1

SETTLEMENT OF LAND DISPUTES IN TOURISM SECTOR

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

REFERENSI: 

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

Pesatnya perkembangan pariwisata memunculkan persoalan baru di bidang pertanahan. Klaim kepemilikan tanah menjadi persoalan yang semakin menonjol sehingga menimbulkan konflik pertanahan antara pemerintah (sebagai regulator dan pihak yang mengeluarkan izin), pemodal (investor) dan masyarakat.[1]

Pemanfaatan tanah untuk kepentingan pembangunan, terutama di bidang pariwisata, telah mendorong terjadinya peralihan penggunaan dan kepemilikan tanah dalam skala besar.[2]

Sementara itu pemanfaatan tanah sendiri dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan:

                               “Pasal 3

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Adapun peraturan turunan dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi:

“Pasal 2

  • Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
    dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
    didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
    seluruh rakyat.
    • Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
      bumi, air dan ruang angkasa tersebut;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
      dan ruang angkasa;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
      perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
    • Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
      digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
      kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
      berdaulat, adil dan makmur.
    • Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
      daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
      bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Negara dengan hak menguasainya berkewajiban untuk mengatur dan menentukan peruntukan, penggunaan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya tanah, hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan:

“Pasal 14

  • Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2)
    serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
    suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
    ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:untuk keperluan Negara;untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan
    dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
    kesejahteraan;untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
    serta sejalan dengan itu;untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
  • Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-
    peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
    penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
    daerah masing-masing.
  • Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah
    mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari
    Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/
    Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan”.

Pemanfaatan tanah sebagai
bagian dari sumber daya alam Indonesia harus dilakukan secara bijaksana demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk sektor pariwisata.[3] Adapun dalam tujuan pariwisata sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 4

Kepariwisataan bertujuan untuk:

  1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
  2. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  3. menghapus kemiskinan;
  4. mengatasi pengangguran;
  5. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
  6. memajukan kebudayaan;
  7. mengangkat citra bangsa;
  8. memupuk rasa cinta tanah air;
  9. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
  10. mempererat persahabatan antarbangsa”.

Adanya pembangunan berskala besar terutama dalam bidang pariwisata tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Situasi dan kondisi ini muncul akibat salah satu pihak yang mengorbankan kepentingan pihak lainnya.[4] Akan tetapi persoalan hukum dan konflik pertanahan muncul ketika pemerintah tidak mampu menjadi pihak yang netral dalam menyelesaikan persoalan pertanahan dan terjadinya salah tafsir terhadap hak menguasai negara.[5]

Konflik pertanahan di berbagai daerah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tindakan pemerintah (badan pertanahan) yang lemah dalam melakukan penelitian dan mengidentifikasikan tanah terlantar.[6] Jika terjadi konflik pertanahan maka penyelesaian sengketa terdapat dua jenis yaitu jalur litigasi dan non litigasi, litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.[7] Sedangkan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution.[8] Salah satunya dengan cara mediasi, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, di mana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri.[9] Penyelesaian sengketa melalui mediasi pribadi, diatur oleh para pihak itu sendiri dibantu oleh mediator terkait atau mengikuti pendapat/pandangan para ahli yang tehnik dan caranya sangat bervariasi, tetapi tujuannya sama, yaitu membantu para pihak dalam rangka menegosiasikan persengketaan yang dihadapi dalam rangka mencapai kesepakatan bersama secara damai dan saling menguntungkan.[10]


[1] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[2] Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019 h 113

[3] Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018: 87-100, hal 88

[4] I gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018, hal 58

[5] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[6] Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, hal 2.

[7] Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), hal 16.

[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 236.

[9] I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009, hlm. 2.

[10] Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014, hlm 60.

LEGAL BASIS:

  1. The 1945 State Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles
  3. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;

REFERENCE:

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

The rapid development of tourism raises new problems in the land sector. Land ownership claims are becoming increasingly prominent issues, resulting with land conflicts between the government (as regulator and the party issuing permits), investors (that invests) and the community.

The use of land for development purposes, especially in the tourism sector, has led to a shift in land use and ownership on a large scale.

Meanwhile, the use of land itself is guaranteed in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which states:

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people”.

The derivative regulations from Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, namely Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, are emphasized in Article 2 of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations of Agrarian Principles, which reads:

“Article 2

  • On the basis of the provisions in Article 33 paragraph (3) of the Constitution and the matters referred to in Article 1, the earth, water and space, including the natural resources contained therein, are at the highest level. controlled by the State, as an organization of power for all the people.
  • The State’s right of control as referred to in paragraph (1) of this article authorizes to:
    • regulate and administer the designation, use, supply and maintenance of the said earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and the earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and legal actions concerning earth, water and space.

(3) The authority stemming from the state’s right to control as referred to in paragraph (2) of this article is used to achieve the greatest prosperity of the people in the sense of nationality, welfare and independence in society and an independent, sovereign, just and prosperous Indonesian legal state.

(4) The state’s control rights mentioned above can be exercised to autonomous regions and customary law communities, only as necessary and not in conflict with national interests, according to the provisions of Government Regulations”.

The state with the right to control is obliged to regulate and determine the allocation, use, control, supply and maintenance of land resources, this is described in Article 14 paragraph (1) of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, which states:

“Article 14

(1) With the stipulations in Article 2 paragraphs (2) and (3), Article 9 paragraph (2) and Article 10 paragraph (1) and (2) the Government in the context of Indonesian socialism draws up a general plan regarding the supply, designation and use of the earth, water and space as well as the natural resources contained therein:

a. for the needs of the State;

b. for the purposes of worship and other sacred purposes, in accordance with the basis of the One Godhead;

c. for the purposes of community, social, cultural and other welfare centers;

d. for the purpose of developing agricultural, animal husbandry and fishery production and in line with that;

e. for the purposes of developing industry, transmigration and mining.

(2) Based on the general plan as referred to in paragraph (1) of this article and in view ofthe relevant regulations, the Regional Government shall regulate the supply, designation and use of earth, water and space for their respective regions, in accordance with the conditions of their respective regions.

(3) The Regional Government Regulations referred to in paragraph (2) of this article shall come into force after obtaining ratification, concerning Level I Regions from the President, Level II Regions from the Governor/Head of the Region concerned and Level III Regions from the Regent/Mayor/Head of the Region concerned”.

Utilization of land as part of Indonesia’s natural resources must be done wisely for the prosperity and welfare of the Indonesian people, including the tourism sector. As for tourism destinations, as Article 4 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 4

Tourism aims to:

  1. increase economic growth;
  2. improve people’s welfare;
  3. eradicating poverty;
  4. overcoming unemployment
  5. conserving nature, environment, and resources;
  6. promote culture;
  7. raise the image of the nation;
  8. foster a sense of love for the homeland;
  9. strengthen national identity and unity; and
  10. strengthen friendship between nations.

The existence of large-scale development, especially in the field of tourism, often causes pros and cons. These situations and conditions arise as a result of one party sacrificing the interests of the other. However, legal issues and land conflicts arise when the government is unable to be a neutral party in resolving land issues and there is a misinterpretation of the right to control the state.

Land conflicts in various regions are caused by several factors, namely the actions of the government (land agency) which are weak in conducting research and in identifying abandoned land. If there is a land conflict, there are two types of dispute resolution, namely litigation and non-litigation, litigation is a dispute resolution process in court, where all disputing parties face each other to defend their rights before the court. The final result of a dispute resolution through litigation is a decision that states a win-lose solution. Meanwhile, dispute resolution through non-litigation is much more effective and efficient because in recent times, various methods of dispute settlement (settlement methods) outside the courts have been developed, known as Alternative Dispute Resolutions. One of them is by means of mediation, mediation is a dispute resolution process between the parties which is carried out with the help of a neutral and impartial third party (mediator) as a facilitator, where the decision to reach an agreement is still taken by the parties themselves. Settlement of disputes through private mediation, regulated by the parties themselves assisted by the relevant mediator or following the opinions/views of experts whose techniques and methods vary widely, but the goal is the same, namely to assist the parties in negotiating the disputes they face in order to reach mutual agreement collectively. peaceful and mutually beneficial.

1

Pembatasan Hak Imunitas Advokat dalam Menjalankan Tugas Profesi

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Megarini Adila Putri Lubis

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan mengenai jaminan yang diberikan kepada seluruh warga negara atas pengakuan, keadilan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga dikuatkan dengan prinsip atau asas yang berlaku di Indonesia selaku negara hukum, yaitu asas persamaan di hadapan hukum atau dikenal dengan istilah Equality Before the Law. Unsur-unsur asas equality before the law harus adanya persaman di depan hukum seluruh warga Negara Indonesia tanpa adanya prinsip non dikriminasi baik pejabat maupun non pejabat, memberikan jaminan hak asasi manusia guna untuk mendapatkan perlindungan didalam negara berdasarkan Pancasila.[1] Salah satu bentuk persamaan tersebut adalah seluruh warga negara berhak untuk menerima bantuan hukum sebagai bentuk jaminan sama di hadapan hukum atas kepentingan hukum yang sedang dilalui.

Bantuan hukum salah satunya dapat diberikan oleh seorang advokat, yaitu seseorang yang menawarkan jasa dalam bidang hukum dengan persyaratan yang sudah diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Pasal 1 Angka 2 UU Advokat menjelaskan definisi jasa hukum adalah sebagai berikut:

“Pasal 1

2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.[2]

            Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak berusaha dengan kapasitas maksimalnya sebagai advokat yang diberikan kuasa untuk membela hak-hak klien. Sehingga dalam proses pembelaan klien tersebut, advokat memiliki dan dilindungi hak imunitas atau kekebalan hukum. Hak imunitas advokat dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan profesinya dalam membela kepentingan klien.[3] Adanya hak imunitas advokat yang diatur dalam undang-undang karena dalam membela klien tidak dihinggapi rasa takut, merasa aman dan dilindungi negara melalui pemerintah.[4] Hak imunitas advokat ini diatur pada Pasal 16 UU Advokat menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.[5]

Penjelasan Hak imunitas pada Pasal 16 UU Advokat diatas dikuatkan kembali dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa hak imunitas ini berlaku baik didalam maupun diluar persidangan. Namun hak imunitas advokat ini hanya berlaku bagi mereka yang menjalankan tugas profesinya saat pembelaan klien dengan itikad baik.[6] Dalam penjelasan Pasal 16 UU Advokat dinyatakan bahwa itikad baik adalah advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan untuk membela kepentingan kliennya harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku.[7] Sehingga hak kekebalan hukum atas advokat ini memiliki pengecualian jika seorang advokat dalam profesinya melakukan hal-hal melanggar hukum dengan itikad buruk untuk memenuhi kepentingan klien.

Diketahui bahwa seorang advokat suatu perusahaan swasta menjadi tersangka atas perbuatan Obstruction of Justice yang mana menghalangi, merintangi, mencegah dalam penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Tim Penyidik pada kasus korupsi perusahaan tersebut.[8] Perbuatan Obstruction of Justice ini diatur pada Pasal 221 Ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

“Pasal 221

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat rihu lima ratus rupiah:

2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian”.[9]

Komisi Pemberantasan Korupsi juga meyakinkan bahwa seorang advokat yang ditetapkan sebagai seorang tersangka berdasarkan tuduhan Undang-Undang Tindak pidana korupsi sebagai pihak yang melawan karena perbuatan menghalang-halangi dalam penanganan kasus korupsi jelas ada ancaman pidananya.[10] Mengenai perbuatan yang menghalang-halangi proses penangan kasus korupsi, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menjelaskan sebagai berikut:

“Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi”.[11]

            Berdasarkan perbuatan dengan tidak adanya itikad baik oleh pengacara dalam hal melakukan pembelaan terhadap klien atas tugas profesi inilah yang menggugurkan dan menimbulkan pembatasan atas hak imunitas seorang advokat. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hak imunitas bisa hilang manakala advokat yang bersangkutan melakukan perilaku-perilaku sebagai berikut:[12]

  1. Advokat yang bersangkutan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien, baik disengaja maupun tidak;
  2. Advokat yang bersangkutan berbuat atau bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,  atau pengadilan;
  3. Advokat yang bersangkutan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesi;
  4. Advokat yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan/atau melakukan perbuatan tercela;
  5. Advokat yang bersangkutan melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi advokat.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Referensi:

  • Atmaja, Ida Wayan Dharma Punia. “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi.” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, p. 9. https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/43617. Diakses 27 Agustus 2022.
  • Sartono, dan Bhekti Suryani. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat. Jakarta, Dunia Cerdas, 2013. Diakses 28 Agustus 2022.
  • Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016)
  • Radityo, Muhammad. “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. Diakses 28 August 2022.
  • Yahman, dan Nurin Tarigan. Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta, Prenada Media, 2019. Diakses 28 August 2022.
  • “Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” Mahkamah Konstitusi RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095. Diakses 28 August 2022.

[1] Ramdhan Kasim dan Apriyanto Nusa, Hukum Acara Pidana Teori, Asas dan Perkembangannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Malang: Setara Press, 2016), hal. 27.

[2] Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[3] Yahman & Nurin Tarigan, Peran Advokat dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:Prenada Media, 2019), hlm. 76.

[4] Ibid., hlm. 77

[5] Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

[6] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, “Hak Imunitas Advokat dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi” E-Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, vol. 07, no. 05, 2018, hlm. 9.

[7] Kewenangan Menilai Itikad Baik Advokat Terletak pada Penegak Hukum | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” MK RI, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=15095.(diakses 28 August 2022).

[8] M. Radityo, “Kejagung Tetapkan Pengacara PT Palma Satu Tersangka Obstruction of Justice.” Liputan6.com, 25 August 2022, https://www.liputan6.com/news/read/5052187/kejagung-tetapkan-pengacara-pt-palma-satu-tersangka-obstruction-of-justice. (diakses 28 August 2022)

[9] Pasal 221 Ayat (1) Angka 2 KUHP

[10] Ida Wayan Dharma Punia Atmaja, 2018, hlm. 9

[11] Pasal 221 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[12] Sartono & Bhekti Suryani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat (Jakarta: Dunia Cerdas, 2013), hlm. 90

1

Urgensi Penerbitan Sertifikat Kepemelikan Bangunan Gedung Rumah Susun bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Author: Ilham M. Rajab
Co-author: Ratumas Amaraduhita Rengganingtyas Arham

Usaha di bidang properti saat ini berkembang sangat pesat. Sayangnya, permintaan perumahan yang semakin banyak tidak sebading dengan keterbatasan lahan terutama di wilayah perkotaan. Keterbatasan lahan di wilayah perkotaan inilah yang membuat bidang perumahan mulai beralih dari perumahan ke rumah susun atau yang sering disebut juga sebagai satuan rumah susun. Terdapat 2 (dua) jenis sertifikat yang menjadi bukti kepemilikan atas satuan rumah susun, yaitu Sertifikat Hak Milik Sarusun (“SHMRS”) dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (“SKBG Sarusun”).[1]

Salah satu bukti kepemilikan berupa sertifikat kepemilikan atas satuan rumah susun ialah Sertifikat Hak Milik Sarusun (“SHMRS”). Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rumah Susun”), SHMRS didefinisikan sebagai berikut:

“Pasal 1

11. Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan”.[2]

Umumnya, SHM Sarusun digunakan bagi masyarakat kelas menengah ke atas untuk membeli satuan rumah susun dalam bentuk unit apartemen. Oleh sebab itu, SKBG Sarusun hadir sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat berpenghasilan rendah (“MBR”).

Urgensi penerbitan SKBG Sarusun dilatarbelakangi oleh sejumlah problematika dalam mewujudkan hunian di perkotaan bagi MBR yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan.[3] Bagi pemerintah, problematika yang dihadapi berupa semakin terbatasnya fiskal dan pemerintah daerah yang belum mampu mengendalikan harga lahan di perkotaan untuk rumah susun umum. Bagi para pengembang, semakin melambungnya harga lahan di perkotaan tidak memungkinkan mereka untuk menyediakan perumahan maupun apartemen dengan harga yang terjangkau bagi MBR. Sedangkan bagi MBR, tantangan dalam memiliki hunian adalah daya beli yang tidak menjangkau harga pasar perumahan saat ini. Oleh karena itu, SKBG Sarusun dengan cara mendayagunakan Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD) dan tanah wakaf yang belum dimanfaatkan serta dengan sistem sewa menjadi salah satu solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut,[4] Berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU Rumah Susun, Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (“SKBG Sarusun”) didefinisikan sebagai berikut:

“Pasal 1

12. Sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun yang selanjutnya disebut SKBG sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa”.

Selain diatur dalam UU Rumah Susun, SKBG Sarusun saat ini memiliki pengaturan yang lebih terperinci. SKBG Sarusun diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  Nomor 17 Tahun 2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Penerbitan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun. Ketiga regulasi tersebut pada pokoknya mengatur mengenai pihak yang menerbitkan sertifikat, dokumen terkait, dan masa berlaku SKBG Sarusun.

          Kesimpulannya, penerbitan SKBG Sarusun menjadi penting dan diperlukan dalam rangka mendorong skema penyediaan tanah untuk pembangunan rusun dengan pendayagunaan tanah wakaf dan pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD) dengan cara sewa. Selain itu, SKBG Sarusun meberikan sejumlah manfaat bermukim bagi MBR dan pemerintah. Manfaat tersebut antara lain:[5]

  1. Memberikan kepastian tinggal bagi MBR, sebab SKBG Sarusun merupakan sertifikat kepemilikan berjangka waktu dan dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia;
  2. Menjangkau kemampuan MBR untuk memiliki rusun umum dengan harga lebih rendah, komponen tanah hanya memperhitungkan harga sewa dan bukan harga beli; dan
  3. Pemerintah tetap memiliki jaminan atas kepemilikan aset.

Dasar Hukum:

– Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

– Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun

Referensi:

Arthalia Saputra. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Satuan Rumah Susun Terkait Hak Kepemilikan. Arena Hukum, 13(1). 118.

https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

https://realestat.id/berita-properti/skbg-sarusun-jawab-kebutuhan-hunian-mbr-di-perkotaan/ diakses pada 21 Agustus 2022


[1] Arthalia Saputra. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Satuan Rumah Susun Terkait Hak Kepemilikan. Arena Hukum, 13(1). 118.

[2] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

[3] https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

[4] https://realestat.id/berita-properti/skbg-sarusun-jawab-kebutuhan-hunian-mbr-di-perkotaan/ diakses pada 21 Agustus 2022

[5] https://www.antaranews.com/berita/3065269/kementerian-pupr-tekankan-pentingnya-skbg-sarusun-untuk-bantu-publik?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=menu_news diakses pada 21 Agustus 2022

0

THE IMPLEMENTATION OF TRAVELLER PROTECTION REGULATIONS FOR TOURISTS DURING COVID-19 PANDEMIC

Author: Nirma Afianita
Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
  3. Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

REFERENSI:

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  2. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  3. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  4. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  5. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  6. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  7. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  8. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  11. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  12. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  13. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

Kata pariwisata secara etimologi merupakan gabungan dari kata pari dan wisata dalam bahasa Sansekerta.  Pari memiliki arti semua, seluruh, penuh, sedangkan wisata berarti perjalanan.  Maka dari penggabungan keduanya dihasilkan kata pariwisata yang dapat diartikan sebagai perjalanan penuh. Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini tidaklah dapat terlepas dari peran pariwisata.  Kini pariwisata merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat, yang setiap kegiatannya memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan sosial dan ekonomi.[1]

United Nation World Tourism Organizations (UNWTO) dalam laporannya menyatakan bahwa pada Januari 2020, kedatangan wisatawan internasional di seluruh dunia naik 4% dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 1,5 miliar.[2] Angka tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sektor pariwisata telah menjadi industri yang memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di dunia.

Di Indonesia sendiri, pariwisata merupakan salah satu sektor yang menjadi andalan dalam perkembangan ekonomi. Badan Pusat Statistik mengemukakan bahwa terdapat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 5,85% pada bulan Januari 2020 apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada bulan Januari 2019.[3] Dengan berbagai macam budaya dan segala kekayaan alam yang dimiliki, potensi yang dimiliki Indonesia dalam bidang pariwisata sangatlah besar.

Pengaturan mengenai kepariwisataan termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor  11  Tahun  2020  tentang  Cipta  Kerja  sebagai  “Keseluruhan  kegiatan  yang  terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai  wujud  kebutuhan  setiap  orang  dan  negara  serta  interaksi  antara  wisatawan  dan  masyarakat  setempat,  sesama  wisatawan,  pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  pengusaha”. Berdasarkan hal tersebut, penting bagi Indonesia untuk memperhatikan pembangunan   pariwisata   di   era   modern   ini   dengan   senantiasa   memperbarui   kebijakan-kebijakan terkait kepariwisataan, agar dapat terus meningkatkan kualitas dan mempertahankan eksistensi pariwisatanya di mata dunia.[4]

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap wisatawan. Perkembangan pariwisata suatu negara tentu saja tidak dapat terlepas dari jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke negara tersebut.  Maka guna meningkatkan jumlah tersebut, adanya jaminan bagi keamanan serta keselamatan wisatawan sangatlah diperlukan. Andai kata suatu negara yang menjadi tujuan wisata gagal dalam membuat wisatawan merasa aman dan menyediakan pelayanan yang baik, hal tersebut tentu saja akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan pariwisata di negara tersebut.[5]

Beranjak   dari   paragraf   sebelumnya, maka   tampak   mengapa   hukum   perlindungan konsumen mendapatkan perhatian yang besar di tengah pesatnya perkembangan   zaman   ini.   Undang-Undang   Nomor   8   Tahun   1999   tentang   Perlindungan   Konsumen menentukan   bahwa “perlindungan konsumen merupakan segala usaha yang memastikan terjaminnya kepastian hukum guna memberikan perlindungan kepada konsumen”.  Hal ini merupakan   wujud   tameng   bagi   konsumen   dari   kesewenangan   pelaku   usaha   dalam mengutamakan kepentingannya di era perdagangan bebas.[6] Konsumen memiliki posisi yang lemah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, maka dari itu dibutuhkan perlindungan hukum yang bersifat mengatur dan melindungi, mengingat kompleksnya permasalahan perlindungan konsumen yang kian muncul di era dimana perkembangan zaman tidak mengenal kata henti.[7]

Pada   12   Maret   2020, World Health Organization   resmi   menetapkan   mewabahnya COVID-19 sebagai pandemi global.[8] Wabah ini menyebar hingga ke lintas negara dengan sangat cepat dan telah meluas ke berbagai belahan dunia. Penyebaran virus Corona mau tidak mau mempengaruhi berbagai aktivitas global, tidak terkecuali sektor pariwisata. UNWTO melaporkan bahwa dalam merespons pandemi ini, 96% dari destinasi wisata di dunia menerapkan larangan perjalanan wisata, baik bagi seluruh negara maupun beberapa negara tertentu.[9]

Indonesia   merupakan   satu   dari   sekian   banyak   negara   yang   merasakan   dampak pandemi ini pada sektor pariwisata. Dalam upayanya mencegah dan mengendalikan penyebaran virus ini, Presiden menerbitkan ketentuan baru yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang mana penerapannya diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Dengan diterapkannya kebijakan tersebut, masyarakat dihadapkan dengan kebiasaan baru yang mengharuskan segala kegiatan untuk dilakukan di dalam rumah dengan adanya imbauan physical distancing dan isolasi mandiri, dengan harapan orang-orang dapat menghindari bepergian keluar apabila tidak ada kepentingan yang mendesak.[10]

Kebijakan ini tentu saja berdampakpula pada penutupan objek wisata di Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit dengan adanya anjuran bagi masyarakat untuk menghindari keramaian guna mencegah penularan virus Corona.[11]

Kemudian   seiring   berjalannya   waktu,  pemerintah   terus   memperbarui   kebijakannya dengan memperhatikan keadaan perputaran roda ekonomi Indonesia yang tidak dapat dibiarkan berhenti begitu saja.  Sektor pariwisata sebagai salah satu   industri   yang   memberikan   kontribusi   cukup   besar   bagi   perekonomian   Indonesia merupakan salah satu yang memerlukan perhatian khusus. Maka dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020/ tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), era new normal resmi berlaku d Indonesia dengan  tetap  memperhatikan  ketentuan-ketentuan  yang  ada  dalam  keputusan  menteri  tersebut. Tempat-tempat wisata di beberapa wilayah di Indonesia diizinkan untuk kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan pembatasan kapasitas pengunjung.  Hal ini bertujuan agar perekonomian dapat tetap berjalan dan memberikan dampak baik khususnya bagi industri pariwisata yang bergantung pada wisatawan domestik.[12]

Selama ini, pengusaha pariwisata diwajibkan untuk senantiasa memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan serta keselamatan untuk wisatawan, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 26 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kewajiban ini secara tidak langsung dimaksudkan guna memberikan jaminan dalam penggunaan jasa pariwisata yang diperoleh  wisatawan,  sehingga  wisatawan  sebagai  konsumen  dapat  terhindar  dari  kerugian  apabila  mengkonsumsi  jasa  pariwisata.[13]

Adapun kewajiban setiap pengusaha pariwisata berdasarkan Pasal 67 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai berikut:

Pasal 67

4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1)Setiap pengusaha pariwisata wajib:

a.menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b.memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;

c.memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;

d.memberikan kenyamanan, keramahan, pelindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;

e.memberikan pelindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;

f.mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;

g.mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;

h.meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

i.berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;

j.turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;

k.memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;

l.memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;

m.menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan

n.memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat”.

Dalam penerapannya, perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili perlindungan hukum bagi konsumen dengan wujud asas-asas dan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.[14] Perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 1   yang   menyatakan bahwa:

Pasal 1

  1. perlindungan   konsumen   adalah   segala   upaya   yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Segala upaya tersebut memiliki tujuan yang menjadi target akhir yang wajib terwujud dalam pelaksanaannya, sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bunyinya:

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan:

a.meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b.mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c.meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d.menciptakan    sistem    perlindungan    konsumen    yang    mengandung    unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e.menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f.meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen”.

Dalam pemenuhan enam tujuan tersebut, tentu saja erat kaitannya dengan asas-asas hukum yang berlaku.  Asas hukum dipahami sebagai nilai-nilai yang lahir dari pikiran dan hati nurani manusia dalam membedakan antara baik dan buruk, yang menjadi dasar tumpuan atau latar belakang dari pembentukan suatu peraturan hukum yang berlaku demi tercapainya ketertiban dalam masyarakat.[15]

Bentuk lain dari perlindungan bagi wisatawan adalah dengan dilakukannya sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) pada sektor pariwisata oleh pemerintah. Sertifikasi tersebut dibuat untuk memastikan penerapan protokol kesehatan dalam pengendalian virus Corona. Kegiatan sertifikasi pada dasarnya bersifat sukarela untuk hotel dan usaha pariwisata lainnya dan tidak dipungut biaya. Kegiatan sertifikasi ini pada sektor wisata diantaranya mencakup hotel, restoran, destinasi daya tarik, homestay, usaha perjalanan wisata, pemandu, SPA, MICE, serta wisata minat khusus. Sementara untuk ekonomi kreatif yakni menjangkau bioskop, seni pertunjukan, musik, seni rupa, fesyen, kuliner, kriya, fotografi, dan permainan. Tim sertifikasi selain dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bakal melibatkan Kementerian Kesehatan, serta sejumlah asosiasi seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia. Selain itu, tim provinsi dan kabupaten kota juga ikut dilibatkan serta lembaga sertifikasi yang nantinya bertugas menjadi asesor atau auditor.[16]

Selain itu pemerintah juga telah mengupayakan perlindungan konsumen dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019. Di dalam peraturan tersebut memerintahkan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota untuk menyusun dan menetapkan peraturan gubernur/peraturan bupati/wali kota yang memuat ketentuan antara lain:
1) kewajiban mematuhi protokol kesehatan antara lain meliputi:

a) perlindungan kesehatan individu yang meliputi:

(1) menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya;

(2) membersihkan tangan secara teratur;

(3) pembatasan interaksi fisik (physical distancing); dan

(4) meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);

b) perlindungan kesehatan masyarakat, antara lain meliputi: (1) sosialisasi, edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19);

(2) Penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses dan memenuhi standar atau penyediaan cairan pembersih tangan (hand sanitizer);

(3) Upaya penapisan dan pemantauan kesehatan bagi setiap orang yang akan beraktivitas;

(4) Upaya pengatur jaga jarak;

(5) Pembersihan dan disinfeksi lingkungan secara berkala;

(6) Penegakan kedisiplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko dalam penularan dan tertularnya Corona Virus Desease 2019 (COVID-19); dan

(7) Fasilitasi dalam deteksi dini dan penanganan kasus untuk mengantisipasi penyebaran Corona Virus Desease 2019 (COVID-19).

2) Kewajiban mematuhi protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada angka 1) dikenakan kepada perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

3) Tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), meliputi: a)perkantoran/tempat kerja, usaha, dan industri;

b)sekolah/institusi pendidikan lainnya;

c)tempat ibadah;

d)stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandar udara;

e)transportasi umum;

f)kendaraan pribadi;

g)toko, pasar modern, dan pasar tradisional;

h)apotek dan toko obat;

i)warung makan, rumah makan, cafe, dan restoran;

j)pedagang kaki lima/lapak jajanan;

k)perhotelan/penginapan lain yang sejenis;

l)tempat pariwisata;

m)fasilitas layanan kesehatan;

n)area publik, tempat lainnya yang dapat menimbulkan kerumunan massa; dan

o)tempat dan fasilitas umum dalam protokol kesehatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada angka 2), wajib memfasilitasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9).

5)memuat sanksi terhadap pelanggaran penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-1 9) yang dilakukan oleh perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 5) berupa:

a.Teguran lisan atau teguran tertulis;

b.Kerja sosial;

c.Denda administratif; atau

d.Penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.

Pandemi ini menyebabkan bergesernya orientasi segmen pasar pariwisata yang sebelumnya wisatawan mancanegara menjadi wisatawan nusantara. Pergeseran ini diakibatkan belum pulihnya arus penerbangan internasional sepenuhnya. Maka dari itu, dibutuhkan suatu strategi khusus dari pemerintah dalam menghadapi imbas dari kondisi ini terhadap sektor pariwisata agar tidak membuatnya semakin terpuruk dan dapat segera bangkit kembali. Pariwisata Indonesia haruslah beradaptasi di era new normal dengan selalu memberi perhatian khusus pada aspek kebersihan, keselamatan, dan keamanan.  Implementasi protokol kesehatan di setiap destinasi pariwisata haruslah diusahakan agar terwujud secara maksimal. [17]

Selama ini, menjaga jarak dengan orang lain, menghindari kerumunan, menjauhi keramaian, dan tidak berdesakan bukanlah kebiasaan yang umumnya ada di suatu destinasi pariwisata, khususnya pada masa-masa tertentu seperti pada saat liburan dan akhir pekan. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menjadi ancaman bagi keamanan, kesehatan, serta keselamatan wisatawan dan lebih lanjut akan berdampak kepada bagaimana suatu destinasi wisata akan bertahan di kemudian hari.[18] Sehingga sebagai bentuk perlindungan hukum bagi wisatawan di masa pandemi COVID-19, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dijadikan payung hukum untuk menghindarkan wisatawan dari kerugian, terkhusus kerugian kesehatan yaitu tertular virus Corona.  Pengusaha pariwisata selaku pelaku usaha wajib  memberikan  jaminan  atas  mutu  dan  kondisi  jasa  pemenuhan  kebutuhan  bagi  wisatawan  dan  penyelenggaraan  pariwisata  yang  disediakan.  Caranya adalah dengan memberikan informasi dan keterangan yang benar, jelas dan jujur mengenai bagaimana suatu destinasi pariwisata itu dikelola saat pandemi COVID-19 masih berlangsung. Pengusaha pariwisata juga wajib memastikan senantiasa dipatuhinya protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bentuk pelayanan yang benar dan pemenuhan hak yang dimiliki wisatawan sebagai konsumen. Di lain sisi, wisatawan selaku konsumen juga berkewajiban untuk menaati kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengusaha pariwisata selama masa pandemi COVID-19 demi keamanan dan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Kewajiban konsumen ini perlu ditekankan karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya dapat memberikan perlindungan secara efektif dan maksimal apabila kesadaran hukum dari masyarakat dalam hal ini wisatawan selaku konsumen telah terwujud.[19]


[1] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indo-nesia 2020), hal. 42.

[2] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 883.

[3] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 884.


[1] Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.

[2] Republika.co.id, https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022



[1] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.cit.



[1] Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011), hal 2.

[2] Beritasatu.com, https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.

[3] Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).

[4] Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021, hal. 865.

[5] Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya, hal. 2.

[6] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017), hal. 1.

[7] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018), hal. 13.

[8] Kompas.com, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.

[9] Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.

[10] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 866

[11] Finance.detik.com, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022

[12] Annisa Puspitadelia, Op.cit, hal. 867

[13] Annisa Puspitadelia, Ibid. hal 868.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection
  2. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism
  3. Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation

REFERENCES: 

  1. Muhammad Afdi Nizar, Pengaruh Pariwisata terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Munich Personal RePEc Archive (2011)
  1. Beritasatu.com,https://www.beritasatu.com/archive/596358/kedatangan-wisatawan-global-2019-ukir-rekor-15-miliar, diakses pada 23 Agustus 2022.
  2. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Pariwisata dan Transportasi Nasional Januari 2020, Berita Resmi Statistik (2020).
  3. Annisa Puspitadelia, Perlindungan Hukum bagi Wisatawan di Masa Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Jurist-Diction Vol. 4, No. 3, Mei 2021.
  4. Ni Made Novi Rahayo Widiastari, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan, (2013) Vol. 01 No. 05 Kertha Semaya.
  5. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Rajawali Pers 2017).
  6. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Sinar Grafika 2018).
  7. Kompas.com,https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada 23 Agustus 2022.
  8. Detik.com, https://travel.detik.com/travel-news/d-4986458/sedih-96-tempat-wisata-di-seluruh-dunia-ditutup-efek-corona, diakses pada 23 Agustus 2022.
  9. Finance.detik.com,https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4989978/objek-wisata-tutup-imbas-corona-pengusaha-pendapatan-hampir-zero, diakses pada 23 Agustus 2022.
  10. Dewa Gede Atmaja, Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum, (2018) Vol.  12 No.  2 Kertha Wicaksana, hal. 146.
  11. Republika.co.id,https://republika.co.id/berita/qfp1iw370/pemerintah-segera-sertifikasi-chse-sektor-pariwisata, diakses pada 23 Agustus 2022.
  12. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Rencana Strategis Ke-menparekraf/Baparekraf 2020-2024, (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2020).

The word tourism is etymologically a combination of the words pari and tourism in Sanskrit. Pari means all, whole, full, while tourism means journey. Therefore the combination of the two, the word tourism can be interpreted as a full trip. The development of the world economy today cannot be separated from the role of tourism. Today, tourism is an important element in people’s lives, whose activities are closely related to social and economic growth.

United Nations World Tourism Organizations (UNWTO) in its report stated that in January 2020, international tourist arrivals worldwide rose 4% from the previous year, which was 1.5 billion. This number is a proof that the tourism sector has become an industry that has a major influence on economic growth in the world.

In Indonesia itself, tourism is one of the mainstay sectors in economic development. The Central Statistics Agency stated that there was an increase in the number of foreign tourist arrivals by 5.85% in January 2020 when compared to the number of visits in January 2019. With a variety of cultures and all the natural resources it has, Indonesia’s potential in the tourism sector is very large.

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism certainly cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. Therefore in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country’s tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will certainly have a negative impact on the development of tourism in that country.

Proceeding from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is the form of protection to traveller from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Traveller has a weak position in relation to business actors, therefore it is necessary to have a legal protection that regulates and protects traveller, considering the complexity of traveller protection problems that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know the word stop.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, people are faced with a new habit that requires all activities to be carried out at home with the advice of physical distancing and self-isolation, this is done in the hope that people can avoid traveling outside if there is no urgent need.

This policy certainly also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

As time goes by, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07 / MENKES / 382/2020 / concerning Health Protocols for The Public in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

During this time, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

The regulation regarding tourism is regulated in Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation as “All activities related to tourism and are multidimensional and multidisciplinary in nature that arise as a manifestation of the needs of each person and country and interaction between tourists and local communities, fellow tourists, the Government, Regional Governments, and entrepreneurs”. Based on this, it is important for Indonesia to pay attention to tourism development in this modern era by constantly updating tourism-related policies, so that it can continue to improve the quality and maintain its tourism existence in the eyes of the world.

Another thing that needs attention is the protection of tourists. The development of a country’s tourism, of course, cannot be separated from the number of tourist visits that come to the country. So in order to increase this number, guarantees for the safety and security of tourists are needed. If a country that is a tourist destination fails to make tourists feel safe and provide good service, this will of course have a negative impact on the development of tourism in that country.

Moving on from the previous paragraph, it appears why consumer protection law has received great attention in the midst of the rapid development of this era. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection stipulates that “consumer protection is all efforts to ensure legal certainty in order to provide protection to consumers”. This is a form of shield for consumers from the arbitrariness of business actors in prioritizing their interests in the era of free trade. Consumers have a weak position in relation to business actors, therefore legal protection is needed that is regulating and protecting, given the complexity of consumer protection issues that are increasingly emerging in an era where the development of the times does not know stopping.

On March 12, 2020, the World Health Organization   officially declared the COVID-19 outbreak a global pandemic. This epidemic spread across countries very quickly and has spread to various parts of the world. The spread of the Coronavirus inevitably affects various global activities, including the tourism sector. UNWTO reports that in response to this pandemic, 96% of tourist destinations in the world have implemented travel bans, both for all countries and certain countries.

Indonesia is one of the many countries that have felt the impact of this pandemic on the tourism sector. In his efforts to prevent and control the spread of this virus, the President issued new provisions contained in Government Regulation Number 21 of 2020 concerning Large-Scale Social Restrictions, the implementation of which is regulated in detail in the Regulation of the Minister of Health Number 9 of 2020 concerning Guidelines for Large-Scale Social Restrictions in the Context Acceleration of Handling COVID-19. With the implementation of this policy, the community is faced with new habits that require all activities to be carried out at home with the appeal of physical distancing and self-isolation, with the hope that people can avoid traveling out if there is no urgent need.

This policy, of course, also has an impact on the closure of tourist attractions in Indonesia in large numbers with recommendations for the public to avoid crowds in order to prevent the transmission of the Coronavirus.

Then over time, the Government continues to update its policies by taking into account the state of the Indonesian economy, which cannot be allowed to just stop. The tourism sector as one of the industries that contributes significantly to the Indonesian economy is one that requires special attention. So with the issuance of the Decree of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number HK.01.07/MENKES/382/2020/ concerning Protocols for Public Health in Public Places and Facilities in the Context of Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), the new normal officially applies in Indonesia with due observance of the provisions contained in the Ministerial Decree. Tourist attractions in several regions in Indonesia are allowed to reopen by implementing strict health protocols and limiting visitor capacity. This is intended so that the economy can continue to run and have a good impact, especially for the tourism industry which depends on domestic tourists.

So far, tourism entrepreneurs are required to always provide comfort, friendliness, security and safety protection for tourists, in accordance with what is stipulated in Article 26 letter d of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism as amended by Law Number 11 of 2020 concerning Copyrights. Work. This obligation is indirectly intended to provide guarantees in the use of tourism services obtained by tourists, so that tourists as consumers can avoid losses when consuming tourism services.

The obligations of every tourism entrepreneur based on Article 67 number 4 of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation are as follows:

“Article 67

4. The provisions of Article 26 are amended to read as follows:

Article 26

(1)    Every tourism entrepreneur shall:

a.    maintain and respect religious norms, customs, culture, and values that live in the local community;

b. provide an accurate and responsible information;

c. provide non-discriminatory services;

d. provide a comfort, hospitality, security and safety to traveller;

e. provide an insurance protection to tourism businesses with high-risk activities;

f. develop partnerships with local micro, small, and cooperative enterprises that mutually require,strengthen, and profitable each other;

g. prioritize the use of local community products, domestic products, and provide opportunities for local work force;

h. improving the competence of the work force through training and education;

i. play an active role in infrastructure development efforts and community empowerment programs;

j. participate in preventing all forms of acts that violate decency and unlawful activities in the environment where the business is located;

k. maintain a healthy, clean and beautiful environment;

l. maintain the sustainability of the natural and cultural environment;

m. maintain the image of Indonesia through responsible tourism business activities; and

n. comply the business licenses from the central government”.

In its application, traveller protection is a term used to represent legal protection for traveller in the form of principles and rules that regulate and protect traveller interests. Traveller protection is regulated in Article 1 Number 1 Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states that:

“Article 1

consumer protection is all efforts that guarantee legal certainty to provide protection to consumers”.

All of these efforts have objectives that are the final target that must be realized in their implementation, as regulated in Article 3 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection which states:

“Article 3

Consumer protection aims:

a. increase consumer awareness, ability and independence to protect themselves;

b. elevating the dignity of consumers by preventing them from the negative excesses of the use of goods and/or services;

c.          increasing the empowerment of consumers in choosing, determining, and demanding their rights as consumers;

d. create protection system consumer that contains elements of legal certainty and information disclosure as well as access to information;

e. raise awareness of business actors regarding the importance of consumer protection so that an honest and responsible attitude in doing business grows;

f. improve the quality of goods and/or services that ensure the continuity of the business of producing goods and/or services, health, comfort, security, and safety of consumers”.

In fulfilling these six objectives, it is closely related to the principles of applicable law. Legal principles are understood as values ​​born from the mind and conscience of human in distinguishing between good and bad, which are the basis or background of the formation of an applicable legal regulation for achievement of order in society.

Another form of protection for tourists is to carry out CHSE certification (cleanliness, health, safety, and environmental sustainability) in the tourism sector by the government. The certification was made to ensure the implementation of health protocols in controlling the coronavirus. Certification activities are basically voluntary for hotels and other tourism businesses and are free of charge. This certification activity in the tourism sector includes hotels, restaurants, attraction destinations, homestays, travel businesses, guides, SPA, MICE, and special interest tours. Meanwhile, for the creative economy, it covers cinema, performing arts, music, fine arts, fashion, culinary, crafts, photography, and games. The certification team apart from the Ministry of Tourism and Creative Economy will involve the Ministry of Health, as well as a number of associations such as the Indonesian Hotel and Restaurant Association and the Association of Indonesian Travel Companies. In addition, provincial and district-city teams are also involved as well as certification bodies who will later serve as assessors or auditors.

In addition, the government has also sought consumer protection by issuing Presidential Instruction No. 6 of 2020 concerning Improvement of Discipline and Law Enforcement of Health Protocols in the Prevention and Control of Corona Virus Disease 2019. The regulation instructs the Governor, Regent, and Mayor to prepare and stipulate a governor/regent/mayor regulation which contains provisions, among others:

1) The obligations to comply with health protocols includes:

a) protection of infividual health which includes:

  1. use personal protective equipment in the form of a mask that covers the nose and mouth to the chin, if you have to leave the house or interact with other people whose health status is unknown;
  2. clean hands regularly;
  3. physical distancing; and
  4. increase endurance by implementing clean and healthy living behaviors;
  5. b)public health protection, including:
  1. socialization, education, and the use of various information media to provide understanding of the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
  2. Provision of hand washing facilities with soap that are easily accessible and meet standards or provision of hand sanitizer;
  3. Health screening and monitoring efforts for everyone who will have an activity;
  4. Social distancing measures;
  5. Periodic cleaning and disinfection of the environment;
  6. Enforcement of discipline on community behavior that is at risk in the transmission and contraction of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); and
  7. Facilitation in early detection and handling of cases to anticipate the spread of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

2) The obligation to comply with health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) as referred to in number 1) is imposed on individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

3) Public places and facilities as referred to in number 2), including:

a. offices/workplaces, businesses, and industries;

b. schools/ other educational institutions;

c.place of worship;

d.stations, terminals, ports, and airports;

e.public transport;

f.private vehicles;

g.shops, modern markets, and traditional markets;

h.pharmacies and drugstores;

i.food stalls, cafes, and restaurants;

j.street vendors/snack stalls;

k.hospitality/other similar hospitality;

l.tourism places;

m.health care facilities;

n.public areas, other places that can cause crowds; and

o.public places and facilities in other health protocols in accordance with the provisions of laws and regulations.

4) individuals, business actors, managers, organizers, or person in charge of public places and facilities as referred to in number 2), shall facilitate the implementation of prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

5) Contains sanctions for violations of the application of health protocols in the prevention and control of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) carried out by individuals, business actors, managers, organizers, or persons in charge of public places and facilities.

6) The sanctions as referred to in number 5) are in the form of: a)verbal warning or written warning;

b)Social work;

c)Administrative fines; or

d)Termination or temporary closure of business operations.

This pandemic has caused a shift in the orientation of the tourism market segment from foreign tourists to domestic tourists. This shift is due to the fact that international flight flows have not fully recovered. Therefore, a special strategy is needed from the government in dealing with the impact of this condition on the tourism sector so as not to make it worse and can immediately bounce back. Indonesian tourism must adapt to the new normal era by always paying special attention to aspects of cleanliness, safety and security. The implementation of health protocols in every tourism destination must be endeavored to be realized to the fullest.

During this time, keeping a distance from other people, avoiding crowds, staying away from crowds, and not being overcrowded are not habits that generally exist in a tourism destination, especially at certain times such as holidays and weekends. This certainly has the potential to be a threat to the security, health, and safety of tourists and will further have an impact on how a tourist destination will survive in the future.

Therefore as a form of legal protection for tourists during the COVID-19 pandemic, Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can be used as a legal basis to prevent tourists from losses, especially health losses due to contracting the Corona virus. Tourism entrepreneurs as business actors are obliged to provide guarantees for the quality and condition of services to meet the needs of tourists and the provision of tourism services. The way that can be done is to provide true, clear and honest information about how a tourism destination is managed while the COVID-19 pandemic is still ongoing. Tourism entrepreneurs are also required to ensure that the health protocols set by the government are always adhered to as a form of correct service and the fulfillment of the rights of tourists as consumers. On the other hand, tourists as consumers are also obliged to obey the policies that have been set by tourism entrepreneurs during the COVID-19 pandemic for the safety and security of themselves and others. This consumer obligation needs to be emphasized because Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection can only provide protection effectively and optimally if legal awareness of the public, in this case tourists as consumers, has been realized.

0

Penerapan Regulasi Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia

Author: Nirma Afianita
Co-author: Ilham M. Rajab

Transportasi umum kini menawarkan bentuk kenyamanan bagi konsumen, yaitu sebuah peningkatan keadaan yang lebih melayani pengguna dan driver transportasi umum sehingga membentuk hal-hal yang dapat memfasilitasi segala kebutuhan bagi driver dan penumpangnya.[1] Selain driver dan penumpangnya sudah tentu menjadi sebuah dampak yang positif dalam bidang pengangkutan. Pengangkutan adalah proses dari orang yang mampu mengikatkan diri untuk mengadakan perpindahan barang dan/atau orang dari satu titik tempat ke tempat tujuan tertentu dengan keadaan seperti semula.[2] Adapun pengertian dari pengangkutan adalah kegiatan menaikan penumpang atau barang pada sebuah alat pengangkut, kegiatan memindahkan penumpang atau barang pada tempat tujuan dengan alat pengangkut, dan menurunkan penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang disepakati.[3]

Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 1

3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang
dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan”.

Ojek online merupakan suatu kegiatan pengangkutan karena mampu melakukan kegiatan perpindahan baik orang maupun barang dari satu tempat ke tempat lain dalam keadaan semula dengan menggunakan Kendaraan dalam berlalu lintas di jalan. Dengan kemampuan ojek online melakukan kegiatan pengangkutan tersebut, dasar hukum penyelenggaraannya ojek online pada pasal 137 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan:

“Pasal 137

(2) Angkutan orang yang menggunakan kendaraan bermotor berupa sepeda motor, mobil penumpang, atau bus”.

Saat ini Kementerian Perhubungan memutuskan aturan baru mengenai penyesuaian tarif ojek online. Aturan tersebut rencananya akan dilakukan pada 29 Agustus 2022 dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi ditetapkan pada 4 Agustus 2022, Kementerian Perhubungan membuat kebijakan perubahan tarif, baik tarif minimal maupun rentang tarif per kilometer untuk jasa transportasi online berbasis kendaraan bermotor roda dua.[4]

Adapun kenaikan tarif ojek online sebagaimana dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, sebagai berikut:[5]

Daftar tarif baru ojek online di Indonesia:

Zona I (Sumatera, Jawa dan Bali)

Biaya jasa batas bawah Rp 1.850/km, batas atas Rp 2.300/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 9.250-Rp 11.500.

Zona II (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.600/km, batas atas Rp 2.700/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 13.000-Rp 13.500.

Zona III (Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua)

Biaya jasa batas bawah Rp 2.100/km, batas atas Rp 2.600/km. Biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 10.500-Rp 13.000.

Sementara itu tarif ojek online yang berlaku per 16 Maret 2020

Zona I

Tarif batas bawah: Rp 1.850/km
Tarif batas atas: Rp 2.300/km
Biaya jasa minimal 4 km pertama Rp 7.000-Rp 10.000

Zona II

Tarif batas bawah: Rp 2.250/km
Tarif batas atas: Rp 2.650/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 9.000 hingga 10.500

Zona III

Tarif batas bawah: Rp 2.100/km
Tarif batas atas: Rp 2.600/km
Biaya jasa minimum 4 km pertama Rp 7.000 hingga Rp 10.000

Dari kenaikan tarif ojek online yang ada tentu memilik dampak terhadap masyarakat, menurut salah satu Non-Governmental Organization yang bergerak di bidang ekonomi dampak dari kenaikan tarif ojek online tersebut antara lain pertama dampak negatif kenaikan tarif sebesar itu pertama adalah dari sisi konsumen, kedua menurutnya adalah dari sisi driver ojek online, dan dampak ketiga, adalah dari sisi ekonomi.[6] Dampak lainnya, terjadi peningkatan biaya transportasi untuk mengirimkan barang. “Sektor lain akan terpukul. Ada dampak turunan, karena transportasi ini menghubungkan antar sektor, bukan hanya mengantarkan orang, tapi juga barang, namun niat baik pemerintah untuk menyejahterakan driver ojek online melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi.[7]

Sementara itu dengan adanya kenaikan tarif ojek online menurut pengamat transportasi berpendapat bahwa kenaikan terlalu tinggi akan mengurangi permintaan penggunaan ojek online dari konsumen yang berpindah ke moda transportasi lain. Kenaikan tarif ini bisa membuat penjualan makanan melalui aplikasi turun, terutama membuat pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah terdampak dan kesulitan berusaha, Jangan sampai konsumen sudah bayar mahal, tapi mitra (pengemudi) tetap tidak sejahtera jika tarif terlalu murah, yang senang hanya penumpang. Tetapi apabila kenaikan harga terlalu mahal, akan membebankan konsumen, sehingga hanya pihak pengemudi dan pengembang aplikasi yang diuntungkan. Mengenai permasalahan tersebut sudah semestinya terdapat jalan tengah dari pemerintah bagi seluruh pihak yang bersangkutan.[8]

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi

Refrensi:

Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016;

Purwosutjipto H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000;

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013

https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah
https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732
https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi

[1] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] sindonews https://ekbis.sindonews.com/read/860131/34/kenaikan-tarif-ojol-diundur-momentum-jaring-aspirasi-publik-1660831732 diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[3] kontan https://industri.kontan.co.id/news/pengamat-transportasi-sarankan-tarif-ojol-tak-lebih-tinggi-dari-inflasi diakses pada tanggal 22 Agustus 2022



[1] tirto.id https://tirto.id/tarif-baru-ojek-online-akan-berlaku-mulai-29-agustus-2022-gvjG diakses pada tanggal 22 Agustus 2022

[2] cnbc https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220818082456-37-364593/tarif-ojek-online-naik-jatah-buat-driver-bakal-bertambah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2022


[1] Anindhita, Wiratri, Melisa Arisanty, And Devie Rahmawati. “Analisis Penerapan Teknologi Komunikasi Tepat Guna Pada Bisnis Transportasi Ojek Online (Studi Pada Bisnis Gojek Dan Grab Bike Dalam Penggunaan Teknologi Komuniasi Tepat Guna Untuk Mengembangkan Bisnis Transportasi).” Prosiding Seminar Nasional Indocompac. 2016

[2] Purwosutjipto H.M.N, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5, Penerbit Djambatan, Jakarta, h.10

[3]Abdulkadir Muhammad, 2013, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 4

1 2 3
Translate