0

Eksistensi News Aggregator terhadap Perusahaan Media

Author: Fitriyani Wospakrik; Co-Author: Andreas Simanjorang

News aggregator adalah pengumpul berita, atau secara lengkap sebagai pengumpul berita, yang dianggap menarik atau sesuai kriteria khusus dari berbagai situs berita dan kemudian menyebarluaskannya di bawah label perusahaan dari pengumpul berita tersebut.[1]

Tak jarang news aggregator ini merusak algoritma internet yang mana dapat merusak engagement perusahaan media penerbit media. Tidak sedikit perusahaan media yang menggantungkan diri kepada algoritma internet agar konsumen dapat dengan segera mengakses berita yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut. Algoritma di internet yang terkena dampak news aggregator tersebut dapat merugikan perusahaan media penerbit berita

Selain itu, terdapat perusahaan-perusahaan news aggregator yang melakukan komersialisasi terhadap berita-berita yang dikumpulkan dari berbagai media digital melalui sarana iklan yang disediakan olehnya.

Oleh karena itu, permasalahan yang timbul adalah:

  1. Apakah berita yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit media dapat dikenakan hak cipta?
  2. Apakah news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum?
  3. Bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perusahaan media yang beritanya dikumpulkan oleh news aggregator

Pengenaan Hak Cipta terhadap Berita

Pengaturan mengenai hak cipta termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pada dasarnya, UU Hak Cipta membatasi berita sebagai yang tidak dikenakan oleh ketentuan perlindungan hak cipta, namun terbatas hanya kepada berita aktual, yaitu berita yang diumumkan dalam waktu 3×24 jam sejak pertama kali diumumkan kepada khalayak publik.[2] Bagaimana dengan berita yang dikemas dalam bentuk tulisan?

Dari Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta yang memuat Ciptaan Yang Dilindungi oleh Hak Cipta,  didapatilah 1 point yang dapat menjadi unsur dalam berita tertulis, yaitu “hasil karya tulis lainnya” (sesuai huruf a). Apakah hasil karya tulis lainnya dapat dianggap sebagai bagain dari berita tertulis? Jika dilihat dalam UU Hak Cipta, “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Pasal 18 UU Hak Cipta. Adapun penjelasan mengenai “hasil karya tulis lainnya” termuat dalam Penjelasan Pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut “Yang dimaksud dengan “hasil karya tulis lainnya” antara Iain naskah kumpulan puisi, kamus umum, dan Harian umum surat kabar…” Dengan demikian dapatlah dikatakan berita tertulis sebagai objek hak cipta.[3]

Indikasi Perbuatan Melawan Hukum oleh News Aggregator.

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad/tort) diatur secara umum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dari Pasal 1365 KUH Perdata maka dapat didapat 4 kriteria: yaitu adanya perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.

Karena dalam permasalahan ini adalah mengenai hak cipta dari berita, maka secara khusus unsur perbuatan melawan hukum akan ditinjau dari UU Hak Cipta.

Pada umumnya, Pasal 44 ayat (1) huruf UU Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau perubahan suatu ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta maupun pemegang Hak Cipta. Bagaimana dengan news aggregator? Secara sepintas, news aggregator tidak dapat dianggap melanggar hak cipta, karena pada dasarnya news aggregator tidak mengubah substansi berita, dan dalam mengumpulkan berita juga menyebutkan sumber darimana ia mendapatkan berita tersebut. Karena itu, maka yang jadi perhatian adalah apakah perbuatannya merugikan atau tidak. Jika merugikan, maka news aggregator dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum hak cipta.

Perlindungan Hukum bagi Perusahaan Media yang Beritanya dikumpulkan oleh News Aggregator.

Upaya perlindungan hukum yang dapat diandalkan oleh perusahaan media salah satunya adalah dengan mengandalkan penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 UU Hak Cipta dan menggugat ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96 UU Hak Cipta. Mengandalkan UU Hak Cipta dapatlah dilakukan apabila perusahaan media dapat dengan jelas menyatakan bahwa berita yang dihasilkan dapat dilindungi oleh hak cipta, sehingga dapat menjadi objek perlindungan hak cipta.

Selain itu, apabila UU Hak Cipta tidak dapat digunakan, alangkah baiknya apabila terdapat regulasi yang bersifat lex specialis yang mengatur mengenai aggregator, yang mana salah satu ketentuan di dalam beleid ini adalah kewajiban bagi news aggregator untuk memberikan royalti terhadap engagement yang timbul dari berita yang diunggah di dalam situs news aggregator tersebut kepada penerbit yang menerbitkan berita tersebut. Beleid ini menjadi hal yang penting sebab pada dasarnya terdapat kekosongan hukum dalam mengatur news aggregator, mengingat news aggregator adalah suatu terobosan baru yang mana lahir karena adanya perkembangan zaman. Diharapkan beleid itu dapat menjadi dasar hukum yang memberikan kepastian hukum bagi perusahaan media dengan news aggregator, mengatur news aggregator serta memberikan perlindungan hukum bagi perusahaan media yang hak-haknya dirugikan dengan adanya kehadiran news aggregator tersebut.

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

Rohman Budijanto, Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf


[1] Ringkasan Pertanggungjawaban Pidana Media Siber di Era Kebebasan informasi, xviii, lihat dari https://repository.unair.ac.id/96670/2/2.%20ABSTRACT.pdf

[2] Lihat pada Pasal 43 huruf b UU Hak Cipta dan Penjelasannya

[3] Lihat lebih lanjut pada Muhammad Supri, dkk, Perlindungan Hak Cipta Berita Online Terhadap Agregator Berita, Amanna Gappa, Vol. 27 No. 1 Maret 2019, hlm. 33

0

How Predatory Pricing is Regulated in Indonesia

Author: Rizki Haryo; Co-author: Ananta Mahatyanto

Penjelasan tentang Predatory Pricing

Predatory pricing atau bias disebut juga monopoli harga adalah tindakan suatu perusahaan menetapkan harga di bawah biaya produksi dengan maksud menyingkirkan pesaing. Tujuan utama dari predatory pricing adalah untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan. Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa memberlakukan/melakukan predatory pricing. Pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”


Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Konsep Predatory Pricing

Penetapan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Hal tersebut tidak berlaku bagi:

  1. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan;
  2. Suatu perjanjian yang didasarkan undangundang yang berlaku.

Perbedaan harga

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk

barang dan atau jasa yang sama. Larangan membuat perjanjian untuk tidak menjual/ memasok kembali dengan harga yang lebih rendah dari yang diperjanjikan (pasal 8 UU no.5 tahun 1999)

Rule Of Reason

Pada pasal 7 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan bahwa pelaku usaha diperbolehkan melakukan perbuatan jual rugi tapi dengan syarat perbuatan jual rugi tersebut tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Perbuatan jual rugi ini dapat dirumuskan dalam Rule of Reason.

Rule of Reason adalah suatu perilaku yang dilarang harus dapat dibuktikan telah mengakibatkan salah satu atau beberapa unsur performansi industri/sektor menurun, misalnya menurunnya kesejahteraan rakyat/ konsumen, efisiensi atau mengurangi persaingan (lessening competition). Rule of Reason hanya dapat dilakukan oleh lembaga otoritas dengan pendekatan untuk membuat evaluasi mengenai perjanjian atau kegiatan jual rugi tersebut dan menarik kesimpulan apakah perbuatan jual rugi bersifat menghambat atau mendukung persaingan antara pelaku usaha.

Hubungan Pasal 5 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999

Apabila para pihak yang membuat perjanjian merupakan pesaing aktual atau potensial dan mereka menetapkan harga untuk barang dan jasa yang berada di pasar bersangkutan faktual yang sama, maka diterapkan Pasal 5 Ayat 1. Namun, apabila pihak-pihak terkait bukan pesaing, maka terhadap perjanjian harga minimum yang berdiri sendiri hanya berlaku Pasal 8. Perincian-perincian lain tidak dapat disesuaikan dengan rumusan Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999. Suatu hubungan khusus antara perjanjian dengan hubungan persaingan usaha antara para pihak-pihak anggota kartel tidak mempengaruhi Pasal 5 Ayat 1 UU No 5 Tahun 1999. Apabila pihak-pihak terkait menjadi pesaing usaha aktual ataupun potensial, maka ini merupakan bukti secukupnya bahwa perjanjian yang dibuat juga meliputi persaingan usaha tersebut. Standard yang diikuti oleh Pasal

5 Ayat 1 UU 5 Tahun 1999 sudah melarang perjanjian harga antar pesaing usaha. Larangan tersebut telah mencakup harga jual yang dibayar oleh penjual kembali maupun penetapan harga minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Sebagai larangan perjanjian yang horizontal berikutnya, maka Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999 tidak diperlukan lagi dan bahkan menjadi kontradiktif karena Pasal 5 Ayat 1 UU no 5 Tahun 1999 menetukan larangan harga, sedangkan pasal 8 UU no 5 Tahun 1999 hanya memuat larangan penyalahgunaan yang dimodifikasi.

Kedua ketentuan tersebut yaitu pasal 5 dan 8 UU no.5 tahun 1999 menjangkau persaingan dengan pesaing usaha. jika di bandingkan, Pasal 8 UU no.5 tahun 1999 hanya menunjukan perjanjian antar pelaku usaha. Bagian kedua UU no 5 Tahun 1999 ingin menggabungkan semua jenis penetapan harga. Jadi unsur sistematik penggabung Pasal 5-8 UU no 5 Tahun 1999, bukan ketentuan perjanjian horizontal melainkan perjanjian harga.

Tata Cara Penanganan Perkara

Pada pasal 38 ayat 1 UU no.5 tahun 1999 di jelaskan bahwa setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap UU no.5 tahun 1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi Pengawasan Pelaku Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Berdasarkan Ayat 2 Pasal 38 tersebut pihak yang dirugikan juga dapat melaporkan tindakan tersebut dengan cara yang sama dengan ayat 1 pasal 38 dengan memaparkan kerugian yang timbulkan oleh pelaku, namun untuk identitas para pelapor akan dirahasiakan. Tata cara untuk pelaporan dijelaskan lebih lanjut oleh Komisi Pegawas Pelaku Usaha.

Pada pasal 39 UU no.5 tahun 1999 komisi mempunyai kewajiban melakukan pemeriksaan selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima laporan dari pelapor dan komisi wajib menetapkan ada atau tidaknya pemeriksaan lanjutan.

Namun pada pasal 40 tidak menutup kemungkinan bahwa komisi dapat memeriksa pelaku usaha karena adanya dugaan pelanggaran tanpa ada nya pelaporan dengan tata cara yang sama seperti di atas.

Pelaku usaha yang diperiksa oleh komisi wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan oleh komisi dalam penyelidikan dan pemeriksaan. Pelaku usaha juga dilarang menolak untuk diperiksa dan memberikan informasi yang diperlukan, juga dilarang menghambat proses penyelidikan atau pemeriksaan.

Adapun alat bukti yang dimaksud pada Pasal 42 merupakan:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat dan atau dokumen
  4. Petunjuk
  5. Keterangan pelaku usaha

Alur Pemeriksaan dan Proses Pengadilan

Pada pasal 43 komisi menyelesaikan pemeriksaan lanjut selambatnya 60 hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan, namun apabila diperlukan perpanjangan waktu, paling lama adalah 30 hari. Pemutusan telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha wajib dilakukan oleh komisi selambatnya 30 hari setelah selesainya pemeriksaan lanjutan tersebut dan putusan tersebut di bacakan di persidangan terbuka untuk umum.

Setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dalam kurun waktu 30 hari pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan pelaksanaannya kepada komisi. Pelaku usaha juga dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambatnya 14 hari setelah menerima putusan tersebut. Apabila tidak mengajukan keberatan maka pelaku usaha dianggap menerima putusan tersebut.

Terkait dengan putusan yang tidak dilakukan oleh pelaku usaha, maka Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal tersebut menjadi bukti permulaan yang cukup untuk penyidikan.

Sanksi pelanggaran

Pada pasal 47 komisi berwenang memberi sanksi tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar, tindakan tersebut merupakan:

  1. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
  2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
  3. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
  4. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
  5. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
  6. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
  7. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Ketentuan-Ketentuan Pidana

Dalam UU no.5 tahun 1999 di tentukan nya untuk sanksi pidana terhadap pelaku yang dimana pada pasal 48:

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah- rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 6 (enam) bulan.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 3 (tiga) bulan.

Dan adanya pidana tambahan yang merujuk pada pasal 10 KUHP untuk sanksi tersebut berupa:

  1. Pencabutan izin usaha; atau
  2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undan ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
  3. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Explanation of Predatory Pricing

 Predatory pricing or also known as monopoly pricing is the action of a company setting prices below production costs with the intention of getting rid of competitors. The main objective of predatory pricing is to remove competing business actors from the market and also prevent business actors who have the potential to become competitors from entering the same market.  As soon as they succeed in getting a competing business actor out of the market and delaying the entry of a new business actor, then the business actor can then increase the price again and maximize profits.  To be able to carry out such actions, the business actor must have a large market share and the profits to be obtained can cover the losses suffered during the period of implementing/performing predatory pricing.  Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition states:

 “Business actors are prohibited from supplying goods and or services by selling at a loss or setting very low prices with the intention of getting rid of or ascertaining the business of their competitors in the relevant market so as to result in monopolistic practices and or unfair business competition.”

Article 20 of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition

Predatory Pricing Concept

Pricing

Business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to determine the price for goods and or services that must be paid by consumers or customers in the same relevant market.

 This does not apply to:

  1. An agreement entered into in a joint venture;
  2. An agreement based on the applicable law.

Price differences

Business actors are prohibited from entering into agreements that result in one buyer having to pay a price different from the price paid by another buyer for the same goods and or services.  Prohibition of making an agreement not to sell/resupply at a lower price than agreed (article 8 of Law no. 5 of 1999)

Rule Of Reason

 In Article 7 of Law No. 5/1999, business actors are prohibited from entering into agreements with competing business actors to set prices below the market price, which may result in unfair business competition.  It can be said that business actors are allowed to carry out selling at a loss but on the condition that the act of selling at a loss does not result in unfair business competition.  This act of selling at a loss can be formulated in the Rule of Reason.

 Rule of Reason is a prohibited behavior that must be proven to have resulted in one or several elements of industry/sector performance declining, for example decreasing people’s/consumer welfare, efficiency or reducing competition (lessening competition).  The Rule of Reason can only be carried out by an authorized institution with an approach to evaluate the agreement or sale and loss activity and draw a conclusion whether the act of selling and losing is hindering or supporting competition between business actors.

Relation between Article 5 and Article 8 of Law No. 5 of 1999

 If the parties to the agreement are actual or potential competitors and they set prices for goods and services in the relevant market which are factually the same, then Article 5 Paragraph 1. However, if the parties concerned are not competitors, then the minimum price agreement is  which stands alone only applies Article 8. Other details cannot be adjusted to the formulation of Article 5 Paragraph 1 and Article 8 of Law No. 5 of 1999. A special relationship between the agreement and the business competition relationship between the parties who are cartel members does not affect Article 5  Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999. If the related parties become actual or potential business competitors, then this is sufficient evidence that the agreement made also includes such business competition.  The standard which is followed by Article 5 Paragraph 1 of Law 5 of 1999 already prohibits price agreements between business competitors.  The prohibition includes the selling price paid by the re-seller as well as the determination of the minimum price that may be requested by the re-seller.  As the next horizontal agreement prohibition, Article 8 of Law No. 5 of 1999 is no longer needed and even becomes contradictory because Article 5 Paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 stipulates a prohibition on prices, while Article 8 of Law No. 5 of 1999 only contains a modified prohibition of abuse.

The two provisions, namely Articles 5 and 8 of Law No. 5/1999, cover competition with business competitors.  in comparison, Article 8 of Law no. 5 of 1999 only shows an agreement between business actors.  The second part of Law No. 5/1999 wants to incorporate all types of pricing.  So the systematic element of combining Articles 5-8 of Law No. 5 of 1999, is not a provision for a horizontal agreement but a price agreement.

Procedure for Handling Cases

Article 38 paragraph 1 of Law No. 5 of 1999 explains that anyone who knows that there has been or is reasonably suspected of having violated Law No. 5 of 1999 can report in writing to the Business Actor Supervision Commission with clear information about the occurrence of a violation.  , by including the identity of the reporter.  Based on paragraph 2 of article 38, the aggrieved party can also report the action in the same way as paragraph 1 of article 38 by describing the loss caused by the perpetrator, but the identity of the complainant will be kept confidential.  The procedure for reporting is further explained by the Business Actor Supervisory Commission.

 In Article 39 of Law No. 5 of 1999, the commission has the obligation to carry out an examination no later than 30 days after receiving the report from the reporter and the commission is obliged to determine whether or not there is a follow-up examination.

 However, Article 40 does not rule out the possibility that the commission may examine business actors for alleged violations without reporting in the same manner as above.

 Business actors examined by the commission are required to submit evidence required by the commission in the investigation and examination.  Business actors are also prohibited from refusing to be examined and providing the necessary information, nor are they prohibited from obstructing the investigation or examination process.

 The evidence referred to in Article 42 is:

  1. Witness testimony
  2. Expert description
  3. Letters and or documents
  4. Instruction
  5. Description of business actors

Examination Flow and Court Process

 In Article 43, the commission completes a follow-up examination no later than 60 days after the follow-up examination is carried out, but if an extension of time is required, the maximum is 30 days.  The decision that a violation has occurred committed by a business actor must be made by the commission no later than 30 days after the completion of the follow-up examination and the decision is read out in court open to the public.

 After receiving notification of the decision within 30 days, the business actor is obliged to implement the decision and submit its implementation to the commission.  Business actors can also file an objection to the district court no later than 14 days after receiving the decision.  If they do not file an objection, the business actor is deemed to have accepted the decision.

 Regarding decisions that are not made by business actors, the Commission submits the decision to investigators for investigation in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations and this is sufficient preliminary evidence for investigation.

Violation sanction

 In Article 47, the commission is authorized to sanction administrative actions against business actors who violate them, these actions are:

  1. determination of the cancellation of the agreement as referred to in Article 4 to Article 13, Article 15, and Article 16;  and or
  2. orders to business actors to stop vertical integration as referred to in Article 14;  and or
  3. orders to business actors to stop activities that are proven to cause monopolistic practices and or cause unfair business competition and or harm the public;  and or
  4. orders to business actors to stop abuse of dominant position;  and or
  5. stipulation of cancellation of merger or consolidation of business entities and acquisition of shares as referred to in Article 28;  and or
  6. determination of compensation payment;  and or
  7. imposition of a fine of a minimum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah).

 Criminal Provisions

In Law no. 5 of 1999, it is stipulated that criminal sanctions against perpetrators are stipulated in article 48:

  1. Violation of the provisions of Article 4, Article 9 to Article 14, Article 16 to Article 19, Article 25, Article 27, and Article 28 is subject to a minimum fine of Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah)  and a maximum of Rp. 100,000,000,000.00 (one hundred billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 6 (six) months.
  2. Violation of the provisions of Article 5 to Article 8, Article 15, Article 20 to Article 24, and Article 26 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah) and a maximum of Rp.  Rp. 25,000,000,000.00 (twenty five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a maximum of 5 (five) months.
  3. Violation of the provisions of Article 41 of this Law is punishable by a minimum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) and a maximum of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah), or imprisonment in lieu of a fine for a period of time.  – a period of 3 (three) months.

 And there are additional penalties that refer to Article 10 of the Criminal Code for these sanctions in the form of:

  1. revocation of business license;  or
  2. prohibition for business actors who have been proven to have violated this law from serving as directors or commissioners for a minimum of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years;  or
  3. cessation of certain activities or actions that cause harm to others.

0

Sanksi Terhadap Shooting Film yang Tidak Memiliki Izin

Monday, 3rd January 2022

Author: Ananta Mahatyanto; Co-Author: Joshua Bernando

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Dalam menyelenggarakan suatu kegiatan usaha khususnya di bidang komersial, maka izin usaha adalah hal yang diperlukan oleh pelaku usaha agar bisa melanjutkan kegiatan usahanya, melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Prosedur-prosedur yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut juga merupakan langkah yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin secara legal yang dicatatkan oleh Pemerintah, sekaligus memiliki manfaat sebagai sarana perlindungan hukum. Seperti contoh, apabila pelaku usaha perfilman ingin melakukan usaha pembuatan film, melalui proses shooting film dan penyiaran, maka harus melakukan proses perizinan dan mendapatkan izin dari pihak yang mempunyai kewenangan dalam hal tersebut.

Memperoleh izin tersebut harus mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku, dan izin tersebut harus sudah didapatkan sebelum shooting dilaksanakan. Izin biasanya diperlukan apabila pelaku usaha film menggunakan tempat umum, dan bukti pemberian izin oleh pihak yang berwenang biasanya berbentuk surat yang berisi perihal dan tanda tangan oleh pihak yang berwenang (dalam bentuk tulisan).

Selain itu, permintaan izin juga merupakan bagian dari etika yang berkaitan dengan moral, dimana etika merupakan unsur yang diterapkan dalam kode etik profesi pelaku usaha perfilman memiliki kode etik yang harus dipatuhi.

Mengacu pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menjelaskan bahwa pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film dalam hal ini harus didahului menyampaikan pemberitahuan film kepada Menteri, dengan disertai dengan judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Serta dijelaskan pada Pasal 18 ayat (1) & ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa Pelaku Usaha pembuatan film yang akan membuat film wajib memiliki Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF) dimana TPPF tersebut harus meliputi : 

  1. nama pemilik hak cipta atas film yang dibuat; 
  2. judul film; 
  3. isi cerita/sinopsis dalam bahasa Indonesia; 
  4. nama produser, sutradara, dan penulis; dan 
  5. jadwal dan lokasi pembuatan film. [2]

Apabila tidak terpenuhinya izin lokasi atau izin tidak diberikan oleh pihak yang berwenang pada tempat/lokasi tersebut, maka dapat dikatakan tidak terpenuhinya syarat untuk memperoleh izin pembuatan film melalui Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film (TPPF).

Selain itu, mengacu pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan, dinyatakan bahwa: 

“ Pasal 6

  • Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor kebudayaan, dikenai sanksi administratif. 
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    • teguran tertulis; 
    • denda administratif; 
    • penutupan sementara; 
    • pengenaan daya paksa polisional; dan/atau 
    • pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha. [3]

Pada Pasal 5 jo. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dijelaskan bahwa kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Yang dimaksud menjunjung tinggi adalah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan.

Terkait dengan proses shooting izin dan terdapat pelanggaran etika dan moral yang dilakukan oleh rumah produksi, maka film tersebut tidak boleh ditayangkan atau disiarkan terkait dengan pelanggaran kode etik penyiaran yang harus dipatuhi oleh stasiun televisi, tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran : 

“(1) Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan etika profesi yang dimiliki oleh profesi tertentu yang ditampilkan dalam isi siaran agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif di masyarakat.”[4]

 Berkaitan dengan kewenangan KPI pada Pasal 8 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjelaskan bahwa KPI dalam menjalankan fungsinya mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program penyiaran. [5]

Pemenuhan syarat dalam perizinan suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pelaku usaha perfilman, perlu dilakukan untuk dalam hal melaksanakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi, pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenai sanksi yang bersifat administratif hingga pembubaran/pencabutan perizinan berusaha.

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
  3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
  4. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Perizinan Berusaha Sektor Kebudayaan
  5. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

Legal Basis: Law Number 33 of 2009 concerning Film

In carrying out a business activity, especially in the commercial sector, a business license is something that is needed by business actors in order to be able to continue their business activities, through procedures that have been determined by the Government. The procedures that must be met by business actors are also steps that must be fulfilled to obtain a license legally registered by the Government, as well as having benefits as a means of legal protection. For example, if a film business actor wants to do a film-making business, through the film shooting and broadcasting process, then they must carry out a licensing process and get permission from the party who has the authority in this regard.

Obtaining the permit must follow the applicable procedures, and the permit must be obtained before shooting is carried out. Permits are usually required if the film business actor uses a public place, and evidence of granting a permit by the competent authority is usually in the form of a letter containing the subject matter and signature by the authorized party (in writing).

Aside from that, the request for permission is also part of ethics related to morals, where ethics is an element that is applied in the professional code of ethics for film business actors who have a code of ethics that must be obeyed.

Referring to Article 17 paragraph (1) of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that filmmaking by film-making business actors in this case must be preceded by submitting a film notification to the Minister, accompanied by the title of the film, the content of the story, and the plan for making the film. As well as explained in Article 18 paragraph (1) & paragraph (3) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector, it is explained that filmmaking Business Actors who will make films are required to have a Film Making Notification Sign (TPPF) where the TPPF must include:

  1. the name of the copyright owner for the film made;
  2. movie title;
  3. the content of the story/synopsis in Indonesian;
  4. names of producers, directors and writers; and
  5. filming schedule and location

If the location permit is not fulfilled or the permit is not granted by the competent authority at the place/location, it can be said that the requirements for obtaining a filmmaking permit are not met through the Film Making Notification Sign (TPPF).

Aside from that, referring to Article 6 paragraph (1) and paragraph (2) of the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector, it is stated that:

” Article 6

  • Every Business Actor, based on the results of Supervision found a discrepancy or violation of the Business Licensing in the cultural sector, is subject to administrative sanctions.
  • The administrative sanctions as referred to in paragraph (1) are in the form of:
    • written warning; 
    • administrative fines; 
    • temporary closure; 
    • the imposition of police coercion; and/or
    • dissolution or revocation of Business License.“

In Article 5 jo. Elucidation of Article 5 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, it is explained that film activities and film business are carried out based on freedom to be creative, innovate, and work by upholding religious values, ethics, morals, decency, and national culture. What is meant by upholding is that it must be in line and must not be contradictory.

Related to the shooting permit process and there are ethical and moral violations committed by the production house, the film may not be shown or broadcast related to violations of the broadcasting code of ethics that must be obeyed by television stations, as stated in Article 10 paragraph (1) of the Indonesian Broadcasting Commission Regulation. Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct:

“(1) Broadcasting institutions are required to pay attention to the professional ethics of certain professions that are displayed in broadcast content so as not to harm and cause negative impacts in society.”

In relation to the authority of KPI in Article 8 paragraph (2) letter d of Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting which explains that KPI in carrying out its functions has the authority to provide sanctions for violations of regulations and guidelines for broadcasting behavior as well as broadcasting program standards.

Fulfillment of requirements in licensing a business activity carried out by business actors, in this case film business actors, needs to be carried out in order to carry out legal obligations that must be fulfilled, business actors who do not have permits may be subject to administrative sanctions up to the dissolution/revocation of business licenses.

Legal Basis :

  1. Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting
  2. Law Number 33 of 2009 concerning Film
  3. Regulation of the Minister of Education and Culture Number 25 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing in the Education and Culture Sector
  4. Minister of Education Regulation Number 11 of 2021 concerning Procedures for Imposing Administrative Sanctions for Violations of Business Licensing in the Cultural Sector
  5. Regulation of the Indonesian Broadcasting Commission Number 01/P/KPI/03/2012 concerning Guidelines for Broadcasting Conduct
0

The New Renewable Energy Infrastructure in Indonesia

Author: Rizki Haryo; Co-author: Ananta Mahatyanto

Legal basis:

  1. PERMEN PUPR 2/2021
  2. Law 11/2020 on Job Creation
  3. Law 30/2007 on Energy

Merujuk pada Pasal 1 Ayat 3 Permen PUPR 2/2021 infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik. 

Secara umum, arti infrastruktur seringkali dikaitkan struktur fasilitas dasar untuk kepentingan umum. Beberapa contoh infrastruktur dalam bentuk fisik antara lain jalan, jalan tol, stadion, jembatan, konstruksi bangunan, jaringan listrik, bendungan, dan sebagainya. Selain itu, arti infrastruktur tak hanya soal fisik. Adapun infrastruktur yang berupa fasilitas non-fisik adalah pelayanan publik.

Namun demikian, secara umum infrastruktur terbagi dalam beberapa kelompok antara lain infrastruktur air, infrastruktur transportasi, infrastruktur energi, infrastruktur bangunan, infrastruktur pengelolaan limbah. Di Indonesia, pembangunan dan perawatan infrastruktur publik banyak dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Di tingkat daerah, infrastruktur adalah dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum, baik kabupaten/kota maupun provinsi.

Beberapa kementerian/lembaga tingkat pusat juga menangani urusan infrastruktur tertentu sesuai dengan bidangnya antara lain Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, dan sebagainya. Namun demikian, dikarenakan pemerintah seringkali mengalami keterbatasan dana APBN/APBD, infrastruktur seringkali dibangun dengan skema kerja sama dengan pihak swasta dan BUMN, seperti yang banyak ditemui dalam pembangunan jalan tol. 

Penjelasan Energi Baru Terbarukan

Energi terbarukan merupakan sebuah sumber energi yang berasal dari alam yang mampu digunakan dengan bebas, mampu diperbarui terus-menerus, serta tak terbatas. Berikut ini pengertian energi terbarukan, lengkap dengan jenis, sumber dan manfaatnya:

Energi terbarukan mampu diciptakan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang semakin canggih, sehingga mampu menjadi sumber energi alternatif.

Penggunaan sumber energi yang semakin meningkat membuat manusia untuk menemukan opsi lainnya dari sumber energi yang ada sekarang ini.  Adapun jenis-jenis energi terbarukan yaitu sebagai berikut:

  • Tenaga surya

Jenis energi yang satu ini berasal dari proses penangkapan energi radiasi tenaga surya atau sinar matahari, kemudian mengubahnya menjadi listrik, panas, atau air panas.

Untuk mendapatkan aliran listrik, panas matahari akan diserap menggunakan solar panel (panel surya) kemudian mengubahnya menjadi tenaga listrik.

  • Energi angin

Angin merupakan udara bergerak. Penggunaan angin sebagai sumber energi sudah berlangsung lama. Contohnya di Belanda, angin dimanfaatkan untuk menggerakan kincir yang berfungsi sebagai sumber alat pengolah biji-bijian.

Sekarang ini, listrik juga mampu menghasilkan tenaga listrik dengan memanfaatkan turbin. Turbin ini yang berguna untuk menggerakan generator yang membangkitkan listrik.

  • Energi pasang surut

Energi ini diperoleh dari hasil pasang surut air laut. Diketahui, energi jenis ini juga dimanfaatkan di pantai timur Amerika dan Eropa. Turbin yang dipasang di tepi laut membantu mengubah energi dari pasang surut air laut menjadi energi mekanik untuk menggiling gandum.

  • Energi Ombak

Energi jenis ini digunakan untuk membangkitkan listrik. Hanya saja, untuk mengembangkan energi ombak ini membutuhkan infrastruktur dengan jumlah biaya yang relatif mahal. pemanfaatan energi pada ombak untuk menggerakan generator pembangkit listrik. Saat diletakkan di permukaan laut alat ini akan mendapat tekanan dari permukaan gelombang laut yang naik. Akibatnya udara di sekitar alat akan terdorong masuk ke dalam alat.

  • Energi panas laut

Air laut memiliki perbedaan temperatur yang mana bagian dalam air laut terasa dingin dan bagian permukaan air laut terasa panas karena terkena sinar matahari.

Perbedaan temperatur ini yang dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik dengan menggunakan teknologi canggih.

Sumber Energi Terbarukan

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang dimaksud dengan energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan, yaitu dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Sumber energi saat ini berasal dari energi fosil dan energi terbarukan. Di Indonesia, masih banyak area potensial untuk mengembangkan energi terbarukan.

Penggunaan energi terbarukan mampu menyerap sumber daya serta investasi dimana manfaatnya bisa dirasakan hingga di masa mendatang. Berikut ini beberapa manfaat energi terbarukan yang perlu kamu tahu:

  • Meminimalisir efek pemanasan global
  • Sumber energi tak terbatas
  • Meningkatkan kesehatan masyarakat
  • Hemat sumber daya serta uang
  • Menciptakan lapangan kerja dan peluang

Pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan terus didorong pemanfaatannya. Di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik, pemanfaatannya juga dalam rangka menurunkan tingkat emisi CO2 dengan memberikan skema investasi yang menarik dan harga jual tenaga listrik yang lebih kompetitif. 

Dalam pertemuan G20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, serta COP 21 di Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dari level “business as usual” pada tahun 2030 atau 41% dengan bantuan internasional. 

Ketenagalistrikan

Menurut pasal 42 UU 11/2020 Cipta kerja yang merupakan perubahan dari Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2009 definisi ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. Tenaga listrik itu sendiri pada pasal 1 ayat 2  Undang-undang yang sama dijelaskan merupakan suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat.

Untuk usaha ketenagalistrikan terbagi menjadi 2 sesuai Pasal 8 UU 30/2009 yaitu;

  • Usaha penyediaan tenaga listrik; dan
  • Usaha penunjang tenaga listrik. 

Usaha penyediaan tenaga listrik pun juga terbagi menjadi 2 sesuai Pasal 9 UU 30/2009 yaitu;

  • Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan
  • Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. 

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliput jenis usaha:

  • Pembangkitan tenaga listrik;
  • Transmisi tenaga listrik; 
  • Distribusi tenaga listrik; dan/atau 
  • Penjualan tenaga listrik. 

Pada perubahan pasal 10-11 UU 30/2009 di UU 11/2020 menyebutkan bahwa usaha Penyediaan Tenaga listrik hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara, daerah, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan secara terintegrasi oleh 1 (satu) badan usaha di 1 (satu) wilayah usaha, dimana wilayah usaha tersebut ditentukan oleh pemerintah, mengenai pembatasan wilayah tersebut yang dilakukan oleh pemerintah, hal tersebut juga berlaku bagi badan usaha yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik. Namun demikian, untuk badan usaha milik negara mendapatkan prioritas pertama untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tersebut. Untuk semua jenis badan usaha tersebut diatas harus memperioritaskan untuk menggunakan produk-produk dan potensi dalam negri. 

Untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya dan juga harus mengutamakan pemakaian produk-produk dan potensi dalam negeri.

Pemegang perizinan untuk kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dalam melaksanakan usaha nya berhak untuk;

  • Melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun di bawah permukaan; 
  • Melintasi laut, baik di atas maupun di bawah permukaan; 
  • Melintasi jalan umum dan jalan kereta api; 
  • Masuk ke tempat umum atau perseorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu; 
  • Menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah; 
  • Melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan 
  • Memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.

Dalam pengaturannya, infrastruktur EBT mengacu kepada UU 30/2009 yang diubah pada UU 11/2020 yang mengatur tentang penyelenggaraan Ketenagalistrikan.

KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA

Skema kerja sama pemerintah dengan swasta dinamakan kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Menurut Pasal 1 Ayat 1 Permen PUPR 2/2021, kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau disebut sebagai KPBU adalah kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. 

Menurut Pasal 5 Perpres 38/2015, infratruktur yang dapat dikerja samakan antara lain adalah infrastruktur ekonomi. Infrastruktur ketenagalistrikan merupakan infrastruktur ekonomi, infrastruktur EBT itu sendiri merupakan ketenagalistrikan jadi untuk KPBU dapat di terapkan pada pembangunan infrastruktur EBT bedasarkan pasal tersebut.

SANKSI-SANKSI

Sanksi mengenai pelanggaran ketenagalistrikan diatur pada UU 11/2020 Cipta Kerja yang merupakan perubahan dari pasal 49 hingga pasal 54 UU 30/2009 Ketenagalistrikan 

Pasal 49

1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,0O (tiga miliar rupiah). 

2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 

3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 

Pasal 50 

1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan kematian seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda pating banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan kematian seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda pating banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 

3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik wajib memberi ganti rugi kepada korban. 

‘4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 

Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A sehingga berbunyi sebagai berikut: 

Pasal 51A 

Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang telah: 

  • Diberi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3); 
  • Masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum jaringan tenaga listrik; dan/atau 
  • Membahayakan keselamatan danlatau mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Pasal 54 

  • Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 
  • Dalam hal instalasi listrik rumah tangga masyarakat dioperasikan tanpa sertifikat laik operasi, dampak yang timbul akibat ketiadaan sertifikat laik operasi menjadi tanggung jawab penyedia tenaga listrik. 

Referring to Article 1 Paragraph 3 Permen PUPR 2/2021 infrastructure is the technical, physical, system, hardware, and software facilities needed to provide services to the community and support the structural network so that the economic and social growth of the community can run well.

In general, the meaning of infrastructure is often associated with the structure of basic facilities for the public interest.  Some examples of infrastructure in the physical form include roads, toll roads, stadiums, bridges, building construction, electricity networks, dams, and so on.  In addition, the meaning of infrastructure is not only a physical matter.  The infrastructure in the form of non-physical facilities is a public service.

 However, in general, infrastructure is divided into several groups, including water infrastructure, transportation infrastructure, energy infrastructure, building infrastructure, and waste management infrastructure.  In Indonesia, the development and maintenance of public infrastructure are mostly carried out by the Ministry of Public Works and Public Housing (PUPR).  At the regional level, infrastructure is managed by the Public Works Department, both district/city and provincial.

 Several ministries/agencies at the central level also handle certain infrastructure matters according to their fields, including the Ministry of Transportation, Ministry of SOEs, Ministry of Agriculture, and so on.  However, because the government often experiences limitations in APBN/APBD funds, infrastructure is often built in a cooperation scheme with the private sector and state-owned enterprises, as is often found in the construction of toll roads.

 Explanation of New Renewable Energy

 Renewable energy is an energy source that comes from nature that can be used freely, can be renewed continuously, and is unlimited.  The following is the definition of renewable energy, complete with types, sources and benefits:

 Renewable energy can be created by utilizing increasingly sophisticated technological developments so that it can become an alternative energy source.

 The increasing use of energy sources makes humans find other options from energy sources that exist today.  The types of renewable energy are as follows:

  • Solar power

This type of energy comes from the process of capturing solar radiation energy or sunlight, then converting it into electricity, heat, or hot water.

To get electricity, solar heat will be absorbed using a solar panel (solar panels) and then convert it into electric power.

  • Wind energy

Wind is moving air.  The use of wind as an energy source has been going on for a long time.  For example, in the Netherlands, the wind is used to drive a mill which functions as a source of grain processing equipment.

Currently, electricity is also capable of generating electrical power by utilizing turbines.  This turbine is useful for driving a generator that generates electricity.

  • Tidal energy

This energy is obtained from the tides of seawater.  It is known, this type of energy is also used on the east coast of America and Europe.  Turbines installed on the shores of the sea help convert energy from the tides into mechanical energy for grinding grain.

 • Wave Energy

 This type of energy is used to generate electricity.  However, to develop this wave energy requires infrastructure with a relatively high cost.  the use of energy in the waves to drive a generator for generating electricity.  When placed on the surface of the sea this tool will be under pressure from the surface of the rising sea waves.  As a result, the air around the tool will be pushed into the tool.

 • Ocean thermal energy

 Seawater has a temperature difference where the inside of the seawater feels cold and the surface of the seawater feels hot because it is exposed to sunlight.

 This temperature difference is used to produce electrical energy using advanced technology.

 Renewable Energy Source

 According to Law Number 30 of 2007 concerning Energy, what is meant by renewable energy is energy that comes from renewable energy sources, which is produced from sustainable energy resources if managed properly, including geothermal, wind, bioenergy, sunlight,  flow, and waterfalls, as well as movements and differences in sea layer temperature.

 Current energy sources come from fossil energy and renewable energy.  In Indonesia, there are still many potential areas for developing renewable energy.

The use of renewable energy is able to absorb resources and investments where the benefits can be felt in the future.  Here are some of the benefits of renewable energy that you need to know:

 • Minimize the effects of global warming

 • Unlimited energy sources

 • Improving public health

 • Save resources and money

 • Creating jobs and opportunities

 The development and utilization of new and renewable energy continue to be encouraged.  In addition to meeting the need for electricity, its use is also to reduce CO2 emission levels by providing attractive investment schemes and a more competitive selling price for electricity.

At the G20 meeting in Pittsburgh, Pennsylvania, United States, and COP 21 in Paris, Indonesia has committed to reducing greenhouse gas emissions by 29% from the “business as usual” level by 2030 or 41% with international assistance.

 Electricity

According to Article 42 of Law 11/2020 on job creation, which is a change from Article 1 paragraph 1 of Law number 30 of 2009 the definition of electricity is everything that concerns the supply and use of electric power and the business of supporting electricity.  Electric power itself in article 1 paragraph 2 of the same law is explained as a form of secondary energy that is generated, transmitted, and distributed for all kinds of purposes, but does not include electricity used for communications, electronics, or signals.

 The electricity business is divided into 2 according to Article 8 of Law 30/2009, namely;

  1. Electricity supply business;  and
  2. Power support business.

 The electricity supply business is also divided into 2 according to Article 9 of Law 30/2009, namely;

  1. Business of providing electricity for the public interest;  and
  2. Business of providing electricity for its own use.

 The business of providing electricity for the public interest includes the following types of businesses:

  1. Power generation;
  2. Electric power transmission;
  3. Distribution of electric power;  and/or
  4. Electricity sales.

 In the amendment to Article 10-11 of Law 30/2009 in Law 11/2020 it is stated that the business of providing electricity can only be carried out by state-owned, regional, private, cooperative, and non-governmental enterprises.  This can be done in an integrated manner by 1 (one) business entity in 1 (one) business area, where the business area is determined by the government, regarding restrictions on the area carried out by the government, this also applies to business entities which only cover the distribution of workers.  electricity and/or sales of electric power.  However, for state-owned enterprises, the first priority is to carry out the business of providing electricity for the public interest.  For all types of business entities mentioned above, they must prioritize the use of domestic products and potentials.

 For the business of providing electricity for self-interest, it can be carried out by central government agencies, regional government agencies, state-owned enterprises, regional-owned enterprises, private enterprises, cooperatives, individuals, and institutions/agencies.

 other businesses and must also prioritize the use of domestic products and potentials.

 The holder of a license for the business activity of providing electricity for the public interest in carrying out his business is entitled to;

  1. crossing rivers or lakes, both above and below the surface;
  2. across the sea, both above and below the surface;
  3. crossing public roads and railways;
  4. enter a public or private place and use it temporarily;
  5. use the ground and pass above or below ground;
  6. pass over or under buildings built above or below ground;  and
  7. cutting and/or cutting down any obstructing plants.

 In its regulation, NRE infrastructure refers to Law 30/2009 which was amended in Law 11/2020 which regulates the implementation of Electricity.

 GOVERNMENT AND BUSINESS ENTITY COOPERATION

 The government-private partnership scheme is called Government and Business Entity Cooperation. According to Article 1 Paragraph 1 of the PUPR Ministerial Regulation 2/2021, Government and Business Entity cooperation or referred to as PPP is a collaboration between the government and Business Entities in the Provision of Infrastructure for the public interest by referring to specifications  previously determined by the Minister/Head of Institution/Head of Region/State-Owned Enterprise/Regional-Owned Enterprise, which partially or wholly uses the resources of the Business Entity with due observance of the risk sharing between the parties.

 According to Article 5 of Presidential Regulation 38/2015, the infrastructure that can be collaborated is economic infrastructure.  Electricity infrastructure is economic infrastructure, NRE infrastructure itself is electricity, so for PPPs it can be applied to NRE infrastructure development based on the article.

 SANCTIONS

 Sanctions regarding electricity violations are regulated in Law 11/2020 on Job Creation which is a change from article 49 to article 54 of Law 30/2009 on Electricity

 Article 49

  1. Every person who conducts electricity supply business for the public interest without a Business License as referred to in Article 19 paragraph (2) which results in the emergence of victims/damages to health, safety, and/or the environment shall be punished with imprisonment for a maximum of 3 (three) years.  and a maximum fine of IDR 3,000,000,000.00 (three billion rupiah).

 Article 50

  1. Anyone who does not meet the safety of electricity as referred to in Article 44 paragraph (1) which results in the death of a person due to electricity shall be punished with imprisonment for a maximum of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion).  rupiah).
  2. If the act as referred to in paragraph (1) is carried out by the holder of a Business License to provide electricity, the perpetrator shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 1,500,000,000.00 (one billion five hundred million rupiah).  ).
  3. In addition to the punishment as referred to in paragraph (2), the holder of a Business License to provide electricity is required to provide compensation to the victim.
  4. The determination and procedure for the payment of compensation as referred to in paragraph (3) shall be carried out in accordance with the provisions of the laws and regulations.

 Between Article 50 and Article 51, 1 (one) article is inserted, namely Article 51A so that it reads as follows:

 Article 51A

 Everyone who builds or allows buildings and/or replants plants that have:

  1. be given compensation as referred to in Article 30 paragraph (2) and/or compensation as referred to in Article 30 paragraph (3);
  2. entry into the free space or minimum clearance of the electric power grid;  and/or
  3. endanger safety and/or interfere with the reliability of electricity supply, shall be punished with imprisonment for a maximum of 3 (three) years and a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).

Article 54

  1. Everyone who operates an electrical power installation without an operation-worthy certificate as referred to in Article 44 paragraph (4) which results in the emergence of a victim shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million).  rupiah).
  2. In the event that a community household electrical installation is operated without an operation-worthy certificate, the impacts arising from the absence of an operation-worthy certificate are the responsibility of the electric power provider.
0

Elements of Novelty in Industrial Design

Author: Nirma Afianita; Co-author: Fitriyani Wospakrik

Dasar Hukum: Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

Terkait jangka waktu perlindungan terhadap desain industri sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (selanjutnya disebut UU No.31 Thn 2000) bahwa Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

Subjek Desain Industri

  • Yang berhak memperoleh hak desain industri adalah pendesain atau yang menerima hak tersebut dari pendesain.
  • Dalam hal pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, hak desain industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.
  • Jika suatu desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, atau yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan, pemegang hak desain industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya desain industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pendesain apabila penggunaan desain industri itu diperluas sampai keluar hubungan dinas.
  • Jika suatu desain industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat desain industri itu dianggap sebagai pendesain dan pemegang hak desain industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak

Unsur Kebaruan “Novelty”

Dalam Pasal 2 UU No.31 Thn 2000 menyatakan bahwa Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. Desain  Industri  dianggap  baru  apabila  tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya. Pengungkapan sebelumnya disini maksudnya dapat berupa penggunaan dan atau pengumuman dari suatu Desain Industri baik di Indonesia maupun   di   luar   Indonesia.  Jadi   apabila   suatu   Desain   Industri   telah   terungkap   di   luar   Indonesia  sebelum  Tanggal  Penerimaan,  dapat  digunakan  sebagai  pembanding  atau prior  art untuk  menggugurkan  “kebaruan”  Desain  Industri  yang  diajukan  permohonannya.

Namun  terdapat  pengecualian terhadap Desain  Industri  tidak  dianggap  diumumkan  sebelum  Tanggal  Penerimaan,  apabila  paling  lama  enam  bulan  sebelum  Tanggal  Penerimaan,  Desain  Industri  tersebut  telah  dipertunjukkan  dalam  suatu  pameran  nasional  maupun  internasional  di  Indonesia  atau  di  luar  negeri  yang  resmi  atau  diakui  sebagai  resmi  atau  telah  digunakan  di  Indonesia  oleh  Pendesain  dalam  rangka   percobaan   dengan   tujuan   pendidikan,   penelitian,   atau   pengembangan.   UU No.31 Thn 2000 mengatur  dalam  hal  pemberian  Desain  Industri  ada  dua  kemungkinan, yakni          pemberian       melalui pemeriksaan substantif   dan   tanpa   melalui pemeriksaan  substantif  bila  dalam  masa  pengumuman  permohonan  selama  tiga  bulan  tidak  terdapat keberatan

Untuk itu Syarat-syarat dalam Rancangan Desain Industri yaitu:

  1. Rancangan tersebut memiliki sifat kebaruan (Novelty), hal ini dimaksud memang benar-benar baru atau hanya merupakan desain perbaikan dari yang lama
  2. Rancangan tersebut benar-benar asli (original) hasil si perancang, bukan hasil jiplakan
  3. Hasil rancangan tersebut tidak termasuk ke dalam bidang kesusastraan dan bentuk seni murni
  4. Dapat diterapkan atau dimanfaatkan untuk diproduksi secara masal
  5. Mempunyai manfaat secara bagian-bagian tersendiri, juga bisa secara keseluruhannya.

Tidak semua desain industri yang dihasilkan oleh pendesain dapat dilindungi sebagai hak atas desain industri. Hanya desain industri yang baru, yang oleh negara dapat diberikan kepada pendesain. Dalam UU No.31 Thn 2000  hanya menekannya “kebaruan” pada desain industri tersebut tanpa persyaratan “keaslian”. Dianggap baru apabila pada Tanggal  Penerimaan,  Desain  Industri  tersebut  “tidak  sama”  dengan  pengungkapan  yang  telah  ada  sebelumnya,  dijelaskan  lebih  lanjut  mengenai  maksud  kata  “tidak  sama”  yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 2 undang-undang yang sama.

Dengan Indonesia meratifikasi persetujuan TRIPs maka dalam Pasal  25  persetujuan  TRIPs  yang  mengatur tentang persyaratan  untuk  perlindungan  desain  industri.  Hak  desain  industri  diberikan  untuk desain industri  yang “baru”. Desain industri dianggap  “baru” apabila pada tanggal penerimaan, desain industri tersebut tidak sama dengan “pengungkapan” yang telah ada sebelumnya. Yang dimaksud “pengungkapan” adalah pengungkapan melalui media cetak atau elektronik, termasuk keikutsertaan dalam suatu pameran. Dan suatu desain industri dianggap  tidak  baru  atau  tidak  orisinal,  apabila  desain  industri  tersebut  tidak  berbeda secara  signifikan  (do  not  significantly  differ)  dengan  desain  industri  yang  sudah  ada sebelumnya atau kombinasi dari kreasi-kreasi industri yang sudah dikenal sebelumnya

Arti kata “kebaruan” dapat menimbulkan multi-interpretasi , tanpa adanya penjelasan lebih lanjut mengenai maksud  kata “tidak sama” yang ada dalam UU No.31 Thn 2000.  Dengan penafsiran “tidak sama secara signifikan” dalam Persetujuan Trip. Selain itu dengan  tidak  adanya  pemeriksaan  substantif  karena  tidak  ada  keberatan yang  diajukan,  berarti  terhadap  setiap  permohonan  Desain  Industri  harus  dikabulkan  dan  pendaftar   dapat   menerima   sertifikat   Desain   Industri. Hal ini dapat membuka  peluang  dan  banyak  dimanfaatkan  oleh  para  pemohon  yang  beritikad  tidak  baik  yang  dengan  sengaja  mendaftarkan  Desain  Industri yang sudah tidak lagi memiliki “kebaruan”.

Legal Basis: Law Number 31 of 2000 concerning Industrial Designs

Industrial Design is a creation about the shape, configuration, or composition of lines or colors, or lines and colors, or a combination thereof in the form of three or two dimensions which gives an aesthetic impression and can be realized in three-dimensional or two-dimensional patterns and can be used to produce a product, goods, industrial commodity, or handicraft.

Regarding the period of protection for industrial designs as regulated in Article 5 of Law Number 31 of 2000 concerning Industrial Designs (hereinafter referred to as Law No. 31 of 2000) that the Protection of Industrial Design Rights is granted for a period of 10 (ten) years from the date of Reception.

Industrial Design Subject

  • Those who are entitled to obtain industrial design rights are the designer or those who receive such rights from the designer.
  • In the event that the designer consists of several people jointly, the industrial design rights are granted to them jointly, unless agreed otherwise.
  • If an Industrial design is made in an official relationship with another party in the work environment or made by another person based on an order, the holder of the industrial design right is the party for and/or in his service the industrial design is carried out, unless there is another agreement between the two parties without reducing the designer’s rights if the use of the industrial design is extended beyond the official relationship.
  • If an industrial design is made in an employment relationship or based on an order, the person who makes the industrial design is considered the designer and the holder of the industrial design rights, unless otherwise agreed between the two parties.

Element of Novelty

Article 2 of Law No. 31 of 2000 states that the Right to Industrial Design is granted for new Industrial Designs. Industrial Designs are considered new if they are not the same as the previous disclosures. The previous disclosure here means that it can be in the form of the use and or announcement of an Industrial Design both in Indonesia and outside Indonesia. So if an Industrial Design has been revealed outside Indonesia before the Filing Date, it can be used as a comparison or prior art to abort the “newness” of the Industrial Design that is being submitted for application.

However, there are exceptions to the Industrial Design which is not deemed to be announced before the Filing Date, if at the latest six months before the Filing Date, the Industrial Design has been shown in a national or international exhibition in Indonesia or abroad which is official or recognized as official or has been used in Indonesia. by the Designer in the context of an experiment with the purpose of education, research, or development.   Law No. 31 of 2000 stipulates that in the case of granting an Industrial Design there are two possibilities, namely the granting through examination substantive and without going through a substantive examination if during the three-month application announcement period there are no objections.

Therefore, the requirements in the Industrial Design Draft are:

  1. The design has the nature of novelty (novelty), this is meant to be really new or just an improvement design from the old
  2. The design is truly original (original) the result of the designer, not the result of plagiarism
  3. The results of the design are not included in the field of literature and pure art forms
  4. Can be applied or utilized for mass production
  5. Has benefits in its own parts, can also be as a whole.

Not all industrial designs produced by designers can be protected as industrial design rights. Only new industrial designs, which the state can provide to the designer. In Law No. 31 of 2000, it only emphasizes “novelty” in the industrial design without the requirement of “authenticity”. It is considered new if, on the Filing Date, the Industrial Design is “not the same” as the previous disclosure, further explained regarding the meaning of the word “not the same” contained in Article 2 paragraph 2 of the same law.

With Indonesia ratifying the TRIPs agreement, Article 25 of the TRIPs agreement regulates the requirements for the protection of industrial designs. Industrial design rights are granted for “new” industrial designs. An industrial design is considered “new” if, on the date of receipt, the industrial design is not the same as a previously existing “disclosure”. What is meant by “disclosure” is disclosure through print or electronic media, including participation in an exhibition. An industrial design is considered not new or unoriginal if the industrial design does not differ significantly (do not differ) from a previously existing industrial design or a combination of previously known industrial creations.

The meaning of the word “novelty” can lead to multiple interpretations, without any further explanation regarding the meaning of the word “not the same” in Law No. 31 of 2000. With the interpretation of “significantly not the same” in the Trip Agreement. In addition, in the absence of a substantive examination, because no objections have been submitted, it means that every application for Industrial Design must be granted and the applicant can receive an Industrial Design certificate. This can open up opportunities and is widely used by applicants with bad intentions who deliberately register Industrial Designs that no longer have “novelty”.

1 22 23 24 25 26
Translate