0

Regulasi Terkait Kecelakaan yang Disebabkan oleh Kerusakan Jalan Tol

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Alfredo Joshua & Andreas Simanjorang

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Tol adalah singkatan dari Tax On Location atau Pajak Lokasi, di Indonesia pengertian Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan oleh Pengguna Jalan Tol. Definisi Jalan Tol dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Jalan Tol adalah Jalan Umum yang merupakan bagian Sistem Jaringan Jalan dan sebagai Jalan Nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.[1]

Jalan Tol merupakan jalan yang dikelola oleh Penyelenggara Jalan Tol, dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah, Jalan Tol merupakan bagian dari Ruang Lalu Lintas Jalan yang merupakan prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah Kendaraan. Didalam lalu lintas, tidak dipungkiri dapat terjadinya hal yang tidak diduga dan tidak disengaja seperti kecelakaan lalu lintas yang dalam kenyataanya sering terjadi.

Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas seperti kelalaian pengguna jalan, ketidaklayakan kendaran, Jalan dan/atau Lingkungan. Ketidaklayakan Jalan dapat diartikan sebagai keadaan jalan yang tidak memadai, seperti jalan yang mengalami kerusakan. Terkait kerusakan jalan, kewenangan untuk memperbaiki jalan yang mengalami kerusakan jalan baik di jalan umum maupun Jalan Tol merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah.

Kecelakaan yang disebabkan oleh Jalan Tol yang mengalami kerusakan, pada dasarnya merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi, karena Pemeliharaan Jalan Tol merupakan bagian dari Pengusahaan Jalan Tol yang dilakukan oleh Pemerintah atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.[2]  Penyelenggara Jalan Tol yang tidak memelihara atau memperbaiki Jalan Tol yang mengalami kerusakan dan mengakibatkan kecelakaan bagi Pengguna Jalan Tol pada dasarnya dapat dimintakan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum, terkait dengan kelalaian Pemerintah yang membiarkan jalan mengalami kerusakan.

Permintaan ganti rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh Pihak yang mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol tersebut kepada Pihak Penyelenggara (baik Pemerintah maupun Badan Usaha) Jalan Tol yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu:

“Pasal 24

  • Penyelenggara Jalan wajib segera dan patur untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan”[3]

Kondisi Jalan Tol serta keselamatan yang merupakan cakupan dari Substansi Pelayanan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol.

Terkait Badan Usaha yang merupakan Pelaku Usaha dalam bidang Pengusahaan Jalan Tol dan Pengguna Jalan Tol merupakan Konsumen yang menggunakan Jasa Penyelenggara Jalan Tol, transaksi tersebut terjadi saat pembayaran Tol di Gerbang Tol, maka dapat dimintakan ganti rugi terkait dengan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol berdasarkan Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“ Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 
    1. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 
    1. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 
    1. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 
    1. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 
    1. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Pasal 19 

  • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

Hal ini juga diatur secara jelas dalam Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, yang berbunyi:

“ Pasal 87 

Pengguna Jalan Tol berhak menuntut ganti kerugian kepada Badan Usaha atas kerugian yang merupakan akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.

  Pasal 91

Badan Usaha wajib mengusahakan agar Jalan Tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan

 Pasal 92

Badan Usaha wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna Jalan Tol sebagai akibat kesalahan dari Badan Usaha dalam pengusahaan Jalan Tol.[5]

         Selain itu, terdapat peraturan yang bersifat ultimum remedium dan menerapkan sanksi pidana terhadap Penyelenggara Jalan yang tidak melakukan perbaikan  Jalan yang rusak, yang diatur dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni:

  “ Pasal 273

  • Setiap Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). 
  • Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). “[6]

Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan telah mengatur secara spesifik terkait ganti rugi kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan Jalan Tol yang dialami oleh Pengguna Jalan Tol, yang dimana dapat dimintakan ganti rugi kepada Penyelenggara Jalan Tol, dan dalam prakteknya hal ini dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian sepanjang yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut merupakan kelalaian dari Penyelenggara Jalan Tol disertai dengan bukti yang kuat yang selanjutnya mendapat ganti rugi dari pihak Penyelenggara Jalan Tol.

Ganti rugi tersebut dapat didasarkan pada aturan yang secara jelas mengatur spesifik tentang hal tersebut dalam hal ini Jalan Tol yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, serta peraturan-peraturan lainnya yang dapat dikaitkan terkait Pemerintah maupun Badan Usaha yang menjadi Penyelenggara di Bidang Pengusahaan Jalan Tol.

Selain itu, terdapat sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium yang dapat dijatuhkan kepada Penyelenggara Jalan Tol terkait dengan kerusakan Jalan Tol yang tidak segera diperbaiki sehingga menimbulkan kerusakan terhadap kendaraan dan/atau menimbulkan korban luka ringan/berat, serta mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Undang-Undang Lalu Linta dan Angkutan Jalan.

DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol


[1] Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[2] Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[3] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

[4] Pasal 7 jo. Pasal 19 ayat (1) & ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[5] Pasal 87 jo. Pasal 91 jo. Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

[6] Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

0

Sanksi Terhadap Shooting Film yang Tidak Memiliki Izin

Monday, 3rd January 2022

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Joshua Bernando

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial, maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum. Seperti contoh, apabila pelaku usaha perfilman ingin melakukan usaha pembuatan film, melalui proses shooting film dan penyiaran, maka harus melakukan proses perizinan dan mendapatkan izin dari pihak yang mempunyai kewenangan dalam hal tersebut.

Memperoleh izin tersebut harus mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku, dan izin tersebut harus sudah didapatkan sebelum shooting dilaksanakan. Izin biasanya diperlukan apabila pelaku usaha film menggunakan tempat umum, dan bukti pemberian izin oleh pihak yang berwenang biasanya berbentuk surat yang berisi perihal dan tanda tangan oleh pihak yang berwenang (dalam bentuk tulisan).

Selain itu, permintaan izin juga merupakan bagian dari etika yang berkaitan dengan moral, dimana etika merupakan unsur yang diterapkan dalam kode etik profesi pelaku usaha perfilman memiliki kode etik yang harus dipatuhi.

Mengacu pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menjelaskan bahwa pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film dalam hal ini harus didahului menyampaikan pemberitahuan film kepada Menteri, dengan disertai dengan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Serta dijelaskan pada Pasal 18 ayat (1) & ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa Pelaku Usaha pembuatan film yang akan membuat film wajib memiliki Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF) dimana TPPF tersebut harus meliputi : 

  1. nama pemilik hak cipta atas film yang dibuat; 
  2. judul film; 
  3. isi cerita/sinopsis dalam bahasa Indonesia; 
  4. nama produser, sutradara, dan penulis; dan 
  5. jadwal dan lokasi pembuatan film. [2]

Apabila tidak terpenuhinya izin lokasi atau izin tidak diberikan oleh pihak yang berwenang pada tempat/lokasi tersebut, maka dapat dikatakan tidak terpenuhinya syarat untuk memperoleh izin pembuatan film melalui Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF).

Selain itu, mengacu pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan, dinyatakan bahwa: 

“ Pasal 6

  • Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor kebudayaan, dikenai sanksi administratif. 
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    • teguran tertulis; 
    • denda administratif; 
    • penutupan sementara; 
    • pengenaan daya paksa polisional; dan/atau 
    • pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha. [3]

Pada Pasal 5 jo. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Yang dimaksud menjunjung tinggi adalah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan.

Terkait dengan proses shooting izin dan terdapat pelanggaran etika dan moral yang dilakukan oleh rumah produksi, maka film tersebut tidak boleh ditayangkan atau disiarkan terkait dengan pelanggaran kode etik penyiaran yang harus dipatuhi oleh stasiun televisi, tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran : 

“(1) Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan etika profesi yang dimiliki oleh profesi tertentu yang ditampilkan dalam isi siaran agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif di masyarakat.”[4]

 Berkaitan dengan kewenangan KPI pada Pasal 8 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjelaskan bahwa KPI dalam menjalankan fungsinya mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program penyiaran. [5]

Pemenuhan syarat dalam perizinan suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pelaku usaha perfilman, perlu dilakukan untuk dalam hal melaksanakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi, pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenai sanksi yang bersifat administratif hingga pembubaran/pencabutan perizinan berusaha.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
  4. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan
  5. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Legal Basis: Law Number 33 of 2009 concerning Film

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government. The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection. For example, if a film business actor wants to do a film-making business, through the film shooting and broadcasting process, then they must carry out a licensing process and get permission from the party who has the authority in this regard.

Obtaining the permit must follow the applicable procedures, and the permit must be obtained before shooting is carried out. Permits are usually required if the film business actor uses a public place, and evidence of granting a permit by the competent authority is usually in the form of a letter containing the subject matter and signature by the authorized party (in writing).

Aside from that, the request for permission is also part of ethics related to morals, where ethics is an element that is applied in the professional code of ethics for film business actors who have a code of ethics that must be obeyed.

Referring to Article 17 paragraph (1) of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that filmmaking by film-making business actors in this case must be preceded by submitting a film notification to the Minister, accompanied by the title of the film, the content of the story, and the plan for making the film. As well as explained in Article 18 paragraph (1) & paragraph (3) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector, it is explained that filmmaking Business Actors who will make films are required to have a Film Making Notification Sign (TPPF) where the TPPF must include:

  1. the name of the copyright owner for the film made;
  2. movie title;
  3. the content of the story/synopsis in Indonesian;
  4. names of producers, directors and writers; and
  5. filming schedule and location

If the location permit is not fulfilled or the permit is not granted by the competent authority at the place/location, it can be said that the requirements for obtaining a filmmaking permit are not met through the Film Making Notification Sign (TPPF).

Aside from that, referring to Article 6 paragraph (1) and paragraph (2) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector, it is stated that:

” Article 6

  • Every Business Actor, based on the results of Supervision found a discrepancy or violation of the Business Licensing in the cultural sector, is subject to administrative sanctions.
  • The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:
    • written warning; 
    • administrative fines; 
    • temporary closure; 
    • the imposition of police coercion; and/or
    • dissolution or revocation of Business License.“

In Article 5 jo. Elucidation of Article 5 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that film activities and film business are carried out based on freedom to be creative, innovate, and work by upholding religious values, ethics, morals, decency, and national culture. What is meant by upholding is that it must be in line and must not be contradictory.

Related to the shooting permit process and there are ethical and moral violations committed by the production house, the film may not be shown or broadcast related to violations of the broadcasting code of ethics that must be obeyed by television stations, as stated in Article 10 paragraph (1) of the Indonesian Broadcasting Commission Regulation. Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct:

“(1) Broadcasting institutions are required to pay attention to the professional ethics of certain professions that are displayed in broadcast content so as not to harm and cause negative impacts in society.”

In relation to the authority of KPI in Article 8 paragraph (2) letter d of Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting which explains that KPI in carrying out its functions has the authority to provide sanctions for violations of regulations and guidelines for broadcasting behavior as well as broadcasting program standards.

Fulfillment of requirements in licensing a business activity carried out by business actors, in this case film business actors, needs to be carried out in order to carry out legal obligations that must be fulfilled, business actors who do not have permits may be subject to administrative sanctions up to the dissolution/revocation of business licenses.

Legal Basis :

  1. Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting
  2. Law Number 33 of 2009 concerning Film
  3. Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector
  4. Minister of Education Regulation Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector
  5. Regulation of the Indonesian Broadcasting Commission Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct
0

Nominee Arrangement Related to Indonesian Regulations

Author: Ananta Mahatyanto

Legal Basis:

  1. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation
  2. Presidential Regulation (Perpres) No. 10 of 2021
  3. Presidential Regulation No.49 of 2021
  4. Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies
  5. Law No. 25 of 2007 concerning Investment

Nominee   adalah    sebuah   perjanjian innominaat, yang mana perjanjian Innominaat adalah perjanjian yang tumbuh dan   berkembang   di   dalam   praktek   dan belum dikenal saat KUH perdata diundangkan     Di     Indonesia.     Nominee adalah     satu     contoh     dari     perjanjian Innominaat.  Praktek  nominee  saham   ini timbul   di   Indonesia   karena   faktor regulasi dan juga faktor lainnya yaitu   alasan   yang   bersifat   pribadi   dari pihak beneficiary itu sendiri, merupakan  rahasia  maupun kepentingan  pribadi dari pihak beneficiary itu sendiri. 

 
Pembatasan kepmilikan Saham

  kepemilikan    saham dalam   perseroan   juga   sering   dilakukan dalam  bentuk nominee (orang  atau  badan hukum     yang     dipinjam     dan     dipakai namanya   sebagai  pemegang  saham  oleh Beneficiary),  biasanya  karena Beneficiary mempunyai  keinginan  untuk  memperoleh saham   melebihi   pembatasan   pemilikan saham     di Indonesia.     Terlebih lagi Beneficiary dalam  hal  ini  juga  melingkupi investor   asing   dimana   dalam   regulasi pembatasan pemilikan saham juga mengatur   pembatasan   pemilikan   saham yang    boleh    dimiliki     investor    asing. Regulasi  pembatasan  diatur dalam Peraturan  Presiden  No.  10  Tahun  2021 Tentang Daftar bidang usaha  yang tertutup dan  bidang  usaha   yang  terbuka  dengan persyaratan di bidang penanaman modal.

Hubungan  Pembatasan  kepemilikan saham di Indonesia dengan nominee

Dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang kini sudah diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal itu menyebut bahwa investasi sektor riil di Indonesia terbagi atas tiga golongan, yaitu:

1. Bidang usaha terbuka
2. Bidang usaha terbuka dengan persyaratan
3. Bidang usaha tertutup, yang kemudian dicatat dalam daftar negatif investasi

Dalam   pengertiannya   sesuai   dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021, Bidang Usaha Yang Tertutup adalah Bidang Usaha yang tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2OO7 tentang Penanaman Modai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Sebagaimana yang di maksud dengan daftar negative investasi meliputi 6 sektor menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021 yaitu;

  1. Budi daya atau industri narkoba
  2. Segala bentuk perjudian
  3. Penangkapan spesies ikan yang tercantum di dalam appendiks I the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)
  4. Pengambilan atau pemanfaatan koral dari alam
  5. Industri senjata kimia
  6. Industri kimia perusak ozon.

Dan penambahan pada Peraturan Presiden nomor 49 tahun 2021 yaitu

  1. Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol
  2. Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur
  3. Industri Minuman Mengandung Malt

Melihat    pasal 7   Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun  2021  sangat   jelas   membatasi kepemilikan  saham  bagi  pemegang  saham asing tetapi untuk  tetap  dapat  berusaha untuk dapat memegang saham lebih dari yang ditentukan  oleh  peraturan   yang  berlaku, biasanya  para  pemegang  saham  asing  ini menggunakan  pihak  ketiga/nominee  yang berupa   individu/badan   hukum   Indonesia untuk   menjadi   pemegang   saham   dalam salah satu bidang perusahaan tersebut.  Jika  pemegang  saham  asing  tersebut menggunakan  nama  atau  meminjam  nama individu/badan  hukum  Indonesia  tentunya pembatasan tersebut menjadi tidak masalah   karena   nama   dari   pihak   asing tersebut  tidak  diketahui,  dan  akhirnya  bisa memiliki  saham  lebih  dari  apa  yang  sudah diatur  Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021.  Dapat   dikatakan   faktor   utama   yang melatar  belakangi  timbulnya  praktek  dari nominee  saham  itu  sendiri  adalah  regulasi pembatasan kepemilikan saham ini.

Ketentuan nominee dalam Perundang-undangan di Indonesia

Konsep    nominee    dalam    beberapa transaksi bisnis antara lain dalam kepemilikan saham (nominee Shareholder) oleh  pihak  asing,  kepemilikan  tanah  oleh warga  negara  asing  (WNA)  dengan  status hak  milik di  Indonesia,  serta  penunjukan seseorang  untuk  menjabat  sebagai  direktur dari  perusahaan  /  direktur nominee.  Pihak asing   yang   menunjuk   pihak   Indonesia sebagai nominee bertujuan untuk mengatasi   pembatasan-pembatasan   yang ditetapkan    oleh    pemerintah    Indonesia dalam   hal   kepemilikan   saham   ataupun asset  oleh  warga  Negara  asing. Nominee secara garis besar bertujuan agar kepemilikan saham oleh pihak asing, nama dan  identitas  dari  pihak Beneficiary tidak diketahui oleh umum dan pemerintah.  Hal ini sangatlah merugikan   dan mempunyai   dampak   negatif   dari   segi perekonomian nasional.

Dalam Undang –   Undang   No.40   Tahun   2007 Tentang Perseroan Terbatas

Dapat dikaitkan dalam pasal 48  ayat (1) Undang-undang  No.40   Tahun   2007   tentang    Perseroan    Terbatas    mengatur bahwa     kepemilikan     saham    Perseroan Terbatas  atas  nama  pemiliknya.  Dengan demikian,  saham  tersebut  harus  atas  nama pemegang   saham   yang   sebenarnya,   dan tidak  bisa  nama  pemegang  saham   yang berbeda  seperti  sebagaimana  pemahaman mengenai praktek nominee ini. Pengaturan  mengenai  kepemilikan saham  oleh  lebih  dari  satu  orang  memang diperbolehkan    menurut    Undang-undang No.40   Tahun   2007   tentang   Perseroan Terbatas   (UUPT),   dimana   diatur   dalam pasal  52  ayat (5)  bahwa  beberapa  orang yang    memiliki    saham    tersebut    harus menunjuk  1  (satu)  orang   sebagai   wakil bersama. Praktek  pasal  ini  berbeda dengan  praktek nominee,  dimana  dalam pasal  ini  apabila  saham dimiliki  oleh  lebih dari satu orang, maka orang-orang tersebut tetap   harus   dicatatkan   namanya   sebagai menunjuk satu orang wakil untuk menggunakan  hak  yang  timbul  dari  saham tersebut.   Dalam   kasus   nominee  pihak Beneficiary tidak   tercatat   namanya,   dimana hanya pihak nominee saja yang tercatat.

Dalam Undang –Undang  No.25  Tahun  2007  Tentang Penanaman Modal

Pada  pasal  33 ayat (1)   dan   ayat (2)   Undang-Undang No. 25   Tahun   2007   tentang   Penanaman Modal,   dimana   diatur   dalam   ayat (1) disebutkan  bahwa  penanam  modal  dalam negeri   dan   penanam   modal   asing   yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat  perjanjian  dan  / atau  pernyataan yang    menegaskan    bahwa    kepemilikan saham  dalam  perseroan  terbatas  untuk  dan atas  nama  orang   lain.  Kemudian  dalam ayat (2)   disebutkan   bahwa   dalam   hal penanaman    modal    dalam    negeri    dan penanaman modal asing membuat perjanjian dan / atau pernyataan sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat (1),perjanjian    dan    /    atau    pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa para penanam modal yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas    dilarang    membuat    perjanjian dan/atau    pernyataan    yang    menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan    terbatas    dilarang     membuat perjanjian     dan/atau     pernyataan     yang menegaskan   bahwa   kepemilikan   saham dalam  perseroan  terbatas  untuk  dan  atas nama orang  lain.

Larangan adanya praktek nominee  pada  Undang-undang  Penanaman Modal  diperjelas  oleh  penjelasan  pasal  33 ayat (1)     Undang-undang     Penanaman Modal   yang   menyatakan   bahwa   tujuan pengaturan pasal tersebut adalah menghindari   terjadinya   perseroan   yang secara  Formil  dimiliki  seseorang,  tetapi secara  materil  pemilik  perseroan  tersebut adalah  orang  lain.  Isi  ketentuan  pasal  33 ayat (1)Undang-undang     Penanaman Modal  ini  tidak  memberikan  batasan  akan jenis   perjanjian   yang   dapat   dikenakan pasal    tersebut,    sehingga    segala    jenis perjanjian     selama     terdapat     ketentuan mengenai nominee  berupa  penegasan  akan kepemilikan     saham     dalam     perseroan terbatas  untuk  dan  atas  nama  orang  lain sehingga    pada    akhirnya    menyebabkan adanya    perbedaan    kepemilikan    saham nominee    dan    kepemilikan Beneficiary dapat  dikenakan  pasal 33 angka (1)  Undang-undang Penanaman Modal.

Konsep dan Struktur Nominee

karakteristik   yang terdapat dalam penggunaan konsep nominee adalah    terdapatnya nominee agreement antara beneficiary dan nominee. Nominee agreement merupakan suatu trust atau kepercayaan  yang   lahir dari perjanjian   dan   merupakan   suatu   bentuk perjanjian  tidak    bernama    yang    lahir  berdasarkan   asas   kebebasan   berkontrak, asas  kekuatan  mengikat  dan  itikad  baik yang   terdapat   dalam   buku  II  KUHper. Berdasarkan nominee   agreement, dapat dilihat   bahwa   unsur-unsur   atau   ciri-ciri dalam penggunaan nominee memperlihatkan terdapatnya 2 pihak, yaitu pihak yang diakui  secara hukum dan pihak yang berada di belakang pihak yang diakui secara  hukum  tersebut,  dimana  2  pihak tersebut dalam kepemilikan saham ataupun kepemilikan  tanah  melahirkan  pemisahan kepemilikan atas suatu benda yaitu pemilik yang diakui secara hukum (pihak nominee) dan  pemilik  yang  sebenarnya  atas  benda (pihak beneficiary). Setelah    terjadi    kesepakatan    antara nominee dan beneficiary, maka    akan terdapat nominee agreement yang ditandatangani oleh nominee dan beneficiary dalam    kepemilikan    saham dengan   konsep nominee akan   menjadi pihak    yang    terdaftar    sebagai    pemilik secara   hukum   dalam   perseroan   namun seluruh    keuntungan    yang    timbul    dari saham yang bersangkutan termasuk dividen  yang  dibagikan  akan  menjadi  hak dari beneficiary dan  karenanya  pemegang saham nominee hanya   bertindak   selaku kuasa dari pihak beneficiary.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, karakteristik atau ciri-ciri penggunaan konsep nominee antara lain:

  1. Terdapatnya  jenis   kepemilikan yaitu   kepemilikan   secara   hukum dan secara tidak langsung.
  2. Nama  dan  identitas nominee  akan didaftarkan   sebagai   pemilik   dari saham  di  Daftar  Pemegang  Saham perusahaan     dalam kepemilikan saham oleh nominee.
  3. Terdapat   nominee  agreement  yang wajib ditandatangani antara nominee   dan   beneficiary   sebagai landasan  dari  penggunaan  konsep nominee.
  4. Pihak nominee menerima fee dalam jumlah tertentu sebagai kompensasi penggunaan   nama   dan    identitas dirinya untuk kepentingan beneficiary.

Selain nominee   agreement terdapat beberapa    perjanjian    dan    kuasa    yang biasanya  ditandangani  oleh  pihak nominee dan  pihak beneficiary sebagai  komponen pendukung.   Perjanjian   dan   kuasa-kuasa tersebut   dibutuhkan   untuk   memberikan kepastian   ataupun   perlindungan   kepada beneficiary sebagai   pemilik   sebenarnya atas   benda   yang   dimiliki   oleh nominee secara hukum. Dalam  rangka  melaksanakan  praktek nominee saham  di  Indonesia,  tidak  dibuat perjanjian nominee saham   yang   hanya terdiri  dari  satu  perjanjian  saja,  melainkan terdiri    dari    beberapa    perjanjian    yang apabila  dihubungkan  satu  sama  lain  akan menghasilkan nominee saham  inilah  yang dapat dikatakan sebagai nominee arrangement, tetapi   biasanya Nominee Arrangement ini dapat dibuat tanpa nomiee agreement. Hal ini dapat dikatakan sebagai penyelundupan   hukum   pada   perjanjian nominee saham   dalam prakteknya   di Indonesia. Komponen pendukung    lain yang  umum  yang  dapat  ditemukan  dalam penilitian  mengenai  praktek nominee atau dapat disebut dengan nominee arrangement dalam   kepemilikan   saham adalah sebagai berikut:

  1.  Akta    Pengakuan    Hutang    (Loan agreement). Dalam  akta  ini  disebutkan  bahwa nominee  menggunakan  dana  yang disediakan  oleh beneficiary  untuk melakukan  penyetoran  atas  saham yang  akan  dimilikinya  kelak  dalam perusahaan.
  2. Perjanjian  Gadai  Saham (Pledge  of shares agreement). Setelah    perjanjian    gadai    saham ditandangani,  maka nominee  wajib menyerahkan  surat  saham    kepada beneficiary.
  3. Surat Kuasa Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ). Berdasarkan surat kuasa ini, nominee memberikan  kuasa kepada beneficiary  untuk  dapat  secara  sah menghadiri  RUPS  yang  diadakan oleh  perusahaan  serta  memberikan suaranya dalam RUPS .
  4. Surat Kuasa untuk menjual saham. Surat    kuasa    ini    mencantumkan pemberian    kuasa    dari nomineekepada beneficiary  secara  hukum berhak  untuk  menjual  saham  yang dimiliki     oleh nominee     dalam perusahaan.

Akibat hukum yang terjadi terhadap praktik saham pinjam nama (Nominee arrangement)

Dalam prakteknya, pemakaian nominee  ini  sering  dijumpai,  tidak  jarang juga  sengketa  yang  yang  diakibatkan  oleh adanya   praktek nominee   tersebut.   Hal tersebut   dapat   terjadi   juga   jika   pihak nominee tidak mau mengembalikan saham-saham     yang     telah     dimilikinya tersebut   kepada beneficiary.   Kesulitan-kesulitan  lain  yang  akan  dihadapi  adalah masalah  pembuktian   kepemilikan   saham serta   mengenai   tanggung   jawab   secara hukum kepada pihak ketiga. Secara de Jure saham nominee   tersebut   adalah   mutlak milik nominee,  sebab  nama   mereka   lah yang   akan   tercatat   dalam   buku   daftar pemegang    saham   perseroan   disamping adanya   bukti   sertifikat   saham,   namun sebaliknya  secara  de  Facto  saham  tersebut adalah     kepunyaan     pihak beneficiary.

Akibat   yang   ditimbulkan Nominee dalam Penanaman Modal

Dapat  dilihat  bahwa  Undang-undang Penanaman  Modal  telah  mengatur  secara tegas  pelarangan  praktek nominee saham pada perseroan yang berbentuk penanaman modal  dalam  negeri  maupun  penanaman modal asing. Akibat Hukum dari melanggar   ketentuan   pasal   33   ayat   (1) Undang-undang  Penanaman  Modal  diatur pada  ayat  berikutnya,  yaitu  pasal  33  ayat (2)   Undang-undang   Penanaman   Modal. Pasal     33     ayat     (2)     Undang-undang Penanaman  modal  menyatakan  bahwa  bila penanam    modal,    baik    dalam    negeri maupun asing, membuat perjanjian dan/atau    pernyataan    yang    menegaskan kepemilikan    saham    perseroan    terbatas untuk  dan  atas  nama  orang  lain  sehingga menyebabkan    adanya    perbedaan    pada kepemilikan    saham    perseroan    terbatas secara   normatif   (nominee)   dan   secara substansial  (beneficiary)  maka  perjanjian dan/atau   pernyataan   tersebut   akan   batal demi  hukum.  Dengan  demikian  bila  ada perjanjian  yang melanggar  ketentuan pasal 33  ayat  (1)  Undang-undang  Penanaman Modal maka perjanjian  tersebut akan batal demi  hukum.  Dimana  artinya,  perjanjian yang   dibuat   oleh   para   pihak   tersebut dianggap tidak pernah ada.  Akibat  hukum  yang  diatur  pada  pasal 33  angka  (2)  Undang-undang  Penanaman Modal  bahwa  suatu  perjanjian  akan  batal demi  hukum   karena   telah  terlanggarnya ketentuan   pasal   33   angka   (1)   Undang-undang    Penanaman    Modal    ini    sesuai dengan  ketentuan hukum diatur pada pasal 1320   KUHper.   Berdasarkan   pasal   1320 KUHper,   terdapat   perjanjian   Indonesia. Dimana  berdasarkan  hukum  perjanjian  di Indonesia  agar   suatu  perjanjian   menjadi sah   maka   perlu   untuk   mentaati   syarat sahnya  perjanjian,  dimana  ada  4  (empat) syarat   yang   harus   terpenuhi   agar   suatu perjanjian  menjadi  sah,  dan  salah  satunya adalah “suatu  sebab  yang  halal”.  Syarat “suatu sebab yang halal” ini mensyaratkan bahwa   isi   suatu   perjanjian   harus   tetap memperhatikan  ketentuan  selain perjanjian itu sendiri, seperti Undang-undang, kesusilaan,     kepatutan,    dan     ketertiban umum.   Menurut   subekti,   syarat  “syarat sebab  yang  halal”  ini  termasuk  dalam syarat  obyektif dari  suatu  perjanjian  dan akibat  hukum  dari  pelanggarannya  adalah perjanjian  tersebut  batal  demi  hukum.  Hal ini  sesuai  dengan   ketentuan  pasal  1335 KUHper   dimana   bila   sebuah   perjanjian dibuat  berdasarkan  sebab  yang  terlarang maka tidak memiliki  kekuatan hukum, dan hal   ini   sesuai  dengan   ketentuan  hukum perjanjian Indonesia bila perjanjian melanggar  syarat  obyektif    “sebab  yang halal”  maka  perjanjian  tersebut  akan  batal demi hukum.

Akibat Hukum Terhadap Pemegang Saham Nominee

Berdasarkan ketentuan Undang-undang  Perseroan  Terbatas diatur  dalam  pasal  48  angka  (1)  bahwa saham  perseroan  dikeluarkan  atas  nama pemiliknya yang berarti bahwa kepemilikan   saham   sepenuhnya   dimiliki oleh  pihak nominee.  Berdasarkan  hukum di  Indonesia,  hak  dan  kewajiban nominee shareholder  / atau  pihak nominee adalah hak  dan  kewajiban  selayaknya  pemegang saham   biasa,   karena   pemegang   saham nominee merupakan  pemilik  saham  yang terdaftar menurut hukum.

Akibat   Hukum   Terhadap   Pihak Beneficiary

pihak nominee diakui  sebagai pemegang   saham   yang   terdaftar,   maka pihak beneficiary tidak   diakui   sebagai pemegang   saham   milik   pihak nominee tersebut. Pihak beneficiary ini tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai pemegang saham atas saham milik nominee tersebut.

Akibat  Hukum  Terhadap  Perseroan Terbatas

Karena nominee dianggap seperti pemilik  saham  yang  sesungguhnya,  akibat hukum  dari  suatu  perseroan  terbatas  yang menggunakan  perjanjian nominee tersebut tetap  sah dan mempunyai  kekuatan hukum jika    memenuhi    syarat-syarat    normatif pendirian perseroan terbatas dan melakukan  penanaman  modal,  akan  tetapi dalam   hal   ini   perseroan   terbatas   dapat dibubarkan berdasarkan penetapan pengadilan. Pembubaran ini pada umumnya   sama   seperti   proses   perkara perdata, yaitu adanya pihak yang mengajukan   permohonan   ke   pengadilan terlebih  dahulu.  Di  dalam  Undang-undang Perseroan  terbatas  pada  pasal  146  diatur bahwa    suatu    pengadilan    negeri    dapat membubarkan    perseroan    terbatas    atas dasar:

  1. Permohonan kejaksaan berdasarkan alasan perseroan terbatas melanggar  kepentingan  umum  atau perseroan terbatas melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
  2. Permohonan pihak yang berkepentingan  berdasarkan  alasan adanya   cacat   hukum   dalam   akta pendirian;
  3. Permohonan     pemegang     saham, direksi     atau     dewan     komisaris berdasarkan alasan perseroan terbatas tidak mungkin dilanjutkan.

Berdasarkan alasan-alasan diatas bahwa pengadilan negeri dapat membubarkan   suatu   perseroan   terbatas yang  menerapkan  praktek nominee karena suatu   perseroan   terbatas   yang   terdapat praktek nominee dalam   saham   adalah perseroan terbatas yang melakukan perbuatan     melanggar     hukum.     Selain perbuatan  yang  melanggar  hukum,  suatu perseroan  terbatas  yang  terdapat  praktek nominee dalam  saham  mempunyai  cacat hukum dalam akta pendirian  karen a terjadi pelanggaran     dalam     keterangan yang memuat     keterangan     mengenai     nama pemegang  saham  yang  telah  mengambil bagian  saham,  rincian  jumlah  saham  dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan   dan   disetor   sesuai   dengan pasal  8  angka  (2)  huruf  c  Undang-undang Perseroan Terbatas.

Nominee is an innominate agreement, an agreement that grows and develops in practice and was not known when the Civil Code was enacted in Indonesia. The nominee is an example of an Innominaat agreement. The practice of nominee shares arose in Indonesia due to regulatory factors and other factors, namely personal reasons from the beneficiary itself, which are private secrets from the beneficiary itself.

Restrictions on share ownership

Share ownership in a company is also often carried out in the form of a nominee (a person or legal entity chosen and used as a shareholder by the owner) usually because the owner has a desire to own shares more than the share ownership in Indonesia.  What’s more, the Beneficiary in this case also covers foreign investors, in which the ownership of shares is also the owner of shares that foreign investors may own.  Regulations are regulated in Presidential Regulation No.10 of 2021 concerning the list of business fields that are open with conditions in the investment sector.

Relation of Restrictions on share ownership in Indonesia with nominees

In Article 12 of Law Number 25 of 2007 concerning Investment, amended to Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation.  The article states that real sector investment in Indonesia is divided into three groups, namely:

  1. Open business field

  2. Open business fields with conditions

  3. Closed business fields, which are then recorded in the negative investment list

In the sense that according to Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, Closed Business Fields are the Business Fields listed in Article 12 of Law Number 25 of 2OO7 concerning Capital Investment as amended by Law Number 11 of 2O2O concerning Job Creation.  As meant by the negative investment list, it covers 6 sectors according to Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, namely;

  1. Cultivation or drug industry

  2. Form of gambling

  3. Catching fish species listed in appendix I of the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)

  4. Retrieval or use of coral from nature

  5. Chemical weapons industry

  6. Ozone-depleting chemical industry.

  And additions to Presidential Regulation number 49 of 2021 are:

  1. Liquor Industry Containing Alcohol

  2. Beverage Industry Containing Wine Alcohol

  3. Beverage Industry Containing Malt

  Looking at Article 7 of Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021, it severely limits the share ownership of foreign shareholders who still strives to be able to hold more shares than is determined by the applicable regulations. To do so, usually, foreign shareholders use third parties/candidates in the form of Indonesian individuals / legal entities to become shareholders in one the field of the company.  If the shareholder uses the name or borrows the name of an Indonesian individual/legal entity, of course, there is no problem because the name of the foreign party is unknown, and in the end, they can own more shares than what has been regulated by Presidential Regulation (Perpres) No.  10 of 2021. It can be said that the factor behind the emergence of the practice of share nominees itself is the regulation of share ownership.

Nominee provisions in Indonesian legislation

The nominee concept in several transactions includes ownership of shares by foreign parties, ownership of land by citizens (foreigners) with property rights in Indonesia, as well as the appointment of a person’s business as director of the company/nominee director.  Foreign parties appointing Indonesian parties as nominees aim to overcome the restrictions set by the Indonesian government on ownership or assets by foreign nationals.  Candidates broadly aim to ensure that foreign ownership of shares, names, and identities of the Beneficiaries are not shared with the public and the government.  This is detrimental and has a negative impact in terms of the national economy.

Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies

  It can be accessed in Article 48 paragraph (1) of Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies which stipulates that the ownership of shares of Limited Liability Companies is in the name of the owner.  Thus, these shares must be in the name of the actual shareholder, and cannot be named a different shareholder as the nominee’s understanding of practice is.  Regulations regarding share ownership by more than one person are indeed permitted according to Law No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies (UUPT), which is regulated in article 52 paragraph (5) that several people who own the shares must appoint 1 (one) person as joint representatives.  The practice of this article is different from the practice of nominees. In this article, if it is owned by more than one person, then the names of those people must still be recorded as appointing one representative to exercise the rights arising from the shares. In the case of the nomination of the Recipient party, the name is not mentioned, where only the candidate party is listed.

Law No. 25 of 2007 concerning Investment

  In article 33 paragraph (1) and paragraph (2) of Law no.  25 of 2007 on Investment, which is regulated in paragraph (1), it is stated that domestic investors and foreign investors who invest in the form of a limited liability company are prohibited from making agreements and/or statements confirming that share ownership in a limited liability company and on behalf of a person other. In paragraph (2), it is stated that in the event that domestic investment and foreign investment make an agreement and/or statement as referred to in paragraph (1), the agreement and/or statement are declared null and void.  In this article, it is explained that investors who invest in the form of a limited liability company are prohibited from making agreements and/or statements confirming that share ownership in a limited liability company makes an agreement and/or statement stating that share ownership in a limited liability company is for and on behalf of another person.  other.

  The prohibition on the practice of candidates in the Investment Law is clarified by the explanation of article 33 paragraph (1) of the Investment Law which states that the purpose of the regulation of this article is to avoid the occurrence of a company owned by someone, but materially the owner of the company is someone else.  The contents of the provisions of article 33 paragraph (1) of this Investment Law do not provide restrictions on the types of agreements that can be subject to that article, so that all types of agreements as long as the provisions regarding nominees are in the form of affirmation of share ownership in a limited liability company for and on behalf of other people, in the end, causing differences in the nominee’s share ownership and the Beneficiary’s ownership may be subject to Article 33 number (1) of the Investment Law.

  Nominee Concept and Structure

  The characteristic contained in the use of the nominee concept is the existence of a nominee agreement between the beneficiary and the nominee.  A nominee agreement is a trust born from an agreement, a form of an anonymous agreement, based on the principle of freedom of contract, as well as binding strength and good faith contained in book II of the Criminal Code.  Based on the nominee agreement, it can be seen that the elements or characteristics in the use of the nominee are 2 parties, namely the legally recognized party and the party behind the legally recognized party, where the 2 parties are in share ownership or land ownership.  the birth of ownership of an object, namely the legally recognized owner (the candidate) and the actual owner of the object (the recipient).  After there is an agreement between the nominee and the beneficiary, there will be a nominee agreement signed by the nominee and beneficiary in share ownership with the concept that the nominee will be the registered party as the legal owner in the company, but all profits arising from the shares concerned include dividends distributed the rights of the beneficiary and therefore becoming a nominee shareholder only acts as a proxy for the beneficiary.

  Based on the explanations above, the characteristics or characteristics of the use of the candidate concept include:

  1. There are types of ownership, namely legal ownership and indirect ownership.

  2. The name and identity of the candidate will be the owner of the shares in the Register of Shareholders of the company in the share ownership by the candidate.

  3. There is a nominee agreement that must be signed between the nominee and the beneficiary as the basis for the use of the nominee concept.

  4. Prospective parties receive a certain amount of fees as compensation for the use of their name and identity for the benefit of the beneficiary.

  In addition to the nominee agreement, there are several agreements and powers of attorney which are usually signed by the nominee and the beneficiary as a supporting component.  The agreement and the powers of attorney are needed to provide certainty or protection to the beneficiary as the actual owner of the object legally owned by the nominee.  In order to carry out the practice of prospective shareholders in Indonesia, a prospective shareholder agreement is not made which only consists of one agreement, but consists of several agreements if each other will produce prospective shareholders.  This can be made without the nominee’s consent.  This can be considered as legal smuggling of nominee share agreements in practice in Indonesia.  Other common supporting components that can be found in research on nominee practices or can be referred to as nominee arrangements in share ownership are as follows:

  1. Deed of Debt Recognition (Loan Agreement).  This deed states that the candidate uses the funds provided by the beneficiary to make a deposit for the shares to be deposited in the company.

  2. Share Pledge Agreement.  After the share pledge agreement is signed, the candidate must submit share certificates to the heirs.

  3. Power of Attorney General Meeting of Shareholders ( GMS ).  Letter Based on this power of attorney, the nominee grants power to the beneficiary to attend the GMS held by the company and cast his/her vote in the GMS.

  4. Power of attorney to sell shares.  This power of attorney is a power of attorney from the nominee to the beneficiary legally entitled to sell what the nominee owns in the company.

  Legal consequences that occur on the practice of borrowing shares (Nominee arrangement)

  In practice, using this nominee is often encountered, not infrequently disputes are caused by the practice of the nominee.  This can also happen if the appointed party does not want to return the shares that have been given to the beneficiary.  other difficulties that will be faced are the problem of proving share ownership and legal responsibility to third parties.  In de Jure nominee the shares absolutely belong to the nominees, because their names will be recorded in the company’s shareholder register in addition to proof of share certificates, but on the other hand, de facto the shares are the beneficiary parties.

  Consequences of Nominees in Investment

  It can be seen that the Investment Law has clearly regulated the prohibition of the practice of prospective shares in companies in the form of domestic investment or foreign investment.  The legal consequences of violating the provisions of article 33 paragraph (1) of the Investment Law are regulated in the next paragraph, namely article 33 paragraph (2) of the Investment Law.  Article 33 paragraph (2) of the Investment Law states that if an investor, both domestic and foreign, makes an agreement and/or statement which is declared as ownership of a limited liability company and on behalf of another person, there will be differences in the ownership of the shares of the limited liability company.  normatively (nominee) and substantially (beneficiary), the agreement and/or statement will be null and void.  Thus, if there is an agreement that violates Article 33 paragraph (1) of the Investment Law, the agreement will be null and void by law.  Where it means, the agreement made by the parties is considered never existed.  The legal consequences regulated in article 33 number (2) of the Investment Law are that an agreement will be null and void due to the violation of the provisions of article 33 number (1) of this Investment Law in accordance with the legal provisions stipulated in article 1320 of the Criminal Code.  Based on article 1320 of the Criminal Code, there is an Indonesian agreement.  Where based on contract law in Indonesia, in order for an agreement to be valid, it is necessary to comply with the conditions for the validity of the agreement, where there are 4 (four) conditions that must be met for an agreement to be valid, and one of them is “a lawful cause”.  The term “a lawful cause” requires that the contents of an agreement must still pay attention to provisions other than the agreement itself, such as law, morality, propriety, and generality.  According to subekti, the conditions for this lawful cause are included in the objective conditions of an agreement and the legal consequence of its violation is that the agreement is null and void.  This is in accordance with the provisions of Article 1335 of the Civil Code where if an agreement is made based on a prohibited cause it has no legal force, and this is in accordance with the provisions of Indonesian treaty law if the agreement violates the objective conditions then the agreement will be null and void.

  Legal Consequences for Nominee Shareholders

  Based on the provisions of the Limited Liability Company Law, it is regulated in article 48 number (1) that a limited liability company is issued in the name of the owner, which means that the ownership is wholly owned by the appointed party.  Under Indonesian law, the rights and obligations of nominee shareholders / or nominee parties are the rights and obligations of ordinary shareholders, because nominee shareholders are shareholders who are registered according to law.

  Legal Consequences on the Recipient

  the nominee party is recognized as a registered shareholder, then the entitled party is not recognized as a shareholder belonging to the nominee party.  The beneficiary of this party has no rights and obligations as a shareholder of the prospective shareholder.

Legal Consequences for Companies

  Because the candidate is considered a real shareholder, the legal consequences of a limited company using the candidate’s agreement are still valid and have legal force if they meet the normative requirements of a limited company and invest, but in this case the limited liability company can be dissolved based on a court order. This dissolution is generally the same as the civil case process, namely that there are parties who submit an application to the court first.  Article 146 of the Limited Liability Company Law provides that a district court may dissolve a limited liability company on the basis of:

  1. The prosecutor’s application is based on the reason that the limited liability company commits an act that violates the laws and regulations;

  2. An application from an interested party based on the reasons for the existence of a legal defect in the deed of establishment;

  3. The application of the shareholders, the board or the board of commissioners based on the reasons for the limited liability company cannot be continued.

Based on the reasons above, that the district court may dissolve a limited liability company that applies a candidate because a limited liability company has the practice of a candidate in a limited liability company committing an unlawful act.  In addition to violating the law, a company that has a nominee practice in the deed of establishment due to a violation in the statement containing registered shares, is limited in the number of shares and nominal shares issued and paid up in accordance with article 8 number (2) letter c of the Company Law. 


0

Webinar series – Protect your sketch Protect Your Asset #1 : Memulai Bisnis Desain Grafis dan Film Animasi (dalam Perspektif Badan Usaha, Bisnis, Hukum dan Kekayaan Intelektual)

Tanggal : Kamis, 27 Mei 2021
Waktu : 14.00 – 16.55 (GMT +7) Jakarta
Tempat : (online) zoom


Pembicara:

Rania Amina
User Interface Designer & FOSS Contributor (Komunitas Desain Grafis, Gimpscape ID)

Banung Grahita
Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual (Institut Teknologi Bandung)

Zul Fadli
Notaris, Penulis, Dosen

Semerdanta Pusaka
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (Universitas Esa Unggul)

Yunarto Zeng
Lawyer (Partner Afia & Co.)

Nirma Afianita
Lawyer and Konsultan Kekayaan Intelektual Terdaftar (Managing Partner Afia & Co.)

Host:
Afina Nurkemalawati (Research & Public Relation Afia & Co.)


Pendaftaran : https://bit.ly/AfiacoWebinar4-1
CP : +6287777749267 (Coco)

0

WEBINAR : Hak dan Perlindungan Usaha Pariwisata dan Ekspresi Budaya Tradisional

Jan 15, 2021, 1:30 PM – 3:10 PM


Webinar

Webinar
Hak dan Perlindungan Usaha Pariwisata dan Ekspresi Budaya Tradisional (dalam Perspektif Hukum dan Kekayaan Intelektual)

Pembicara:
Nirma Afianita
Managing Partner and Konsultan Kekayaan Intelektual Terdaftar Afia & Co.

Ari Juliano Gema
Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Rizki Haryo Kusumo
Partner Afia & Co.

Diah Kusumawardani Wijayanti
Founder Yayasan Belantara Budaya Indonesia

Host:
Raden Ayumas Zisni
Asisten Staf Ahli Menteri Bidang RBR
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

📆 *Tanggal : Jumat, 15 Januari 2021
⏰ *Waktu : 14.30 – 16.30 WIB
🏣 *Tempat : (online) zoom
(link akan dikirim melalui email/whatsapp)

Pendaftaran :http://bit.ly/afiacowebinarusahapariwisata
CP : +6287777749267 (Coco)

Webinars

Webinars
Rights and Protection of Tourism Businesses and Traditional Cultural Expressions (from a Legal and Intellectual Property Perspective)

Speaker:
Nirma Afianita
Managing Partner and Registered Intellectual Property Consultant, Afia & Co.

Ari Juliano Gema
Expert Staff to the Minister for Bureaucratic Reform and Regulation, Ministry of Tourism and Creative Economy

Rizki Haryo Kusumo
Afia & Co. partners

Diah Kusumawardani Wijayanti
Founder of the Belantara Budaya Indonesia Foundation

Host:
Raden Ayumas Zisni
Assistant Expert Staff to the Minister for RBR
Ministry of Tourism and Creative Economy

📆 * Date: Friday, January 15, 2021
⏰ * Time: 14.30 – 16.30 WIB
🏣 * Place: (online) zoom
(link will be sent via email / whatsapp)

Registration: http: //bit.ly/afiacowebinarusahap Pariwisata
CP: +6287777749267 (Coco)

Modus Kejahatan Pinjaman Online tanpa Registrasi

Author: Ester Victoria Uliarina

Suatu platform pinjaman online yang menyediakan pinjaman dengan jaringan internet atau online dikenal juga dengan sistemَ berbasisَ peer to peer lending.[1] Penggunaan sistem peer to peer lending ini memberikan manfaat bagi kemajuan usaha masyarakat yang tergolong masih kecil dan berlokasi di daerah pelosok yang belum dapat menjangkau layanan perbankan konvensional.[2] Hal ini dikarenakan bank konvensional belum memiliki kantor cabang pada daerah tersebut. Kehadiran pinjaman online yang semula memberikan kemudahan proses pinjam meminjam uang, kini tidak lagi sepenuhnya aman dari genggaman para pelaku kejahatan.

Kejahatan dalam pinjaman online semakin hari semakin meningkat dan beragam. Sebagaimana kita ketahui permasalahan yang kerap terjadi ketika seseorang yang melakukan suatu pinjaman online mendapatkan ancaman ketika orang tersebut tidak dapat membayarkan utang beserta bunga yang begitu besar. Semakin berkembangnya modus kejahatan saat ini tidak hanya orang yang melakukan pinjaman namun orang yang tidak pernah mengajukan pinjaman online dapat diteror oleh oknum-oknum “nakal” demi keuntungan pribadinya.[3] Salah satu modus kejahatan dengan mengirimkan sejumlah uang kepada seseorang yang tidak pernah mengajukan suatu pinjaman online digunakan pelaku untuk mengancam para korban.

Tidak hanya menyerang korban, pelaku juga sering kali menghubungi kerabat korban dan meminta korban untuk melunasi uang yang diberikan beserta bunga yang sangat besar tersebut. Pelaku mengancam akan menyebarkan data pribadi korban apabila keinginan pelaku tidak terlaksana. Hal ini tentu sangat meresahkan masyarakat, ketika mereka seharusnya tidak terlibat dalam lingkaran teror pelaku pinjaman online.

Kesadaran hukum masyarakat menjadi hal yang amat penting untuk menghadapi modus pinjaman online serupa. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh korban kejahatan pinjaman onlin tersebut. Pertama, cara termudah untuk mengabaikan hal tersebut dengan tidak menjawab panggilan telepon atau membalas pesan yang dikirimkan pelaku kejahatan pinjaman online, serta memberitahukan kerabat terkait hal tersebut. Antisipasi lain yang dapat dilakukan adalah memblokir nomor pelaku kejahatan pinjaman online yang memberikan ancaman kepada korban maupun kerabat korban. Kedua, melaporkan kepada pihak kepolisian terkait ancaman dan akses data pribadi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan pinjaman online.

Pencurian data pribadi yang dilakukan oleh pelaku merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pemilik data pribadi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya ada pribadi yang telah tersebar nantinya tidak dapat serta merta dihapus untuk menghilangkan identitas-identitas korban. Indonesia sebagai negara hukum telah memberikan perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang secara melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya.”.[4]

Sanksi atas perbuatan tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang menjabarkan: “Setiap Orang yang dengan senqaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.00O.OOO.000,00 (lima miliar rupiah).”[5]

Korban dapat melaporkan atas penipuan dengan dasar Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun“.[6]

Kemudian Pasal 29 Juncto Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi “.[7]

Pasal 45B

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)“.[8]

Apabila korban merasa dirugikan atas penghinaan dan/atau pencemaran nama baik  yang dilakukan oleh pelaku, maka korban akan mendapatkan perlindungan dengan Pasal 27 ayat (3) Juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 27 ayat (3):

Setiap Orang dengan dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”[9]

Pasal 45 ayat (3):

Setiap Orang Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”[10]

Dasar Hukum:

  • Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

Referensi:

  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
  • Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
  • Amalia, Afnan H. 2022. “Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Pada Layanan Pinjaman Online.” Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/99046.
  • Dewi, Dewa A., and Ni K. Darmawan. 2021. “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Pinjaman Online Terkait Bunga Pinjaman Dan Hak-Hak Pribadi Pengguna.” Jurnal Hukum Kenotariatan 6 (2): 262. https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p04.
  • Sari, Berlian H. 2021. “Penegakan Hukum Terhadap Aplikasi Pinjaman Online Illegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9 (2): 165. https://doi.org/10.20961/hpe.v9i1.52429.

[1] Sari, Berlian H. 2021. “Penegakan Hukum Terhadap Aplikasi Pinjaman Online Illegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9 (2): 165. https://doi.org/10.20961/hpe.v9i1.52429.

[2] Amalia, Afnan H. 2022. “Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Pada Layanan Pinjaman Online.” Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/99046.

[3] Dewi, Dewa A., and Ni K. Darmawan. 2021. “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Pinjaman Online Terkait Bunga Pinjaman Dan Hak-Hak Pribadi Pengguna.” Jurnal Hukum Kenotariatan 6 (2): 262. https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p04.

[4] Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

[5] Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

[6] Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

[7] Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[8] Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[9] Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[10] Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Urgensi Pengaturan Regulasi Khusus Tembakau Alternatif di Indonesia

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Megarini Adila Lubis

          Produksi tembakau menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat besar dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Tembakau Indonesia menjadi salah satu komoditas ekspor yang menghasilkan devisa yang besar bagi Indonesia dengan nilai ekspor mencapai Rp1,06 triliun pada periode Januari-Desember 2021.[1] Industri Hasil Tembakau (IHT) juga memberikan peran penting dalam perekonomian Indonesia dalam hal penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai, serta merupakan komoditas penting bagi petani berupa tembakau dan cengkeh.[2] Besarnya produksi tembakau juga sejalan dengan tingginya tingkat konsumsi tembakau oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga yang menjadikan Indonesia peringkat ketiga perokok terbanyak di dunia.[3] Indonesia termasuk dalam bagian negara yang memiliki jumlah perokok yang tinggi, yaitu di atas 40 persen dengan 65 persen di antaranya adalah pria dewasa.[4]

          Tingginya jumlah perokok di Indonesia juga ditengarai dengan adanya perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup yang sejalan dengan munculnya inovasi baru melalui produk tembakau alternatif. Bahkan penerimaan negara dari cukai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya mencapai Rp 680,36 miliar pada 31 Desember 2021, yang mana sebagian besar disumbang oleh HTPL produk ekstrak dan esens tembakau cair.[5] Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, yang termasuk tembakau alternatif adalah Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HTPL). Hal ini dijelaskan pada Pasal 1 Angka 4 dan Angka 5, bahwa:

“Pasal 1

4. Rokok Elektrik adalah Hasil Tembakau berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya, yang berasal dari pengolahan daun tembakau yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya, yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran, yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektrik kemudian dihisap.

5. Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya yang selanjutnya disingkat HPTL adalah Hasil Tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, Tembakau Iris, dan Rokok Elektrik yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.”[6]

Selanjutnya pada Pasal 2 Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya menjelaskan yang termasuk kepada Rokok Elektrik adalah Rokok Elektrik Padat, Rokok Elektrik Cair Sistem Terbuka dan Rokok Elektrik Cair Sistem Tertutup. Pasal 3 menjabarkan mengenai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) termasuk kepada Tembakau Molasses, Tembakau Hirup (Snuff Tobacco) dan Tembakau Kunyah (Chewing Tobacco).

Dengan berkembangnya tembakau alternatif di Indonesia, sejumlah asosiasi konsumen di Indonesia mendorong adanya perluasan akses informasi yang komprehensif dan akurat terhadap produk tembakau alternatif.[7] Perluasan informasi mengenai tembakau alternatif ini penting untuk menegaskan kepada konsumen, bahwa tembakau alternatif dan rokok konvensional merupakan produk yang berbeda. Mengacu kepada penelitian produk tembakau alternatif Risk Assessment of E-Liquid dan Oral Health Findings yang dilakukan oleh Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), produk dari hasil pengembangan inovasi teknologi yang termasuk pada tembakau alternatif tidak memiliki kandungan zat berbahaya seperti TAR, sehingga produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.[8] Penelitian ini diperkuat dengan kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England pada tahun 2018 dan German Federal Institute for Risk Assessment yang mana dalam publikasi hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, menjelaskan produk tembakau yang dipanaskan menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran, sehingga hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok.[9]

Dengan adanya penelitian ilmiah mengenai tembakau alternatif, diharapkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya melakukan kajian yang lebih serius mengenai hal ini agar dapat merancang regulasi-regulasi yang sesuai dan penggunaan produk tembakau alternatif menjadi tepat sasaran. Di negara lain, seperti Jepang, Inggris dan Selandia Baru, tembakau alternatif sudah memiliki legalitas . Melansir Antaranews.com, Professor Tikki Pangestu, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menjelaskan produk tembakau alternatif di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya.[10] Badan Statistik Inggris mencatat angka perokok mengalami penurunan dari 14,4% pada 2018 menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019.[11]

Di Indonesia, pengaturan mengenai tembakau alternatif hanya diatur dalam Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan regulasi yang komprehensif dan menyeluruh untuk mengatur industri tembakau alternatif. Regulasi tersebut harus memuat hal-hal yang mengatur mengenai perlindungan hak konsumen, klasifikasi risiko tembakau alternatif berdasarkan kajian ilmiah yang melibatkan pemerintah, produsen, konsumen hingga praktisi kesehatan. Perlu juga diatur mengenai akses informasi dan pengaduan konsumen, standar produk dan pengemasan, penjualan, promosi, tempat dimana produk bisa dikonsumsi, serta batasan usia pengguna tembakau alternatif. Regulasi tembakau alternatif juga harus berbeda dengan regulasi rokok konvensional, karena tingkat bahaya kedua produk berbeda sehingga konsumen berhak atas informasi yang akurat.[12]

Dasar Hukum :

  • Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi :

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.

“Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.


[1] Muhammad Ghufron Ariawan. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses 07 Oktober 2022.

[2] Ibid.

[3] “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2/06/2021,https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Accessed 07 Oktober 2022.

[4] “62 Negara Terapkan Peraturan Produk Tembakau Alternatif.” JawaPos.com, 27 November 2018,https://www.jawapos.com/jpg-today/27/11/2018/62-negara-terapkan-peraturan-produk-tembakau-alternatif-2/. Diakses 7 Oktober 2022.

[5] Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021,https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.

[6] Pasal 1 Angka 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

[7] Vania Rossa dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.

[8] “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/.Diakses 8 Oktober 2022.

[9] Ibid.

[10] Ganet Dirgantoro dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Accessed 9 Oktober 2022

[11] Ibid.

[12] Banu Adikara, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.

Dasar Hukum:
Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi:

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.
  • “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.
0

Penerapan Perlindungan Hukum melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Alexandra Hartono Lee

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi  pada hari Selasa, 22 September 2022. Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) menyebut bahwa peraturan ini akan menjadi era baru dalam tata kelola data pribadi di dalam negeri, khususnya di ranah digital.[1] Dalam Rapat Paripurna tersebut, Menkominfo menjelaskan bahwa kehadiran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi  diartikan sebagai kehadiran negara dalam perlindungan data pribadi khususnya di ranah digital, serta sebagai payung hukum yang komprehensif yang berorientasi ke depan dari sisi hukum, karena mengenai data pribadi jika disebarkan pasti ada yang meng-copy atau menyimpan informasi tersebut. Sehingga meskipun telah diblokir, jejaknya pasti tetap tersimpan dan dapat diketahui masyarakat.[2] Berkaitan dengan perlindungan data pribadi ini telah diterangkan pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) yang berbunyi:

“Pasal 28 G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlidungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 28 H

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Mengenai perlindungan terhadap hak-hak pribadi atau hak privat akan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, meningkatkan hubungan antara individu dan masyarakatnya, meningkatkan kemandirian atau otonomi untuk melakukan kontrol dan mendapatkan kepantasan, serta meningkatkan toleransi dan menjauhkan dari perlakuan diskriminasi maka perlu adanya peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan menjamin untuk melindungi warga negaranya dengan memiliki regulasi.[3] Saat ini Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi berbentuk draf final naskah rancangan undang-undang, mengenai data pribadi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, menyatakan:

“Pasal 1

  1. Data Pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang
    teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan/atau nonelektronik”.

Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi:[4]

  1. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi akan mengatur tentang kategorisasi data. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi membedakan data pribadi menjadi data pribadi yang bersifat umum dan yang bersifat spesifik. Data umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan/atau data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang. Sedangkan data spesifik meliputi data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Hak-hak subjek data, termasuk mendapatkan kejelasan identitas dan dasar kepentingan hukum, mendapatkan akses dan memperoleh salinan data pribadi, menarik kembali persetujuan pemrosesan data, menunda atau membatasi pemrosesan data pribadi, mengajukan keberatan atas penggunaan data pribadi, dan menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data;
  3. Kewajiban pengendali data, di antaranya menunjukkan bukti persetujuan dari subjek data, melakukan perekaman kegiatan pemrosesan data pribadi, melindungi dan memastikan keamanan data pribadi, dan menyampaikan legalitas, tujuan, dan relevansi pemrosesan data pribadi.
  4. Adanya lembaga perlindungan yang bertugas untuk melaksanakan perumusan dan penetapan kebijakan serta strategi perlindungan data pribadi. Kewenangan lembaga ini meliputi merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang perlindungan data pribadi, melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pengendali data pribadi, hingga menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran Perlindungan Data Pribadi.

Terhadap pihak-pihak yang melanggar serta melakukan peretasan, pembocoran dan pemalsu data pribadi maka akan mendapatkan sanksi yang mana diatur dalam Pasal 61 Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang menyatakan:

“Pasal 61

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dapat mengakibatkan kerugian Pemilik Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah)”.

Selain sanksi pidana terdapat juga pengenaan sanksi administratif terhadap pengendali data pribadi (perorangan, badan publik, dan organisasi internasional) yang tidak memenuhi kewajibannya dalam mengendalikan pemrosesan data pribadi, dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi, penghapusan atau pemusnahan Data Pribadi, dan/atau denda administratif paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari pendapatan tahunan terhadap variabel pelanggaran.[5]

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, diharapkan industri menjadi terdorong untuk menaikkan standar perlindungan data pribadinya dalam mengembangkan teknologi yang baru dalam rangka menghormati hak asasi manusia akan privasi data. Perlindungan data pribadi dalam menjamin keamanan data pribadi sebagai pemenuhan hak atas privasi masyarakat Indonesia saat ini belum berjalan maksimal, hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pelanggaran terhadap penyalahgunaan data pribadi akibat dari semakin berkembangnya penggunaan digital platform yang tidak disertai dengan perlindungan hukum yang memadai. Maka dari itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diharapkan untuk mengisi adanya kekosongan hukum terkait dengan perlindungan data pribadi. Karena perlindungan hukum terhadap keamanan data pribadi merupakan kewajiban konstitusi perwujudan perlindungan negara atas pemenuhan hak privasi warga negaranya.

Dasar Hukum:

Undang-Undang 1945

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

Referensi:

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi & Konvergensi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010.


https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220920112647-37-373510/tok-indonesia-resmi-punya-uu-perlindungan-data-pribadi

https://aptika.kominfo.go.id/2019/09/ruu-perlindungan-data-pribadi-untuk-antisipasi-penyalahgunaan-data/

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi: Regulasi & Konvergensi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 4

https://nasional.tempo.co/read/1637212/inilah-4-poin-penting-undang-undang-pelindungan-data-pribadi-uu-pdp

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220921084636-192-850574/5-poin-penting-uu-pdp-jerat-lembaga-lalai-hingga-hak-hapus-data

1 2 3 27
Translate