CORPORATE CRIMES RELATED TO NUCLEAR POWER IN INDONESIA
Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus, Adinda Aisyah Chairunnisa
DASAR HUKUM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi REFERENSI: Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia. Bayu Media, Malang, 2005, hlm. xii-xivMuladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta“The Science of Nuclear Power” https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power Untar, “Hukum Pidana di Bidang Sumber Daya Alam” https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/buktipenelitian_10216001_2A171206.pdf “Non-renewable resources” https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources “Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Dalam mengahasilkan sumber daya alamnya, bumi menghasilkan dua jenis sumber daya, yakni Sumber daya terbarukan dan tak terbarukan. Kedua sumber tersebut sumber energi yang digunakan manusia untuk memenuhi fungsi kehidupan setiap harinya. Perbedaan antara kedua jenis sumber daya ini adalah bahwa sumber daya yang dapat diperbarui secara alami dapat mengisi kembali dirinya sendiri sementara sumber daya yang tidak dapat diperbarui tidak. Ini berarti bahwa sumber daya yang tidak dapat diperbaru jumlahnya terbatas dan tidak dapat digunakan secara berkelanjutan.[1] Terdapat empat jenis utama sumber daya tak terbarukan yakni minyak, gas alam, batu bara, dan energi nuklir. Minyak, gas alam, dan batu bara secara kolektif disebut bahan bakar fosil tetapi energi nuklir berasal dari unsur radioaktif, terutama uranium, yang diekstraksi dari bijih yang ditambang dan kemudian disuling menjadi bahan bakar.[2] Secara ilmiah, energi nuklir sendiri adalah bentuk energi yang dilepaskan dari nukleus, inti atom, yang terdiri dari proton dan neutron. Sumber energi ini dapat dihasilkan dengan dua cara: fisi – ketika inti atom terpecah menjadi beberapa bagian – atau fusi – ketika inti bergabung bersama.[3] Dalam pemanfaatan sumber daya alamnya, Indonesia memiliki dasar yakni UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3)Pasca amandemen yang menyatakan:[na1] “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”[4] Sehingga sesuai dengan pasal yang disebutkan sebelumnya, pemanfaatan sumber daya yang ada di Indonesia merupakan suatu hal yang dikelola oleh pemerintah untuk kemakmuran rakyat. [na2] Sedangkan dalam hal nuklir, Indonesia memiliki pengaturannya yakni Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pada Undang – Undang tersebut menjelaskan pengertian ketenaganukliran: “Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir.”[5] Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tentu hal ini dapat menjadi hal yang rawan kejahatan. Salah satu dari kejahatan tersebut adalah kejahatan korporasi. Kejahatan Korporasi atau kejahatan kerah putih diartikan sebagai kejahatan yang dimotivasi secara finansial dan biasanya dilakukan oleh para profesional dalam bidang bisnis dan aparat pemerintah.[6] Kemudian terdapat pendapat dari kriminolog dalam pengertiannya dikemukakan oleh kriminolog Marshall Clinard dan Richard Quinney yang, dalam teks klasik mereka Sistem Perilaku Kriminal, menyerukan perbedaan di antara jenis kejahatan kerah putih[na3] . Kejahatan kerah putih sendiri adalah kejahatan yang dilakukan oleh kaum elit, pengusaha, banker, atau para perjabat yang mempunyai peran dan fungsi strategis atau akses kebijakan strategis melalui korupsi, kecurangan, dan penipuan yang sangat merusak serta menimbulkan korban yang bersifat masal.[7] Kriminolog tersebut mengidentifikasi kejahatan korporasi dan kejahatan pekerjaan sebagai jenis umum dari kejahatan kerah putih. Kejahatan korporasi mengacu pada situasi di mana pejabat perusahaan melakukan tindakan kriminal atau berbahaya untuk kepentingan korporasi, sedangkan kejahatan kerja mengacu pada situasi di mana individu karyawan melakukan kejahatan terhadap korporasi, tempat kerja, atau konsumen selama masa kerja.[8] Sehingga dalam hal ketenaganukliran ini, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dapat saja dilakukan oleh pejabat ataupun karyawan perusahaan bidang ketenagnukliran. Di Indonesia sendiri kejahatan korporasi tidak diatur secara eksplisit pada suatu peraturan yang menampung seluruh jenis kejahatannya akan tetapi Indonesia mencantumkan bentuk – bentuk kejahatan pidana pada tiap – tiap peraturan yang relevan dan terdapat peraturan yang mengatur tata cara pidana terhadap korporasi yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.[na4] Lantas bagaimanakah kejahatan korporasi yang diatur pada bidang ketenaganukliran Indonesia? Undang – Undang Ketenaganukliran tidak mengatur secara khusus mengenai kejahatan korporasi yang dapat terjadi, namun bentuk – bentuk kejahatan yang tercantum dapat dilakukan oleh korporasi, ketentuan tersebut yakni Pidana pada Ketenaganukliran, tercantum pada Bab 8 Undang – Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 41 hingga Pasal 44 yang menyatakan bahwa:[na5] (1)Barangsiapa membangun, mengoperasikan, atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (2)Barangsiapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 42 (1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan Kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 43 (1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 44 (1)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2)Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) untuk penghasil limbah radioatif tingkat rendah dan tingkat sedang dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3)Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.[na6] Walaupun tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mengenai pengertian barang siapa, kita dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mendefinisikan setiap orang atau dapat disamakan dengan barang siapa adalah perseorangan atau termasuk korporasi.[9] Hal ini menunjukan bahwa Korporasi pun dapat terjerat dalam pasal-pasal ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang dimana hal ini juga termasuk pada bidang pembahasan ini yaitu ketenaganukliran, ditemukan tiga model pertanggungjawaban:[10] Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab. Gagasan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena penguruslah yang akan selalu dianggap sebagai pelaku dari delik tersebut. Kedua, Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Model ini memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya dengan menetapkan pengurus sebagai yang bertanggung jawab, tidaklah cukup.[11][na7] Merujuk pada pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, disebutkan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi;Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atauKorporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegak dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.[12] Dalam pertanggung jawabannya terhadap kejahatan, perusahaan tunduk pada peraturan – pertaruran yang berlaku, menjadikan perusahaan sebagai sebuah subjek hukum dan dijatuhkan hukum sesuai dengan ketentuan pertanggung jawaban yang berlaku. | LEGAL BASIS: The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations REFERENCES: Setiyono, Crime Corporations: Victimology Analysis and Corporate Liability in Indonesian Criminal Law. Bayu Media, Malang, 2005, p. xii-xiv Muladi and Dwija Priyatno, 2013, Corporate Criminal Liability (Revised Edition), Kencana Pernada Media Group, Jakarta “The Science of Nuclear Power” https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power Untar , “Criminal Law in the Field of Natural Resources” https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/elektropenelitian_10216001_2A171206.pdf “Non-renewable resources” https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources “Corporate Crime” https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml Indonesia is a country that rich in natural resources. In producing its natural resources, the earth has two types of resources: renewable and non-renewable. Both sources are sources of energy that humans use to fulfil life functions every day. The difference between these two types of resources is that a renewable resource can naturally replenish itself while a non-renewable resource cannot. This means that non-renewable resources are limited in number and cannot be used sustainably. There are four primary non-renewable resource types: oil, natural gas, coal and nuclear. Oil, natural gas, and coal are collectively called fossil fuels. Still, nuclear energy comes from radioactive elements, especially uranium, extracted from ore mined and refined into fuel. Scientifically, nuclear energy is a form of energy released from the nucleus of an atom, which consists of protons and neutrons. This energy source can be generated in two ways: fission – when the nucleus of an atom is split into several pieces – or fusion – when the nuclei are joined together. In the utilization of its natural resources, Indonesia has a basis, namely the 1945 Constitution of the Unitary State of the Republic of Indonesia article 33 number 3 after the amendment which states: “Earth, water and the wealth contained therein are controlled by the state and used as much as possible for the prosperity of the people” So in accordance with the article previously mentioned, the utilization of existing resources in Indonesia is something that is managed by the government for the prosperity of the people. Meanwhile, in terms of nuclear, Indonesia has the regulation, namely Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy. The law explains the meaning of nuclear energy: “Nuclear energy is matters relating to the utilization, development, and control of nuclear science and technology as well as the supervision of activities related to nuclear power.” With abundant natural resources, of course this can be a crime-prone thing. One of these crimes is corporate crime. Corporate crime or white-collar crime is defined as a financially motivated crime and is usually perpetrated by business professionals and government officials. In this sense, criminologists Marshall Clinard and Richard Quinney put forward corporate crime. Their classic text, The System of Criminal Behavior, called for a distinction between types of white-collar crime. White-collar crime itself is a crime committed by elites, businessmen, bankers, or officials who have strategic roles and functions or access strategic policies through corruption, fraud, and fraud which are very destructive and cause mass victims. The authors identify corporate and occupational crime as common types of white-collar crime. Corporate crime is when a company official commits a criminal or harmful act for the corporation’s benefit. In contrast, an occupational crime is when an individual employee commits a crime against the corporation, workplace, or consumer during their tenure. So in this nuclear case, corporate crime is a crime that can be committed by officials or employees of nuclear companies. In Indonesia, corporate crime is not regulated explicitly in a regulation that accommodates all types of crimes. Still, Indonesia lists the forms of criminal offences in each relevant law. Some rules regulate criminal procedures against corporations, namely the Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations. So how are corporate crimes regulated in Indonesia’s nuclear sector? The Nuclear Law does not specifically regulate corporate crimes that can occur, but the forms of crimes listed can be carried out by corporations, the provisions of which are Crimes on Nuclear Energy, listed in Chapter 8 of Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy Articles 41 to 44 which states that: (1) Whoever builds, operates, or decommissions a nuclear reactor without a permit as referred to in Article 17 paragraph (2) shall be punished with imprisonment for a maximum of 15 (fifteen) years and a fine of a maximum of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) (2) Whoever commits an act as referred to in paragraph (1) which causes nuclear loss, shall be punished with life imprisonment or imprisonment for a maximum of 20 (twenty) years and a maximum fine of Rp. 1.000.000.000,00 (one billion rupiah). (3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year. Article 42 (1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 19 paragraph (1) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp. 50,000,000.00 (fifty million rupiahs). ). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to confinement for a maximum of 6 (six) months. Article 43 (1) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 17 paragraph (1) shall be punished with a fine of not more than Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (2) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year. Article 44 (1) Whoever commits an act that is contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (2) for high-level radioactive waste producer shall be punished with imprisonment for a maximum of 5 (five) years and a fine of a maximum of Rp.300,000,000.00 ( three hundred million rupiah). (2) Whoever commits an act contrary to the provisions as referred to in Article 24 paragraph (1) for low-level and medium-level radioactive waste producers shall be punished with a maximum fine of Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). (3) In case of not being able to pay the fine as referred to in paragraph (1) and paragraph (2), the convict shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year. Although it is not explained in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy regarding the definition of whosoever, we can refer to Law Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption which defines every person or can be equated with whoever is an individual or including a corporation. This shows that corporations can also be entangled in articles of criminal provisions in Law Number 10 of 1997 concerning Nuclear Energy. Regarding corporate criminal liability, which is also included in the field of discussion, namely nuclear energy, three models of liability were found: First, the corporate management as the maker and management is responsible. This idea is based on the idea that legal entities cannot be held criminally accountable, because it is the management who will always be considered the perpetrators of the offense. Second, the Corporation as a responsible maker and administrator. So this model realizes that the corporation is the maker but the responsibility is left to the management. Third, the corporation as the maker and also as the one who is responsible. This model pays attention to the development of the corporation itself, because it turns out that simply assigning the board as the responsible person is not enough. Referring to article 4 paragraph (2) of the Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Criminal Cases by Corporations, it is stated that in imposing a crime against a corporation, the Judge can assess the corporation’s faults, including: Corporations can obtain profits or benefits from the crime or the crime is carried out for the benefit of the corporation;Corporations allow criminal acts to occur; orthe Corporation does not take the necessary steps to prevent, prevent a bigger impact and ensure compliance with applicable legal provisions in order to avoid the occurrence of criminal acts. In being responsible for crimes, the company complies with the applicable regulations, makes the company a legal subject and is imposed by law by the applicable liability provisions. |
[1] https://education.nationalgeographic.org/resource/nonrenewable-resources Diakses pada tanggal 9 Juni 2022 pukul 13.02
[2] ibid
[3] https://www.iaea.org/newscenter/news/what-is-nuclear-energy-the-science-of-nuclear-power diakses pada tanggal 09 Juni 2022 Pukul 13.15
[4] Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar NKRI 1945
[5] Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
[6] https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/970/keberadaan-kerah-putih-dibalik-kasus-pencucian-uang.html diakses pada tanggal 14 Juni 2022 pukul 20.51
[7] Frassminggi Kamasa, Kejahatan Kerah Putih, Kontraterorisme dan Perlindungan Hak Konstitusi Warga Negara dalam Bidang Ekonomi, Jurnal Konstitusi Vol. 11, No. 4, 2014, hal. 783
[8]https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-9780195396607-0185.xml Diakses pada tanggal 09 Juni 2022 pukul 17.31
[9] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[10] Muladi dan Dwija Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), Kencana Pernada Media Group, Jakarta, hlm. 83
[11] Setiyono, 2005, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayu Media, Malang, hlm. 12-14.
[12] Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi