LEGAL PROTECTION FOR ONLINE STOCK TRADING INVESTORS IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope P. B.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Referensi:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia sebagai negara berkembang dimana masyarakat berorientasi keuangan jangka pendek (saving society) yakni menabung, sedangkan negara maju berorientasi jangka panjang (investing society) yakni investasi. Edukasi masyarakat secara intensif dan berkesinambungan dibutuhkan untuk transisi dari saving society ke investing society. Adanya investasi yang kurang memadai, akan kesulitan mencapai peningkatan perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraan ekonomi negara-negara berkembang.

Tujuan bisnis melakukan proyek perdagangan saham secara online adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk melakukan penjualan, pembelian, perubahan (amend), pembatalan (withdraw), memantau status pesanan jual beli secara realtime, memverifikasi portofolio, mengirimkan sejarah transaksi dan melacak harga saham secara realtime.
Investasi keuangan di bidang pasar modal semakin berkembang saat ini dan peningkatan teknologi informasi dan komunikasi internet of things mengakibatkan tidak diperlukannya lagi pertemuan secara fisik. Transaksi di perbankan dan pasar modal menjadi lebih mudah dan cepat karena dilakukan secara virtual. Kecepatan pelayanan investasi semakin meningkat karena kehadiran internet of things.

Pasar modal berperan penting bagi sistem ekonomi di Indonesia karena pasar modal melaksanakan peran sebagai sarana pendanaan usaha atau sarana perusahaan untuk memperoleh dana dari investor serta sebagai sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan. Pasar modal atau capital market merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik surat utang, saham, maupun instrumen lainnya.

Situasi yang berkembang pesat saat ini, penggunaan salah satu aplikasi berbasis online sudah tersebar di masyarakat yaitu aplikasi saham online yang digunakan masyarakat sebagai pelaku investor dalam pasar modal. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) yang dimana pasar modal mempunyai tempat strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Hal tersebut menarik minat masyarakat dengan kegiatan trading saham online. Sehingga sebelum masyarakat melakukan kegiatan trading saham online, masyarakat perlu mengetahui prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, yaitu prinsip keterbukaan.

Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 1

25. Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut”.

Prinsip keterbukaan dalam pasar modal berlaku umum termasuk dalam ranah internasional menjadi hal yang sangat mutlak untuk dilakukan oleh semua pihak. Berbeda dengan sektor perbankan dimana prinsip kerahasiaan bank merupakan hal yang mutlak untuk ditaati, sektor pasar modal menetapkan hal yang sebaliknya, disclosure atau keterbukaan merupakan hal mutlak. Emiten, perusahaan publik, atau pihak lain yang terkait wajib memberikan informasi penting yang berhubungan dengan tindakan atau efek perusahaan tersebut pada waktu yang tepat kepada masyarakat. Emiten wajib memberikan informasi yang lengkap dan akurat. Lengkap maksudnya informasi yang diberikan utuh, tidak ada yang tertinggal, disembunyikan, disamarkan, atau tidak memberitahukan fakta material.

Terdapat beberapa perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal terhadap investor. Dalam rangka mencapai tujuan menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar, dan efisien Bursa efek wajib menyediakan sarana pendukung dan mengawasi kegiatan anggota bursa efek sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kemudian demi menjaga tujuan menyelenggarakan perdagangan efek tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal juga telah menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan oleh perusahaan efek atau penasihat investasi.

Larangan-larangan yang diatur terhadap perusahaan efek atau penasihat investasi sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 35
Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang:
a. menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah;
b. mengungkapkan nama atau kegiatan nasabah, kecuali diberi instruksi secara tertulis oleh nasabah atau diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mengemukakan secara tidak benar atau tidak mengemukakan fakta yang material kepada nasabah mengenai kemampuan usaha atau keadaan keuangannya;
d. merekomendasikan kepada nasabah untuk membeli atau menjual Efek tanpa memberitahukan adanya kepentingan Perusahaan Efek dan Penasihat Investasi dalam Efek tersebut”.

Dalam BAB XI Pasal 90-99 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah diatur mengenai penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Dalam pasal 90 misalnya yang berbunyi:
“Pasal 90
Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek”.

Terhadap ketentuan pasal tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur mengenai ketentuan sanksi yang dapat diterapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah dengan tegas mengatur perlindungan hukum terhadap investor yang melakukan transaksi dipasar modal. Begitupun dengan investor yang melakukan transaksi online meskipun belum ada pengaturan secara khusus namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tetap menjadi acuan apabila terjadi pelanggaran berupa penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam pada saat transaksi online dilaksanakan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang bersifat pencegahan dan pemberian sanksi, karena fungsi pengaturan dan pengawasan bidang jasa keuangan dipegang oleh OJK. Konsumen yang dimaksud memiliki pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pension, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan OJK, dimana perlindungan ini sifatnya mencegah kerugian, diantaranya:
a. Informasi dan edukasi tentang karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya diberikan pada masyarakat;
b. jika kegiatan yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) merugikan masyarakat maka kegiatan tersebut dapat diminta untuk dihentikan; dan
c. Ketentuan dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan mengatur tentang tindakan lain yang dapat dilakukan apabila dibutuhkan.

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan, bahwa pelayanan pengaduan konsumen dapat dilakukan OJK yang terdiri dari:
a. LJK menyediakan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan;
b. LJK membuat Mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan;
c. LJK memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.

Sebagai proyeksi lanjutan, jika investor dirugikan oleh kegiatan pemanfaatan jasa keuangan, maka investor berhak untuk mengadukan hal ini kepada layanan konsumen OJK. Sebagai otoritas pengawas tunggal dan terintegrasi bagi jasa keuangan di Indonesia, OJK berkewajiban untuk memperketat pengawasan terhadap sistem remote trading di bursa. Berdasarkan kasus diatas, jika kemudian hari terjadi lagi pengaduan oleh investor maka OJK berkewajiban untuk memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan (dalam kasus ini adalah Bursa Efek Indonesia) untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang merasa dirugikan tersebut.

Pertanggungjawaban pelaku usaha mengacu kepada Undang-Undang Pasar Modal diatur pada Pasal 46 Undang-Undang Pasar Modal dimana dikatakan bahwa kewajiban Kustodian yakni harus menyerahkan ganti kerugian kepada pemegang rekening atas kerugian yang timbul karena kesalahan yang dilakukannya. Namun dalam praktik pengaturan mengenai pelayanan/produk belum optimal memberikan perlindungan yang memadai sejak awal hingga penanganan dan penyelesaian sengketa. Sanksi yang didapatkan oleh pelaku usaha akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Perusahaan Efek dapat bertindak sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan manajer investasi yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk memberi kepastian hukum terhadap investor. Pertanggungjawaban pelaku usaha/perusahaan sekuritas akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online selain diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal juga diatur dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.

Legal Basis:

  1. Law Number 8 of 1995 concerning Capital Market
  2. Law Number 21 of 2011 concerning Financial Services Authority

Reference:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

The business goal of doing stock trading projects online is to provide opportunities for customers to make sales, purchases, changes, cancellations, monitor the status of buying and selling orders in real time, verify portfolios, send transaction history and track stock prices in real time. Financial investment in the capital market sector is growing at this time and the improvement in information technology and internet of things has resulted in no need for physical meetings. Transactions in banking and capital markets have become easier and faster since they are carried out virtually. The speed of investment services is increasing due to the presence internet of things.

The capital market plays an important role in the economic system in Indonesia since the capital market plays a role as a means of business funding or a means for companies to obtain funds from investors and as a means for the public to invest in financial instruments. The capital market is a market for various long-term financial instruments that can be traded, both debt securities, shares, and other instruments.

Currently the use of the online stock application has spread in the community. Based on Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, the capital market has a strategic role in national development as a business funding source and public investment media. This attracts people’s interest towards online stock trading. So that before people trade stocks online, people need to know the principles applicable in the capital market business, namely the disclosure principle.

The disclosure principle is a principle that applies in the capital market business, as regulated in Article 1 number 25 of Law Number 8 of 1996 concerning the Capital Market which states:
“Article 1

  1. The disclosure principle is the general guideline that requires an issuer, a public company and other persons subject to this law, to disclose to the public within a certain time, material information with respect to their business or securities, when such information may influence decisions of investors in such securities and/or the price of the securities”.

The disclosure principle in the capital market is generally accepted, including in the international world, which is obligatory for all parties. In contrast to the banking sector where the principle of bank secrecy is mandatory, the capital market sector stipulates the opposite, disclosure or openness is absolute. Issuers, public companies, or other related parties must provide important information related to the actions or securities of the company in a timely manner to the public. Issuers are required to provide complete and accurate information. Complete means that the information provided is complete, nothing is left behind, hidden, disguised, or does not reveal material facts.

There are several protections provided by Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market to investors. In order to achieve the goal of conducting securities trading in an orderly, fair and efficient manner, the Stock Exchange is required to provide supporting facilities and supervise the activities of securities exchange members as regulated in Article 7 paragraph (1) jo. Paragraph (2) of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market. Then in order to maintain the purpose of holding securities trading, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has also explained activities that are prohibited from being carried out by securities companies or investment advisors.

There are prohibitions regulated against securities companies or investment advisors as regulated in Article 35 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 35
Securities companies or investment advisors are prohibited from:
a. use influence or exert pressure that is contrary to the interests of the customer;
b. disclose the customer’s name or activities, unless given a written instruction by the customer or required by applicable laws and regulations;
c. disclose incorrectly or do not disclose material facts to customers regarding their business capabilities or financial condition;
d. recommend to clients to buy or sell Securities without notifying the existence of the Securities Company and Investment Advisor’s interest in the Securities”.

In Chapter XI Articles 90-99 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, it is already regulated regarding fraud, market manipulation, and insider trading. Article 90, for example, states:
“Article 90
In securities trading activities, each party is prohibited directly or indirectly from:
a. deceive or deceive other Parties by using any means and or means;
b. participate in deceiving or deceiving other Parties; and
c. make untrue statements regarding material facts or do not disclose material facts so that the statements made are not misleading regarding the conditions that occurred at the time the statement was made with the intention of benefiting or avoiding harm to oneself or another Party or with the aim of influencing another Party to buy or sell Securities”.

Against the provisions of that article, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has regulated the provisions of sanctions that can be applied as stipulated in Article 104 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 104
Any Party violating the provisions as referred to in Article 90, Article 91, Article 92, Article 93, Article 95, Article 96, Article 97 paragraph (1), and Article 98 are punishable by a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 15,000,000,000. ,00 (fifteen billion rupiah)”.

Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has clearly regulated legal protection for investors who conduct transactions in the capital market. Likewise with investors who conduct online transactions, although there is no specific regulation, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market remains a reference in the event of violations in the form of fraud, market manipulation and insider trading when online transactions are carried out.

The Financial Services Authority (OJK) provides legal protection for consumers that is preventive in nature and provides sanctions, since the regulatory and supervisory functions of the financial services sector are held by the OJK. Consumers have the meaning as regulated in Article 1 number 15 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority, states consumers are parties who place their funds and/or take advantage of services available at financial service institutions, including customers in banking, investors in the capital market, policyholders in insurance, and participants in pension funds, based on the laws and regulations in the financial services sector. Article 28 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority is a form of legal protection provided by the OJK, where this protection is to prevent losses, including:
a. Information and education concerning the characteristics of the financial services sector, services and products are provided to the public;
b. if the activities carried out by the Financial Services Institutions are detrimental to the community, the activities can be requested to be stopped; and
c. Provisions in the laws and regulations in the financial services sector regulate other actions that can be taken if needed.

Article 29 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority states that consumer complaints services can be carried out by the Financial Services Authority consisting of:
a. Financial Services Institutions provide adequate tools to service consumer complaints that are harmed;
b. Financial Services Institutions establish a mechanism for complaints of consumers who are harmed;
c. Financial Services Institutions facilitate the settlement of consumer complaints that are harmed in accordance with the laws and regulations in the financial services sector.

As a further projection, if investors are harmed by the use of financial services, investors have the right to complain concerning this to the Financial Services Authority’s consumer services. As the sole and integrated supervisory authority for financial services in Indonesia, the Financial Services Authority is obliged to tighten supervision of remote trading systems on the stock exchange. Based on the above case, if in the future there is another complaint by the investor, the Financial Services Authority is obliged to order or take certain actions to the financial service institution (in this case the Indonesia Stock Exchange) to resolve the consumer complaint who feels aggrieved.

The liability of business actors refers to the Capital Market Law as regulated in Article 46 of the Capital Market Law where it is stated that the Custodian’s obligation is to submit compensation to the account holder for losses arising from his/her mistakes. However, in practice the regulation regarding services/products has not been optimal in providing adequate protection from the beginning to handling and resolving disputes. Sanctions obtained by business actors due to losses experienced by online investors are administrative, civil and criminal sanctions. Securities Companies can act as underwriters, securities brokers and investment managers who have roles and responsibilities to provide legal certainty to investors. The liability of business actors/securities companies due to losses experienced by online investors not only regulated in the Capital Market Law apart from regulated in the Financial Services Authority Law.

Implementasi Pengurangan Energi Fosil untuk Penyediaan Tenaga Listrik

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-Author: Fikri Fatihuddin

Di Eropa Barat, kampanye tentang pengurangan energi fossil sangat gencar. Banyak brand menetapkan tujuan ambisius untuk mengurangi jejak karbon mereka, namun, banyak dari konsultan Public Relation (PR) yang terus bekerja dengan brand bahan bakar fosil. Clean Creatives, himpunan praktisi PR dan periklanan yang berkomitmen untuk mengkomunikasikan secara terbuka mengenai perubahan iklim, baru-baru ini mengumumkan sebuah kampanye untuk menghimpun dukungan lebih banyak dari profesional PR dan periklanan di Asia Pasifik. Tujuan dari kampanye ini adalah agar 500 agensi dan atau profesional di Asia melakukan Clean Creative Pledge. Komitmen tersebut merupakan perjanjian yang dilakukan oleh agensi dan praktisi PR dan periklanan untuk tidak menerima kontrak baru dari perusahaan yang berasal dari industri bahan bakar fosil. Duncan Meisel, pendiri Clean Creatives, menargetkan untuk menjangkau setidaknya 1.000 profesional PR di Asia Pasifik pada akhir tahun 2022 melalui pertemuan, kampanye media, pemasaran langsung, dan pemberian edukasi yang berfokus pada industri komunikasi di Asia Tenggara[1].

Melihat dari kampanye yang dilakukan oleh praktisi PR tentang pemutusan hubungan usaha dengan brand yang masih menggunakan energi fosil, maka kekhawatiran tersebut telah ada di Indonesia sejak lama. Bahkan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah memunculkan narasi tentang Indonesia darurat energi pada tahun 2018. Dalam narasi tersebut, memaparkan data tentang menurunnya produksi energi fossil, dan meningkatnya konsumsi energi fossil. Kemudian, beberapa negara telah mengembangkan energi terbarukan, sehingga dapat mengatasi ketersediaan energi di masa mendatang[2].

Meskipun dalam kampanye oleh praktisi PR memiliki semangat yang baik agar mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, akan tetapi praktisi PR tetap perlu memperhatikan langkah-langkah yang dilakukan agar tidak bertentangan dengan hukum. Pengurangan hubungan perjanjian dengan industri bahan bakar fosil tidak dapat diartikan sebagai pembenaran agar melakukan pembatalan perjanjian secara sepihak. Hal tersebut sebagaimana disebutkan pada Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang berbunyi:

Pasal 1338

(2) Perjanjian tidak dapat ditarik Kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak

Maka, untuk praktisi PR yang masih terikat dengan perjanjian dengan perusahaan dibidang industry bahan bakar fosil perlu menyelesaikan perjanjian tersebut, kecuali kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian.

Energi di Indonesia telah diatur sebelumnya oleh UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi). Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika[3]. Keberadaan pengaturan terhadap energi agar menjaga ketahanan energi di Indonesia serta sebagai usaha Negara Indonesia menuju kemandirian energi yang dicita-citakan. Ketahanan tersebut juga didukung oleh keberagaman sumber daya alam yang dimiliki oleh Negara Indonesia, baik energi fosil (tak terbarukan) maupun energi terbarukan.

Berdasarkan UU Energi, sumber energi terbagi menjadi sumber energi tak terbarukan, sumber energi baru, dan sumber energi terbarukan. Sumber energi tak terbarukan, diterangkan oleh Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 2007 yang berbunyi:

Pasal 1

8. Sumber energi tak terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus, antara lain minyak burni, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpih bitumen”

Untuk sumber energi baru diterangkan oleh Pasal 1 angka 4 UU No. 30 Tahun 2007 yang berbunyi:

Pasal 1

4. Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal)”

Sementara, untuk sumber energi terbarukan diterangkan pada Pasal 1 angka 6 UU No. 30 Tahun 2007 yang berbunyi:

Pasal 1

6. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelala dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.”

Dari ketentuan umum UU Energi, dapat dinyatakan bahwa pembentuk peraturan sendiri telah menyadari keberadaan energi terbarukan, yang mana apabila dikelola dengan baik, energi tersebut dapat digunakan berkelanjutan. Energi terbarukan terdiri dari:

  1. Panas bumi;
  2. Angin;
  3. Bio-energi;
  4. Sinar matahari;
  5. Aliran dan terjunan air;
  6. Gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Pada tahun 2022, dibentuknya Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menjadi langkah nyata atas upaya Pemerintah melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan dalam penyediaan tenaga listrik.

            Pada Perpres No. 112 Tahun 2022, pelaksanaan penyediaan tenaga listrik berbasis energi terbarukan dilaksanakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN). Perencanaan atas pelaksanaan tersebut dituangkan dalam Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). RUPTL meliputi:

  1. Rencana pembangkitan;
  2. Rencana transmisi;
  3. Rencana distribusi; dan/atau
  4. Penjualan tenaga listrik dalam suatu wilayah usaha[4].

Kemudian berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Perpres No. 112 Tahun 2022 menjelaskan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan PT PLN saat menyusun RUPTL, yakni:

  1. Pengembangan energi terbarukan sesuai dengan target bauran energi terbarukan berdasarkan rencana umum ketenagalistrikan nasional;
  2. Keseimbangan supply and demand; dan
  3. Keekonomian pembangkit energi terbarukan.

Dengan kata lain, dengan adanya Perpres No. 112 Tahun 2022, maka secara yuridis dapat dimaknai sebagai bagian langkah strategis untuk mempercepat transisi energi tak terbarukan menuju energi terbarukan dari Pemerintah. Tindakan ini juga selaras dengan kampanye yang sedang dilakukan oleh Clean Creatives Pledge dalam mengurangi penggunaan bahan bakar fossil. Hal ini dapat diartikan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga ketersediaan energi, maka transisi dari energi tak terbarukan ke energi terbarukan, adalah konsekuensi logis dari menguatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ketersediaan energi.

Dasar Hukum

Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik

Referensi

Suara, https://www.suara.com/bisnis/2022/09/22/173500/kampanye-asia-pasifik-akan-akhiri-dukungan-industri-pr-pada-perusahaan-bahan-bakar-fosil?page=1

BPPT, https://www.bppt.go.id/berita-bppt/bppt-indonesia-darurat-energi


[1] Suara, https://www.suara.com/bisnis/2022/09/22/173500/kampanye-asia-pasifik-akan-akhiri-dukungan-industri-pr-pada-perusahaan-bahan-bakar-fosil?page=1, diakses pada 25 September 2022

[2] BPPT, https://www.bppt.go.id/berita-bppt/bppt-indonesia-darurat-energi , diakses pada tanggal 25 September 2022

[3] Pasal 1 Angka 1 UU No 4 Tahun 2007

[4] Pasal 1 angka 5 Perpres No. 112 Tahun 2022

0

Perlindungan Sistem Pembayaran dalam Bertransaksi secara Digital

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Made Indra Sukma Adnyana

Bank Indonesia melaporkan data peningkatan transaksi ekonomi dan keuangan digital yang menunjukkan kiamat bagi ATM. Gubernur Bank Indonesia menjelaskan nilai transaksi uang elektronik pada Agustus 2022 mengalami pertumbuhan 43,24% year on year (yoy) dengan nilai mencapai Rp. 35,5 triliun. Nilai transaksi digital banking sendiri meningkat 31,40% yoy menjadi Rp. 4.557,5 triliun. Menanggapi kenaikan transaksi ekonomi dan keuangan digital, Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa transaksi ekonomi dan keuangan digital tetap mengalami kenaikan karena ditopang oleh peningkatan akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, perluasan dan kemudahan dalam sistem pembayaran digital. Kenaikan ekonomi dan keuangan tersebut terjadi bahkan pada waktu Indonesia sedang mengalami tantangan tekanan dari inflasi.[1]

Sebagaimana dijelaskan bahwa transaksi keuangan dan ekonomi digital tidak akan lepas dari yang disebut dengan sistem pembayaran digital. Sistem pembayaran digital dalam penggunaannya memiliki banyak manfaat bagi konsumen dimana memudahkan pembayaran, meningkatkan efektivitas dan efisiensi waktu, meningkatkan customer loyality, pengendalian biaya, komisi rendah, dan meningkatkan efisiensi dalam pembayaran sebuah produk secara online.[2] Walaupun begitu, terdapat permasalahan-permasalahan yang harus diperhatikan dalam penggunaannya, misalnya dalam faktor keamanan transaksi dan ketersediaan infrastruktur pembayaran. Ketersediaan yang dimaksud mengacu kepada ketersediaan, kestabilan dan kecepatan pada jaringan internet, ketersediaan sistem, serta kecepatan dari transaksi yang dapat dilakukan oleh konsumen. Oleh karena hal tersebut, dibutuhkannya pengaturan lebih lanjut terkait pelaksanaan suatu sistem pembayaran di Indonesia, terutama perlindungan data konsumen dari peretasan dan penyebaran informasi konsumen merupakan risiko yang harus dihindari dan ditangani dengan cepat.[3]

Dalam pengaturan terkait sistem pembayaran digital, Indonesia melalui Bank Indonesia telah mengaturnya berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 24/7/PADG/2022 tentang Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Oleh Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan digitalisasi dan inovasi pada sistem pembayaran sehingga perlunya peningkatan efisiensi industri sistem pembayaran dan percepatan inklusi ekonomi dan keuangan digital. Terlebih lagi, perkembangan digitalisasi dan inovasi dalam bidang digital juga meningkatkan risiko dengan semakin kompleks suatu kegiatan dan variasi model bisnis penyelenggaraan sistem pembayaran.[4]

Terbitnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran merupakan salah satu implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (“BPSI”). BPSI 2025 diharapkan dapat memberikan arahan yang jelas dalam pengedaran uang moneter, dan stabilitas sistem keuangan. Hal ini karena BPSI memiliki 5 (lima) visi, yaitu:[5]

  1. Mendukung integrasi ekonomi keuangan digital nasional;
  2. Mendukung digitalisasi perbankan melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan;
  3. Menjamin interlink antara fintech dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi;
  4. Menjamin keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan konsumen, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat; dan
  5. Menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital antarnegara dengan memperhatikan prinsip resiprokalitas.

Sehingga integritas keuangan digital Indonesia melalui pengaturan terkait sistem pembayaran, merupakan bentuk mendukung perkembangan ekonomi dan keuangan di Indonesia terutama dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman serba digital sekarang ini. Sistem Pembayaran sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran menyatakan sebagai suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, Lembaga, mekanisme infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran. Definisi tersebut memberikan penjelasan jika sistem pembayaran tidak hanya menyangkut kepada aturan, tetapi juga kepada Lembaga, mekanisme dan sampai kepada akses ke sumber dana untuk pembayaran yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana. Definisi tersebut dinyatakan sebagai berikut:

“Pasal 1

1.Sistem Pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, mekanisme, infrastruktur, sumber dana untuk pembayaran, dan akses ke sumber dana untuk pembayaran, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.”

Peraturan Bank Indonesia tersebut, juga mengatur terkait penyelenggaraan sistem pembayaran dimana bagi Penyedia Jasa Pembayaran (“PJP”) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (“PIP”) memiliki kewajibannya masing-masing. Pada pokoknya berdasarkan Pasal 31 jo 38 PBI Nomor 22/23/PBI/2020 menjelaskan bahwa kewajibannya meliputi pemenuhan aspek antara lain (1) tata Kelola; (2) manajemen risiko termasuk prinsip kehati-hatian; (3) standar keamanan sistem informasi; (4) interkoneksi dan interoperabilitas; dan (5) pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terhadap aspek standar keamanan sistem informasi diatur lebih jelas dalam peraturan tersebut Pasal 34 jo 41 PBI Nomor 22/23/PBI/2020 yang menyatakan bahwa aspek standar keamanan sistem informasi mencakup kepada sebagai berikut:

a. ketersediaan kebijakan dan prosedur tertulis sistem informasi;

b. penggunaan sistem yang aman dan andal paling sedikit:

  1. pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data;
  2. pengelolaan fraud;
  3. pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan keandalan sistem; dan
  4. pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi;

c. penerapan standar keamanan siber;

d. pengamanan data dan/atau informasi; dan

e. pelaksanaan audit sistem informasi secara berkala.

Melalui pengaturan tersebut, maka keamanan sistem informasi harus memenuhi standar yang telah diatur dalam peraturan Bank Indonesia dan wajib memenuhi aspek-aspek sebagaimana diwajibkan, seperti manajemen risiko. Terdapat sanksi bagi pihak yang melanggar kewajiban mengenai sistem pembayaran digital, mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 78 PBI No. 22/23/PBI/2020, bagi PJP dan PIP yang melakukan pelanggaran sebagaimana diwajibkan, dapat dikenakan sanksi sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:

“Pasal 78

(1)Bank Indonesia berwenang mengenakan sanksi administratif kepada PJP dan PIP atas pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 56, Pasal 65, dan Pasal 67 berupa:

a. teguran;

b.denda;

c. penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan termasuk pelaksanaan kerja sama; dan/atau

d. pencabutan izin sebagai PJP atau penetapan sebagai PIP.”

Oleh dengan kewenangan tersebut, Bank Indonesia dapat memberikan sanksi kepada PJP dan/atau PIP jika terjadinya pelanggaran atas keamanan sistem informasi yang berguna untuk melindungi tidak hanya kepada PJP ataupun PIP, tetapi juga kepada konsumen sebagai pengguna jasanya.

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan dalam bidang teknologi informasi, mendorong kepada perkembangan terhadap sistem pembayaran di Indonesia yang sebelumnya konvensional menjadi serba digital. Walaupun begitu, terdapat permasalahan-permasalahan yang perlu ditangani demi kelancaran pembayaran digital di Indonesia, terutama di bagian keamanan dimana serangan siber maupun penggunaan data pribadi nasabah tanpa izin dari nasabah bersangkutan masih marak terjadi. Masyarakat sebagai konsumen atau pengguna jasa perlu untuk dilindungi dari ancaman atau permasalahan yang bisa terjadi dari penggunaan pembayaran digital. Oleh sebab tersebut, pelaksanaan peraturan-peraturan terkait kepada sistem pembayaran perlu untuk ditegakkan demi menghindari dari adanya kerugian yang diterima oleh konsumen akibat adanya permasalahan keamanan.

Dasar Hukum:

  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran
  • Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 24/7/PADG/2022 tentang Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Oleh Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran

Referensi

  • Venti Eka Satya, “Pengaturan Sistem Pembayaran Digital Untuk Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPRI RI Vol XIII (Januari 2021), hlm. 20-22.
  • Cantika Adinda Putri, “Simak! Kiamat ATM di Depan Mata, BI Kasih Bukti Terbaru,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20220922195907-4-374310/simak-kiamat-atm-di-depan-mata-bi-kasih-bukti-terbaru, diakses pada 25 September 2022.
  • Jefry Tarantang, dkk, “Perkembangan Sistem Pembayaran Digital Pada Era Revolusi Industri 4.0 Di Indonesia,” Jurnal Al Qardh Vol 4 (Juli 2019), hlm. 62-70.

[1] Cantika Adinda Putri, “Simak! Kiamat ATM di Depan Mata, BI Kasih Bukti Terbaru,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20220922195907-4-374310/simak-kiamat-atm-di-depan-mata-bi-kasih-bukti-terbaru, diakses pada 25 September 2022.

[2] Jefry Tarantang, dkk, “Perkembangan Sistem Pembayaran Digital Pada Era Revolusi Industri 4.0 Di Indonesia,” STIH Palangka Raya Jurnal Al Qardh Vol 4 (Juli 2019), hlm. 70.

[3] Venti Eka Satya, “Pengaturan Sistem Pembayaran Digital Untuk Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia,” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPRI RI Vol XIII (Januari 2021), hlm. 22.

[4] BI, “Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran,” https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/PBI_222320.aspx, diakses pada 26 September 2022.

[5] Ibid.

PROTECTION AGAINST CYBERCRIME IN BANKING

Author: Nirma Afianita
Co-author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

REFERENSI: 

  1. Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021.
  2. Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan
    dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016.
  3. Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
  4. Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security
    Dan Forensik Digital, 1(2).
  5. Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015
  6. Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022

Ketergantungan terhadap pemanfaatan teknologi pada hampir semua kegiatan manusia sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang mengikuti pesatnya teknologi informasi berkembang.[1]

Perkembangan teknologi seperti ini telah menimbulkan revolusi komunikasi yang menyebabkan kehidupan masyarakat di berbagai negara tidak bisa terlepas dan bahkan telah ditentukan oleh informasi dan komunikasi.[2]

Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi, dari dampak tersebut terdapat dampak positif dan negatif dan oleh karena itu para pelaku bisnis harus mampu beradaptasi dengan mengantisipasi dampak negatif tersebut secara mengantisipasi ancaman dan menjaga kepercayaan konsumen untuk memberikan kenyamanan konsumen dan
perlindungan konsumen dalam bertransaksi.[3]

Semakin canggihnya suatu teknologi akan selalu berbanding lurus dengan kejahatan pada dunia maya. Sehingga akan selalu bermunculan jenis–jenis kejahatan baru yang mengikuti cybercrime tersebut. Metode yang sering digunakan oleh pelaku cybercrime pada sektor perbankan
dengan memanfaatkan teknologi informasi diantaranya adalah:[4]

  1. Skimming, yakni suatu bentuk kejahatan cyber dengan cara mencuri informasi nasabah pada saat bertransaksi menggunakan Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
  2. Malicious Software (Malware) , yakni perangkat lunak berbahaya untuk mencuri data, merusak sistem serta perangkat komputer;
  3. Hacking, yakni suatu bentuk kejahatan cyber dengan cara penyerangan terhadap program komputer dan mengeksploitasi komputer milik orang pribadi atau perusahaan yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun orang lain secara melawan hukum.

Bentuk–bentuk kejahatan cyber tersebut jelas berpotensi merugikan secara finansial bagi nasabah. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan bahwa hukum melalui instrumen–instrumennya harus dapat melindungi nasabah yang menjadi korban dari cybercrime. Nasabah bank dalam hal ini berkedudukan sebagai konsumen dari badan usaha bidang perbankan dilindungi oleh hukum sebagaimana pada Pasal 1 angka 1 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan:

“Pasal 1

  1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
    kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Kemudian dalam dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri memiliki asas dan tujuan hal tersebut terjamin pada Pasal 2 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan:

“Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Masalah kedudukan yang seimbang secara jelas dan tegas terdapat dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, kesimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Dengan berlakunya undang-undang tentang perlindungan konsumen, memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan oleh karenanya bank dalam memberikan layanan kepada nasabah dituntut untuk:[5]

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. Memberikan informasi yang benar dan jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin kegiatan usaha perbankannya berdasarkan ketentuan standard perbankan yang berlaku dan beberapa aspek lainnya.

Adapun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur perbuatan yang dilarang, yang terdapat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menyatakan:

“Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”.

Sementara itu perbankan harus menjaga kerahasiannya dalam menjalankan kegiatannya hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

“Pasal 1

28. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”.

Dengan berkembangya teknologi di dunia perbankan maka dalam rangka mewujudkan kemudahan serta keamanan dan kenyamanan dalam transaksi e-commerce. e-banking sebagai media pembayaran dari tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian. Pada dasarnya, media pembayaran e-banking menyediakan jasa transaksi pembelian barang dari konsumen kepada pelaku usaha.[6]

Mengenai e-banking sendiri tentu terjamin dalam Pasal 29 ayat (4) dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

Pasal 29

(4)Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”.

Pasal 40

(1)Bank Wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, dan
Pasal 44A.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi”.

Berkaitan dengan data-data kerahasiaan dalam perbankan itu terdapat sanksi, hal tersebut terdapat dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan:

“Pasal 47

(1)Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)”.

(2)Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.

Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.

Melihat dari pasal yang di atas, dugaan pelanggaran yang dimaksud adalah terkait dengan permintaan rahasia bank oleh orang yang memaksa pihak bank atau pihak afiliasi untuk kepentingan perpajakan, piutang bank, dan kepentingan pengadilan untuk perkara pidana.

Perkembangan teknologi informasi dalam sektor perbankan di satu sisi memberikan kemudahan bagi industri perbankan dan juga nasabah, pada sisi lain berpotensi munculnya risiko cybercrime yang dapat merugikan nasabah secara finansial.

Industri perbankan sebagai suatu layanan jasa keuangan yang berlandaskan prinsip kepercayaan dari masyarakat maka harus tetap meningkatkan keamanan dari segi cyber security untuk selalu dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat tersebut.

Bentuk perlindungan hukum bagi nasabah atas kejahatan dunia maya telah diatur melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, sangat penting adanya regulasi yang secara tujuannya lebih mengarah kepada upaya preventif sehingga tidak lebih dahulu mendatangkan kerugian kepada konsumen, mengingat secara tingkat kerumitan penyelesaian dan pengungkapan suatu kejahatan dunia maya. Perlindungan yang diberikan oleh bank sangat penting untuk menimbulkan
kepercayaan dan kenyaman nasabah. Karena resiko yang ditimbulkan dalam layanan ini sangat tinggi, ada kemungkinan
nasabah menderita kerugian karena disadap, Selain itu juga pihak bank demi menjaga
kerahasiaan identitas dan semua informasi keuangan nasabah pengguna.[7]


[1] Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021, hal 123.

[2] Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016, hal 21.

[3] Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
https://www.researchgate.net/profile/Nashrudin-Setiawan/publication/327335383_Impact_of_cybercrime_in_e-
business_and_trust/links/60559c8f92851cd8ce52afe8/Impact-of- cybercrime-in-e-business-and-trust.pdf

[4] Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security Dan Forensik Digital, 1(2), 57–61.

[5] Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015, hal 152.

[6] Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021, hal 129.

[7] Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022, hal 81

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 10 of 1998 concerning Banking;
  2. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection;
  3. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transaction

REFERENCE:

  1. Kukuh Dwi Kurniawan, Kejahatan Dunia Maya pada Sektor Perbankan di Indonesia: Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Pleno Jure, Vol 10 (2), 2021.
  2. Renny N.S. Koloay, Perkembangan Hukum Indonesia Berkenaan
    dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 2016.
  3. Setiawan, N., Emia Tarigan, V. C., Sari, P. B., Rossanty, Y., Putra Nasution, M. D. T., & Siregar, I. (2018). Impact of cybercrime in e-business and trust. International Journal of Civil Engineering and Technology, 9(7), 652–656.
  4. Faridi, M. K. (2018). Kejahatan Siber dalam Bidang Perbankan. Cyber Security
    Dan Forensik Digital, 1(2).
  5. Dwi Ayu Astrini, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Pengguna Internet Banking Dari Ancaman Cybercrima, Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015
  6. Nasser Atorf, Internet Banking di Indonesia, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol I, Juni 2022

Dependence on the use of technology in almost all human activities has become a daily necessity. The banking sector is one of the sectors that follows the rapid development of information technology.

The Development of technology has led to a communication revolution that has caused people’s lives in various countries to be inseparable from and have even been determined by information and communication.

The rapid information and technology development today is the impact of the increasingly complex human need for information, in which there are positive and negative results, and therefore business people must adapt by anticipating these negative results. Business people must anticipate threats and maintain consumer trust to provide customer convenience and protection in transactions.

The more advanced technology will always be directly proportional to cyberspace crime. There will always be new types of crimes that follow cybercrime. Methods that are oftenly used by cybercrimecriminals in the banking sector by utilizing information technology include:

  1. Skimming, is a cybercrime by stealing customer information when transacting using Automated Teller Machines (ATM);
  2. Malware (malicious software), namely malicious software to steal data, damage computer systems and devices;
  3. Hacking, is a cybercrime by attacking computer programs and exploiting the computers owned by private persons or companies that are used for their own or other people’s interests against the law.

These forms of cybercrime clearly have the potential to be financially detrimental to customers. Therefore, it is imperative that the law through its instruments protect customers who becomes the victim of cybercrime. Bank customers in this case are consumers of banking business entities are protected by law as in Article 1 number 1 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, which states:

“Article 1

  1. Consumers protection defines every effort which means to guarantee the aim of legal certainty  in its provision to the protection of consumers”.

Then the Consumer Protection Law itself has a principle and purpose that is guaranteed in Article 2 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, which states:

“Article 2

Consumer protection is based on benefits, justice, balance, security and consumer safety, and legal certainty”.

Regarding the balanced position matter between consumer and bank is clearly and unequivocally contained in Article 2 which states that consumer protection is based on benefits, justice, balance, security and consumer safety as well as legal certainty. With the enactment of the law on consumer protection, it provides logical consequences for banking services, therefore banks in providing services to customers are required to:

  1. Have good intentions in carrying out their business activities;
  2. Provide true and clear information, and be honest about the conditions and guarantees of the services it provides;
  3. Treat or serve consumers correctly, honestly, and non-discriminatory;
  4. Ensuring its banking business activities are based on the provisions of applicable banking standards and several other aspects.

Meanwhile, Article 30 Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions regulates prohibited acts, which states:

“Article 30

(1)Any person intentionally and without right or against the law accessing Computers and/or Electronic Systems belonging to other Persons in any way.

(2)Any person intentionally and without rights or against the law accesses a computer and/or Electronic System in any way with the aim of obtaining Electronic Information and/or Electronic Documents.

(3)Any person intentionally and without rights or against the law accessing a computer and/or Electronic System in any way by violating, breaking through, exceeding, or breaking into the security system”.

Meanwhile, banks must maintain confidentiality in carrying out their activities, this is contained in Article 1 number 28 of Law Number 10 of 1998 concerning Banking, which states:

“Article 1

28. Bank secrecy is everything related to information regarding depositors and their deposits”.

With the development of technology in the banking world, in order to realize practicality, security and convenience in e-commerce. e-banking as a payment medium for actions that can result in losses. Basically, e-banking provides transaction services for purchasing goods from consumers to business actors.

Regarding e-banking itself, consumer information confidentiality is guaranteed in Article 29 paragraph (4) and Article 40 of Law Number 10 of 1998 concerning Banking, which states:

“Article 29

(4)For the benefit of customers, banks are required to provide information regarding the possible risk of loss in connection with customer transactions made through banks”.

Article 40

(1)Banks are required to keep information regarding Depositors and their deposits confidential, except in the case as referred to in Article 41, Article 41A, Article 42, Article 44, and Article 44A.

(2)The provisions as referred to in paragraph (1) shall also apply to Affiliated Parties”.

There are sanctions applicable for bank customer’s data confidentiality breach. Article 47 paragraph (1) and paragraph (2) of Law Number 10 of 1998 concerning Banking states:

“Article 47

(1)Whoever, without carrying written order or permission from the Management of Bank Indonesia as referred to in Article 41, Article 41A, and Article 42, intentionally forcing the bank or Affiliated Party to provide information as referred to in Article 40, is punishable by imprisonment of at least 2 (two) years and a maximum of 4 (four) years and a fine of at least Rp. 10,000,000,000.00 (ten billion rupiah) and a maximum of Rp. 200,000,000,000.00 (two hundred billion rupiah)”.

(2)Members of the Board of Commissioners, Board of Directors, bank employees or other Affiliated Parties who intentionally provide information that must be kept confidential according to Article 40, are threatened with imprisonment of at least 2 (two) years and a fine of at least Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah) and a maximum of Rp. 8,000,000,000.00 (eight billion rupiah)”. 

Based on the article above, the alleged violation is related to a request for bank secrecy by a person who forces the bank or affiliated parties for tax purposes, bank receivables, and court interests for criminal cases.

The development of information technology in the banking sector on the one hand provides convenience for the banking industry and customers. On the other hand, it has the potential for the emergence of cybercrime that can harm customers financially.

The banking industry, as a financial service based on the principle of trust from the public, must continue to improve cyber security to always be able to maintain credibility in the public’s eye. The forms of legal protection for customers against cybercrimes have been regulated through the Consumer Protection Act, Banking Law, Information and Electronic Transaction Law. Therefore, it is very important to have a regulation that aims more towards preventive efforts so that it does not cause harm to consumers, considering the level of complexity of solving and disclosing a cybercrime.

The protection provided by the bank is very important to create customer trust and convenience. The risk posed in this service is very high, there is a possibility that the customer will suffer losses due to being tapped. In addition, the bank also protects the confidentiality of the identity and every financial information of the user’s customer.

Kebijakan Penggunaan Kendaraan Listrik Sebagai Kendaraan Dinas

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Megarini Adila Putri Lubis

Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai bentuk konsistensi dalam hal percepatan transisi energi menuju penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT).[1] Dengan adanya Inpres ini, pemerintah pusat dan daerah diinstruksikan untuk segera menyusun dan  menetapkan regulasi dan/atau kebijakan untuk mendukung percepatan pelaksanaan program penggunaan kendaraan listrik untuk kendaraan dinas. Arahan mengenai penggunaan kendaraan bermotor listrik merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mengatasi solusi atas permasalahan global dalam hal mendukung pemulihan ekonomi serta upaya menekan emisi global.[2] Berkaitan dengan pengisian kendaraan listrik yang dilakukan di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dalam pelaksanaan tugasnya diberikan oleh pemerintah kepada Perusahaan Listrik Negara, hal tersebut terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Hal lain yang juga memprakarsai dikeluarkannya inpres ini yaitu adanya krisis keamanan global karena konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada kenaikan harga minyak dunia dan akhirnya juga berdampak pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak di dalam negeri, sehingga urgensi terkait transisi energi ke EBT juga berkaitan tidak hanya dengan sektor ekonomi dan lingkungan tetapi juga berkaitan dengan sektor pertahanan, keamanan serta kedaulatan negara.[3]

Komitmen Indonesia dalam percepatan transisi energi menuju penggunaan energi terbarukan ditandai dengan Perjanjian Paris 2015, yang mana hampir 200 negara menyepakati untuk membuat Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) yang berisi target pengurangan emisi karbon.[4] Indonesia berkomitmen pada periode pertama, mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian.[5] Komitmen ini juga dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.[6] Melalui PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pemerintah juga menetapkan target kontribusi EBT dalam Bauran Energi Primer Nasional yang ditetapkan minimal sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.[7] Dengan target resmi yang dimiliki Indonesia, pencapaiannya masih jauh dari yang diharapkan. Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Sahid Junaidi mengatakan, dari potensi energi terbarukan di Indonesia yang sebanyak 3.600 gigawatt (GW), pemanfaatannya baru 11,15 GW atau sebesar 3% dari total potensi energi terbarukan.[8] Maka dari itu sangat diperlukan teknologi dan regulasi yang memadai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan energi terbarukan ini.

Instruksi Presiden atas Penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) sebagai kendaraan dinas operasional dan/atau kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat dan pemerintahan daerah merupakan salah satu upaya pemerintah tetap konsisten dan berkomitmen dengan target pembangunan nasional dalam hal percepatan transisi energi menuju energi terbarukan (EBT). Instruksi Presiden ini khusus memberikan instruksi kepada Para Menteri Kabinet Indonesia Maju; Sekretaris Kabinet; Kepala Staf Kepresidenan; Jaksa Agung Republik Indonesia; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Para Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian; Para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara; Para Gubernur; dan Para Bupati/Wali Kota, sesuai dengan tugas, pokok, dan kewenangannya mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan percepatan pelaksanaan program dalam Inpres ini. Peraturan mengenai percepatan program kendaraan bermotor berbasis listrik telah diatur pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Pasal 1 Angka 3 Perpres Nomor 55 Tahun 2019, dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 1

3. Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BatteryElectric Vehicle) yang selanjutnya disebut KBL Berbasis Baterai adalah kendaraan yang digerakan dengan Motor Listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar”.

Pelaksanaan percepatan transisi energi melalui program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai ini memiliki rintangan yang besar karena perlu kerja sama antar instansi pemerintahan pusat dan daerah serta perusahaan industri dalam hal penelitian, pengembangan dan inovasi industri, yang dijelaskan pada Pasal 7 ayat 2 Perpres Nomor 55 Tahun 2019 yang menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 7

(2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan perusahaan industri dapat bersinergi untuk melakukan penelitian, pengembangan, dan inovasi teknologi industri KBL Berbasis Baterai”.

Walaupun disebutkan sebagai energi ramah lingkungan, terdapat rintangan dalam isu lingkungan atas konsumsi penggunaan listrik dan komponen kendaraan listrik yang tantangan terbesarnya terletak kepada pengisian dan pelepasan energi di baterai. Menurut Ketua Ikatan Alumni RISET-Pro, terdapat 4 (empat) dampak negatif pada industrialisasi kendaraan listrik, antara lain bahan berbahaya dan beracun (B3), konsumsi energi massif sepanjang proses produksi, jejak air (water footprint) yang besar, dan kerusakan kepada ekosistem. Dampaknya kepada manusia bisa terjadi pada waktu tidak dikelola dengan baik, karena material B3 dapat terakumulasi dan mengendap pada perairan, tanah, udara, dan juga kepada manusia. Hal ini karena substansi seperti logam berat, arsenik, sodium dichromate dan hydrogen fluoride (umumnya dihasilkan dari aktivitas pertambangan), pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan barang elektronik seperti baterai memiliki dampak yang cukup spesifik di dalam ekosistem. Terlebih lagi, dalam proses pembuatan baterai dan kendaraan listrik melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, manufaktur membutuhkan energi dan air bersih yang sangat besar. Eksploitasi material-material dari alam dapat menyebabkan kerusakan kepada ekosistem, terutama terkait kepada substansi dan limbah berbahaya yang dikeluarkannya.[1]

Infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk mendukung kebijakan ini, yaitu sarana pengisian tenaga listrik bagi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, juga belum memadai. Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) masih jarang ditemukan, belum lagi tipe mobil yang berbeda akan membutuhkan Plug Socket Outlet yang berbeda pula, sehingga menemukan SPKLU yang cocok dengan tipe mobil masing-masing bisa dikatakan sulit.[2] Pada tahun 2020, telah didirikan 53 unit charging station di 35 lokasi yang tersebar di Jakarta, Bandung, Tangerang, Semarang, Surabaya dan Bali. Data ini membuktikan bahwa perkembangan infrastruktur untuk menyokong penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai masih terpusat di Pulau Jawa dan masih sangat sedikit dibandingkan dengan target jumlah SPKLU pada tahun yang sama yaitu 180 unit. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan jumlah SPKLU di Indonesia, yaitu:[3]

  1. Investasi pengembanagn SPKLU membutuhkan modal yang tergolong tinggi, khususnya untuk DC Fast Charger;
  2. Kekosongan pengaturan mengenai Tata Niaga SPKLU;
  3. Kurangnya lahan yang strategis untuk SPKLU;
  4. Harga mobil listrik sendiri masih tergolong mahal;
  5. Model bisnis pengembangan SPKLU yang belum teruji;
  6. Miskonsepsi masyarakat terhadap mobil listrik.

Melihat situasi Indonesia yang baru pulih dari krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Maka, pelaksanaan Inpres No. 7 Tahun 2022 akan terbilang sulit. Melihat banyak daerah sedang disibukkan dengan pemulihan ekonomi masyarakat pasca pandemi COVID-19, maka penganggaran tentang pengadaan kendaraan dinas berbasis baterai akan memberatkan APBD dari masing-masing daerah. Tentu saja hal ini berpotensi menimbulkan keberatan dari Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Maka, pengadaan kendaraan dinas berbasis baterai tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap tersebut juga meliputi persiapan infrastruktur, pengawasan terhadap produksi, pemakaian, dan pembuangan agar tidak membahayakan lingkungan, serta perhitungan anggaran yang tepat. Terhadap hambatan-hambatan yang menghalangi implementasi Instruksi Presiden mengenai Battery Electric Vehicle tersebut, pemerintah berupaya untuk tetap mendorong segala pihak yang dapat dilibatkan untuk mendukung kebijakan tersebut. Kebijakan-kebijakan termasuk insentif bagi para pihak yang menyediakan infrastruktur SPKLU[4] dan perjanjian kerja sama dengan PT PLN Persero selaku penyedia tenaga listrik[5] merupakan solusi yang dapat mendukung percepatan transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan.


[1] RISET-Pro, “Dampak Negatif Kendaraan Listrik Terhadap Lingkungan,” https://risetpro.brin.go.id/web/2021/10/07/dampak-negatif-kendaraan-listrik-terhadap-lingkungan/, diakses pada 26 September 2022.

[2] Direktorat Jenderal Kelistrikan, “Bahan Paparan Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik dan Tarif Tenaga Listrik Untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai”, disampaikan dalam acara “Bedah Buku: Peluang dan Tantangan Pengembangan Mobil Listrik Nasional”, Jakarta, 6 Agustus 2020.

[3] M. Ikhsan Asaad, Tim Pengembangan Infrastruktur Kendaraan Listrik PT. PLN, Persero, “Road Map Pengembangan Infrastruktur Kendaraan Listrik 2020-2024”, Jakarta, 1 September 2020

[4] ndonesia, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, Pasal 17.

[5] Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Nomor 13 Tahun 2020, Pasal 19.

[1] “Kewajiban Kendaraan Dinas Pakai Mobil Listrik Bentuk Komitmen Percepatan Transisi Energi.” SINDOnews.com, 20 September 2022, https://ekbis.sindonews.com/read/890775/34/kewajiban-kendaraan-dinas-pakai-mobil-listrik-bentuk-komitmen-percepatan-transisi-energi-1663704562?_gl=1*54079f*_ga*ZzFLR3l6LVFZRnkxemFFeVE4WWFMYk8wMjhGYTRucC16blR3d3A3YWsyX2hjZ3A1dHlYZWQxdGQ3Q21vbDhNSA. Diakses 25 September 2022.

[2] “Forum Transisi Energi G20 Bali Jadi Pondasi Percepatan Transisi Energi G20 – G20 Presidency of Indonesia.” G20.org, 1 September 2022, https://g20.org/id/forum-transisi-energi-g20-bali-jadi-pondasi-percepatan-transisi-energi-g20/. Diakses 25 September 2022.

[3] SINDOnews.com, loc.cit.

[4] “Geliat Pemanfaatan Energi Terbarukan – Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM.” Pslh Ugm, 21 February 2022, https://pslh.ugm.ac.id/geliat-pemanfaatan-energi-terbarukan/. Diakses 25 September 2022.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Vita Puji Lestari. “Ringkasan Permasalahan dan Tantangan Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru dan Terbarukan Dalam Bauran Energi Nasional.” DPR RI, PUSAT KAJIAN AKN BADAN KEAHLIAN DEWAN DPR RI, 2021, https://berkas.dpr.go.id/puskajiakn/analisis-ringkas-cepat/public-file/analisis-ringkas-cepat-public-21.pdf. Diakses 25 September 2022.

[8] “Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM.” Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM, 11 February 2022, https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/02/14/3083/pemerintah.dorong.peran.daerah.dukung.percepatan.transisi.energi.di.indonesia. Diakses 25 September 2022.

1 2 3 4 26
Translate