0

CORPORATE CRIMES RELATED TO NUCLEAR POWER IN INDONESIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Adinda Aisyah Chairunnisa

DASAR HUKUM:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi  
REFERENSI: Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia. Bayu Media, Malang, 2005, hlm. xii-xivMuladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta“The Science of Nuclear Power”
https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power
Untar, “Hukum Pidana di Bidang Sumber Daya Alam”
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/buktipenelitian_10216001_2A171206.pdf
“Non-renewable resources” 
https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources
“Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Dalam mengahasilkan sumber daya alamnya, bumi menghasilkan dua jenis sumber daya, yakni Sumber daya terbarukan dan tak terbarukan. Kedua sumber tersebut sumber energi yang digunakan manusia untuk memenuhi fungsi kehidupan setiap harinya. Perbedaan antara kedua jenis sumber daya ini adalah bahwa sumber daya yang dapat diperbarui secara alami dapat mengisi kembali dirinya sendiri sementara sumber daya yang tidak dapat diperbarui tidak. Ini berarti bahwa sumber daya yang tidak dapat diperbaru jumlahnya terbatas dan tidak dapat digunakan secara berkelanjutan.[1]
Terdapat empat jenis utama sumber daya tak terbarukan yakni minyak, gas alam, batu bara, dan energi nuklir. Minyak, gas alam, dan batu bara secara kolektif disebut bahan bakar fosil tetapi energi nuklir berasal dari unsur radioaktif, terutama uranium, yang diekstraksi dari bijih yang ditambang dan kemudian disuling menjadi bahan bakar.[2] Secara ilmiah, energi nuklir sendiri adalah bentuk energi yang dilepaskan dari nukleus, inti atom, yang terdiri dari proton dan neutron. Sumber energi ini dapat dihasilkan dengan dua cara: fisi – ketika inti atom terpecah menjadi beberapa bagian – atau fusi – ketika inti bergabung bersama.[3] Dalam pemanfaatan sumber daya alamnya, Indonesia memiliki dasar yakni UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3)Pasca amandemen yang menyatakan:[na1]    “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”[4]   Sehingga sesuai dengan pasal yang disebutkan sebelumnya, pemanfaatan sumber daya yang ada di Indonesia merupakan suatu hal yang dikelola oleh pemerintah untuk kemakmuran rakyat. [na2] Sedangkan dalam hal nuklir, Indonesia memiliki pengaturannya yakni Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pada Undang – Undang tersebut menjelaskan pengertian ketenaganukliran:   “Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir.”[5]  
Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tentu hal ini dapat menjadi hal yang rawan kejahatan. Salah satu dari kejahatan tersebut adalah kejahatan korporasi. Kejahatan Korporasi atau kejahatan kerah putih diartikan sebagai kejahatan yang dimotivasi secara finansial dan biasanya dilakukan oleh para profesional dalam bidang bisnis dan aparat pemerintah.[6] Kemudian terdapat pendapat dari kriminolog dalam pengertiannya dikemukakan oleh kriminolog Marshall Clinard dan Richard Quinney yang, dalam teks klasik mereka Sistem Perilaku Kriminal, menyerukan perbedaan di antara jenis kejahatan kerah putih[na3] . Kejahatan kerah putih sendiri adalah kejahatan yang dilakukan oleh kaum elit, pengusaha, banker, atau para perjabat yang mempunyai peran dan fungsi strategis atau akses kebijakan strategis melalui korupsi, kecurangan, dan penipuan yang sangat merusak serta menimbulkan korban yang bersifat masal.[7] Kriminolog tersebut mengidentifikasi kejahatan korporasi dan kejahatan pekerjaan sebagai jenis umum dari kejahatan kerah putih. Kejahatan korporasi mengacu pada situasi di mana pejabat perusahaan melakukan tindakan kriminal atau berbahaya untuk kepentingan korporasi, sedangkan kejahatan kerja mengacu pada situasi di mana individu karyawan melakukan kejahatan terhadap korporasi, tempat kerja, atau konsumen selama masa kerja.[8] Sehingga dalam hal ketenaganukliran ini, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dapat saja dilakukan oleh pejabat ataupun karyawan perusahaan bidang ketenagnukliran.
Di Indonesia sendiri kejahatan korporasi tidak diatur secara eksplisit pada suatu peraturan yang menampung seluruh jenis kejahatannya akan tetapi Indonesia mencantumkan bentuk – bentuk kejahatan pidana pada tiap – tiap peraturan yang relevan dan terdapat peraturan yang mengatur tata cara pidana terhadap korporasi yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.[na4] 
Lantas bagaimanakah kejahatan korporasi yang diatur pada bidang ketenaganukliran Indonesia? Undang – Undang Ketenaganukliran tidak mengatur secara khusus mengenai kejahatan korporasi yang dapat terjadi, namun bentuk – bentuk kejahatan yang tercantum dapat dilakukan oleh korporasi, ketentuan tersebut yakni Pidana pada Ketenaganukliran, tercantum pada Bab 8 Undang – Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 41 hingga Pasal 44 yang menyatakan bahwa:[na5] 
(1)Barangsiapa membangun, mengoperasikan, atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
(2)Barangsiapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 42
(1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan Kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 43
(1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 44 (1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) untuk penghasil limbah radioatif tingkat rendah dan tingkat sedang dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.[na6]  Walaupun tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mengenai pengertian barang siapa, kita dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendefinisikan setiap orang atau dapat disamakan dengan barang siapa adalah perseorangan atau termasuk korporasi.[9] Hal ini menunjukan bahwa Korporasi pun dapat terjerat dalam pasal-pasal ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang dimana hal ini juga termasuk pada bidang pembahasan ini yaitu ketenaganukliran, ditemukan tiga model pertanggungjawaban:[10] Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab. Gagasan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena penguruslah yang akan selalu dianggap sebagai pelaku dari delik tersebut. Kedua, Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Model ini memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya dengan menetapkan pengurus sebagai yang bertanggung jawab, tidaklah cukup.[11][na7]  Merujuk pada pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, disebutkan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi;Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atauKorporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegak dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.[12] Dalam pertanggung jawabannya terhadap kejahatan, perusahaan tunduk pada peraturan – pertaruran yang berlaku, menjadikan perusahaan sebagai sebuah subjek hukum dan dijatuhkan hukum sesuai dengan ketentuan pertanggung jawaban yang berlaku.      
LEGAL BASIS:
The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations

REFERENCES:  Setiyono, Crime Corporations: Victimology Analysis and Corporate Liability in Indonesian Criminal Law. Bayu Media, Malang, 2005, p. xii-xiv Muladi and Dwija Priyatno, 2013, Corporate Criminal Liability (Revised Edition), Kencana Pernada Media Group, Jakarta “The Science of Nuclear Power”
https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power
Untar , “Criminal Law in the Field of Natural Resources”
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/elektropenelitian_10216001_2A171206.pdf
“Non-renewable resources”  
https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources
“Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml  

Indonesia is a country that rich in natural resources. In producing its natural resources, the earth has two types of resources: renewable and non-renewable. Both sources are sources of energy that humans use to fulfil life functions every day. The difference between these two types of resources is that a renewable resource can naturally replenish itself while a non-renewable resource cannot. This means that non-renewable resources are limited in number and cannot be used sustainably.  
There are four primary non-renewable resource types: oil, natural gas, coal and nuclear. Oil, natural gas, and coal are collectively called fossil fuels. Still, nuclear energy comes from radioactive elements, especially uranium, extracted from ore mined and refined into fuel. Scientifically, nuclear energy is a form of energy released from the nucleus of an atom, which consists of protons and neutrons. This energy source can be generated in two ways: fission – when the nucleus of an atom is split into several pieces – or fusion – when the nuclei are joined together. In the utilization of its natural resources, Indonesia has a basis, namely the 1945 Constitution of the Unitary State of the Republic of Indonesia article 33 number 3 after the amendment which states:   “Earth, water and the wealth contained therein are controlled by the state and used as much as possible for the prosperity of the people”   So in accordance with the article previously mentioned, the utilization of existing resources in Indonesia is something that is managed by the government for the prosperity of the people. Meanwhile, in terms of nuclear, Indonesia has the regulation, namely Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy. The law explains the meaning of nuclear energy:     “Nuclear energy is matters relating to the utilization, development, and control of nuclear science and technology as well as the supervision of activities related to nuclear power.”   With abundant natural resources, of course this can be a crime-prone thing. One of these crimes is corporate crime.     Corporate crime or white-collar crime is defined as a financially motivated crime and is usually perpetrated by business professionals and government officials. In this sense, criminologists Marshall Clinard and Richard Quinney put forward corporate crime. Their classic text, The System of Criminal Behavior, called for a distinction between types of white-collar crime. White-collar crime itself is a crime committed by elites, businessmen, bankers, or officials who have strategic roles and functions or access strategic policies through corruption, fraud, and fraud which are very destructive and cause mass victims. The authors identify corporate and occupational crime as common types of white-collar crime. Corporate crime is when a company official commits a criminal or harmful act for the corporation’s benefit. In contrast, an occupational crime is when an individual employee commits a crime against the corporation, workplace, or consumer during their tenure. So in this nuclear case, corporate crime is a crime that can be committed by officials or employees of nuclear companies.            
In Indonesia, corporate crime is not regulated explicitly in a regulation that accommodates all types of crimes. Still, Indonesia lists the forms of criminal offences in each relevant law. Some rules regulate criminal procedures against corporations, namely the Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations.      
So how are corporate crimes regulated in Indonesia’s nuclear sector? The Nuclear Law does not specifically regulate corporate crimes that can occur, but the forms of crimes listed can be carried out by corporations, the provisions of which are Crimes on Nuclear Energy, listed in Chapter 8 of Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Articles 41 to 44 which states that:    
(1) Whoever builds, operates, or decommissions a nuclear reactor without a permit as referred to in Article 17 paragraph (2) shall be punished with imprisonment for a maximum of 15 (fifteen) years and a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah)  
(2) Whoever commits an act as referred to in paragraph (1) which causes nuclear loss, shall be punished with life imprisonment or imprisonment for a maximum of 20 (twenty) years and a maximum fine of Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah).  
(3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.  
Article 42
(1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 19 paragraph (1) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 50,000,000.00 (fifty million rupiahs). ). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to confinement for a maximum of 6 (six) months.   Article 43
(1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 17 paragraph (1) shall be punished with a fine of not more than Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.   Article 44 (1) Whoever commits an act that is contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (2) for high-level radioactive waste producer shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp.300,000,000.00 ( three hundred million rupiah).   (2) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (1) for low-level and medium-level radioactive waste producers shall be punished with a maximum fine of Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year.   Although it is not explained in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy regarding the definition of whosoever, we can refer to Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption which defines every person or can be equated with whoever is an individual or including a corporation. This shows that corporations can also be entangled in articles of criminal provisions in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy.     Regarding corporate criminal liability, which is also included in the field of discussion, namely nuclear energy, three models of liability were found: First, the corporate management as the maker and management is responsible. This idea is based on the idea that legal entities cannot be held criminally accountable, because it is the management who will always be considered the perpetrators of the offense. Second, the Corporation as a responsible maker and administrator. So this model realizes that the corporation is the maker but the responsibility is left to the management. Third, the corporation as the maker and also as the one who is responsible. This model pays attention to the development of the corporation itself, because it turns out that simply assigning the board as the responsible person is not enough.   Referring to article 4 paragraph (2) of the Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations, it is stated that in imposing a crime against a corporation, the Judge can assess the corporation’s faults, including: Corporations can obtain profits or benefits from the crime or the crime is carried out for the benefit of the corporation;Corporations allow criminal acts to occur; orthe Corporation does not take the necessary steps to prevent, prevent a bigger impact and ensure compliance with applicable legal provisions in order to avoid the occurrence of criminal acts.     In being responsible for crimes, the company complies with the applicable regulations, makes the company a legal subject and is imposed by law by the applicable liability provisions.  

[1] https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources Diakses pada tanggal 9 Juni 2022 pukul 13.02

[2] ibid

[3] https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power diakses pada tanggal 09 Juni 2022 Pukul 13.15

[4] Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar NKRI 1945

[5] Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

[6] https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/970/keberadaan-kerah-putih-dibalik-kasus-pencucian-uang.html diakses pada tanggal 14 Juni 2022 pukul 20.51

[7] Frassminggi Kamasa, Kejahatan Kerah Putih, Kontraterorisme dan Perlindungan Hak Konstitusi Warga Negara dalam Bidang Ekonomi, Jurnal Konstitusi Vol. 11, No. 4, 2014, hal. 783

[8]https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml Diakses pada tanggal 09 Juni 2022 pukul 17.31

[9] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[10] Muladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta, hlm. 83

[11] Setiyono, 2005, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayu Media, Malang, hlm. 12-14.

[12] Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi


0

LEGAL WARRANTIES OF THE UTILIZATION OF NATURAL OIL AND GAS

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegaiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi

REFERENSI:

  1. https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM
  2. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267
  3. https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan
  4. https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia

Dalam melakukan aktifitasnya saat ini manusia banyak memanfaatkan sumber energi tak terbarukan. Yang dimaksud dengan sumber energi tak terbarukan adalah: sumber energi yang dapat habis dan tak bisa didaur ulang.[1] Sumber energi ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa tercipta kembali.[2] Contoh sumber energi tak terbarukan adalah:

  1. Minyak bumi;
  2. Batu bara;
  3. Gas bumi;
  4. Nuklir

Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi :

“Pasal 33

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“

Dalam hal ini memiliki makna bahwa energi tak terbarukan pun dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini mengambil salah satu energi tak terbarukan yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat yaitu minyak bumi. Minyak bumi atau petroleum – bahan bakar fosil yang merupakan bahan baku untuk bahan bakar minyak, bensin dan banyak produk-produk kimia – merupakan sumber energi yang penting karena minyak memiliki persentase yang signifikan dalam memenuhi konsumsi energi dunia.[3]

Pengertian minyak bumi juga terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 1

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi”

Sementara itu pengertian gas bumi, terdapat dalam angka 2, yang berbunyi :

“Pasal 1

2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi .

Untuk memperoleh manfaat yang optimal dari minyak dan gas bumi, para pakar telah melakukan sejumlah pengolahan yang disesuaikan dengan kebutuhan merinci di setiap aspek. Jelas, setiap aspek berjalan dengan elemen-elemen yang berbeda, sehingga berbeda pula tipe minyak dan gas bumi yang diperlukan.[4] Sehingga, para ahli tersebut menemukan beberapa klasifikasi yang penting untuk seterusnya dijadikan produk siap pakai. Adapun manfaat dari minyak bumi dan gas bumi yaitu :[5]

Pertama, kondensat yaitu minyak mentah yang bersifat sangat ringan. Gas bumi ini berjenis hidrokarbon yang merupakan produk ikutan dari sumur gas. Pada kondensat ini, terkandung gas bumi dalam jumlah yang besar.

Kedua, gas kering yaitu fluida yang berada di dalam sebuah reservoir dalam bentuk fase gas yang kemudian dialirkan ke permukaan tetap dalam kondisi gas. Gas alam ini dianggap ’kering’ ketika hampir seratus persen metana murni. Namun, terdapat kemungkinan bahwa gas kering ini juga mengandung Etana dan Propana.

Ketiga, Gas basah yang merupakan gas bumi yang hampir seluruh komposisinya mengandung molekul metana. Kandungan metananya sekitar 80 persen hingga 90 persen, ditambah dengan etana, propana, butana dan komponen lainnya.

Keempat ialah minyak ringan yang berasal dari hasil sulingan minyak bumi dari proses penguapan dan pengembunan pada tekanan atmosfer. Minyak ringan ini mengandung kadar logam dan belerang yang rendah dan memiliki sedikit kandungan gas bumi

Kelima adalah minyak berat, yaitu minyak mentah dengan komposisi hidrokarbon berat yang besar. Jenis minyak bumi ini mengandung sedikit sekali gas bumi, bahkan terkadang tidak ditemukan sama sekali. Minyak berat pun menghasilkan klasifikasi lainnya, yaitu klasifikasi keenam, bitumen yang di dalam reservoir bersifat kental seperti aspal.

Untuk memberikan jaminan bahwa minyak bumi dan gas bumi untuk masyarakatnya pemerintah menjamin melalui Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 8

  • Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
  • Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum, pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.
  • Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur.

Dari pasal tersebut sangatlah jelas bahwa pemerintah menjamin pemanfaatan minyak bumi dan gas bumi untuk masyarakatnya, ada pun manfaat lain yang berdampak positif bagi masyarakat yaitu :[6]

  1. Memajukan perekonomian Bahan bakar memungkinkan transportasi menjadi lancar, sehingga distribusi pun meningkat. Dengan begitu, akan ada peningkatan volume perdagangan sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Bagi negara pengekspor dan pengimpor, barang-barang akan terlayani sepenuhnya sehingga kebutuhan setiap negara bisa terpenuhi.
  2. Memajukan sektor industri Bahan bakar diperlukan untuk hampir seluruh industri, seperti untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Mesin produksi yang terus bekerja bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan. Alhasil, omzet pun meningkat, begitupula dengan indsutrinya yang menjadi lebih maju dan berkembang.
  3. Lapangan pekerjaan Industri yang berkembang di suatu negara akan memancing lahirnya industri-industri baru yang tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengisi berbagai posisi dalam kegiatan industri.

Terkait dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi pemerintah memberikan sanksi bagi badan usaha yang melanggar persyaratan, hal tersebut terdapat dalam Pasal 90 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegaiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 90

  • Menteri memberikan teguran tertulis terhadap Badan Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan dalam Izin Usaha Pengolahan, Izin Usaha Pengangkutan, Izin Usaha Penyimpanan, dan/atau Izin Usaha Niaga yang dikeluarkan oleh Menteri.
  • Dalam hal Badan Usaha setelah mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap melakukan pengulangan pelanggaran, Menteri dapat menangguhkan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
  • Dalam hal Badan Usaha tidak menaati persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri selama masa penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat membekukan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
  • Badan Pengatur menetapkan dan memberikan sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Khusus kegiatan usaha pengangkutan Gas Bumi melalui pipa.
  • Badan Pengatur menetapkan dan memberikan sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran kewajiban Badan Usaha dalam penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak.
  • Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) berupa teguran tertulis, denda, penangguhan, pembekuan, dan pencabutan Hak dalam penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak serta pencabutan Hak Khusus pengangkutan Gas Bumi melalui pipa.
  • Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh Badan Pengatur.

[1] https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM

[2] ibid

[3] https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267

[4] https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan

[5] ibid

[6] https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia diakses 26 Mei 2022

LEGAL BASIS:

  1. Constitution of Republic Indonesia of 1945
  2. Law No. 22 of 2001 of Oil and Gas
  3. Government Regulation No. 36 of 2004 of Downstream Oil and Gas Business Activities

REFERENCE :

  1. https://tirto.id/apa-itu-sumber-energi-terbarukan-tak-terbarukan-serta-contohnya-gaYM
  2. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267
  3. https://synergysolusi.com/indonesia/berita-terbaru/menggali-manfaat-minyak-dan-gas-bumi-untuk-energi-kehidupan
  4. https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6131a2a13f08d/manfaat-minyak-bumi-bagi-kelangsungan-hidup-manusia

Due to their current activities, humans are using a lot of non-renewable energy sources. What is meant by non-renewable energy sources are: energy sources that can be used and cannot be recycled. This energy source takes a very long time to be created again. Examples of non-renewable energy sources are:

1. Petroleum;

2. Coal;

3. Natural gas;

4. Nuclear

As mandated by Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which reads :

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained inside are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

In this case, it means that even non-renewable energy is controlled by the state and used for the prosperity of the people. In this case, taking one of the non-renewable energies aimed at the prosperity of the people, namely petroleum. Petroleum or petroleum – a fossil fuel that is the raw material for fuel oil, gasoline and many chemical products – is an important energy source because oil has a significant percentage of meeting world energy consumption.

Definition of petroleum is also contained in Article 1 point 1 of the Law of the Republic of Indonesia Number 22 of 2001 of Oil and Gas, which reads:

“Article 1

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people.”

Crude Oil is the result of a natural process in the form of hydrocarbons under atmospheric pressure and temperature in the form of a liquid or solid phase, including asphalt, mineral wax or ozokerite, and bitumen obtained from the mining process, but excluding coal or other hydrocarbon deposits in solid form obtained from activities that are not related to Oil and Gas business activities”

Meanwhile, the definition of natural gas is contained in number 2, which reads :

“Article 1

2. Natural Gas is the result of a natural process in the form of hydrocarbons under conditions of atmospheric pressure and temperature in the form of a gas phase obtained from the mining process of Oil and Gas.”

To obtain optimal benefits from oil and gas, experts have carried out a number of processing tailored for their needs in detail in every aspect. Obviously, each aspect operates with different elements, so different types of oil and gas are required. Thus, these experts found several important classifications to be used as ready-to-use products. The benefits of oil and natural gas are:

First, condensate is crude oil which is very light. This natural gas is a hydrocarbon type which is a by-product of gas wells. This condensate contains large amounts of natural gas.

Second, dry gas is a fluid that is in a reservoir in the form of a gas phase which is then flowed to the surface in a gaseous state. This natural gas is considered ‘dry’ when it is almost one hundred percent pure methane. However, it is possible that this dry gas also contains Ethane and Propane.

Third, wet gas which is natural gas which almost all of its composition contains methane molecules. The methane content is about 80 percent to 90 percent, plus ethane, propane, butane and other components.

Fourth is light oil which is derived from petroleum distillation from the evaporation and condensation processes at atmospheric pressure. This light oil contains low levels of metals and sulfur and has a little natural gas content.

Fifth, heavy oil which is crude oil with a large heavy hydrocarbon composition. This type of petroleum contains very little natural gas, sometimes even none at all. Heavy oil also resulted in another classification, namely the sixth classification, bitumen in the reservoir is thick like asphalt.

To provide guarantees that oil and natural gas for the people, the government guarantees through Article 8 of the Law of the Republic of Indonesia Number 22 of 2001 of Oil and Gas, which reads:

“Article 1

  • The government gives priority to the utilization of Natural Gas for domestic needs and is tasked with providing strategic reserves of Crude Oil to support the supply of domestic Oil Fuel, which will be further regulated by a Government Regulation.
  • The government is obligated to ensure the availability and smooth distribution of fuel oil which is a vital commodity and controls the livelihood of many people throughout the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia.
  • Business activities for the transportation of natural gas through pipelines which involve the public interest shall be regulated so that their utilization is open to all users.
  • The government is responsible for the regulation and supervision of business activities as referred to in paragraphs (2) and (3), the implementation of which is carried out by the Regulator.

From the article it is very clear that the government guarantees the use of oil and natural gas for its people, there are other benefits that have a positive impact on the community, namely:

  1. Advancing the economy Fuel allows transportation to be smooth, so it will increasing distribution. That way, there will be an increase in the volume of trade so that there will be economic growth. For both exporting and importing countries, goods will be fully served so that the needs of each country can be met.
  2. Advancing the industrial sector Fuel is needed for almost all industries, such as to run production machines. Production machines that continue to work can improve the quality and quantity of the products produced. As a result, turnover also increases, as well as the industry which is becoming more advanced and developed.
  3. Employment Industry that develops in a country will provoke the birth of new industries which of course requires a lot of manpower to fill various positions in industrial activities.

Related to oil and gas business activities, the government imposes sanctions for business actors, this is contained in Article 90 of Government Regulation Number 36 of 2004 of Downstream Oil and Gas Business Activities, which reads:

“Article 90”

  • The Minister shall give a written warning to a Business Entity that violates one of the requirements in a Processing Business Permit, a Transportation Business Permit, a Storage Business Permit, and/or a Commercial Business Permit issued by the Minister.
  • In the event that a Business Entity after receiving a written warning as referred to in paragraph (1) continues to repeat the violation, the Minister may suspend its Processing, Transportation, Storage, and/or Trading business activities.
  • In the event that the Business Entity does not comply with the requirements stipulated by the Minister during the suspension period as referred to in paragraph (2), the Minister may freeze Processing, Transportation, Storage, and/or Trading business activities.
  • The Regulatory Body shall determine and impose sanctions related to the violation of Special Rights for the business activities of transporting Natural Gas through pipelines.
  • The Regulatory Body shall determine and impose sanctions related to the violation of the obligations of the Business Entity in the supply and distribution of Oil Fuel.
  • Sanctions as referred to in paragraphs (4) and (5) are in the form of written warnings, fines, suspensions, freezing, and revocation of rights in supply and distribution of fuel oil and revocation of special rights to transport natural gas through pipelines.

Provisions regarding the imposition of sanctions as referred to in paragraph (6) shall be further regulated by the Regulatory.

0

KERANGKA HUKUM PEMBANGUNAN TEKNOLOGI BINARY UNIT SEBAGAI BENTUK PEMANFAATAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia

Indonesia kaya akan berbagai macam sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) antara lain air, panas bumi, sinar matahari, angin, dan arus laut. Potensi sumber daya energi panas bumi di Indonesia sendiri sebesar 28,5 Giga Watt Electrical (GWE) yang terdiri dari resource 11.073 MW dan reserves 17.453MW, hal ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan sumber daya panas bumi terbesar di dunia.[1] Pemanfaatan energi panas bumi memberikan implikasi positif untuk menekan emisi karbon dan mengurangi gas rumah kaca. Salah satu perusahaan BUMN mengumumkan rencana untuk meningkatkan kapasitas panas bumi melalui penerapan teknologi binary dengan membangun binary unit untuk menghasilkan potensi tambahan kapasitas listrik hingga 25MW.[2]

Binary unit merupakan fasilitas untuk menghasilkan listrik dengan memanfaatkan brine (cairan/air panas bumi) yang diinjeksi kembali ke dalam perut bumi, sehingga dapat menambah kapasitas listrik yang dihasilkan.[3]  Karena melalui teknologi binary unit ini memanfaatkan uap panas bertemperatur lebih rendah (100-2000C), tidak seperti pada umumnya yang mana fluida bertemperatur 2000C yang dapat  digunakan untuk pembangkit listrik.[4] Melalui teknologi ini uap panas yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) digunakan untuk memanaskan fluida kerja yang menjadi panas dan menghasilkan uap berupa flash. Uap tersebut dihasilkan dari heat exchanger yang digunakan menggerakan sudu-sudu turbin dan menggerakan generator untuk menghasilkan sumber daya listrik.[5] Teknologi binary unit memiliki banyak kelebihan karena tidak perlu adanya eksplorasi sumur baru sehingga lebih cepat dan investasinya lebih rendah. Sementara dari sisi konstruksi, pembangunan lebih cepat karena sistemnya modular, dan mengefisiensi investasi.[6]

Tinjauan Yuridis Pengelolaan EBT

Bertolak dari amanat konstitusi[7] Indonesia yakni dijelaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia, yaitu:

“Pasal 33

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di  dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pasal tersebut menegaskan bahwa perlu adanya pengelolaan energi secara efisien dan terstruktur terutama dalam memenuhi kebutuhan energi domestik. Pengaturan masalah EBT kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi. Pada Pasal 4 ayat (2) berisi:

“Pasal 4

  • Sumber daya energi baru dan sumber daya energy terbarukan diatur oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

kemudian pada Pasal 4 ayat (3) yang berisikan:

“Pasal 4

  • Penguasaaan dan pengaturan sumber daya energy oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi menginstruksikan pemerintah untuk membuat pedoman Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014. KEN ini menjadi pedoman pengelolaan energi nasional guna mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan untuk mencapai sasaran.[8]

Peraturan terkait Pemanfaatan Panas Bumi

Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber energi fosil menyebabkan banyak kerugian termasuk produksi emisi karbon yang tinggi dan juga menyebabkan perubahan iklim dunia. Energi fosil dalam penggunaannya menghasilkan gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH2) dan nitrous oksida (N2O) yang kemudian membungkus bumi dan menimbulkan pemanasan global.[9] Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengembangkan energi panas bumi. Teknologi binary unit yang diasosiasikan oleh salah satu perusahaan BUMN ini nantinya akan memanfaatkan panas bumi untuk meningkatkan kapasitas listrik nasional. 

Pemanfaatan panas bumi diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, dengan muatan materinya mencakup (1) kewenangan penyelenggaran panas bumi; (2) pengusahaan panas bumi; (3) penggunaan lahan; (4) hak dan kewajiban; (5) data dan informasi; (6) pembinaan dan pengawasan; (7) peran serta masyarakat; (8) penyidikan; (9) ketentuan pidana. Terdapat perubahan dari Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi yaitu bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah sejak izin Usaha Pertambangan Panas Bumi disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi.[10] Adapun penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diberikan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.[11] Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi juga mengatur bahwa pemegang izin panas bumi wajib memberikan bonus produksi kepada Pemerintah Daerah yang wilayah administratifnya meliputi Wilayah Kerja yang bersangkutan.[12] Selanjutnya bagi daerah yang terdapat wilayah kerja pertambangan panas bumi, pemerintah daerah dapat menanamkan modalnya melalui mekanisme participating interest sebesar 10% yang ditawarkan oleh kontraktor kepada BUMD setempat.[13]

Penyelenggaran penambangan panas bumi berorientasi untuk mengendalikan pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan nilai tambah secara keseluruhan dan meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.[14]Dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pengusahaan panas bumi, terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu Survei Pendahuluan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, Eksplorasi dan Eksploitasi Uap, yang dapat dilakukan pemerintah dan/atau badan usaha termasuk pembinaan dan pengawasan, mekanisme penyiapan wilayah kerja, pelelangan wilayah kerja panas bumi, Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, serta data dan informasi.[15]

Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi membagi pelaksanaan pengusahaan panas bumi menjadi dua bentuk, pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10,

“Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi secara langsung tanpa melakukan proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi lain untuk keperluan non listrik.”

Sedangkan pemanfaatan tidak langsung menurut Pasal 1 angka 11,

“Pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan atau fluida menjadi energi listrik.”

Izin tersebut memiliki jangka waktu paling lama 37 (tiga puluh tujuh) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun setiap kali perpanjangan.[16] Izin tersebut diberikan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan.[17]Pelaksanaan kegiatan eksplorasi, pemegang izin panas bumi wajib memiliki izin lingkungan. Eksplorasi memiliki jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Izin Panas Bumi diterbitkan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing selama 1 (satu) tahun. Waktu tersebut sudah termasuk untuk melaksanakan kegiatan studi kelayakan.[18]Sebelum melakukan eksplorasi dan eksploitasi pemegang Izin Panas Bumi wajib memiliki izin lingkungan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan, termasuk menyampaikan studi kelayakan kepada menteri sebelum melakukan kegiatan eksploitasi.[19]

Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi ini juga mengamanatkan beberapa regulasi turunan terkait dengan beberapa isu penting antara lain: (1) izin pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung dan pengaturan harga panas bumi; (2) survei pendahuluan atau eksplorasi dan tata cara penugasan; (3) proses lelang; (4) luasan wilayah kerja; (5) tata cara penetapan harga; (6) sanksi administratif; (8) kewajiban pemegang izin; (9) besaran dan tata cara pemberian bonus produksi; dan (11) pengawasan.[20]

Kesimpulan

Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi panas bumi yang sangat besar merupakan aset yang dapat digunakan untuk menunjang pembangunan nasional. Panas bumi merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan dikelola untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Tanggung jawab negara dalam mewujudkan kemakmuran rakyat tersebut dilaksanakan oleh pemerintah melalui kewenangan yang dimilikinya. Hal ini tentunya selaras dengan tujuan penyelenggaraan pemanfaatan panas bumi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi bertujuan untuk mengendalikan kegiatan pengusahaan panas bumi untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan berupa panas bumi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, dan meningkatkan pemanfaatan energi bersih yang ramah lingkungan guna mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dasar Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

Referensi

Agung, F., Terapkan Teknologi Binary, Pertamina Siap Genjot Pemanfaatan Panas Bumi, retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/terapkan-teknologi-binary-pertamina-siap-genjot-pemanfaatan-panas-bumi

Astuti, W., Dari Panas Bumi Lahirlah Listrik, retrieved from https://coaction.id/dari-panas-perut-bumi-lahirlah-listrik/

Azhar, M., Suhartoyo, (2015), Aspek Hukum Kebijakan Geothermal di Indonesia, Jurnal Law Reform,vol.11 (1). Ahluriza, P., Udi Harmoko, (2021), Analisis Pemanfaatan Tidak Langsung Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia, Jurnal Energi Baru & Terbarukan,vol.2(1)

Febriananingsih, N., (2019), Tata Kelola Energi Terbarukan di Sektor Ketenagalistrikan dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2

Hariyadi,  (2015) Optimalisasi Peran Panas Bumi dalam Kerangka Undang-Undang Panas Bumi, vol. 20(4)

Kementerian ESDM, Ini Dia Sebaran Pembangkit Listrik Panas Bumi di Indonesia, retrieved from https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-dia-sebaran-pembangkit-listrik-panas-bumi-di-indonesia#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Sumber%20daya%20 energi%20panas,panas%20bumi%20terbesar%20di%20dunia.

Mumpuni, A., Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://www.alinea.id/bisnis/pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-b2fiz9Dif

Rusmin, D. S., Tesis : Implikasi Yuridis dalam Pengelolaan Panas Bumi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (Studi Kasus Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait Sembilan Wilayah Kerja Panas Bumi di Kawasan Hutan Konservasi, (Jakarta: UI, 2012)

Saputro, W., Skripsi : Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Malang: UB, 2015) Untari, A., Menjadi Showcase di Task Force ESC B20 Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://ekbis.sindonews.com/read/755645/77/menjadi-showcase-di-task-force-esc-b20-pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-dengan-binary-unit-1651032262/


[1] Kementerian ESDM, Ini Dia Sebaran Pembangkit Listrik Panas Bumi di Indonesia, retrieved from https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-dia-sebaran-pembangkit-listrik-panas-bumi-di-indonesia#:~:text=JAKARTA%20%2D%20Sumber%20daya%20 energi%20panas,panas%20bumi%20terbesar%20di%20dunia.

[2] Atik Untari, Menjadi Showcase di Task Force ESC B20 Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://ekbis.sindonews.com/read/755645/77/menjadi-showcase-di-task-force-esc-b20-pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-dengan-binary-unit-1651032262/

[3] Filemon Agung, Terapkan Teknologi Binary, Pertamina Siap Genjot Pemanfaatan Panas Bumi, retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/terapkan-teknologi-binary-pertamina-siap-genjot-pemanfaatan-panas-bumi

[4]   Pradipta Ahluriza, Udi Harmoko, Analisis Pemanfaatan Tidak Langsung Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia, Jurnal Energi Baru & Terbarukan, vol.2(1), 2021, hal 57

[5]  Wiji Astuti, Dari Panas Bumi Lahirlah Listrik, retrieved from https://coaction.id/dari-panas-perut-bumi-lahirlah-listrik/

[6] Ayu Mumpuni, Pertamina Percepat Peningkatan Bauran Energi dengan Binary Unit, retrieved from https://www.alinea.id/bisnis/pertamina-percepat-peningkatan-bauran-energi-b2fiz9Dif

[7] Wahyudi  Saputro, Skripsi : Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Malang: UB, 2015), hal. 14

[8] Nunuk Febriananingsih, Tata Kelola Energi Terbarukan di Sektor Ketenagalistrikan dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2, 2019, hal. 34-35

[9] Wahyudi  Saputro, Tesis: Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan), hal. 5

[10] Pasal 84 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[11] Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[12]Pasal 53 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[13] Fadhil Saputra, Skripsi: Analisis Yuridis Politik Hukum Pengaturan Izin Pemanfaatan Panas Bumi dalam Pemanfaatan Tidak Langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2017, (Malang: UB, 2019), hal.66

[14] Dimas Saputra Rusmin, Tesis : Implikasi Yuridis dalam Pengelolaan Panas Bumi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (Studi Kasus Nota Kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan terkait Sembilan Wilayah Kerja Panas Bumi di Kawasan Hutan Konservasi, (Jakarta: UI, 2012), hal. 58

[15] Ibid, hal. 15

[16] Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[17] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[18] Pasal 31 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[19] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi

[20] Hariyadi, Optimalisasi Peran Panas Bumi dalam Kerangka Undang-Undang Panas Bumi, vol. 20(4), 2015, hal.374

0

Energy Sector Investment: Solutions and Problems

Author : Alfredo Joshua Bernando , Co-Author : Robby Malaheksa & Shafa Atthiyyah Raihana

DASAR HUKUM:

  1. Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
  2. Permen ESDM No 21 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT. PLN (Persero)

REFERENSI :

  1. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta
  2. Dewan Energi Nasional. Ketahanan Energi. 2014. Jakarta. 2014
  3. Akhir 2016, Harga Batu Bara Acun Tembus US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton,  diakses tanggal 31 Maret 2022.
  4. Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010.
  5. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, diakses tanggal 2 April 2022

Investasi Energi Terbarukan Capai Rp30 Triliun Sepanjang 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, diakses tanggal  2 April 2022

LEGAL BASIS:

  1. Government Regulation No. 79 of 2014 on National Energy Policy
  2. Permen ESDM No. 21 of 2016 concerning The Purchase of Electricity from Biomass Power Plants and Biogas Power Plants by PT. PLN (Persero)

REFERENCE :

  1. Agency for the Assessment and Application of Technology. Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta
  2. National Energy Council. Energy Security. 2014. Jakarta. 2014
  3. At the end of 2016, Acun Coal Price Reached US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton, accessed March 31, 2022.
  4. Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s renewable Enrgi Development Strategy”. 2010.
  5. Renewable Energy and Energy Conservation (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, accessed April 2, 2022
  6. Renewable Energy Investment Reaches RP30 Trillion Throughout 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, accessed April 2, 2022

Penggunaan energi di Indonesia ternyata masih bergantung sepenuhnya pada Energi yang tidak dapat di perbaharui seperti Minyak Bumi, Batubara dan Gas alam sebagai sumber kebutuhan energi. Sedangkan melihat dari hasil implementasi yang telah di lakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan bauran Energi terbarukan (ET) masih mengalami berbagai kendala. Kendala yang di maksud antara lain kendala teknis, non teknis dan persaingan harga tarif dengan energi fosil yang cendrung lebih murah, sehingga menyebabkan pembangunan Energi terbarukan menjadi terhambat dan baruan Energi yang di capai dari ET baru sekitar 6,2 % secara keseluurhan dengan pertumbuhan 0,39 % per tahun.

Energi yang dapat diperbaharui (renewable energy) ini memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh energi yang tidak dapat diperbaharui (non renewable energy), yaitu energi tersebut tidak akan pernah berhenti atau habis selama siklus alam masih berlangsung, ramah lingkungan dan dapat meminimalisir polusi lingkungan. Sedangkan non renewable energy merupakan energi yang akan habis jika di pakai terus menerus dana mengahsilkan polusi jika di gunakan, namn memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan energi yang lebih besar dari pda renewable energy dengan konsentrasi yang lebih sedikit.[1]

Upaya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan sebagaimana tertulis pada Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menjelaskan tentang prioritas pengembangan eergi nasional sebagai berikut :

“Pasal 11

  • Untuk mewujudkan keseimbangan keekonomian Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, prioritas pengembangan Energi nasional didasarkan pada prinsip:
  • Memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian.
  • Meminimalkan penggunaan minyak bumi.
  • Memanfaatkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru.
  • Menggunakan batu bara sebagai andalan pasokan energi Nasional.” [2]

Indonesia sendiri mematok targer pencapaian energi sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 9 huruh (f) PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagai berikut :

“Pasal 9

  • Tercapainya bauran Energi Primer yang optimal:
  1. Pada tahun 2025 peran energi baru daan energi terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 % sepanjang keekonomian terpenuhi.
  2. Pada tahun 2025 peran minyak bumi kurang urang dari 25% dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari 20%
  3. Pada tahun 2025 peran batubara minimal 30% dan pada tahu 2050 minimal 25%.
  4. Pada tahun 2025 peran gas bumi minimal 22% dan pada tahun 2050 minimal 24%[3]

Bila melihat dari hasil implementasi yang telah di lakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan targetan tersebut, sampai tahun 2015 dalam perincian sumber energi secara keseluruhan disemua sektor. Minyak bumi masih menjadi tumpuan utama masyrakat Indonesia dengan persentase sebesar 43%, disusul kemudian Batubar dan gas bumi masing-masing 28,7% dan 22%. Sisanya, yaitu hanya sebanyak 6,2% yang berasal dari sumbangsih energi terbarukan dalam baruan pemanfaataan energi nasional. Ini artinya pemanfaatan energi terbarukan masih belum maksimal sampai dengan saat ini dan belum bisa menutupi pertumbuhan konsumsi energi sampai 3,2% dan konsumsi listrik sekitar 6% setiap tahunnya, sedangkan bauran energi terbarukan bertambah 0,36 % per-tahunnya. Hal ini akan membuat sulit untuk mencapai target 23% pada tahun 2025. [4]

Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi oleh kondisi energi terbarukan Indonesia, seperti masih mengalami berbagai masalah teknis, non teknis, perizinan yang menghambat perkembangan energi baru dan terbarukan nasional. Tidak hanya itu keterbatasan infrastruktur juga menjadi salah satu faktor permasalahan dalam penggunaan energi terbarukan, yang menyebabkan adanya akses pembatasan bagi masyarakat, penerapan insentif pajak yang semakin tinggi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dalam bentuk resiko dan penugasan eksplorasi kepada BUMN, ditambah dengan adanya tantangan global yang di hadapi oleh Indonesia, sehingga penggunaan potensi sumber daya energi nasional yang ada belum efisien dan masih sangat rendah bila di bandingkan dengan potensi yang dimiliki.[5]

Dengan adanya permasalahan tersebut, sehingga dalam penggunaan energi di Indonesia, masih dilakukan dengan sumber energi yang tidak dapat di perbaharui, hal ini juga di dorong dengan tarif listrik dari energi fosil (batubara) di anggap lebih murah karena harga batubara dunia yang rendah dan ketergantungan kepada sumber energi berbasis minyak dikarenakan subsidi yang di berikan, serta komponen-komponen energi terbarukan yang mahal dikarenakan harus mengimpor dari luar negeri dan terbatasnya industri energi terbarukan di Indonesia. Berdasarkan permasalahan energi terbarukan yang melanda, maka di perlukan sebuah strategi untuk pengembangan energi terbarukan yang dapat meningkatkan perkembangan energi terbarukan di Indonesia secara signifikan untuk mencapai targetan bauran energi terbarukan pada tahun 2025 dan 2050, serta mendapatkan solusi untuk menuju pemanfaatan energi terbarukan yang optimal dan efisien demi kepentingan ketahanan energi nasional.[6]

Salah satu tujuan dari pengembangan energi terbarukan adalah meningkatkan investasi sektor ESDM khussnya energi terbarukan. Tahun 2016 Investasi di sektor energi terbarukan mencapai U$D 1,593 Miliar dengan rincian U$D 1,13 Miliar (panas bumi), U$D 0,41 Miliar (Bioenergi), U$D 0,056 Miliar (PLTS dan PLTMh), dan U$D 0,003 Miliar (Konservasi Energi). Dari ke-4 bidang Investasi tersebut hanya gabungan Investasi PLTS dan PLTMh yang pencapaiannya tidak sesuai target di tahun 2016 dengan prosentase 56% dari pencapaian toal sebesar U$D 0,1 Miliar.[7]

Sektor panas bumi dapat melebihi target yang dicanangkan dalam Investasi yakni sebesar U$D 0,96 Miliar di karenakan pada tahun 2016 banyak terdapat PLTP yang COD (Commercial Operating Date). Sedangkan untuk Bioenergi dikarenakan ketertarikan Investor terhadap kebijakan Permen ESDM No 21 Tahun 2016 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas oleh PT. PLN (Persero). Menurut Laporan kinerja dari EBTKE[8] tahun 2016 tercatat ada sekitar 15 Badan Usaha yang berinvestasi di sektor Bioenergi.

Melihat beberapa permasalahan yang di hadapai maka perlu dicarikan solusi agar dapat meningkatkan peranan energi terbarukan dalam bauran energi di Indonesia, solusi tersebut dapat berupa :[9]

  1. Potensi energi terbarukan (matahari, angin, air, bioenergi, panas bumi) yang dimiliki Indonesia perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk menambah kapasitas terpasang pembangkit listrik, rasio elektrifikasi dan penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan yang dicanangkan PP. No.79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, mengingat daya bangun pembangkit listrik yang harus ditingkatkan dari 4 GW/tahun menjadi 6 GW/tahun dan bertahap menjadi 12 GW/tahun
  2. Menjalankan feed in tariff energi terbaharukan yang ada untuk Investor dan di bantu subsidi listrik ET dari Pemerintah untuk konsumen sampai biaya pokok penyediaan listrik ET memungkinkannya untuk di cabutnya subsidi harga listrik ET.
  3. Memberikan pajak emisis C kepada pengelola pembangkit listrik energi fossil, sebagi bentuk komitmen negara terhadap perjanjian penurunan emisis dengan dunia serta utnuk pembangunan Energi ramah lingkungan di Indoneia.
  4. Pembebasan pajak impor peralatan energi terbaharukan dan mendorong produsen peralatan energi terbaharukan lokal melalui pembebeasa pajak dan dukungan keuangan secara langsung.
  5. Menggencarkan studi dan penelitian serta mengidentivikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbaharukan secara lengkap di setiap wilayah, merumuskan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konservasi energi yang sesuai dengan kondisi Indonesia dengan di dukung anggaran dana dari Pemerintah.
  6. Perlu adanya dukungan berupa kebijakan bantuan investasi dari pemerintah sekitar 20 – 30% untuk menggairahkan pembangunan energi terbarukan ditengah masih mahalnya harga operasional untuk membangun pembangkitan energi terbarukan, faktor perizinan, biaya eksplorasi dan pengeboran (panas bumi), pembelian bahan baku (biomassa), perencanaan dan sebagainya.
  7. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kemudian lembaga lembaganya baik kementerian ESDM, Kementerian Riset, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau pun lembaga lain saling bekerja sama secara nyata untuk pengembangan di bidang energi terbarukan tanpa mengedepankan ego sektoral.
  8. Mensosialisasikan dan memberi pendidikan kepada masyrakat mengenai energi terbaharukan agar isu-isu negatih yag ada pada benak masyarakat mengenai pemnafaatan energi terbaharukan dapat tertanggulangi.

Berdasarkan data Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM), Singapura menjadi kontributor terbesar dalam investasi sektor energi terbarukan di Indonesia. Pada 2020, nilai investasinya mencapai US$ 453,1 juta. Secara akumulasi dari 2016-2020, Investasi Energi terbarukan dari Singapura mencapai US$ 1.176,9 juta atau kontribusinya mencapai 34,5 persen dari total investasi asing sektor energi terbarukan di Indonesia.

Kontributor selanjutnya adalah Korea Selatan, yang dalam 5 tahun terakhir ini nilai investasinya mencapai US$ 564,8 juta atau berkontribusi sebesar 16,6 persen dari keseluruhan investasi asing sektor  ET di Indonesia. Kemudian disusul oleh Belanda yang mencapai total US$ 502 juta (14,7 persen), Jepang total US$ 416,7 juta (12,2 persen), dan China total US$ 191,9 juta (5,6 persen). China ada diurutan ke lima yang memiliki investasi besar di Indonesia dan terus menigkat dari tahun ke tahun kecuali di 2020 yang turun karena dampak Covid-19[10]

Pertumbuhan energi terbarukan harus dipercepat, karena kepedulian terhadap perubahan iklim dan dukungan untuk lingkungan, keberlanjutan, terus tumbuh, dan permintaan akan sumber energi yang lebih bersih pun juga terus meningkat. Tahun 2022 merupakan tahun kritis untuk transisi energi, sehingga kesuksesan tahun ini akan menjadi penentu keberhasilan dalam pencapaian komitmen netral karbon pada tahun 2050. Semua stakeholders, baik pemerintah maupun swasta perlu melakukan upaya terbaik untuk mewujudkan energi bersih yang berkelanjutan, yang pada akhirnya membawa kita lebih dekat menuju tercapainya kondisi netral karbon.


[1] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi . Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta

[2] Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerinthan No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[3] Pasal 9 huruh (f) PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[4] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 2

[5] Akhir 2016, Harga Batu Bara Acun Tembus US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/ekonomi/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton,  diakses tanggal 31 Maret 2022.

[6] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 2

[7] Dewan Energi Nasional, Ketahanan Energi. 2014. Jakarta. 2014

[8] Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, diakses tanggal 2 April 2022

[9] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Strategi Pengembangan Enrgi terbarukan Indonesia”. 2010. Hlm. 11-12

[10] Investasi Energi Terbarukan Capai Rp30 Triliun Sepanjang 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, diakses tanggal  2 April 2022

The use of energy in Indonesia is still completely dependent on energy that cannot be renewed such as petroleum, coal and natural gas as a source of energy needs. Meanwhile, seeing from the results of the implementation that has been done by the Government to realize the renewable energy mix (ET) is still experiencing various obstacles. The constraints that are meant between the design of technical, non-technical constraints and tariff price competition with fossil energy are  cheaper, thus causing the development of renewable energy to be hampered and recently The energy achieved from the new ET is about 6.2% in a comprehensive manner  with a growth of 0.39% per year.

This renewable energy has a priority that is not owned by non-renewable energy, that is, it will never stop or run out as long as the natural cycle is still ongoing, environmentally friendly and can minimize environmental pollution.  While non-renewable energy is energy that will be consumed if used continuously funds to produce pollution if used, namn has the advantage that it can produce more energy than pda renewable energy with less concentration.[1]

Efforts to optimize the use of renewable energy as written in Article 11 paragraph (2) of Government Regulation No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy which explains the priorities of national eergi development as follows:

“Article 11 paragraph (2):

  1. Maximize the use of renewable energy by paying attention to the level of economy.
  2. Minimize the use of petroleum.
  3. Utilizing the utilization of natural gas and new energy.
  4. Using coal as a mainstay of the National energy supply.”

Indonesia itself pegs the targer of energy achievement as mentioned in Article 9 huruh (f) PP No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy as a provision:

“Article 9 letter (f):

  1. By 2025 the role of new energy and renewable energy is at least 23% and by 2050 at least 31% as long as the economy is fulfilled.
  2. By 2025 the role of petroleum is less than 25% and by 2050 it will be less than 20%.
  3. By 2025 the role of coal is at least 30% and by 2050 at least 25%.
  4. By 2025 the role of natural gas is at least 22% and by 2050 it is at least 24%.[2]

If we saw from the results of the implementation that has been carried out by the Government to realize this target, until 2015 in the details of energy sources as a whole in all sectors. Petroleum is still the main focus of the Indonesian community with a percentage of 43%, followed by Batubar and natural gas respectively 28.7% and 22%. The rest, namely hanya as much as 6.2% which comes from the contribution of renewable energy in the new national energy utilization.  This means that the use of renewable energy is still not optimal until now and has not been able to cover the growth of energy consumption up to 3.2% and electricity consumption of about 6% annually, while the renewable energy mix increased by 0.36% per year.  This will make it difficult to reach the 23% target by 2025. [3]

The forms of problems faced by Indonesia’s renewable energy conditions, such as still experiencing various technical, non-technical, licensing problems that hinder the development of new and national renewable energy. Not only that, limited infrastructure is also one of the problem factors in the use of renewable energy, which causes access restrictions for the community, the application of higher tax incentives for Geothermal Power Plants (PLTP), in the form of risk and exploration assignments to SOEs, plus with the global challenges faced by Indonesia, so that the use of the potential of existing national energy resources is not yet efficient and is still very low when compared to its potential.[4]

With these problems, so that energy use in Indonesia is still carried out with energy sources that cannot be renewed, this is also driven by electricity tariffs from fossil energy (coal) which are considered cheaper because of low world coal prices and dependence on electricity. oil-based energy sources due to subsidies provided, as well as expensive renewable energy components due to having to import from abroad and the limited renewable energy industry in Indonesia. Based on the renewable energy problems that hit, a strategy is needed for the development of renewable energy that can significantly increase the development of renewable energy in Indonesia to achieve the target of the renewable energy mix in 2025 and 2050, as well as to find solutions for optimal and efficient use of renewable energy. in the interest of national energy security.[5]

One of the goals of renewable energy development is to increase investment in the ESDM sector, especially renewable energy. In 2016 investment in the renewable energy sector reached U$D 1.593 billion with details of U$D 1.13 Billion (geothermal), U$D 0.41 Billion (Bioenergy), U$D 0.056 Billion (PLTS and PLTMh), and U$D 0.003 Billion (Energy Conservation). Of the 4 investment fields, only a combination of PLTS and PLTMh investments whose achievements were not on target in 2016 with a percentage of 56% of the toal achievement of U$D 0.1 billion.[6]

The geothermal sector can exceed the target set in the Investasi which is US $ D 0.96 billion because in 2016 there are many COD (Commercial Operating Date) PLTP.   As for Bioenergy due to investor interest in the esdm candy policy  No. 21 of 2016 concerning the purchase of electricity from biomass power plants and biogas power plants by PT. PLN (Persero). According to the performance report from EBTKE[7] in 2016, there were about 15 Business Entities that invested in the Bioenergy sector.

Looking at some of the problems that are addressed, it is necessary to find solutions in order to increase the role of renewable energy in the energy mix in Indonesia, these solutions can be in the form of:[8]

  1. The potential of renewable energy (solar, wind, water, bioenergy, geothermal) owned by Indonesia needs to be utilized to the maximum to increase the installed capacity of power plants, electrification ratios and reduce greenhouse gas emissions in accordance with the pp. No.79 of 2014 on National Energy Policy, considering the power plant building power that must be increased from 4 GW / year to 6 GW / year and gradually to 12 GW / year
  2. Running the feed in tariff of the latest energy that exists for investors and assisted by et electricity subsidies from the Government for consumers until the cost of providing ET electricity allows it to be revoked et electricity price subsidies.
  3. Providing C emissions tax to fossil energy power plant managers, as a form of state commitment to emissions reduction agreements with the world and for the development of environmentally friendly energy in Indonesia.
  4. The exemption of the import tax on renewable energy equipment and encourages local renewable energy equipment manufacturers through tax relief and direct financial support.
  5. Intensifying studies and research and identifying every type of potential energy resources in each region, formulating basic specifications and engineering standards of energy conservation systems in accordance with Indonesian conditions with the support of government budgets.
  6. There needs to be support in the form of investment assistance policies from the government of around 20-30% to stimulate renewable energy development amid the high operational price to build renewable energy generation, licensing factors, exploration and drilling costs (geothermal), purchase of raw materials (biomass), planning and so on.
  7. The central government and local government, then the institutions of the ministry of energy and mineral resources, ministry of research, and ministry of environment and forestry or other institutions cooperate with each other in real terms for development in the field of renewable energy tanpa put forward sectoral ego.
  8. Socializing and educating the community about renewable energy so that the issues of the country are in the minds of the community regarding the use of the renewable energy can be overcome.

Based on data from the Investment Coordinating Board (BKPM), Singapore is the largest contributor in renewable energy sector investment in Indonesia.  In 2020, the investment value reached US $ 453.1 million. Accumulated from 2016-2020, renewable energy investment from Singapore reached US$ 1,176.9 million or its contribution reached 34.5 percent of the total foreign investment of  the renewable energy sector in Indonesia.

The next contributor is South Korea, which in the last 5 years has an investment value of US $ 564.8 million or contribute 16.6 percent of the overall foreign investment of the ET sector in Indonesia. It was followed by the Netherlands which reached a total of US$ 502 million (14.7 percent), Japan totaled US$ 416.7 million (12.2 percent), and China totaled US $ 191.9 million (5.6 percent).  China is ranked fifth which has a large investment in Indonesia and continues to increase from year to year except in 2020 which fell due  to the impact of Covid-19.[9]

The growth of renewable energy must be accelerated, because concern for climate change and support for the environment, sustainability, continues to grow, and the demand for cleaner energy sources also continues to increase. 2022 is the year for the energy transition, so this year’s success will be the determinant of success in achieving carbon neutral commitments by 2050.  All stakeholders, both government and private, need to make their best efforts to realize sustainable clean energy, which ultimately brings us closer to achieving carbon neutral conditions.


[1] Agency for the Assessment and Application of Technology. Outlook Energy Indonesia, 2016. Jakarta

[2] Article 9 huruh (f) PP No. 79 of 2014 concerning National Energy Policy

[3] Fikri Azikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s Renewable Energy Development Strategy”. 2010. Pg. 2

[4] End of 2016, Acun Coal Price Reached US$ 100 Per Ton, https://www.beritasatu.com/economy/402831/akhir-2016-harga-batu-bara-acuan-tembus-us-100-per-ton, accessed on March 31, 2022.

[5] Fikri Azikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Indonesia’s Renewable Energy Development Strategy”. 2010. Pg. 2

[6] National Energy Council, Energy Security. 2014. Jakarta. 2014

[7] Renewable New Energy and Energy Conservation (EBTKE), https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/03/09/1585/laporan.kinerja.ditjen.ebtke.tahun.2016, retrieved April 2, 2022

[8] Fikri Adzikri, Didik Notosudjono, Dede Suhendi, “Renewable Enrgi Development Strategy Indonesian”. 2010. P. 11-12

[9] Renewable Energy Investment Reaches RP30 Trillion Throughout 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210525/44/1397847/investasi-energi-terbarukan-capai-rp30-triliun-sepanjang-2020, retrieved April 2, 2022

0

The New Renewable Energy Infrastructure in Indonesia

Author: Rizki Haryo; Co-author: Ananta Mahatyanto

Legal basis:

  1. PERMEN PUPR 2/2021
  2. Law 11/2020 on Job Creation
  3. Law 30/2007 on Energy

Merujuk pada Pasal 1 Ayat 3 Permen PUPR 2/2021 infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik. 

Secara umum, arti infrastruktur seringkali dikaitkan struktur fasilitas dasar untuk kepentingan umum. Beberapa contoh infrastruktur dalam bentuk fisik antara lain jalan, jalan tol, stadion, jembatan, konstruksi bangunan, jaringan listrik, bendungan, dan sebagainya. Selain itu, arti infrastruktur tak hanya soal fisik. Adapun infrastruktur yang berupa fasilitas non-fisik adalah pelayanan publik.

Namun demikian, secara umum infrastruktur terbagi dalam beberapa kelompok antara lain infrastruktur air, infrastruktur transportasi, infrastruktur energi, infrastruktur bangunan, infrastruktur pengelolaan limbah. Di Indonesia, pembangunan dan perawatan infrastruktur publik banyak dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Di tingkat daerah, infrastruktur adalah dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum, baik kabupaten/kota maupun provinsi.

Beberapa kementerian/lembaga tingkat pusat juga menangani urusan infrastruktur tertentu sesuai dengan bidangnya antara lain Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, dan sebagainya. Namun demikian, dikarenakan pemerintah seringkali mengalami keterbatasan dana APBN/APBD, infrastruktur seringkali dibangun dengan skema kerja sama dengan pihak swasta dan BUMN, seperti yang banyak ditemui dalam pembangunan jalan tol. 

Penjelasan Energi Baru Terbarukan

Energi terbarukan merupakan sebuah sumber energi yang berasal dari alam yang mampu digunakan dengan bebas, mampu diperbarui terus-menerus, serta tak terbatas. Berikut ini pengertian energi terbarukan, lengkap dengan jenis, sumber dan manfaatnya:

Energi terbarukan mampu diciptakan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang semakin canggih, sehingga mampu menjadi sumber energi alternatif.

Penggunaan sumber energi yang semakin meningkat membuat manusia untuk menemukan opsi lainnya dari sumber energi yang ada sekarang ini.  Adapun jenis-jenis energi terbarukan yaitu sebagai berikut:

  • Tenaga surya

Jenis energi yang satu ini berasal dari proses penangkapan energi radiasi tenaga surya atau sinar matahari, kemudian mengubahnya menjadi listrik, panas, atau air panas.

Untuk mendapatkan aliran listrik, panas matahari akan diserap menggunakan solar panel (panel surya) kemudian mengubahnya menjadi tenaga listrik.

  • Energi angin

Angin merupakan udara bergerak. Penggunaan angin sebagai sumber energi sudah berlangsung lama. Contohnya di Belanda, angin dimanfaatkan untuk menggerakan kincir yang berfungsi sebagai sumber alat pengolah biji-bijian.

Sekarang ini, listrik juga mampu menghasilkan tenaga listrik dengan memanfaatkan turbin. Turbin ini yang berguna untuk menggerakan generator yang membangkitkan listrik.

  • Energi pasang surut

Energi ini diperoleh dari hasil pasang surut air laut. Diketahui, energi jenis ini juga dimanfaatkan di pantai timur Amerika dan Eropa. Turbin yang dipasang di tepi laut membantu mengubah energi dari pasang surut air laut menjadi energi mekanik untuk menggiling gandum.

  • Energi Ombak

Energi jenis ini digunakan untuk membangkitkan listrik. Hanya saja, untuk mengembangkan energi ombak ini membutuhkan infrastruktur dengan jumlah biaya yang relatif mahal. pemanfaatan energi pada ombak untuk menggerakan generator pembangkit listrik. Saat diletakkan di permukaan laut alat ini akan mendapat tekanan dari permukaan gelombang laut yang naik. Akibatnya udara di sekitar alat akan terdorong masuk ke dalam alat.

  • Energi panas laut

Air laut memiliki perbedaan temperatur yang mana bagian dalam air laut terasa dingin dan bagian permukaan air laut terasa panas karena terkena sinar matahari.

Perbedaan temperatur ini yang dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik dengan menggunakan teknologi canggih.

Sumber Energi Terbarukan

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang dimaksud dengan energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan, yaitu dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Sumber energi saat ini berasal dari energi fosil dan energi terbarukan. Di Indonesia, masih banyak area potensial untuk mengembangkan energi terbarukan.

Penggunaan energi terbarukan mampu menyerap sumber daya serta investasi dimana manfaatnya bisa dirasakan hingga di masa mendatang. Berikut ini beberapa manfaat energi terbarukan yang perlu kamu tahu:

  • Meminimalisir efek pemanasan global
  • Sumber energi tak terbatas
  • Meningkatkan kesehatan masyarakat
  • Hemat sumber daya serta uang
  • Menciptakan lapangan kerja dan peluang

Pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan terus didorong pemanfaatannya. Di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik, pemanfaatannya juga dalam rangka menurunkan tingkat emisi CO2 dengan memberikan skema investasi yang menarik dan harga jual tenaga listrik yang lebih kompetitif. 

Dalam pertemuan G20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, serta COP 21 di Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dari level “business as usual” pada tahun 2030 atau 41% dengan bantuan internasional. 

Ketenagalistrikan

Menurut pasal 42 UU 11/2020 Cipta kerja yang merupakan perubahan dari Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2009 definisi ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. Tenaga listrik itu sendiri pada pasal 1 ayat 2  Undang-undang yang sama dijelaskan merupakan suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat.

Untuk usaha ketenagalistrikan terbagi menjadi 2 sesuai Pasal 8 UU 30/2009 yaitu;

  • Usaha penyediaan tenaga listrik; dan
  • Usaha penunjang tenaga listrik. 

Usaha penyediaan tenaga listrik pun juga terbagi menjadi 2 sesuai Pasal 9 UU 30/2009 yaitu;

  • Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan
  • Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. 

Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliput jenis usaha:

  • Pembangkitan tenaga listrik;
  • Transmisi tenaga listrik; 
  • Distribusi tenaga listrik; dan/atau 
  • Penjualan tenaga listrik. 

Pada perubahan pasal 10-11 UU 30/2009 di UU 11/2020 menyebutkan bahwa usaha Penyediaan Tenaga listrik hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara, daerah, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan secara terintegrasi oleh 1 (satu) badan usaha di 1 (satu) wilayah usaha, dimana wilayah usaha tersebut ditentukan oleh pemerintah, mengenai pembatasan wilayah tersebut yang dilakukan oleh pemerintah, hal tersebut juga berlaku bagi badan usaha yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik. Namun demikian, untuk badan usaha milik negara mendapatkan prioritas pertama untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tersebut. Untuk semua jenis badan usaha tersebut diatas harus memperioritaskan untuk menggunakan produk-produk dan potensi dalam negri. 

Untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya dan juga harus mengutamakan pemakaian produk-produk dan potensi dalam negeri.

Pemegang perizinan untuk kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dalam melaksanakan usaha nya berhak untuk;

  • Melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun di bawah permukaan; 
  • Melintasi laut, baik di atas maupun di bawah permukaan; 
  • Melintasi jalan umum dan jalan kereta api; 
  • Masuk ke tempat umum atau perseorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu; 
  • Menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah; 
  • Melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan 
  • Memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.

Dalam pengaturannya, infrastruktur EBT mengacu kepada UU 30/2009 yang diubah pada UU 11/2020 yang mengatur tentang penyelenggaraan Ketenagalistrikan.

KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA

Skema kerja sama pemerintah dengan swasta dinamakan kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Menurut Pasal 1 Ayat 1 Permen PUPR 2/2021, kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau disebut sebagai KPBU adalah kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. 

Menurut Pasal 5 Perpres 38/2015, infratruktur yang dapat dikerja samakan antara lain adalah infrastruktur ekonomi. Infrastruktur ketenagalistrikan merupakan infrastruktur ekonomi, infrastruktur EBT itu sendiri merupakan ketenagalistrikan jadi untuk KPBU dapat di terapkan pada pembangunan infrastruktur EBT bedasarkan pasal tersebut.

SANKSI-SANKSI

Sanksi mengenai pelanggaran ketenagalistrikan diatur pada UU 11/2020 Cipta Kerja yang merupakan perubahan dari pasal 49 hingga pasal 54 UU 30/2009 Ketenagalistrikan 

Pasal 49

1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,0O (tiga miliar rupiah). 

2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 

3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 

Pasal 50 

1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan kematian seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda pating banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan kematian seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda pating banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 

3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik wajib memberi ganti rugi kepada korban. 

‘4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 

Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A sehingga berbunyi sebagai berikut: 

Pasal 51A 

Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang telah: 

  • Diberi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3); 
  • Masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum jaringan tenaga listrik; dan/atau 
  • Membahayakan keselamatan danlatau mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Pasal 54 

  • Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 
  • Dalam hal instalasi listrik rumah tangga masyarakat dioperasikan tanpa sertifikat laik operasi, dampak yang timbul akibat ketiadaan sertifikat laik operasi menjadi tanggung jawab penyedia tenaga listrik. 

Referring to Article 1 Paragraph 3 Permen PUPR 2/2021 infrastructure is the technical, physical, system, hardware, and software facilities needed to provide services to the community and support the structural network so that the economic and social growth of the community can run well.

In general, the meaning of infrastructure is often associated with the structure of basic facilities for the public interest.  Some examples of infrastructure in the physical form include roads, toll roads, stadiums, bridges, building construction, electricity networks, dams, and so on.  In addition, the meaning of infrastructure is not only a physical matter.  The infrastructure in the form of non-physical facilities is a public service.

 However, in general, infrastructure is divided into several groups, including water infrastructure, transportation infrastructure, energy infrastructure, building infrastructure, and waste management infrastructure.  In Indonesia, the development and maintenance of public infrastructure are mostly carried out by the Ministry of Public Works and Public Housing (PUPR).  At the regional level, infrastructure is managed by the Public Works Department, both district/city and provincial.

 Several ministries/agencies at the central level also handle certain infrastructure matters according to their fields, including the Ministry of Transportation, Ministry of SOEs, Ministry of Agriculture, and so on.  However, because the government often experiences limitations in APBN/APBD funds, infrastructure is often built in a cooperation scheme with the private sector and state-owned enterprises, as is often found in the construction of toll roads.

 Explanation of New Renewable Energy

 Renewable energy is an energy source that comes from nature that can be used freely, can be renewed continuously, and is unlimited.  The following is the definition of renewable energy, complete with types, sources and benefits:

 Renewable energy can be created by utilizing increasingly sophisticated technological developments so that it can become an alternative energy source.

 The increasing use of energy sources makes humans find other options from energy sources that exist today.  The types of renewable energy are as follows:

  • Solar power

This type of energy comes from the process of capturing solar radiation energy or sunlight, then converting it into electricity, heat, or hot water.

To get electricity, solar heat will be absorbed using a solar panel (solar panels) and then convert it into electric power.

  • Wind energy

Wind is moving air.  The use of wind as an energy source has been going on for a long time.  For example, in the Netherlands, the wind is used to drive a mill which functions as a source of grain processing equipment.

Currently, electricity is also capable of generating electrical power by utilizing turbines.  This turbine is useful for driving a generator that generates electricity.

  • Tidal energy

This energy is obtained from the tides of seawater.  It is known, this type of energy is also used on the east coast of America and Europe.  Turbines installed on the shores of the sea help convert energy from the tides into mechanical energy for grinding grain.

 • Wave Energy

 This type of energy is used to generate electricity.  However, to develop this wave energy requires infrastructure with a relatively high cost.  the use of energy in the waves to drive a generator for generating electricity.  When placed on the surface of the sea this tool will be under pressure from the surface of the rising sea waves.  As a result, the air around the tool will be pushed into the tool.

 • Ocean thermal energy

 Seawater has a temperature difference where the inside of the seawater feels cold and the surface of the seawater feels hot because it is exposed to sunlight.

 This temperature difference is used to produce electrical energy using advanced technology.

 Renewable Energy Source

 According to Law Number 30 of 2007 concerning Energy, what is meant by renewable energy is energy that comes from renewable energy sources, which is produced from sustainable energy resources if managed properly, including geothermal, wind, bioenergy, sunlight,  flow, and waterfalls, as well as movements and differences in sea layer temperature.

 Current energy sources come from fossil energy and renewable energy.  In Indonesia, there are still many potential areas for developing renewable energy.

The use of renewable energy is able to absorb resources and investments where the benefits can be felt in the future.  Here are some of the benefits of renewable energy that you need to know:

 • Minimize the effects of global warming

 • Unlimited energy sources

 • Improving public health

 • Save resources and money

 • Creating jobs and opportunities

 The development and utilization of new and renewable energy continue to be encouraged.  In addition to meeting the need for electricity, its use is also to reduce CO2 emission levels by providing attractive investment schemes and a more competitive selling price for electricity.

At the G20 meeting in Pittsburgh, Pennsylvania, United States, and COP 21 in Paris, Indonesia has committed to reducing greenhouse gas emissions by 29% from the “business as usual” level by 2030 or 41% with international assistance.

 Electricity

According to Article 42 of Law 11/2020 on job creation, which is a change from Article 1 paragraph 1 of Law number 30 of 2009 the definition of electricity is everything that concerns the supply and use of electric power and the business of supporting electricity.  Electric power itself in article 1 paragraph 2 of the same law is explained as a form of secondary energy that is generated, transmitted, and distributed for all kinds of purposes, but does not include electricity used for communications, electronics, or signals.

 The electricity business is divided into 2 according to Article 8 of Law 30/2009, namely;

  1. Electricity supply business;  and
  2. Power support business.

 The electricity supply business is also divided into 2 according to Article 9 of Law 30/2009, namely;

  1. Business of providing electricity for the public interest;  and
  2. Business of providing electricity for its own use.

 The business of providing electricity for the public interest includes the following types of businesses:

  1. Power generation;
  2. Electric power transmission;
  3. Distribution of electric power;  and/or
  4. Electricity sales.

 In the amendment to Article 10-11 of Law 30/2009 in Law 11/2020 it is stated that the business of providing electricity can only be carried out by state-owned, regional, private, cooperative, and non-governmental enterprises.  This can be done in an integrated manner by 1 (one) business entity in 1 (one) business area, where the business area is determined by the government, regarding restrictions on the area carried out by the government, this also applies to business entities which only cover the distribution of workers.  electricity and/or sales of electric power.  However, for state-owned enterprises, the first priority is to carry out the business of providing electricity for the public interest.  For all types of business entities mentioned above, they must prioritize the use of domestic products and potentials.

 For the business of providing electricity for self-interest, it can be carried out by central government agencies, regional government agencies, state-owned enterprises, regional-owned enterprises, private enterprises, cooperatives, individuals, and institutions/agencies.

 other businesses and must also prioritize the use of domestic products and potentials.

 The holder of a license for the business activity of providing electricity for the public interest in carrying out his business is entitled to;

  1. crossing rivers or lakes, both above and below the surface;
  2. across the sea, both above and below the surface;
  3. crossing public roads and railways;
  4. enter a public or private place and use it temporarily;
  5. use the ground and pass above or below ground;
  6. pass over or under buildings built above or below ground;  and
  7. cutting and/or cutting down any obstructing plants.

 In its regulation, NRE infrastructure refers to Law 30/2009 which was amended in Law 11/2020 which regulates the implementation of Electricity.

 GOVERNMENT AND BUSINESS ENTITY COOPERATION

 The government-private partnership scheme is called Government and Business Entity Cooperation. According to Article 1 Paragraph 1 of the PUPR Ministerial Regulation 2/2021, Government and Business Entity cooperation or referred to as PPP is a collaboration between the government and Business Entities in the Provision of Infrastructure for the public interest by referring to specifications  previously determined by the Minister/Head of Institution/Head of Region/State-Owned Enterprise/Regional-Owned Enterprise, which partially or wholly uses the resources of the Business Entity with due observance of the risk sharing between the parties.

 According to Article 5 of Presidential Regulation 38/2015, the infrastructure that can be collaborated is economic infrastructure.  Electricity infrastructure is economic infrastructure, NRE infrastructure itself is electricity, so for PPPs it can be applied to NRE infrastructure development based on the article.

 SANCTIONS

 Sanctions regarding electricity violations are regulated in Law 11/2020 on Job Creation which is a change from article 49 to article 54 of Law 30/2009 on Electricity

 Article 49

  1. Every person who conducts electricity supply business for the public interest without a Business License as referred to in Article 19 paragraph (2) which results in the emergence of victims/damages to health, safety, and/or the environment shall be punished with imprisonment for a maximum of 3 (three) years.  and a maximum fine of IDR 3,000,000,000.00 (three billion rupiah).

 Article 50

  1. Anyone who does not meet the safety of electricity as referred to in Article 44 paragraph (1) which results in the death of a person due to electricity shall be punished with imprisonment for a maximum of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion).  rupiah).
  2. If the act as referred to in paragraph (1) is carried out by the holder of a Business License to provide electricity, the perpetrator shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp. 1,500,000,000.00 (one billion five hundred million rupiah).  ).
  3. In addition to the punishment as referred to in paragraph (2), the holder of a Business License to provide electricity is required to provide compensation to the victim.
  4. The determination and procedure for the payment of compensation as referred to in paragraph (3) shall be carried out in accordance with the provisions of the laws and regulations.

 Between Article 50 and Article 51, 1 (one) article is inserted, namely Article 51A so that it reads as follows:

 Article 51A

 Everyone who builds or allows buildings and/or replants plants that have:

  1. be given compensation as referred to in Article 30 paragraph (2) and/or compensation as referred to in Article 30 paragraph (3);
  2. entry into the free space or minimum clearance of the electric power grid;  and/or
  3. endanger safety and/or interfere with the reliability of electricity supply, shall be punished with imprisonment for a maximum of 3 (three) years and a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).

Article 54

  1. Everyone who operates an electrical power installation without an operation-worthy certificate as referred to in Article 44 paragraph (4) which results in the emergence of a victim shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million).  rupiah).
  2. In the event that a community household electrical installation is operated without an operation-worthy certificate, the impacts arising from the absence of an operation-worthy certificate are the responsibility of the electric power provider.
Translate