi di Hotel Griya Asri), Skripsi, Universitas Mataram, 2020.
  2. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Lisensi atau Waralaba: Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
  3. Hadiyanto, Aspek-Aspek Hukum Perpajakan Dalam Usaha Franchise, Makalah Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Franchise, Jakarta, 1993.
  4. Meila Indira, Analisa Perjanjian Franchise Antara PT. Indomarco Primatama Indomaret Sebagai Franchisor dengan CV. Berkah Abadi Sebagai Franchisee, (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
  5. Martin Fern, Warren’s from Agreement, USA: Matthew Bender,1992.
  6. Charles Vircowl, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Antara Hotel Hilton Internasional Dengan PT. Patra Indonesia, dalam Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember, 2004.

At present, the development of the world economy is growing rapidly and complex. Business development is increasingly facilitated by the form of business cooperation and technological sophistication in its implementation. The development of the form of business cooperation gave birth to a new business concept that increasingly provides convenience in conducting business transactions, one of which is a franchise business.

Franchise business agreements are included in unnamed agreements (innominaat), namely agreements that arise, grow, live, and develop in the practice of community life.agreements (innominaat) are agreements that have not been specifically regulated. The birth of the agreement in practice is based on the principle of freedom of contract or freedom to enter into an agreement. The development of this form of business cooperation opens the way for the creation of new facilities and forms of business, including a franchise business, or in a foreign language also known as a franchise system or franchise that does not require direct investment, but involves cooperation with other parties.

Another formulation says that a franchising is an agreement in which the franchisee sells products or services in accordance with the ways and procedures established by the franchisor who assists through advertising, promotions, and other advisory services.

The definition of franchise itself has actually been regulated in Article 1 number 1 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising, which states:

“Article 1

  1. franchising is a special right owned by an individual or business entity to a business system with business characteristics in the context of marketing goods and/or services that have been proven successful and can be utilized and/or used by other parties based on the franchise agreement”.

Furthermore, the Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising has also provided an understanding of who the parties involved in this business are. This understanding is contained in Article 1 points 3-6 which states:

“Article 1

3.   Franchisor is an individual or business entity that grants the right to utilize and/or use its Franchise to the Franchisee.

4.   Franchisee is an individual or business entity that is granted the right by the Franchisor to utilize and/or use the Franchise owned by the Franchisor.

5.   Continuing Franchisor is a Franchisee who is given the right by the Franchisor to appoint a Continuing Franchisor.

6. Continuing Franchisee is an individual or business entity that receives rights from the Continuing Franchisor to utilize and/or use the Franchise”.

Franchising is a method of marketing and business expansion. A business expands the market and distribution of its products and services by sharing marketing and operational standards. A franchisor who purchases a business that benefits from customer awareness of the trade name, proven systems and other services provided by the franchisor.

If viewed from the aspect of the elements, it can be found that there are 4 elements in the franchise, namely as follows:

  1. Granting the right to do business in certain businesses;
  2. A license to use a business identification mark, usually a trademark or service mark, which will identify the franchise business (franchise);
  3. License to use extensive marketing plans and assistance by the franchisor to franchisees; and
  4. Payment by the franchisee to the franchisor form of something of value to the franchisor other than the bona fide for the goods sold.

The legal basis that regulates franchise criterias itself is contained in Article 3 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 3

Franchising must meet the following criterias:

a.Has business characteristics;

b.Proven to be profitable;

c.Has written standards for services and goods and/or services offered;

d.Easy to conduct and apply;

e.There is ongoing support; and

f.Registered intellectual property”.

The birth of an agreement can basically be seen in Article 1320 of the Civil Code, which in this case contains a principle of consensuality, which is a principle which states that the agreement existed since an agreement was made between the parties. The agreement made is binding and applies as the law of the parties who made it which in this case is between the franchisor and the franchisee. In other words, the franchise is valid since there is an agreement from the parties regarding the main matters, even though it has not been or has not been followed by a formal act.

The provisions regarding the franchise agreement itself are regulated in Article 4 paragraph (1) and paragraph (2) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 4

(1)Franchising is carried out based on a written agreement between the Franchisor and the Franchisee with due observance of Indonesian law.

(2)In the event that the agreement as referred to in paragraph (1) is written in a foreign language, the agreement must be translated into Indonesian.”

Usually in a franchise agreement, a preliminary action is held in the form of negotiations between the parties. In this agreement, the franchisee asks the franchisor to be able to open a franchise under the franchisor’s brand in a certain area. After the request is responded to, a survey is conducted to the location where the company will operate to find out the requirements for opening the company, especially in terms of marketing or building standards. In addition to going through the negotiation and site survey stages, there is also a stage to study the contents of the agreement format intended for franchisees.

Based on attachment II to the Regulation of the Minister of Trade Number 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising, the material or clauses of the franchise agreement must at least contain:

  1. Name and address of the parties, namely the name and clear address of the owner/responsible person of the company entering into the franchise agreement, namely the franchisor or continued franchisor and franchisee or continued franchisee.
  2. Types of intellectual property rights, namely the types of intellectual property rights of the franchisor, such as company brands and logos, design of outlets/business places, management or marketing systems or franchised cooking spices.
  3. Business activities, namely agreed business activities such as retail/retail trading, education, restaurants, pharmacies, or workshops.
  4. The rights and obligations of the franchisor or continued franchisor and franchisee or continued franchisee, namely the rights and obligations include:

a. The franchisor or continued franchisor:

1)The right to receive fees or royalties from the franchisee or continued franchisee; and

2)The obligation to provide continuous guidance to franchisees and franchisees

b. Franchisee or continued franchisee:

1)The right to use intellectual property rights or business characteristics owned by the franchisor; and

2)The obligation to maintain the code of ethics/confidentiality of intellectual property rights or business characteristics given by the franchisor.

5.Assistance, facilities, operational guidance, training, and marketing provided by the franchisor or advanced franchisor to the franchisee or advanced franchisee, such as facility assistance in the form of providing and maintaining computers and IT programs for managing business activities.

6.Business area, which is the area limit given by the franchisor or continued franchisor to the franchisee or continued franchisee to develop a franchise business such as the Sumatra, Java and Bali areas or throughout Indonesia.

7.The term of the franchise agreement, namely the start and end of the franchise agreement as of the agreement letter is signed by the franchisor with the franchisee or the continuing franchisor with the continued franchisee.

8.The procedure for payment of fees, namely the procedures or provisions, including the time and method of calculating the amount of compensation, such as fees or royalties if agreed upon in the franchise agreement which is the responsibility of the franchisee or continued franchisee.

9.Ownership, change of ownership, and rights of heirs, namely ownership of the franchise and transfer of franchise if there is a change of ownership due to the transfer of ownership of the franchise or the death of the franchise owner.

10.Dispute resolution, namely the establishment of a dispute resolution forum, using Indonesian law options.

11.The procedure for extending and terminating a franchise agreement, such as terminating a franchise agreement cannot be done unilaterally or the franchise agreement ends automatically if the period specified in the franchise agreement ends. The franchise agreement can be extended again if desired by both parties with the provisions stipulated together.

12.Guarantee from the franchisor or continuing franchisor to continue to carry out their obligations to the franchisee or continued franchisee in accordance with the contents of the franchise agreement until the term of the franchise agreement ends.

13.Number of outlets/business places that will be managed by the franchisee or continued franchisee within the period of the franchise agreement.

After agreed to the contents of the agreement, the franchisee and the franchisor must fulfill the rights and obligations of each party. In this case, the obligations of the hotel franchisor include training programs, engineering services, food & beverage services, and help to market the product to gain profit. Meanwhile, the obligations of the hotel franchisee are to qualify for products, service standards, and management standards which are the same as the hotel owned by the franchisor, and to pay fees which include sales, marketing, hotel distribution, and other services as mutually agreed. The rights of the hotel franchisor are to receive fees which include hotel sales, marketing, and distribution services as mutually agreed upon, as well as supervising the implementation of the franchise. Meanwhile, the rights of the hotel franchisee are to obtain information regarding the franchise business and to use the hotel franchisor’s name, trademark, and logo.

Meanwhile, the legal basis governing the obligations of the franchisor itself is regulated in Article 7 paragraph (1) paragraph (2) and Article 8 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

“Article 7

(1) The franchisor shall provide the Franchise offer prospectus to the prospective Franchisee at the time of making the offer.

(2) The Franchise offer prospectus as referred to in paragraph (1) shall contain at least:

a.Data on the identity of the franchisor;

b.The legality of the franchisor’s business;

c.History of its business activities;

d.The franchisor’s organizational structure;

e.Financial statements for the last 2 (two) years;

f.Number of places of business;

g.List of franchisees; and

h.the rights and obligations of the franchisor and franchisee”.

Article 8

Franchisors are obligated to provide continuous guidance in the form of training, management operational guidance, marketing, research, and development to Franchisees”.

Furthermore, the franchisor is also required to register the prospectus as regulated in Article 10 paragraph (1) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

Article 10

  • Franchisors are required to register the Franchise offering prospectus before making a Franchise agreement with the Franchisee”.

After the franchise agreement is made and agreed upon by both parties, the franchisee must register the agreed franchise agreement as stipulated in Article 11 paragraph (1) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states:

Article 11

  • The Franchisee is obliged to register a Franchise agreement”.

If the franchise offer prospectus and franchise agreement meet the requirements for registration, then the Minister of Trade will then issue a Franchise Registration Certificate as stipulated in Article 12 paragraph (4), paragraph (5), and paragraph (6) of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchise which statess:

Article 12

  • The Minister issues a Franchise Registration Certificate if the application for Franchise registration has met the requirements as referred to in paragraph (1) and paragraph (2).
    • The Franchise Registration Certificate as referred to in paragraph (4) is valid for a period of 5 (five) years.
    • In the event that the Franchise agreement has not expired, the Franchise Registration Certificate may be extended for a period of 5 (five) years”.

Furthermore, the sanctions against unlawful franchise activity are regulated in Article 16 of Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising which states::

Article 16

  • The Minister, Governor, Regent/Mayor in accordance with their respective authorities may impose administrative sanctions for Franchisor and Franchisee who violate the provisions as referred to in Article 8, Article 10, and/or Article 11.
  • The sanctions as referred to in paragraph (1) may be in the form of:
    • written warning;
      • fine; and/or
      • revocation of Franchise Registration Certificate”.

Translate