0

Pengaturan Hukum Terhadap Pencemaran Laut Akibat Tumpahan Minyak

Author : Alfredo Joshua Bernando, Co-Author : Robby Malaheksa

Pencemaran lingkungan dewasa ini menjadi isu yang sangat hangat terutama lingkungan maritim atau lingkungan laut. Isu terbaru terkait tumpahnya minyak goreng sebanyak ribuan ton ke laut semakin memperburuk pencemaran lingkungan dilaut.[1] Sumber-sumber pencemaran di laut diantaranya disebabkan karena aktivitas perkapalan, dan tumpahan minyak dari kegiatan perkapalan itu sendiri disebabkan akibat kesalahan operasional dan kecelakaan.

Tumpahan akibat kesalahan operasional terjadi karena adanya aktivitas rutin pada suatu kegiatan atau instalasi dimana secara frekuensi tumpahan ini kerap terjadi tetapi dalam jumlah yang kecil, contohnya tumpahan ketika saat bongkar muat, pembuangan sisa hasil pencucian tangki. Sedangkan tumpahan akibat kecelakaan yaitu dengan adanya suatu hal yang tidak terduga dan dapat mengakibatkan korban harta benda bahkan korban jiwa.

Untuk pencemaran laut di kelompokan menjadi tiga, yaitu :

  1. Kategori Kecil dimana < 7 ton minyak yang dapat menyebabkan pencemaran
  2. Kategori Medium yaitu antara 7 ton sampai 700 ton minyak yang dapat menyebabkan pencemaran
  3. Kategori Luas yaitu antara > 700 ton minyak yang dapat menyebabkan pencemaran. [2]

Akibat dari tumpahnya ribuan ton minyak goreng ke lautan yang menyebabkan pencemaran, serta menimbulkan kerugian dalam bentuk uang dalam jumlah yang besa. Peristiwa tersebut bisa dikategorikan pencemaran laut sekala Luas, dari Peristiwa tersebut, maka ada beberapa masalah yang timbul di antaranya adalah :

  1. Adanya pencemaran minyak di laut akibat dari pengoperasian kapal dan berdampak pada lingkungan maritim yang lebih luas
  2. Pola penanganan keadaan darurat akibat dari kesalahan prosedur dalam pengoperasian kapal

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim, Perlindungan Lingkungan Maritim adalah:

Pasal 1

  1. Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait pelayaran.[3]

Sedangkan pengertian pencemaran laut berdasarkan Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah :

Pasal 1

  1. Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuknya atau dimaksukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam laut oleh kegiatan manusia atau oleh alam sehingga kualitas air laut turun sehingga kualitas air laut turun sampai ke tingkat tidak berfungsi lagi sebagai peruntukanya.[4]

Dampak dari tumpahan minyak di laut tergantung pada banyak faktor, antara lain karakteristik fisik, kimia, dan toksisitas dari minyak, dan juga penyebarannya yang dipengaruhi oleh dinamika air laut: pasang surut, angin, gelombang dan arus. Dampak dari senyawa minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung dan menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit polutan pada pasir dan batuan-batuan di pantai.

Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, perilaku biota laut, terutama pada plankton. Akibatnya, dapat menurunkan produksi ikan, hingga kematian yang diakibatkan toksisitas sublethal hingga toksisitas lethal. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan terhadap lingkungan tercemar.[5]

Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak dengan susunan kimianya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut. Selain dapat menghalangi sinar matahari masuk ke lapisan air laut, lapisan minyak juga dapat menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung kehidupan laut aerob.

Tak hanya itu, pencemaran minyak di laut juga meluas pada kerusakan ekosistem mangrove. Seperti diketahui, minyak dapat berpengaruh terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, di mana akar tersebut akan tertutup minyak, sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Pengendapan minyak dalam waktu lama mampu menyebabkan pembusukan pada akar mangrove sehingga mengakibatkan kematian. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan kelangsungan hidup biota yang hidup berasosiasi dengan hutan mangrove itu sendiri, seperti moluska, ikan, udang, kepiting, dan biota lainnya.

Penanggulangan Tumpahan Minyak Pasca terjadinya kecelakaan tumpahan minyak, pertama, yang perlu dilakukan adalah mengetahui secara cepat dan akurat wilayah perseb arannya, baik secara visual langsung, maupun hasil penginderaan jauh (remote sensing). Berbagai cara penanggulangan dilakukan seperti in-situ burning, penyisihan secara mekanis, teknik bioremediasi, penggunaan sorbent, dan penggunaan bahan kimia dispersan, serta metode lainnya tergantung kasus yang terjadi.

Untuk Teknik Bioremediasi, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam bioremediasi tumpahan minyak: (1) bioaugmentasi, di mana mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada, dan (2) biostimulasi, di mana pertumbuhan bakteri pengurai hidrokarbon asli dirangsang dengan cara menambahkan nutrien dan atau mengubah habitatnya.

Hingga sekarang teknologi itu terus dikembangkan termasuk penggunaan bakteri. Indonesia perlu mengoptimalkan bidang ini menimbang laut Indonesia memiliki berbagai macam jenis bakteri yang dapat mendegradasi minyak, salah satunya bakteri hidrokarbonoklastik Pseudomonas Sp yang mampu mendegradasi berbagai jenis hidrokarbon.

Upaya yang lebih strategis adalah tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan tumpahan minyak itu sendiri. Rendahnya kesadaran akan aspek lingkungan di Indonesia, baik secara individu, kelompok, maupun institusi, menjadi restriksi dari implementasi upaya pencegahan dini. Upaya penyadaran lingkungan ini bisa melalui pendidikan publik, hingga pemberian sanksi yang tegas apabila terjadi pelanggaran atas pencemaran lingkungan.

Hal ini mengacu pada sistem existing bahwa Indonesia telah meratifikasi Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC 1969), melalui Keppres No. 18 Tahun 1978.  Tujuan dari CLC 1969 adalah untuk menetapkan suatu sistem yang seragam terkait kompensasi karena tumpahan minyak di laut. Konvensi ini memungkinkan korban untuk menuntut kompensasi kepada pemilik kapal, sehingga sering disebut bahwa konvensi ini menganut chanelling of liability (kanalisasi pertanggung-jawaban), yaitu pertanggung-jawaban dibebankan kepada pihak tertentu, dalam hal ini pemilik kapal.[6]

Konvensi ini pun mencoba untuk menetapkan suatu keseimbangan antara kepentingan para korban dan kepentingan pemilik kapal yang telah menyebabkan kerugian.  Karena itulah, maka di satu pihak, hak para korban untuk menuntut kompensasi terjamin dengan diberlakukannya strict liability. Tapi di sisi lain, dengan adanya pengecualian-pengecualian tertentu, maka kepentingan para pemilik kapal pun terlindungi. Melalui konvensi inilah strict liability masuk ke Indonesia dan kemudian diadopsi dalam undang-undang lingkungan hidup Indonesia sejak tahun 1982.

Selain itu, dalam kaitannya dengan pencegahan dini, setiap perusahaan migas Indonesia juga harus mencanangkan program Zero Spill Operation, yaitu dengan menetapkan target khusus yang disepakati untuk mencapai zero spill operation. Untuk mencapai target tersebut, perusahaan perlu memiliki aturan wajib dan rigid untuk mencegah terjadinya kebocoran atau tumpahan minyak, dan konsisten menerapkan aturan tersebut.

Kedua, mengetahui luasnya lingkup peristiwa tumpahan minyak yang menyangkut multisektor, mulai dari pangan, sosial, habitat, pariwisata, kesehatan, dan bidang-bidang terkait. Maka diperlukan keterlibatan berbagai instansi, koordinasi di  antara instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, dan masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaannya, diperlukan keterlibatan stakeholders terkait yang berada di bawah manajemen pemerintah untuk bersama-sama melakukan penanggulangan yang terpadu dan komprehensif. Tinjauan ulang konsesi atau kegiatan migas juga perlu diperketat untuk mengafirmasi tuntutan hukum atas pihak yang bertanggung-jawab dalam kecelakaan tumpahan minyak.[7]

Ketiga, perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk meneliti dan menanggulangi pencemaran minyak. Dampak pencemaran yang sedemikian luas, termasuk untuk organisme renik sudah semestinya dikalkulasi secara komprehensif, sehingga mampu memprediksikan dampaknya dalam jangka panjang. Terlebih, persoalan pencemaran minyak di laut dan pantai Indonesia, hingga kini belum menjadi persolan utama pencemaran lingkungan hidup. Barangkali, perlu dibuat specific executing agency sebagai satuan badan atau tim khusus yang secara spesifik mengatasi permasalahan ini di tiap-tiap pantai yang berpotensi terjadi tumpahan minyak.[8]

Terakhir, sebagai langkah tegas untuk menanggulangi pencemaran di laut akibat tumpahan minyak (oil spill), adalah dengan penerapan sanksi Administratif bagi pemilik atau operator Kapal, Badan Usaha yang melakukan kegiatan di Pelabuhan dan lainnya, sanksi tersebut dapat di lihat pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 39 PP Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim, yakni:

Pasal 37

Pemilik atau operator kapal yang tidak melengkapi kapalnya dengan pola penanggulangan pencemaran minyak dari kapal dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, untuk jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari;
  2. apabila sampai pada peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada huruf a berakhir tidak melaksanakan kewajibannya, dikenai sanksi berupa pembekuan izin usaha angkutan laut atau izin operasi angkutan laut khusus; dan
  3. apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b belum memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi berupa pencabutan izin usaha angkutan laut atau izin operasi angkutan laut khusus.[9]

Pasal 38

Setiap Badan Usaha Pelabuhan, badan usaha yang melakukan kegiatan di pelabuhan, pengelola terminal khusus, atau pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenai sanksi

administratif berupa:

  1. peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, untuk jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari;
  2. apabila sampai pada peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada huruf a berakhir tidak melaksanakan kewajibannya, dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan usaha Badan Usaha Pelabuhan, badan usaha yang melakukan kegiatan di pelabuhan, kegiatan pengoperasian terminal khusus, atau pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri; dan
  3. apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b belum memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi berupa pencabutan izin usaha Badan Usaha Pelabuhan, izin badan usaha yang melakukan kegiatan di pelabuhan, izin operasi terminal khusus, atau persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri.[10]

Pasal 39

  • Setiap Nakhoda yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sertifikat keahlian pelaut selama 1 (satu) tahun.
  • Penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a yang mengakibatkan pencemaran lingkungan di perairan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan pembuangan limbah kepada intitusi yang tugas dan fungsi di bidang penjagaan laut dan pantai dikenai sanksi denda administratif sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).[11]

Selain Sanksi Administratif juga bisa di kenakan sanksi pidana yang di atur dalam Pasal 98 ayat (1) & Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengeolaan Lingkungan Hidup, yaitu :

Pasal 98

  • Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).[12]

Pasal 99

  • Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).[13]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
  2. Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2010 tentang perlindungan Maritim

REFRENSI

  1. Detikfinance, “Waduh, Viral 2.500 ton minyak goreng tumpah ke laut”, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5992523/waduh-viral-2500-ton-minyak-goreng-tumpah-ke-laut, di akses tanggal 20 Maret 2022
  2. Lestiana E, Nurosidah U, Nirera N, Mawardiani T, Arisya Y, Hanifah H, 2013. Pencemaran Laut 25 Jurnal Ilmiah
  3. Tumpahan Minyak, Dampak dan Upaya Penanggulangannya, https://www.portonews.com/2017/oil-and-chemical-spill/tumpahan-minyak-dampak-dan-upaya-penanggulangannya/, diakses tanggal 24 Maret 2022

[1] Detikfinance, “Waduh, Viral 2.500 ton minyak goreng tumpah ke laut”, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5992523/waduh-viral-2500-ton-minyak-goreng-tumpah-ke-laut.

[2] Lestiana E, Nurosidah U, Nirera N, Mawardiani T, Arisya Y, Hanifah H, 2013. Pencemaran Laut 25 Jurnal Ilmiah

[3] Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim

[4] Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[5] Tumpahan Minyak, Dampak dan Upaya Penanggulangannya, https://www.portonews.com/2017/oil-and-chemical-spill/tumpahan-minyak-dampak-dan-upaya-penanggulangannya/, diakses tanggal 24 Maret 2022

[6] Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC 1969) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Pasal 37 PP Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim

[10] Pasal 38 PP Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim

[11] Pasal 39 PP Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim

[12] Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengeolaan Lingkungan Hidup

[13] Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengeolaan Lingkungan Hidup

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate