Modus Kejahatan Pinjaman Online tanpa Registrasi

Author: Ester Victoria Uliarina

Suatu platform pinjaman online yang menyediakan pinjaman dengan jaringan internet atau online dikenal juga dengan sistemَ berbasisَ peer to peer lending.[1] Penggunaan sistem peer to peer lending ini memberikan manfaat bagi kemajuan usaha masyarakat yang tergolong masih kecil dan berlokasi di daerah pelosok yang belum dapat menjangkau layanan perbankan konvensional.[2] Hal ini dikarenakan bank konvensional belum memiliki kantor cabang pada daerah tersebut. Kehadiran pinjaman online yang semula memberikan kemudahan proses pinjam meminjam uang, kini tidak lagi sepenuhnya aman dari genggaman para pelaku kejahatan.

Kejahatan dalam pinjaman online semakin hari semakin meningkat dan beragam. Sebagaimana kita ketahui permasalahan yang kerap terjadi ketika seseorang yang melakukan suatu pinjaman online mendapatkan ancaman ketika orang tersebut tidak dapat membayarkan utang beserta bunga yang begitu besar. Semakin berkembangnya modus kejahatan saat ini tidak hanya orang yang melakukan pinjaman namun orang yang tidak pernah mengajukan pinjaman online dapat diteror oleh oknum-oknum “nakal” demi keuntungan pribadinya.[3] Salah satu modus kejahatan dengan mengirimkan sejumlah uang kepada seseorang yang tidak pernah mengajukan suatu pinjaman online digunakan pelaku untuk mengancam para korban.

Tidak hanya menyerang korban, pelaku juga sering kali menghubungi kerabat korban dan meminta korban untuk melunasi uang yang diberikan beserta bunga yang sangat besar tersebut. Pelaku mengancam akan menyebarkan data pribadi korban apabila keinginan pelaku tidak terlaksana. Hal ini tentu sangat meresahkan masyarakat, ketika mereka seharusnya tidak terlibat dalam lingkaran teror pelaku pinjaman online.

Kesadaran hukum masyarakat menjadi hal yang amat penting untuk menghadapi modus pinjaman online serupa. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh korban kejahatan pinjaman onlin tersebut. Pertama, cara termudah untuk mengabaikan hal tersebut dengan tidak menjawab panggilan telepon atau membalas pesan yang dikirimkan pelaku kejahatan pinjaman online, serta memberitahukan kerabat terkait hal tersebut. Antisipasi lain yang dapat dilakukan adalah memblokir nomor pelaku kejahatan pinjaman online yang memberikan ancaman kepada korban maupun kerabat korban. Kedua, melaporkan kepada pihak kepolisian terkait ancaman dan akses data pribadi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan pinjaman online.

Pencurian data pribadi yang dilakukan oleh pelaku merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pemilik data pribadi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya ada pribadi yang telah tersebar nantinya tidak dapat serta merta dihapus untuk menghilangkan identitas-identitas korban. Indonesia sebagai negara hukum telah memberikan perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang secara melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya.”.[4]

Sanksi atas perbuatan tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang menjabarkan: “Setiap Orang yang dengan senqaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.00O.OOO.000,00 (lima miliar rupiah).”[5]

Korban dapat melaporkan atas penipuan dengan dasar Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun“.[6]

Kemudian Pasal 29 Juncto Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi “.[7]

Pasal 45B

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)“.[8]

Apabila korban merasa dirugikan atas penghinaan dan/atau pencemaran nama baik  yang dilakukan oleh pelaku, maka korban akan mendapatkan perlindungan dengan Pasal 27 ayat (3) Juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal 27 ayat (3):

Setiap Orang dengan dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”[9]

Pasal 45 ayat (3):

Setiap Orang Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”[10]

Dasar Hukum:

  • Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

Referensi:

  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
  • Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
  • Amalia, Afnan H. 2022. “Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Pada Layanan Pinjaman Online.” Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/99046.
  • Dewi, Dewa A., and Ni K. Darmawan. 2021. “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Pinjaman Online Terkait Bunga Pinjaman Dan Hak-Hak Pribadi Pengguna.” Jurnal Hukum Kenotariatan 6 (2): 262. https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p04.
  • Sari, Berlian H. 2021. “Penegakan Hukum Terhadap Aplikasi Pinjaman Online Illegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9 (2): 165. https://doi.org/10.20961/hpe.v9i1.52429.

[1] Sari, Berlian H. 2021. “Penegakan Hukum Terhadap Aplikasi Pinjaman Online Illegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi 9 (2): 165. https://doi.org/10.20961/hpe.v9i1.52429.

[2] Amalia, Afnan H. 2022. “Perlindungan Hukum Penyalahgunaan Artificial Intelligence Deepfake Pada Layanan Pinjaman Online.” Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/99046.

[3] Dewi, Dewa A., and Ni K. Darmawan. 2021. “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Pinjaman Online Terkait Bunga Pinjaman Dan Hak-Hak Pribadi Pengguna.” Jurnal Hukum Kenotariatan 6 (2): 262. https://doi.org/10.24843/AC.2021.v06.i02.p04.

[4] Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

[5] Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

[6] Soesilo, R. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

[7] Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[8] Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[9] Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

[10] Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Urgensi Pengaturan Regulasi Khusus Tembakau Alternatif di Indonesia

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Megarini Adila Lubis

          Produksi tembakau menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat besar dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Tembakau Indonesia menjadi salah satu komoditas ekspor yang menghasilkan devisa yang besar bagi Indonesia dengan nilai ekspor mencapai Rp1,06 triliun pada periode Januari-Desember 2021.[1] Industri Hasil Tembakau (IHT) juga memberikan peran penting dalam perekonomian Indonesia dalam hal penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara melalui cukai, serta merupakan komoditas penting bagi petani berupa tembakau dan cengkeh.[2] Besarnya produksi tembakau juga sejalan dengan tingginya tingkat konsumsi tembakau oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga yang menjadikan Indonesia peringkat ketiga perokok terbanyak di dunia.[3] Indonesia termasuk dalam bagian negara yang memiliki jumlah perokok yang tinggi, yaitu di atas 40 persen dengan 65 persen di antaranya adalah pria dewasa.[4]

          Tingginya jumlah perokok di Indonesia juga ditengarai dengan adanya perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup yang sejalan dengan munculnya inovasi baru melalui produk tembakau alternatif. Bahkan penerimaan negara dari cukai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya mencapai Rp 680,36 miliar pada 31 Desember 2021, yang mana sebagian besar disumbang oleh HTPL produk ekstrak dan esens tembakau cair.[5] Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, yang termasuk tembakau alternatif adalah Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HTPL). Hal ini dijelaskan pada Pasal 1 Angka 4 dan Angka 5, bahwa:

“Pasal 1

4. Rokok Elektrik adalah Hasil Tembakau berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya, yang berasal dari pengolahan daun tembakau yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya, yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran, yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektrik kemudian dihisap.

5. Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya yang selanjutnya disingkat HPTL adalah Hasil Tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, Tembakau Iris, dan Rokok Elektrik yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.”[6]

Selanjutnya pada Pasal 2 Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya menjelaskan yang termasuk kepada Rokok Elektrik adalah Rokok Elektrik Padat, Rokok Elektrik Cair Sistem Terbuka dan Rokok Elektrik Cair Sistem Tertutup. Pasal 3 menjabarkan mengenai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) termasuk kepada Tembakau Molasses, Tembakau Hirup (Snuff Tobacco) dan Tembakau Kunyah (Chewing Tobacco).

Dengan berkembangnya tembakau alternatif di Indonesia, sejumlah asosiasi konsumen di Indonesia mendorong adanya perluasan akses informasi yang komprehensif dan akurat terhadap produk tembakau alternatif.[7] Perluasan informasi mengenai tembakau alternatif ini penting untuk menegaskan kepada konsumen, bahwa tembakau alternatif dan rokok konvensional merupakan produk yang berbeda. Mengacu kepada penelitian produk tembakau alternatif Risk Assessment of E-Liquid dan Oral Health Findings yang dilakukan oleh Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), produk dari hasil pengembangan inovasi teknologi yang termasuk pada tembakau alternatif tidak memiliki kandungan zat berbahaya seperti TAR, sehingga produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.[8] Penelitian ini diperkuat dengan kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England pada tahun 2018 dan German Federal Institute for Risk Assessment yang mana dalam publikasi hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, menjelaskan produk tembakau yang dipanaskan menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran, sehingga hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok.[9]

Dengan adanya penelitian ilmiah mengenai tembakau alternatif, diharapkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya melakukan kajian yang lebih serius mengenai hal ini agar dapat merancang regulasi-regulasi yang sesuai dan penggunaan produk tembakau alternatif menjadi tepat sasaran. Di negara lain, seperti Jepang, Inggris dan Selandia Baru, tembakau alternatif sudah memiliki legalitas . Melansir Antaranews.com, Professor Tikki Pangestu, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menjelaskan produk tembakau alternatif di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya.[10] Badan Statistik Inggris mencatat angka perokok mengalami penurunan dari 14,4% pada 2018 menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019.[11]

Di Indonesia, pengaturan mengenai tembakau alternatif hanya diatur dalam Permen Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan regulasi yang komprehensif dan menyeluruh untuk mengatur industri tembakau alternatif. Regulasi tersebut harus memuat hal-hal yang mengatur mengenai perlindungan hak konsumen, klasifikasi risiko tembakau alternatif berdasarkan kajian ilmiah yang melibatkan pemerintah, produsen, konsumen hingga praktisi kesehatan. Perlu juga diatur mengenai akses informasi dan pengaduan konsumen, standar produk dan pengemasan, penjualan, promosi, tempat dimana produk bisa dikonsumsi, serta batasan usia pengguna tembakau alternatif. Regulasi tembakau alternatif juga harus berbeda dengan regulasi rokok konvensional, karena tingkat bahaya kedua produk berbeda sehingga konsumen berhak atas informasi yang akurat.[12]

Dasar Hukum :

  • Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi :

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.

“Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.


[1] Muhammad Ghufron Ariawan. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses 07 Oktober 2022.

[2] Ibid.

[3] “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2/06/2021,https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Accessed 07 Oktober 2022.

[4] “62 Negara Terapkan Peraturan Produk Tembakau Alternatif.” JawaPos.com, 27 November 2018,https://www.jawapos.com/jpg-today/27/11/2018/62-negara-terapkan-peraturan-produk-tembakau-alternatif-2/. Diakses 7 Oktober 2022.

[5] Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021,https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.

[6] Pasal 1 Angka 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

[7] Vania Rossa dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.

[8] “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/.Diakses 8 Oktober 2022.

[9] Ibid.

[10] Ganet Dirgantoro dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Accessed 9 Oktober 2022

[11] Ibid.

[12] Banu Adikara, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.

Dasar Hukum:
Peraturan Menteri Keuangan No. 193/Pmk.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya

Referensi:

  • Adikara, Banu, editor. “Pemerintah Diminta Buat Regulasi Tembakau Alternatif, Ini Alasannya.” JawaPos.com, 14 Maret 2022, https://www.jawapos.com/ekonomi/14/03/2022/pemerintah-diminta-buat-regulasi-tembakau-alternatif-ini-alasannya/. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Ariawan, Muhammad Ghufron. “Industri Hasil Tembakau bagai Pisau Bermata Dua Bagi Pemerintah – Universitas Airlangga Official Website.” Unair, 23 Juni 2022, https://www.unair.ac.id/2022/06/23/industri-hasil-tembakau-bagai-pisau-bermata-dua-bagi-pemerintah/. Diakses  7  Oktober 2022.
  • Dirgantoro, Ganet, dan Ridwan Chaidir. “Produk tembakau alternatif di Inggris mampu hentikan 20.000 perokok – ANTARA News Banten.” Antara News banten, 30 September 2020, https://banten.antaranews.com/berita/129557/produk-tembakau-alternatif-di-inggris-mampu-hentikan-20000-perokok. Diakses 9 Oktober 2022.
  • Rossa, Vania, dan Mohammad Fadil Djailani. “Minim Regulasi, Industri Tembakau Alternatif Butuh Aturan dan Informasi yang Jelas.” Suara.com, 3 Oktober 2022, https://www.suara.com/bisnis/2022/10/03/163803/minim-regulasi-industri-tembakau-alternatif-butuh-aturan-dan-informasi-yang-jelas?page=all. Diakses 8 Oktober 2022.
  • Ulya, Fika Nurul. “Cukai Rokok Elektrik Ikut Naik Tahun Depan, Ini Rinciannya.” Kompas Money, 13 Desember 2021, https://money.kompas.com/read/2021/12/13/191559726/cukai-rokok-elektrik-ikut-naik-tahun-depan-ini-rinciannya. Diakses 8 Oktober 2022.
  • “Indonesia Peringkat ke-3 dan Jepang ke-7 Terbanyak Perokok di Dunia.” Tribunnews.com, 2 Juni 2021, https://www.tribunnews.com/internasional/2021/06/02/indonesia-peringkat-ke-3-dan-jepang-ke-7-terbanyak-perokok-di-dunia. Diakses 07 Oktober 2022.
  • “Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian – Badan Litbang.” Litbang Kemendagri, 11 Juli 2019, https://litbang.kemendagri.go.id/website/kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian/. Diakses 8 Oktober 2022.

LEGAL PROTECTION FOR ONLINE STOCK TRADING INVESTORS IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope P. B.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Referensi:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia sebagai negara berkembang dimana masyarakat berorientasi keuangan jangka pendek (saving society) yakni menabung, sedangkan negara maju berorientasi jangka panjang (investing society) yakni investasi. Edukasi masyarakat secara intensif dan berkesinambungan dibutuhkan untuk transisi dari saving society ke investing society. Adanya investasi yang kurang memadai, akan kesulitan mencapai peningkatan perekonomian yang mempengaruhi kesejahteraan ekonomi negara-negara berkembang.

Tujuan bisnis melakukan proyek perdagangan saham secara online adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk melakukan penjualan, pembelian, perubahan (amend), pembatalan (withdraw), memantau status pesanan jual beli secara realtime, memverifikasi portofolio, mengirimkan sejarah transaksi dan melacak harga saham secara realtime.
Investasi keuangan di bidang pasar modal semakin berkembang saat ini dan peningkatan teknologi informasi dan komunikasi internet of things mengakibatkan tidak diperlukannya lagi pertemuan secara fisik. Transaksi di perbankan dan pasar modal menjadi lebih mudah dan cepat karena dilakukan secara virtual. Kecepatan pelayanan investasi semakin meningkat karena kehadiran internet of things.

Pasar modal berperan penting bagi sistem ekonomi di Indonesia karena pasar modal melaksanakan peran sebagai sarana pendanaan usaha atau sarana perusahaan untuk memperoleh dana dari investor serta sebagai sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan. Pasar modal atau capital market merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik surat utang, saham, maupun instrumen lainnya.

Situasi yang berkembang pesat saat ini, penggunaan salah satu aplikasi berbasis online sudah tersebar di masyarakat yaitu aplikasi saham online yang digunakan masyarakat sebagai pelaku investor dalam pasar modal. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) yang dimana pasar modal mempunyai tempat strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Hal tersebut menarik minat masyarakat dengan kegiatan trading saham online. Sehingga sebelum masyarakat melakukan kegiatan trading saham online, masyarakat perlu mengetahui prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, yaitu prinsip keterbukaan.

Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang berlaku dalam bisnis pasar modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 1

25. Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut”.

Prinsip keterbukaan dalam pasar modal berlaku umum termasuk dalam ranah internasional menjadi hal yang sangat mutlak untuk dilakukan oleh semua pihak. Berbeda dengan sektor perbankan dimana prinsip kerahasiaan bank merupakan hal yang mutlak untuk ditaati, sektor pasar modal menetapkan hal yang sebaliknya, disclosure atau keterbukaan merupakan hal mutlak. Emiten, perusahaan publik, atau pihak lain yang terkait wajib memberikan informasi penting yang berhubungan dengan tindakan atau efek perusahaan tersebut pada waktu yang tepat kepada masyarakat. Emiten wajib memberikan informasi yang lengkap dan akurat. Lengkap maksudnya informasi yang diberikan utuh, tidak ada yang tertinggal, disembunyikan, disamarkan, atau tidak memberitahukan fakta material.

Terdapat beberapa perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal terhadap investor. Dalam rangka mencapai tujuan menyelenggarakan perdagangan efek yang teratur, wajar, dan efisien Bursa efek wajib menyediakan sarana pendukung dan mengawasi kegiatan anggota bursa efek sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kemudian demi menjaga tujuan menyelenggarakan perdagangan efek tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal juga telah menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan oleh perusahaan efek atau penasihat investasi.

Larangan-larangan yang diatur terhadap perusahaan efek atau penasihat investasi sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 35
Perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang:
a. menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah;
b. mengungkapkan nama atau kegiatan nasabah, kecuali diberi instruksi secara tertulis oleh nasabah atau diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mengemukakan secara tidak benar atau tidak mengemukakan fakta yang material kepada nasabah mengenai kemampuan usaha atau keadaan keuangannya;
d. merekomendasikan kepada nasabah untuk membeli atau menjual Efek tanpa memberitahukan adanya kepentingan Perusahaan Efek dan Penasihat Investasi dalam Efek tersebut”.

Dalam BAB XI Pasal 90-99 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah diatur mengenai penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Dalam pasal 90 misalnya yang berbunyi:
“Pasal 90
Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek”.

Terhadap ketentuan pasal tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengatur mengenai ketentuan sanksi yang dapat diterapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berbunyi:
“Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah dengan tegas mengatur perlindungan hukum terhadap investor yang melakukan transaksi dipasar modal. Begitupun dengan investor yang melakukan transaksi online meskipun belum ada pengaturan secara khusus namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tetap menjadi acuan apabila terjadi pelanggaran berupa penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam pada saat transaksi online dilaksanakan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan perlindungan hukum bagi konsumen yang bersifat pencegahan dan pemberian sanksi, karena fungsi pengaturan dan pengawasan bidang jasa keuangan dipegang oleh OJK. Konsumen yang dimaksud memiliki pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pension, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan OJK, dimana perlindungan ini sifatnya mencegah kerugian, diantaranya:
a. Informasi dan edukasi tentang karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya diberikan pada masyarakat;
b. jika kegiatan yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) merugikan masyarakat maka kegiatan tersebut dapat diminta untuk dihentikan; dan
c. Ketentuan dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan mengatur tentang tindakan lain yang dapat dilakukan apabila dibutuhkan.

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan, bahwa pelayanan pengaduan konsumen dapat dilakukan OJK yang terdiri dari:
a. LJK menyediakan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan;
b. LJK membuat Mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan;
c. LJK memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.

Sebagai proyeksi lanjutan, jika investor dirugikan oleh kegiatan pemanfaatan jasa keuangan, maka investor berhak untuk mengadukan hal ini kepada layanan konsumen OJK. Sebagai otoritas pengawas tunggal dan terintegrasi bagi jasa keuangan di Indonesia, OJK berkewajiban untuk memperketat pengawasan terhadap sistem remote trading di bursa. Berdasarkan kasus diatas, jika kemudian hari terjadi lagi pengaduan oleh investor maka OJK berkewajiban untuk memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan (dalam kasus ini adalah Bursa Efek Indonesia) untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang merasa dirugikan tersebut.

Pertanggungjawaban pelaku usaha mengacu kepada Undang-Undang Pasar Modal diatur pada Pasal 46 Undang-Undang Pasar Modal dimana dikatakan bahwa kewajiban Kustodian yakni harus menyerahkan ganti kerugian kepada pemegang rekening atas kerugian yang timbul karena kesalahan yang dilakukannya. Namun dalam praktik pengaturan mengenai pelayanan/produk belum optimal memberikan perlindungan yang memadai sejak awal hingga penanganan dan penyelesaian sengketa. Sanksi yang didapatkan oleh pelaku usaha akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Perusahaan Efek dapat bertindak sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan manajer investasi yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk memberi kepastian hukum terhadap investor. Pertanggungjawaban pelaku usaha/perusahaan sekuritas akibat kerugian yang dialami investor pengguna aplikasi saham online selain diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal juga diatur dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.

Legal Basis:

  1. Law Number 8 of 1995 concerning Capital Market
  2. Law Number 21 of 2011 concerning Financial Services Authority

Reference:

  1. Damos Wiratua Tampubolon, Elisatris Gultom, dan Sudaryat, Perlindungan Hukum Investor Trading Saham Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam Jurnal Mercatoria, 15 (1) Juni 2022.
  2. Dennis Eryanto dkk. 2008. Manajemen Proyek Online Trading System PT Universal Broker Indonesia, Jurnal The Winner, 9(1).
  3. Rahmadiani Putri Nilasari, Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Transaksi Jual Beli Efek Melalui Internet, dalam Jurnal Yuridika Vol. 26, No. 3, September-Desember 2011.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

Indonesia as a developing country where people are short-term financial oriented, namely saving, while developed countries are long-term oriented, namely investment. Intensive and continuous public education is needed for the transition from a saving society to investing society. Insufficient investment will make it difficult to achieve economic improvement that affects the economic welfare of developing countries.

The business goal of doing stock trading projects online is to provide opportunities for customers to make sales, purchases, changes, cancellations, monitor the status of buying and selling orders in real time, verify portfolios, send transaction history and track stock prices in real time. Financial investment in the capital market sector is growing at this time and the improvement in information technology and internet of things has resulted in no need for physical meetings. Transactions in banking and capital markets have become easier and faster since they are carried out virtually. The speed of investment services is increasing due to the presence internet of things.

The capital market plays an important role in the economic system in Indonesia since the capital market plays a role as a means of business funding or a means for companies to obtain funds from investors and as a means for the public to invest in financial instruments. The capital market is a market for various long-term financial instruments that can be traded, both debt securities, shares, and other instruments.

Currently the use of the online stock application has spread in the community. Based on Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, the capital market has a strategic role in national development as a business funding source and public investment media. This attracts people’s interest towards online stock trading. So that before people trade stocks online, people need to know the principles applicable in the capital market business, namely the disclosure principle.

The disclosure principle is a principle that applies in the capital market business, as regulated in Article 1 number 25 of Law Number 8 of 1996 concerning the Capital Market which states:
“Article 1

  1. The disclosure principle is the general guideline that requires an issuer, a public company and other persons subject to this law, to disclose to the public within a certain time, material information with respect to their business or securities, when such information may influence decisions of investors in such securities and/or the price of the securities”.

The disclosure principle in the capital market is generally accepted, including in the international world, which is obligatory for all parties. In contrast to the banking sector where the principle of bank secrecy is mandatory, the capital market sector stipulates the opposite, disclosure or openness is absolute. Issuers, public companies, or other related parties must provide important information related to the actions or securities of the company in a timely manner to the public. Issuers are required to provide complete and accurate information. Complete means that the information provided is complete, nothing is left behind, hidden, disguised, or does not reveal material facts.

There are several protections provided by Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market to investors. In order to achieve the goal of conducting securities trading in an orderly, fair and efficient manner, the Stock Exchange is required to provide supporting facilities and supervise the activities of securities exchange members as regulated in Article 7 paragraph (1) jo. Paragraph (2) of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market. Then in order to maintain the purpose of holding securities trading, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has also explained activities that are prohibited from being carried out by securities companies or investment advisors.

There are prohibitions regulated against securities companies or investment advisors as regulated in Article 35 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 35
Securities companies or investment advisors are prohibited from:
a. use influence or exert pressure that is contrary to the interests of the customer;
b. disclose the customer’s name or activities, unless given a written instruction by the customer or required by applicable laws and regulations;
c. disclose incorrectly or do not disclose material facts to customers regarding their business capabilities or financial condition;
d. recommend to clients to buy or sell Securities without notifying the existence of the Securities Company and Investment Advisor’s interest in the Securities”.

In Chapter XI Articles 90-99 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market, it is already regulated regarding fraud, market manipulation, and insider trading. Article 90, for example, states:
“Article 90
In securities trading activities, each party is prohibited directly or indirectly from:
a. deceive or deceive other Parties by using any means and or means;
b. participate in deceiving or deceiving other Parties; and
c. make untrue statements regarding material facts or do not disclose material facts so that the statements made are not misleading regarding the conditions that occurred at the time the statement was made with the intention of benefiting or avoiding harm to oneself or another Party or with the aim of influencing another Party to buy or sell Securities”.

Against the provisions of that article, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has regulated the provisions of sanctions that can be applied as stipulated in Article 104 of Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market which states:
“Article 104
Any Party violating the provisions as referred to in Article 90, Article 91, Article 92, Article 93, Article 95, Article 96, Article 97 paragraph (1), and Article 98 are punishable by a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 15,000,000,000. ,00 (fifteen billion rupiah)”.

Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market has clearly regulated legal protection for investors who conduct transactions in the capital market. Likewise with investors who conduct online transactions, although there is no specific regulation, Law Number 8 of 1995 concerning the Capital Market remains a reference in the event of violations in the form of fraud, market manipulation and insider trading when online transactions are carried out.

The Financial Services Authority (OJK) provides legal protection for consumers that is preventive in nature and provides sanctions, since the regulatory and supervisory functions of the financial services sector are held by the OJK. Consumers have the meaning as regulated in Article 1 number 15 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority, states consumers are parties who place their funds and/or take advantage of services available at financial service institutions, including customers in banking, investors in the capital market, policyholders in insurance, and participants in pension funds, based on the laws and regulations in the financial services sector. Article 28 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority is a form of legal protection provided by the OJK, where this protection is to prevent losses, including:
a. Information and education concerning the characteristics of the financial services sector, services and products are provided to the public;
b. if the activities carried out by the Financial Services Institutions are detrimental to the community, the activities can be requested to be stopped; and
c. Provisions in the laws and regulations in the financial services sector regulate other actions that can be taken if needed.

Article 29 of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority states that consumer complaints services can be carried out by the Financial Services Authority consisting of:
a. Financial Services Institutions provide adequate tools to service consumer complaints that are harmed;
b. Financial Services Institutions establish a mechanism for complaints of consumers who are harmed;
c. Financial Services Institutions facilitate the settlement of consumer complaints that are harmed in accordance with the laws and regulations in the financial services sector.

As a further projection, if investors are harmed by the use of financial services, investors have the right to complain concerning this to the Financial Services Authority’s consumer services. As the sole and integrated supervisory authority for financial services in Indonesia, the Financial Services Authority is obliged to tighten supervision of remote trading systems on the stock exchange. Based on the above case, if in the future there is another complaint by the investor, the Financial Services Authority is obliged to order or take certain actions to the financial service institution (in this case the Indonesia Stock Exchange) to resolve the consumer complaint who feels aggrieved.

The liability of business actors refers to the Capital Market Law as regulated in Article 46 of the Capital Market Law where it is stated that the Custodian’s obligation is to submit compensation to the account holder for losses arising from his/her mistakes. However, in practice the regulation regarding services/products has not been optimal in providing adequate protection from the beginning to handling and resolving disputes. Sanctions obtained by business actors due to losses experienced by online investors are administrative, civil and criminal sanctions. Securities Companies can act as underwriters, securities brokers and investment managers who have roles and responsibilities to provide legal certainty to investors. The liability of business actors/securities companies due to losses experienced by online investors not only regulated in the Capital Market Law apart from regulated in the Financial Services Authority Law.

THE IMPLEMENTATION OF ONLINE DISPUTE RESOLUTION IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita
Co-author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

REFERENSI:

  1. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006.
  2. Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Online Dispute Resolution in Consumer Disputes, Jurisprudencia, Mykolas Romeris University, 2011.
  3. UNCITRAL Technical Notes on Online Dispute Resolution, 2017. Diakses dari https://uncitral.un.org/sites/uncitral.un.org/files/media-documents/uncitral/en/v1700382_english_technical_notes_on_odr.pdf pada tanggal 18 September 2022.
  4. Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace. San Fransisco: Jossey Bass, 2001.
  5. Faiz Aziz, M., & Arif Hidayah, M. (2020). Perlunya Pengaturan Khusus Online Dispute Resolution (ODR) Di Indonesia Untuk Fasilitasi Penyelesaian Sengketa E-Commerce. Jakarta Selatan: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
  6. Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Analisis Pentingnya Implementasi Penyelesaian Sengketa Online di Indonesia, Legalitas: Jurnal Hukum, Juni 2021.
  7. Meline Gerarita Sitompul, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan, Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia, dalam Jurnal Renaissance Vol. 1, No. 02, Agustus 2016.
  8. Ahkhan, Alma, dan Irwansyah, Eksistensi The International Chamber of Commerce Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, dalam Jurnal Analisis, Vol. 4, No.1, Juni 2015.

Prinsip dasar hukum adalah hukum selalu ditempatkan sebagai Ultimum Remedium[1] atau upaya terakhir yang ditempuh ketika upaya-upaya lain tidak bisa menyelesaikan suatu masalah. Banyaknya sengketa dan permasalahan yang muncul harus diselesaikan secara cepat dan tepat. Dalam konteks tersebut maka lahirlah mekanisme penyelesaian secara damai yang dituangkan dalam proses-proses non-hukum. Praktik ini disebut sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR), sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi:

“Pasal 1

10. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

Hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat, dinamika perkembangan masyarakat membantu menghantarkan reformasi hukum modern (modern legal reform) yang dalam hal ini segala sesuatunya selalu menggunakan teknologi. Penggunaan teknologi ini juga merambah hingga pada pola alternatif penyelesaian sengketa yang dalam hal ini mulai berkembang dengan baik. Online Dispute Resolution (ODR) biasa juga disebut sebagai Internet Dispute Resolution (iDR), ataupun juga Electronic Dispute Resolution (eDR), Electronic ADR (sADR) hingga Online ADR (oADR) adalah satu diantaranya.[1] Namun, masih banyak yang belum mengerti tentang mekanisme Online Dispute Resolution ini termasuk orang-orang yang bekerja pada bidang hukum itu sendiri.

Online Dispute Resolution (ODR) adalah cabang penyelesaian sengketa yang mana menggunakan fasilitas teknologi untuk memberikan penyelesaian terhadap sengketa antara para pihak. Yang mana dalam hal ini menggunakan negosiasi, mediasi atau arbitrase ataupun kombinasi diantara ketiganya. Dalam hal ini ODR dikategorikan sebagai bagian dari Alternative Dispute Resolution (ADR). Bedanya adalah bahwa ODR merubah pandangan tradisional dengan penggunaan teknik yang inovatif dan teknologi online pada prosesnya.[2]

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur ODR itu dilakukan secara online tanpa mengharuskan kedua belah pihak yang bersengketa yang berada di wilayah lintas batas untuk bertemu secara langsung atau bertatap muka. Dengan demikian, Online Dispute Resolution diharapkan dapat membantu serta mengatasi dalam menangani situasi yang timbul dari transaksi perdagangan lintas batas, yang mana mekanisme peradilan yang tradisional kemungkinan tidak menawarkan solusi atau bantuan hukum yang memadai untuk mengatasi sengketa e-Commerce lintas batas (cross-border).[3]

ODR lahir dari sinergisme antara Alternative Disputes Resolution (ADR) dan Information of Computer Technology (ICT) sebagai metode atau langkah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam proses online yang mana penyelesaian secara tradisional sangat tidak efektif dan tidak memungkinkan. Kerangka pihak yang bersengketa (dalam ODR) antara lain:

  1. Pihak yang bersengketa 1;
  2. Pihak yang bersengketa 2;
  3. Fasilitator;
  4. ICT “Information and Computer Technology” Assistance.[4]

ODR ini bisa diartikan penyelesaian melalui metode ADR, yang asumsinya bahwa sengketa tertentu (e-disputes) dapat diselesaikan secara cepat, mudah, melalui media internet. Bisa dikatakan ODR adalah penyelesaian ADR dengan penggunaan teknologi internet. Dalam hal tersebut, terdapat 4 tipe ODR:[5]

  1. Online Settlement, sistem otomatis canggih yang mampu menyelesaikan masalah sengketa finansial;
  2. Online Arbitration, penggunaan website sebagai media arbitrase dengan dukungan dari arbitrator yang berkualifikasi;
  3. Online Resolution of Consumer Complaints, menggunakan media e-mail untuk menyelesaikan masalah komplain dari konsumen;
  4. Online Mediation, penggunaan website sebagai tempat mediasi dengan dukungan dari mediator yang berkualifikasi.

ODR dalam hal ini dilihat dari tipe-tipe penyelesaian sengketa, hanya berkutat pada penyelesaian commercial law (perdagangan) yang itu harus dapat diselesaikan secara damai, yurisdiksinya adalah meliputi kewenangan untuk menangani kasus-kasus hukum dagang yang hasilnya dapat berupa win-win solution ataupun win-lose solution dari proses e-adjudication (Online Arbitration).

Secara umum, ODR memiliki empat komponen (semacam syarat sahnya ODR):[6]

  1. Sama seperti ADR, kedua belah pihak yang bersengketa harus bersepakat untuk menyelesaikan kasusnya di luar pengadilan. Bedanya adalah menggunakan internet dalam proses penyelesaiannya;
  2. Terdapat panduan dari professional yang mengarahkan para pihak untuk menjalankan proses ADR dengan menggunakan internet;
  3. Pengaturan mengenai ADR berlaku pada pelaksanaan penyelesaian melalui internet;
  4. Software digunakan sebagai alat untuk bertukar informasi di internet. (Meet Online, Access Database, Send document and Hold Meetings with Voice and Video Conference).

Di Indonesia sebenarnya telah ada undang-undang yang mengatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun pengaturan-pengaturan yang dimaksudkan pada undang-undang ini meliputi pengaturan tentang penyelesaian sengketa seputar perbedaan pendapat antara pihak yang bersengketa karena adanya hubungan hukum tertentu maupun karena timbulnya kerugian dikarenakan adanya hukum-hukum tersebut. Jadi, cakupan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini yaitu penilaian ahli, arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi dan konsiliasi termasuk proses beracara dan prosedur yang berlaku pada arbitrase dan/atau upaya alternatif penyelesaian sengketa serta putusan dan pelaksanaan putusannya.[7]

Sementara itu, hubungan antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan ODR, walaupun ODR dapat diimplementasikan, namun belum ada keterkaitan yang mencakup pengaturan mengenai ODR. Maka dari itu, akibat dari timbulnya perselihan yang pada umumnya timbul karena adanya perjanjian, para pelaku bisnis yang berperkara dapat dengan bebas dalam menentukan forum dalam perjanjian tersebut termasuk penggunaan ADR maupun ODR. Meski demikian, prosedur beracaranya tetap mengaplikasikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta peraturan lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.[8]

Disamping itu, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga dapat digunakan sebagai dasar pengaplikasian ODR spesifiknya untuk permasalahan e-Commerce. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya seperti tertera dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi:

Pasal 18

(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”.

Ketentuan ini cenderung menunjukan bahwa konsumen harus benar-benar mencermati apakah kontrak yang akan disepakati sudah menetapkan forum pengadilan, arbitrase ataupun lembaga penyelesaian sengketa alternatif. Karena forum-forum inilah yang nantinya muncul sebagai ruang untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha. Maka dari itu, perlu ditambahkan pula adanya forum penyelesaian sengketa secara online.[9]

Penyelesaian sengketa e-Commerce dapat dilakukan secara online dengan menggunakan ODR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang berbunyi:

Pasal 72

(1)Dalam hal terjadi sengketa dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.

(2)Penyelesaian sengketa Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan secara elektronik (online dispute resolution sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Maksud dari ODR pada Peraturan Pemerintah e-Commerce yaitu Lembaga yang terakreditasi atau lembaga pemerintahan yang berwenang yang menyelenggarakan ODR harus didukung oleh pendukung yang profesional seperti mediator atau advokat. Adapun pemilihan forum ODR itu ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang melakukan transaksi atau perdagangan bisnis secara online termasuk pilihan forum serta hukum dalam penyelesaian sengketa lintas batas. Namun, asas hukum perdata internasional berlaku apabila para pihak tidak menentukan forum serta hukum sekiranya terjadi sengketa.[10]

Salah satu lembaga internasional yang dapat menerapkan ODR adalah International Chamber of Commerce (ICC). Kedudukan ICC sangat penting sebagai salah satu choice of forum oleh para pihak, dan lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa bisnis internasional. Terdapat dua cara penyelesaian sengketa yang disediakan oleh ICC, cara pertama yakni dengan menggunakan badan arbitrase ICC, dan cara kedua dapat juga sengketa tersebut diselesaikan melalui badan konsiliasi ICC, kedua cara penyelesaian tersebut yang membuat ICC berbeda dengan lembaga atau badan penyelesaian sengketa bisnis internasional yang lain.[11] Jadi, dengan hadirnya regulasi ADR dan e-Commerce di Indonesia telah menunjukkan bahwa setidaknya ODR telah mempunyai dasar regulasi yang dapat mendukung pelaksanaannya. Meskipun belum ada pengaturan yang spesifik sehubungan ODR, aturan-aturan yang sebagaimana telah dijabarkan diatas telah dapat menjadi patokan dalam membuat peraturan-peraturan mengenai ODR secara lebih mendetail. Hal ini dikarenakan pentingnya peraturan-peraturan yang secara khusus mengatur tentang ODR agar ODR dapat menjadi pilihan bagi para pelaku praktik perdagangan bisnis khususnya pada penyelesaian sengketa antara para pihak yang bersengketa.[12]


[1] Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Online Dispute Resolution in Consumer Disputes, Jurisprudencia, Mykolas Romeris University, 2011, hal. 5.

[2] Ibid, hal. 2.

[3] UNCITRAL Technical Notes on Online Dispute Resolution, 2017. Diakses dari https://uncitral.un.org/sites/uncitral.un.org/files/media-documents/uncitral/en/v1700382_english_technical_notes_on_odr.pdf pada tanggal 18 September 2022.

[4] Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace. San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hal. 9.

[5] Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Op Cit, hal. 4.

[6] Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Op Cit, hal. 5.

[7] Faiz Aziz, M., & Arif Hidayah, M. (2020). Perlunya Pengaturan Khusus Online Dispute Resolution (ODR) Di Indonesia Untuk Fasilitasi Penyelesaian Sengketa E-Commerce. Jakarta Selatan: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

[8] Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Analisis Pentingnya Implementasi Penyelesaian Sengketa Online di Indonesia, Legalitas: Jurnal Hukum, Juni 2021, hal. 22.

[9] Meline Gerarita Sitompul, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan, Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia, dalam Jurnal Renaissance Vol. 1, No. 02, Agustus 2016, hal. 79.

[10] Loc. cit

[11] Ahkhan, Alma, dan Irwansyah, Eksistensi The International Chamber of Commerce Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, dalam Jurnal Analisis, Vol. 4, No.1, Juni 2015, hal. 79

[12] Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Ibid.



[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006, hal. 126.

LEGAL BASIS:

  1. Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternatif Dispute Resolution
  2. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
  3. Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems

REFERENCES: 

  1. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006.
  2. Felikas Petrauskas, Egle Kbartiene, Online Dispute Resolution in Consumer Disputes, Jurisprudencia, Mykolas Romeris University, 2011.
  3. UNCITRAL Technical Notes on Online Dispute Resolution, 2017. Diakses dari https://uncitral.un.org/sites/uncitral.un.org/files/media-documents/uncitral/en/v1700382_english_technical_notes_on_odr.pdf pada tanggal 18 September 2022.
  4. Katsh, E Rifkin, Online Disputes Resolution: Resolving Conflicts in Cyberspace. San Fransisco: Jossey Bass, 2001.
  5. Faiz Aziz, M., & Arif Hidayah, M. (2020). Perlunya Pengaturan Khusus Online Dispute Resolution (ODR) Di Indonesia Untuk Fasilitasi Penyelesaian Sengketa E-Commerce. Jakarta Selatan: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
  6. Vizta Dana Iswara, Nur Hadiyati, Analisis Pentingnya Implementasi Penyelesaian Sengketa Online di Indonesia, Legalitas: Jurnal Hukum, Juni 2021.
  7. Meline Gerarita Sitompul, M. Syaifuddin, dan Annalisa Yahanan, Online Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia, dalam Jurnal Renaissance Vol. 1, No. 02, Agustus 2016.
  8. Ahkhan, Alma, dan Irwansyah, Eksistensi The International Chamber of Commerce Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, dalam Jurnal Analisis, Vol. 4, No.1, Juni 2015.

The basic principle of law is that the law is always placed as the Ultimum Remedium or a last resort taken when other efforts have failed to solve a problem. The number of disputes and problems that arise must be resolved quickly and accurately. In this context, a peaceful settlement mechanism was born which was outlined in non-legal processes. This practice is referred to as Alternative Dispute Resolution(ADR), as defined in Article 1 number 10 of Law Number 30 of 2019 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution which states:

Article 1

  1.  Alternative dispute resolution is a dispute resolution institution or difference of opinion through a procedure agreed upon by the parties, namely an out-of-court settlement by means of consultation, negotiation, mediation, conciliation, or expert judgment”.

The law always follows the society progress, the dynamics of that development helps to deliver modern legal reforms, which these days everything always uses technology. The use of this technology has also penetrated into alternative dispute resolution patterns which is growing well. Online Dispute Resolution (ODR), also known as Internet Dispute Resolution (IDR), or Electronic Dispute Resolution (EDR), Online ADR (OADR) is one of them. However, there are still many who do not understand about the Online Dispute Resolution, including people who work in the legal field itself.

ODR is a type of dispute resolution which uses online system to provide disputes resolution between parties. In this case, negotiation, mediation,  arbitration, or a combination of the three is used. ODR is categorized as part of the Alternative Dispute Resolution (ADR). The difference is that ODR changes the traditional view by using innovative techniques and online facilities in the process.

As already mentioned, the dispute resolution through the ODR channel is carried out online without requiring the two disputing parties in cross-border areas to meet face-to-face or face to face. Thus, the Online Dispute Resolution is expected to be able to assist and overcome in dealing with situations arising from cross-border trade transactions, where traditional judicial mechanisms may not offer adequate solutions or legal assistance to resolve e-Commerce cross-border

ODR was born from the synergism between Alternative Disputes Resolution (ADR) and Information of Computer Technology (ICT) as a method or step to resolve disputes that arise in the online where traditional settlement is very ineffective and impossible. The framework of the disputing parties (in ODR) includes:

  1. Disputing parties 1;
  2. Disputing parties 2;
  3. Facilitator;
  4. ICT “Information and Computer Technology” Assistance.

This ODR can be interpreted as a settlement through the ADR method, which assumes that certain disputes (e-disputes) can be resolved quickly, easily, through the internet. It can be said that ODR is the settlement of ADR with the use of internet technology. In this case, there are 4 types of ODR:

  1. Online Settlement, a sophisticated automated system capable of resolving financial disputes;
  2. Online Arbitration, the use of the website as an arbitration media with the support of a qualified arbitrator;
  3. Online Resolution of Consumer Complaints, media e-mail to resolve complaints from consumers
  4. Online Mediation, using the website as a mediation site with the support of a qualified mediator.

ODR in this case is seen from the types of dispute resolution, only dwelling on the settlement of commercial law (trade) which must be resolved peacefully, its jurisdiction includes the authority to handle commercial law cases whose results can be in the form of a win-win solution or win-lose solution of the e-adjudication process (Online Arbitration).

In general, ODR has four components (a kind of legal requirement for ODR):

  1. Just like ADR, both parties to the dispute must agree to settle the case out of court. The difference is using the internet in the completion process;
  2. There is a guide from a professional that directs the parties to carry out the ADR process using the internet;
  3. Regulations regarding ADR apply to the implementation of settlements via the internet;
  4. Software is used as a tool to exchange information on the internet. (Meet Online, Access Database, Send document and Hold Meetings with Voice and Video Conference).

In Indonesia, there is actually a law that regulates alternative dispute resolution, namely Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution. The regulations referred to in this law include arrangements for resolving disputes regarding differences of opinion between the disputing parties due to certain legal relationships or due to the occurrence of losses due to the existence of these laws. So, the scope regulated in Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution is expert judgment, arbitration, consultation, negotiation, mediation and conciliation including the proceedings and procedures applicable to arbitration and/or alternative dispute resolution efforts. as well as decisions and implementation of decisions.

Meanwhile, the relationship between Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution and ODR, although ODR can be implemented, but there is no link that includes arrangements regarding ODR. Therefore, as a result of the emergence of disputes that generally arise due to the existence of an agreement, the business actors who are litigating can freely determine the forum in the agreement, including the use of ADR and ODR. However, the proceedings still apply Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution as well as regulations on arbitration institutions and alternative dispute resolution.

In addition, Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions which was later amended by Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions and Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems can also be used as the basis for the application of ODR specifically in e-Commerce. Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions confirms that the parties have the authority to establish court forums, arbitrations or settlement institutions that may arise from international electronic transactions made as stated in Article 18 paragraph (4) which states:

Article 18

(4) The parties have the authority to establish court forums, arbitration, or other alternative dispute resolution institutions that are authorized to handle disputes that may arise from international electronic transactions they make”.

This provision tends to show that consumers must really pay attention to whether the contract to be agreed upon has established a court forum, arbitration or alternative dispute resolution institution. Because these forums will emerge as a space to resolve consumer and business disputes. Therefore, it is also necessary to add an online.

Using ODR in accordance with the provisions of laws and regulations can provide e-commerce disputes resolution. This can be found in Article 72 paragraphs (1) and (2) of Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems which states:

Article 72

(1)In the event of a dispute in trade through electronic system, the parties may resolve the dispute through the courts or through other dispute resolution mechanisms.

(2) Dispute resolution of trade through electronic systems as referred to in paragraph (1) can be conducted electronically online dispute resolution in accordance with the provisions of the laws and regulations”.

Dispute resolution of trade through electronic systems as referred to in paragraph (1) can be conducted electronically online dispute resolution in accordance with the provisions of the laws and regulations”.

Based on the Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems, ODR is an accredited institution or authorized government agency that organizes disputes resolution by online system and consist of professionals such mediators or advocates. Furthermore, ODR forum is determined beforehand by the parties whom agreed upon a selection of dispute resolution forum and the ruling law in case of cross-border dispute. However, the principles of international private law will be applied if the parties do not specify the forum and law in case of dispute.

One of the international institutions that can implement ODR is the International Chamber of Commerce (ICC). The position of the ICC is very important as a choice of forum by the parties, and an institution that can resolve international business disputes. There are two ways of resolving disputes provided by the ICC, the first way is by using the ICC arbitration body, and the second way the dispute can also be resolved through the ICC conciliation body. So, the presence of ADR and e-Commerce in Indonesia has shown that at least ODR has a regulatory basis that can support its implementation. Although there are no specific regulations regarding ODR, the rules as described above have been able to become a benchmark in making regulations regarding ODR in more detail. This is due to the importance of regulations that specifically regulate ODR so that ODR can be an option for business trade practitioners, especially in dispute resolution between the disputing parties.

Pelanggaran terhadap Pemakaian Tenaga Listrik di Indonesia

Author: Bryan Hope Putra Benedictus
Co-author: Alexandra Hartono Lee

Seorang pelanggan Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) dikenakan sanksi hingga lebih dari Rp41.000.000 atau terbilang empat puluh satu juta rupiah akibat pemakaian yang dinilai tidak normal oleh pihak PLN.[1] PLN curiga bahwa pelanggan melakukan pencurian listrik akibat menurunnya jumlah tagihan yang harus dibayar. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tali segel meteran tersebut putus, dan perubahan pola penggunaan listrik yang berubah drastis memperkuat dugaan pencurian listrik oleh PLN atas pelanggan ini.[2] Padahal, pelanggan mengatakan bahwa posisi meteran listrik yang diletakkan di luar rumah berarti orang lain mempunyai akses terhadap meteran tersebut, termasuk apabila ada “oknum” yang sengaja merusak segel meteran. Akibatnya, tidak hanya sanksi berupa pembayaran uang, PLN juga melakukan pemutusan aliran listrik ke rumah pelanggan ini serta penyitaan meteran listrik. Kini kondisi listrik pelanggan telah dinyalakan kembali dengan menggunakan sistem token sementara, dan meteran akan diperiksa oleh PLN untuk mencari penyebab kerusakan segelnya. Namun kenyataannya, kejadian ini tidak hanya terjadi pada satu pelanggan, melainkan ada banyak orang lain yang mengalami hal serupa.

Jumlah sanksi yang dikenakan bisa dibilang cukup bombastis, hingga membuat masyarakat bertanya-tanya dasar hukum dari pengenaan sanksi yang begitu merugikan. Secara umum, pencurian listrik masuk dalam tindak pidana pencurian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana[3], Pasal 362 yang berbunyi:

Pasal 362

barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Kini sudah berlaku peraturan perundang-undangan yang mengatur pencurian listrik secara lebih spesifik, seperti tercantum dalam salah satu foto yang diunggah oleh pelanggan tersebut[3]. Pelanggaran yang dikenakan oleh PLN adalah Pelanggaran II, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) (“Perdir PLN 88/2016”). Definisi P2TL adalah sebagai berikut:[4]

Pasal 1

6.rangkaian kegiatan meliputi perencanaan, pemeriksaan, tindakan teknis dan/atau hukum dan penyelesaian yang dilakukan oleh PLN terhadap lnstalasi PLN dan/atau lnstalasi Pemakai Tenaga Listrik dari PLN”.

Pasal 5 ayat (2) Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) menjelaskan wewenang dari pertugas pelaksana lapangan P2TL yang berbunyi:

“Pasal 5

(2) Petugas pelaksana lapangan P2TL, berwenang:

a. melakukan pemutusan sementara atas sambungan tenaga listrik dan/atau alat pembatas dan pengukur pada pelanggan yang harus dikenakan tindakan pemutusan sementara;

b. melakukan pembongkaran rampung atas sambungan tenaga listrik pada pelanggan dan bukan pelanggan;

c. melakukan pengambilan barang bukti berupa alat pembatas dan pengukur atau peralatan lainnya”.

Ada beberapa golongan pelanggaran yang diatur dalam P2TL, dan yang dikenakan terhadap pelanggan ini adalah pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya.[5] D Dapat disimpulkan bahwa PLN menganggap pelanggan telah melakukan sebuah pelanggaran yang mengakibatkan pengukuran energi listrik yang terpakai termanipulasi dan tidak sesuai jumlahnya dengan yang tercantum pada meteran listrik, sehingga tagihan listrik yang harus dibayar menjadi lebih sedikit daripada yang seharusnya. Pemakaian listrik yang tidak terukur inilah yang dikenakan denda oleh PLN karena pelanggan tidak berhak menggunakan listrik tanpa membayar. Adapun golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 088-Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik yang berbunyi:

Pasal 13

(1) Terdapat 4 golongan pelanggaran pemakaian tenaga listrik, yaitu:

a. Pelanggaran Golongan I merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya tetapi tidak mempengaruhi pengukuran energi;

b. Pelanggaran Golongan ll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi pengukuran energi tetapi tidak mempengaruhi batas daya;

c. Pelanggaran Golongan lll merupakan pelanggaran yang mempengaruhi batas daya dan mempengaruhi pengukuran energi;

d. Pelanggaran Golongan lV merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh bukan pelanggan yang menggunakan tenaga listrik tanpa alas hak yang sah”.

Terhadap pelanggar ketentuan tersebut, Pasal 14 ayat (1) Perdir PLN 88/2016 mengatur pula mengenai sanksi yang berlaku yaitu:

“Pasal 14

(1) Pelanggan yang melakukan Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi berupa:

a.Pemutusan Sementara;

b.Pembongkaran Rampung;

c.Pembayaran Tagihan Susulan;

d.Pembayaran Biaya P2TL Lainnya”.

Sesungguhnya, hukuman yang diberikan terhadap pelanggan tersebut adalah hukuman yang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi yang dikenakan bukanlah denda, melainkan pembayaran tagihan yang selama ini tertunggak; seakan-akan untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban dengan membayar tenaga listrik yang selama ini tidak dibayarkan. Permasalahannya terletak pada kebenaran mengenai kerusakan segel meteran tersebut; apakah benar pelanggan dalam kasus ini merusaknya untuk melakukan pencurian listrik, atau benar ada oknum lain yang berusaha merugikan pelanggan? Hal ini berarti PLN harus memperbaiki caranya menindaklanjuti temuan-temuan yang mencurigakan, karena alih-alih menangkap pencuri listrik, pengenaan sanksi pembayaran “tagihan” yang jumlahnya sangat besar serta pengenaan sanksi lainnya seperti pemutusan listrik dan penyitaan meteran justru menyebabkan kerugian bagi pelanggan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap PLN.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor 088/Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL)

Referensi:

CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta Akibat Segel Meteran Putus”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220826075542-85-839338/pelanggan-pln-kena-denda-rp41-juta-akibat-segel-meteran-putus , diakses 26 Agustus 2022.

Anisa Indraini, “Viral Pelanggan PLN Didenda Rp 41 Juta Akibat Dituding Curi Listrik”, https://finance.detik.com/energi/d-6255929/viral-pelanggan-pln-didenda-rp-41-juta-akibat-dituding-curi-listrik , diakses 26 Agustus 2022.



[1] Ibid., Pasal 13 ayat (1).

[2] Perdir PLN 88/2016, Pasal 14 ayat (1).


[1] CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta”, diakses 26 Agustus 2022.

[2] Indonesia, Peraturan Direksi PLN (Persero) Nomor 088/Z.P/DIR/2016 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), Perdir PLN 88/2016, Pasal 1 angka 6.


[3]  CNN Indonesia, “Pelanggan PLN Kena Denda Rp41 Juta Akibat Segel Meteran Putus”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220826075542-85-839338/pelanggan-pln-kena-denda-rp41-juta-akibat-segel-meteran-putus, diakses 26 Agustus 2022.

[2] Anisa Indraini, “Viral Pelanggan PLN Didenda Rp 41 Juta Akibat Dituding Curi Listrik”, https://finance.detik.com/energi/d-6255929/viral-pelanggan-pln-didenda-rp-41-juta-akibat-dituding-curi-listrik, diakses 26 Agustus 2022.

[3] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 362.

1 2 3 14
Translate