0

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH TERHADAP KEGAGALAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERUSAHAAN ASURANSI

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-Author : Robby Malaheksa

Asuransi adalah suatu perjanjian yang mengikat antara penanggung kepada tertanggung dengan menerima premi yang nantinya akan di berikan timbal balik berupa penggantian karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang mungkin terjadi kapan saja, hal ini di atur dalam Pasal 246 KUHD yang berbunyi:

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.[1]

Namun pada pasal tersebut hanya mendefinisikan asuransi kerugian (Schadeverzekeing : Loss Insurance) yang obyeknya adalah harta kekayaan. Sedangkan di pasal 246 KUHD tidak termasuk tentang asuransi jiwa, karena jiwa manusia bukanlah harta yang bisa dinilai dengan uang. [2]

Pengertian Asuransi yang mencakup tentang kedua jenis asuransi tersebut terdapat dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang mengatakan bahwa :

Pasal 1

  1. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
  2. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  3. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.[3]

Perusahaan asuransi sangat mengandalkan kepercayaan untuk melindungi dan memastikan bahwa masyarakat sebagai pemegang polis sebagaimana di jelaskan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi:

Pasal 53

  • Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program pemegang polis. [4]

Melihat kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan akhir ini menyebabkan beberapa perusahaan asuransi tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengembalikan dana nasabah dan/atau membayar ganti kerugian akibat terjadinya kelalaian perusahaan asuransi dalam pengelolaan dana nasabah, apalagi jika perusahaan asuransi mengalami pailit maka akan lebih bermasalah terhadap dana yang dimiliki nasabah karena kemungkinan tidak dapat kembali.[5]

Persoalan lainnya juga terkait jangka waktu perlindungan asuransi yang disepakati adalah dengan tenggat waktu yang relatif cukup lama. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi terhadap perusahaan asuransi pada jangka waktu lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun ke depan, suatu perusahaan asuransi di kemudian hari dapat dinyatakan pailit, atau dilikuidasi. Putusan pengadilan yang menyatakan suatu perusahaan asuransi pailit akan sangat berdampak kepada seluruh nasabah. Premi nasabah baik yang belum jatuh tempo maupun yang telah jatuh tempo saat perusahaan asuransi dinyatakan pailit harus dilindungi oleh hukum. Sehubungan dengan itu pula diperlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah dalam rangka pengamanan kepentingan nasabah.[6]

Perjanjian asuransi mempunyai tujuan bahwa pihak yang mempunyai kemungkinan menderita risiko kerugian (pihak tertanggung) melimpahkan kemungkinan dari risiko kerugian yang terjadi kepada pihak lain yang bersedia membayar ganti rugi (pihak penanggung), dan perjanjian tersebut berguna sebagai pembuktian. Dalam perjanjian asuransi jiwa para pihak yaitu pemegang polis, penanggung dan tertunjuk (penikmat asuransi) mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang bersifat timbal balik dimana hak dan kewajiban pemegang polis sebaliknya juga merupakan hak dan kewajiban perusahaan asuransi sebagai penanggung. Adapun hak dan kewajiban yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

  1. Hak-hak dari pemegang polis antara lain:
  2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian apabila terjadi  Evenemen.[7] Menurut Pasal 1 ayat (1) huruf a & huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan :

Pasal 1

  • Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan Asuransi sebagai imbala untuk :
  • memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  • memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” [8]
  • Hak untuk mendapatkan jumlah pertanggungan apabila tidak terjadi Evenemen dalam masa asuransi. Pada masa asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen, pemegang polis atau tertunjuk berhak mendapatkan pengembalian sejumlah uang tertentu dari penanggung sesuai dengan perjanjian dalam polis.[9]
  • Hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan dana nasabah , dimana jaminan perlindungan dana nasabah adalah yang paling utama dan wajib didahulukan penyerahannya apabila perusahaan asuransi mengalamai pailit atau dilikuidasi, hal tersebut telah di atur secara tegas dalam Pasal 52 ayat (1) & (2) Undang-Undang Nomor Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang berbunyi :

Pasal 52

  • Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya.
  • Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.[10]
  • Kewajiban Pemegang polis antara lain:
  • Kewajiban membayar premi kepada penanggung sebagai kontraprestasi dari ganti kerugian atau uang santunan yang akan penanggung berikan padanya, premi merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi.
  • Kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan yang di perlukan oleh penanggung dengan i’tikad baik.[11]

Terhadap perusahaan asuransi yang gagal bayar atau tidak mau membayar polis jatuh tempo nasabahnya, maka nasabah dapat mengadukannya kepada pihak yang memeriksa pada sektor jasa keuangan sebagai lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan sehingga lembaga pemeriksa tersebut dapat mengambil langkah tegas untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang berbunyi :

Pasal 30

  • Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi:
  • memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud;
  • mengajukan gugatan:
  • untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau
  • untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[12]

Sehingga, hak dan kewajiban nasabah maupun pihak asuransi tertera dalam perjanjian premi dan polis-polis yang diatur dalam perjanjian nasabah, akan tetapi hak dan kewajibannya secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai titik yang menjadi panduan.

Mekanisme Perlindungan hukum bagi nasabah sangatlah penting mengingat tidak adanya jaminan perusahaan asuransi akan selalu berada dalam kondisi ekonomi yang baik, nasabah yang berpotensi mengalami kerugian harus di perhatikan kedudukannya dalam upaya memberikan perlindungan hukum yang adil.

DASAR HUKUM

  1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang
  2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
  3. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

REFRENSI

  1. Mulhadi, Dasar-dasar Hukum Asuransi, Rajawali Pers, Depok, 2017
  2. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980),
  3. Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[1] Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

[2] Mulhadi, Dasar-dasar Hukum Asuransi, Rajawali Pers, Depok, 2017. Hlm.5

[3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

[4] Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[5] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm 75.

[6] Ibid., hlm 76

[7] Evenemen adalah semua peristiwa yang dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan/musnahnya barang yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak pasti terjadinya seperti tabrakan, benturan, terbalik, tergelincir dari jalan termasuk juga dari kesalahan material, kontruksi, cacat sendiri, perbuatan jahat orang lain, pencurian termasuk pencurian yang didahului atau disertai dengan kekerasan atau ancaman, kebakaran atau sebab sebab lainnya

[8] Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

[9] Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[10] Pasal 52 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

[11] Tanggung jawab hukum perusahaan asuransi jiwa terhadap tertanggung dalam pembayaran klaim asuransi,  https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica, diakses tanggal 01 April 2022

[12] pasal 30 ayat 1) UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK

0

Pengawasan Pegawai Internal pada Lembaga Jasa Keuangan di Era Digital

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-author : Robby Malaheksa

Perkembangan digitalisasi di Indonesia saat ini telah berkembang pesat dari waktu ke waktu dan tak hentinya, inovasi-inovasi berbasis teknologi informasi terus dikembangkan untuk memperoleh kemudahan dalam aktivitas sehari-hari. Menurut Studi yang di lakukan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2021 menunjukkan bahwa daya saing digital antar provinsi di Indonesia saat ini semakin merata. Pemerataan tersebut dapat di lihat dari kenaikan skor median indeks daya saing digital (EV-DCI) dari 27,9 % pada 2020 menjadi 32,1 pada 2021.[1]

Seiring dengan meningkatnya digitalisasi di Indonesia, industri keuangan juga harus mengikuti sikap dalam hal keaktifan dan kecepatan untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital saat ini. Sebab, apabila mengalami ketertinggalan dalam mengikuti ekosistem digital di era ini dapat berujung pada kegagalan bersaing di industri keuangan. Terlebih, dengan adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk melakukan transaksi secara digital.

Pengaturan mengenai dasar kewenangan serta tugas pengaturan dan pengawasan dalam sektor lembaga jasa keuangan, diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi:

“Pasal 8

  1. menetapkan peraturan pelaksanaan
  2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
  4. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
  5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
  6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
  7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
  8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
  9. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[2]

“Pasal 9

  1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
  2. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
  3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  4. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
  5. melakukan penunjukan pengelola statuter;
  6. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
  7. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
  8. memberikan dan/atau mencabut:
  9. izin usaha;
  10. izin orang perseorangan;
  11. efektifnya pernyataan pendaftaran;
  12. surat tanda terdaftar;
  13. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
  14. pengesahan;
  15. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
  16. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.[3]

Terdapat perpindahan kewenangan dalam pelaksanaan pengawasan di zona pelayanan keuangan, Pemerintah membentuk suatu lembaga negara yang secara khusus mengawasi sektor industri keuangan tersebut. Perihal ini bermaksud agar pengawasan menjadi terintegrasi dan menyeluruh. Perlindungan hukum bagi Nasabah terhadap praktek Fraud Lembaga Jasa Keuangan dan juga sebaliknya, merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan kewenangan. Sehingga, dapat meningkatkan tugas, pokok, fungsi nya untuk menciptakan kemananan dan jaminan bagi Nasabah serta Lembaga Jasa Keuangan. Masih terjadi-nya praktek Fraud [4] yang di lakukan pegawai Intenal di Lembaga Jasa Keuangan, sehingga perlu terobosan baru untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya praktek Fraud dari oknum-oknum tak bertanggung jawab dengan menggunakan jabatan dan nama baik Lembaga Jasa Keuangan itu sendiri.

Penerapan Manajemen Resiko dalam mengendalikan resiko terjadinya Fraud bagi Bank Umum dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39 Tahun 2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum, yang dilakukan penguatan dalam beberapa aspek, antara lain :

Pasal 5 ayat (2)

  1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris
  2. Kebijakan dan Prosedur
  3. Struktur Organisasi dan pertanggung jawaban
  4. Pengendalian dan Pemantauan.[5]

Terdapat beberapa kasus yang berkaitan dengan bank umum ialah masalah fraud tersebut, misalnya terdapat penipuan oleh bank umum itu sendiri dengan menawarkan kepada calon nasabah untuk melakukan penyimpanan berupa rekening berjangka dengan bungan simpanan yang tinggi dibanding produk simpanan bank yang dikeluarkan pada umumnya. Akan tetapi, setelah uang disetorkan oleh calon nasabah, pihak bank umum tidak langsung menyetorkan uang tersebut melainkan melakukan penyebaran dana kepada pihak-pihak internal lainnya di lembaga jasa keuangan tersebut yakni bank umum, dengan anggapan uang tersebut dapat digunakan dalam bentuk investasi lainnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, akan tetapi tanpa sepengetahuan dari pemilik dana/ pemilik simpanan tersebut.

Contoh kasus meningkatkan kesadaran masyarakat serta pemerintah akan pentingnya pengawasan pegawai internal di Lembaga Jasa Keuangan. Penyebab kasus sebagaimana di atas muncul disebabkan oleh beberapa alasan, Pertama, peraturan yang masih kurang lengkap mengenai pengendalian internal bank, serta lembaga yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi lembaga jasa keuangan belum memiliki peraturan yang tepat perihal pengawasan terhadap pegawai internal perusahaan dimaksud. Kedua, tindakan pada pelanggaran yang dilakukan jika ada laporan atau keluhan dari korban. Serta, melakukan tindakan secara mandiri pada pelanggaran yang berasal dari data sekunder (laporan keuangan, dan lain-lain).[6]

Pencegahan terhadap resiko untuk menghindari terjadinya pengulangan perbuatan yang sama, maka pembuat regulasi (regulator) dan pengawas Lembaga Jasa Keuangan dapat membuat kebijakan yang mengharuskan semua karyawan bank, tidak terkecuali untuk mengisi laporan terkait apa yang di lakukan karyawan tersebut. Laporan bisa memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang, contohnya dalam membuat laporan harus memuat database terintegrasi yang berfungsi menyimpan laporan tersebut. Laporan tersebut dilaporkan secara berkala, misal satu minggu sekali. Laporan berupa Transaksi perbankan yang dilakukan serta logbook kegiatan yang dilakukan karyawan selama periode tersebut. Selain itu, dapat dilakukan pengawasan pada rekening pribadi milik karyawan. Hal ini diperlukan agar pengawas lembaga jasa keuangan tersebut dapat melihat adanya transaksi tidak wajar yang masuk ke rekening pribadi milik karyawan, dan bisa langsung melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan. Sehingga, dapat ditindaklanjuti apabila transaksi tersebut terbukti terjadi pelanggaran.

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
  2. Peraturan OJK Nomor 39 Tahun 2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum

REFERENSI

  1. East Ventures, “Pemerataan Transformasi Digital Indonesia Terakselerasi di Tengah Pandemi”, (https://east.vc/bahasa/daya-saing-digital-indonesia-ev-dci-2021/, diakses tanggal 10 Maret 2022)
  2. Jurnal Entrepreneurship Bisnis Manajemen Akuntansi(E-BISMA), “Usulan kebijakan pencegahan risiko perbankan di era digital”.

[1] East Ventures, “Pemerataan Transformasi Digital Indonesia Terakselerasi di Tengah Pandemi”, (https://east.vc/bahasa/daya-saing-digital-indonesia-ev-dci-2021/, diakses tanggal 10 Maret 2022)

[2] Pasal 8 Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

[3] Pasal 9 Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

[4] Fraud adalah berbagai bentuk tindakan curang baik di lakukan secara sengaja atau tidak sengaja yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak atau perusahaan

[5] Pasal 5 ayat (2) Peraturan OJK Nomor 39 Tahun 2019 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum

[6] Jurnal Entrepreneurship Bisnis Manajemen Akuntansi (E-BISMA), “Usulan kebijakan pencegahan risiko perbankan di era digital” hlm. 22

Translate