0

LEGAL RISK OF UNAUTHORIZED DISTRIBUTION OF FILM FOOTAGE ON SOCIAL MEDIA

Author: Nirma Afianita, Co-Author: Bryan Hope Putra Benedictus

DASAR HUKUM:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta  

REFERENSI:  Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020).
“Hak Cipta: Mengenal Lebih Dalam Hak Cipta di Indonesia)? https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/
Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019.  
Dalam perkembangan zaman, Film semakin dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Dalam hal penayangan Film, Bioskop merupakan tempat pertama untuk menyaksikan Film dengan menggunakan layar lebar. Setelah itu, ketika film-film telah selesai waktunya untuk tayang di Bioskop, maka film-film tersebut dapat diputar ulang oleh media lain yang memiliki lisensi dari pihak yang bersangkutan. Dalam hal pemutaran film, banyak oknum masyarakat yang melakukan kegiatan pengunggahan cuplikan film ke dalam media sosial mereka. Pengunggah bertujuan untuk memberikan gambaran kepada pengikutnya tentang apa yang telah ia lihat di dalam Bioskop atau semata-mata hanya untuk kesenangannya.[1]  
Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa: “Pasal 25 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”  

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan pengertian mengenai ciptaan, yaitu: “Pasal 1 (3) setiap hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.”  

Sementara pengertian mengenai Film dapat ditemukan pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang berbunyi: “Pasal 1 Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.”  

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yang dimaksud dengan “karya sinematografi” adalah: “Pasal 40 Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.”  

Ada beberapa bentuk kegiatan yang dianggap sebagai pelanggaran hak cipta antara lain mengutip sebagian atau seluruh ciptaan orang lain yang kemudian dimasukkan ke dalam ciptaannya sendiri (tanpa mencantumkan sumber) sehingga membuat kesan seolah-olah karyaannya sendiri (disebut dengan plagiarisme), mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak tanpa mengubah bentuk maupun isi untuk kemudian diumumkan, dan memperbanyak ciptaan orang lain dengan sengaja tanpa izin dan dipergunakan untuk kepentingan komersial.[2]  

Pelanggaran hak cipta terhadap karya sinematografi sebelumnya adalah pembajakan film melalui cakram optik berupa kepingan CD yang dijual secara ilegal dipasar bebas, seiring berjalannya waktu kini pelanggaran terhadap hak cipta sinemtografi banyak terjadi melalui internet, bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi terhadap sebuah karya cipta sinematografi melalui internet yaitu: Penyebaran konten film melalui website; Pengunduhan film melalui internet tanpa izin; Mengunduh film atau video dan menyiarkan video tersebut tanpa menyertakan nama pencipta.[3]  

Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari kemajuan teknologi dibidang elektronika dengan tersedianya alat rekam gambar seperti audio dan video yang canggih, yang dapat merekam lagu dan film karya orang lain tanpa izin pencipta atau pemegang Hak Cipta dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan tanpa membayar pajak dan royalti kepada negara dan pencipta sehingga dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap Hak Cipta dan terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan maraknya film untuk dibajak antara lain faktor ekonomi yang menurut pembajak sangat menguntungkan baginya serta bagi penonton membandingkan harga menonton bajakan atau bioskop sangat lah jauh harganya, faktor sosial dan budaya dimana masyarakat sendiri pun masih senang untuk membeli CD bajakan yang terjual di pasaran dan bagi mereka lumrah serta sudah membudaya bagi lingkungan masyarakat, dan faktor pendidikan dimana kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat adanya aturan hukum yang mengatur Hak Cipta seseorang serta faktor penegakan hukum bahwa kurangnya kesadaran dari masyarakat berkaitan dengan aspek-aspek hukum terutama penegakan hukum terhadap pembajakan terhadap sinematografi (film/video). Hal ini akan banyak menimbulkan dampak bagi pemerintah, pembuat film, pembajak, serta masyarakat antara lain bagi pemerintah menimbulkan kerugian dengan berkurangnya pendapatan negara terhadap hasil pajak film tersebut dan kas negara pun ikut berkurang, bagi pembuat film dengan melihat penurunan jumlah penonton yang menonton suatu hasil karya mereka yang akan membuat pembuat film dirugikan karena berapa orang yang menonton suatu film tersebut akan menimbulkan dampak besar bagi pendapatan suatu film tersebut, bagi pembajak ialah mendapatkan dampak besar bagi perbuatan membajaknya, hal ini jelas tidaklah adil bagi pembuat film dikarenakan dengan mudahnya seorang pembajak mendapat pendapatan besar hasil bajakan nya yang bermodalkan sangat sedikit dari hasil pendapatanya, serta dampak bagi konsumen ialah mempunyai sifat yang tidak menghargai serta menghormati suatu hasil cipta yang dibuat oleh pencipta yang bertujuan baik untuk menghibur para konsumen.[4]  
Selanjutnya, untuk menentukan apakah perbuatan yang dilakukan tersebut dapat dijerat pidana atau tidak, perlu dilihat terlebih dahulu apakah perbuatan tersebut bersifat komersial, melanggar hak ekonomi dari pencipta/pemegang hak cipta atau tidak. Jika perbuatan menyebarkan cuplikan film tersebut bersifat komersial dan melanggar hak pencipta/pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, serta dilakukan tanpa izin, maka perbuatan tersebut dapat dijerat dengan ketentuan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta:  
“Pasal 113
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”  
Tapi, jika penyebaran cuplikan film tersebut bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta menyatakan tidak keberatan atas penyebarluasan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 huruf d UU Hak Cipta: “Pasal 43 huruf d Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta meliputi:   d. pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluaan tersebut.”   Selain itu, dalam hal seseorang memiliki dan menyebarkan suatu cuplikan film yang dilekati hak cipta, terlebih terhadap film yang seharusnya hanya dapat dinikmati bagi pelanggan berbayar di suatu platform streaming digital, patut diduga yang bersangkutan telah melakukan pembajakan sebagaimana dalam pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu: “Pasal 1 23. penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi”.   Jika benar telah terjadi pembajakan, maka pelaku dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 113 ayat (4) UU Hak Cipta sebagai berikut: “Pasal 113 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”  

Pelanggaran hak cipta pada film atau sinematografi bukan hanya dalam bentuk komersial, tetapi dapat juga dalam bentuk non-komersial. Tindakan mengunggah cuplikan film ke dalam sosial media dianggap dapat menurunkan antusias masyarakat untuk menonton film di bioskop. Akibatnya, nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pencipta film tidak sampai kepada masyarakat. Seiring berjalannya waktu, mengunggah cuplikan film di media sosial menjadi trend di masyarakat. Tentunya hal ini tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang ITE. Dan untuk setiap orang yang melakukan hal tersebut, dapat diancam pidana 10 tahun dan/atau denda Rp 4 Miliar.
LEGAL BASIS:    
Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions
Law Number 33 of 2009 concerning FilmLaw Number 28 of 2014 concerning Copyrights  

REFERENCE: Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020).
“Hak Cipta: Mengenal Lebih Dalam Hak Cipta di Indonesia)? https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/
Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019.  

In these days, films are increasingly enjoyed by the public, especially the people of Indonesia. In terms of showing films, the cinema is the first place to watch films using the big screen. After that, when the time for the films has finished to be shown in cinemas, then the films can be replayed by other media that have a license from the party concerned. In terms of film screenings, many people in the community carry out the activities of uploading film footage to their social media. The uploader aims to give his followers an idea of ​​what he has seen in the Cinema or is purely for his enjoyment.  
Based on Article 25 of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions states that: “Article 25 Electronic Information and/or Electronic Documents compiled into intellectual works, internet sites, and intellectual works contained in them are protected as Intellectual Property Rights based on the provisions of the legislation.”  

Article 1 point 3 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright provides the definition of creation, namely: “Article 1 (3) every work in the fields of science, art, and literature produced on inspiration, ability, thought, imagination, dexterity, skill, or expertise expressed in a tangible form.”  

Meanwhile, the notion of film can be found in Article 1 paragraph 1 of Law Number 33 of 2009 concerning Film, which reads: “Article 1 Films are works of art and culture which are social institutions and mass communication media that are made based on cinematographic rules with or without sound and can be shown.”  

Meanwhile, in the Elucidation of Article 40 paragraph (1) letter m of Law Number 28 of 2014, what is meant by “cinematographic works” are: “Article 40 Works in the form of moving images, including documentaries, advertising films, reports or story films made with screenplays, and cartoons. Cinematographic works can be made on celluloid tape, video tape, video disc, optical disc and/or other media that allow it to be shown in cinema, wide screen, television, or other media. Cinematography is an example of an audiovisual form.”
 
There are several forms of activities that are considered as copyright infringement, including quoting part or all of other people’s creations which are then included in their own creations (without including the source) so as to make the impression as if their own work (called plagiarism), taking other people’s creations for reproduced without changing the form or content to be published later, and reproduce the creations of others intentionally without permission and used for commercial purposes.  

Copyright infringement on previous cinematographic works is piracy of films through optical discs in the form of CDs which are sold illegally in the free market, as time goes by now many violations of cinematographic copyrights occur through the internet, other forms of infringement that occur against a cinematographic copyright through the internet namely:
1)  Dissemination of film content through the website;
2)   Downloading movies over the internet without permission;
3) Download movies or videos and broadcast those videos without including the name of the creator.  

The negative impact caused by technological advances in the field of electronics with the availability of image recording equipment such as sophisticated audio and video, which can record songs and films by other people without the permission of the creator or copyright holder and aims to earn profits without paying taxes and royalties to the state and creators so that it can be called a copyright infringement and there are many factors that can cause many films to be pirated, including economic factors which according to pirates are very profitable for them and for viewers comparing the price of watching pirated movies or cinemas is very far in price, social and cultural factors where the people themselves are still happy to buy pirated CDs that are sold on the market and for them it is normal and has become entrenched in the community, and the educational factor where there is a lack of socialization and public knowledge of the existence of legal rules that regulate a person’s copyright and fac law enforcement tor that the lack of awareness from the public is related to legal aspects, especially law enforcement against piracy of cinematography (film/video). This will have a lot of impact on the government, filmmakers, pirates, and the community, among others, for the government, causing losses by reducing state revenues from the tax proceeds of the film and reducing the state treasury. their work that will make filmmakers disadvantaged because how many people watch a film will have a big impact on the income of a film, for pirates is to get a big impact for the act of piracy, this is clearly unfair to filmmakers because it is easy for a pirate to get The large income from pirated products that have very little capital from their income, and the impact on consumers is that they have a nature that does not appreciate and respect a copyright made by a creator with a good aim to entertain consumers.  
Furthermore, to determine whether the act committed can be criminally charged or not, it is necessary to first see whether the act is commercial in nature, violates the economic rights of the creator/copyright holder or not. If the act of distributing the film footage is commercial in nature and violates the rights of the creator/copyright holder to obtain economic benefits from the work, and is carried out without permission, then the act can be charged with criminal provisions, as regulated in Article 113 paragraph (3) of the Copyright Law:  
Article 113
Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use. Commercial shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of Rp. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).  
However, if the distribution of the film footage is non-commercial and/or benefits the creator or related parties, or the creator expresses no objection to the distribution, then the act is not considered a copyright infringement, as regulated in Article 43 letter d of the Copyright Law:   Article 43 letter d Acts that are not considered as copyright infringement include:   d. creation and dissemination of copyrighted content through information and communication technology media that are non-commercial and/or beneficial to the creator or related parties, or the creator expresses no objection to the creation and dissemination.”  
In addition, in the event that someone owns and distributes a film clip with a copyright attached, especially to a film that should only be enjoyed by paid subscribers on a streaming platform, it is reasonable to suspect that the person concerned has committed piracy as stated in Article 1 number 23 of the Law. Number 28 of 2014 concerning Copyright, namely:   “Article 1 23. Illegal reproduction of works and/or related rights products and distribution of goods resulting from the reproduction is intended widely to obtain economic benefits”.   If it is true that piracy has occurred, then the perpetrator can be charged with the provisions of Article 113 paragraph (4) of the Copyright Law as follows:   “Article 113 Everyone who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) committed in the form of piracy, shall be punished with imprisonment for a maximum of 10 (ten) years and/or a fine of a maximum of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiah).”  
Copyright infringement on films or cinematography is not only in a commercial form, but can also be in a non-commercial form. The act of uploading film footage into social media is considered to reduce public enthusiasm for watching films in cinemas. As a result, the values ​​that film creators want to convey do not reach the public. Over time, uploading film footage on social media has become a trend in society. Of course, this is not justified by the Copyright Act and the ITE Law. And for every person who does this, can be threatened with 10 years imprisonment and/or a fine of IDR 4 billion.

[1] Dita Shahnaz Saskia, Analisis Hukum Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Cuplikan Film Bioskop Yang Diunggah Ke Instastory Oleh Pengguna Instagram, Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: 2020), h. 2-3

[2] https://bplawyers.co.id/2018/01/30/hak-cipta-di-indonesia/ diakses pada tanggal 13 Juli 2022 pukul 14.46

[3] Ayup Suran Ningsih, Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring, Jurnal Meta-Yuridis Vol. 2 No.1 Tahun 2019, hlm. 17

[4] Dita Shahnaz Saskia, Op. Cit, hal. 34-35

0

PERLINDUNGAN HAK CIPTA DALAM SENGKETA PROGRAM KOMPUTER

Author : Ilham M. Rajab, Co-Author : Adinda Aisyah Chairunnisa

Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra (art and literary) yang di dalamnya mencakup pula program komputer.[1] Dalam hal bentuk perlindungan hak cipta yang ada pada pada program komputer itu dapat ditarik contoh yakni sengketa yang dialami oleh salah satu perusahaan BUMN. Salah satu perusahaan BUMN tersebut digugat senilai Rp322,5 miliar atas pelanggaran hak cipta layanan Tabungan Emas yang dimiliki perusahaan lain. Gugatan dilayangkan melalui kuasa hukum penggugat. Penggugat menilai, layanan Tabungan Emas milik Tergugat dianggap sama dengan sistem investasi dan transaksi jual beli emas milik Penggugat.[2]

Pengaturan mengenai Hak cipta itu sendiri terdapat pada Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, definisi Hak Cipta dituangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, yaitu:

  “Pasal 1

  1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sementara itu, pengertian Program Komputer itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 9 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyatakan:

      “Pasal 1

       9. Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.”

Dalam Pasal 40 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menunjukan lebih tegas bahwa Program Komputer merupakan Ciptaan yang dilindungi, pada pasal tersebut menyatakan bahwa:

Pasal 40

“(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: s. Program Komputer.”

Sebagaimana hak cipta pada ciptaan pada umumnya, perlindungan ciptaan program komputer, menganut prinsip deklaratif, dalam arti tidak memerlukan pendaftaran atau pencatatan ciptaan bagi pencipta untuk mendapatkan hak cipta.[3] Prinsip deklaratif itu sendiri telah disebutkan pada pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang kemudian diperjelas kembali pada pasal 64 ayat (2) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta mengenai pencatatan yang menyatakan bahwa:

Pasal 64 ayat (2)

(2) Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.”

 Telah dijelaskan pada pasal – pasal yang dijabarkan sebelumnya bahwa pencatatan bukan termasuk syarat untuk mendapatkan hak cipta, akan tetapi pencatatan merupakan kegiatan yang penting untuk tindakan tertentu yakni pengalihan yang dimana hal tersebut tertuang dalam pasal 76 ayat (1) sebagai berikut:

Pasal 76 ayat (1)

(1)Pengalihan Hak atas pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dapat dilakukan jika seluruh Hak Cipta atas Ciptaan tercatat dialihkan haknya kepada penerima hak.”

Sehingga, pencatatan hak cipta diperlukan untuk mengantisipasi adanya gugatan atau sengketa dengan pihak lain di mana pihak yang telah melakukan pencatatan memiliki posisi hukum yang lebih kuat,[4] misalnya saat adanya kesamaan pada program komputer yang dimiliki pihak satu dengan pihak yang lain.

Pada contoh yang telah diberikan di muka menunjukkan bahwa adanya indikasi kesamaan pada program komputer yang dimiliki antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Dengan perlindungan hak yang menggunakan prinsip deklaratif, pihak penggugat menggunakan prinsip tersebut untuk melindungi hak yang dianggap miliknya, yang kemudian gugatan tersebut akan dibuktikan pada proses persidangan. Dalam hal ini pencatatan (jika ada) dapat menjadi penguat dalam kepemilikan hak pada program yang dianggap miliknya.

Adapun kegiatan lain yang memiliki “kesamaan” program komputer antara satu dengan lain pihak yang dikenal pada Undan-Undang Hak Cipta disebut dengan Penggandaan, namun hal tersebut merupakan kegiatan bersyarat dan dijelaskan pada ayat (1) pasal 45 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

Pasal 45

“(1) Penggandaan sebanyak 1 (satu) salinan atau adaptasi Program Komputer yang dilakukan oleh pengguna yang sah dapat di lakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta jika salinan tersebut digunakan untuk:

a. penelitian dan pengembangan Program Komputer tersebut; dan

b. arsip atau cadangan atas Program Komputer yang diperoleh secara sah untuk mencegah kehilangan, kerusakan, atau tidak dapat dioperasikan.

(2) Apabila penggunaan Program Komputer telah berakhir, salinan atau adaptasi Program Komputer tersebut harus dimusnahkan.”

Dari penjelasan – penjelasan sebelumnya sangat terlihat betapa Program Komputer sebagai ciptaan, dilindungi. Hak atas ciptaan yang dilindungi merupakan hak yang diperoleh pihak – pihak yang selanjutnya disebut Pemilik dan/atau Pemegang Hak Cipta. Hal ini dikarenakan Program Komputer sebagai sebuah ciptaan memiliki nilai ekonominya sendiri, hal ini diatur pada Pasal 8 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:

Pasal 8

“Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.”

REFERENSI

Dasar Hukum:

Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Link:

https://dgip.go.id/tentang-djki/kekayaan-intelektual
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220516110346-92-797178/pegadaian-siap-ikuti-proses-hukum-soal-gugatan-hak-cipta-tabungan-emas
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemegang-hak-cipta-program-komputer-dalam-hubungan-kerja-lt5dfc1a818d561

[1] https://dgip.go.id/menu-utama/hak-cipta/pengenalan

[2] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220516110346-92-797178/pegadaian-siap-ikuti-proses-hukum-soal-gugatan-hak-cipta-tabungan-emas Diakses pada tanggal 15 Juni 2022 pukul 06.22

[3]h ttps://www.hukumonline.com/klinik/a/pemegang-hak-cipta-program-komputer-dalam-hubungan-kerja-lt5dfc1a818d561 Diakses pada tanggal 20 Juni 2022 pukul 13.55

[4] Ibid

0

SETTLEMENT OF COPYRIGHT DISPUTES THROUGH ARBITRATION

Author : Nirma Afianita, Co-Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.  
REFERENSI:  Stephen Fishmen, The Copyright handbook: How to Protect and Use Written Works, dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002. Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, UndangUndang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002. J.A.L. Sterling, World Copyright Law: Protection of author’s works, Performance, Phonograms, Films, Videos, Broadcasts and Published Editions in National, international, and Regional Law, London: Sweet & Maxwell, 1998. Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga, Performing Right : Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnya. R. Subekti, kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan, Alumni, Bandung: 1980. Paustinus Siburian, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Djambatan, 2004.    

Pada awal mulanya istilah untuk hak cipta yang dikenal adalah hak pengarang (author rights) sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa belanda, yaitu Auteursrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang menyempitkan pengertian hak cipta.[1] Kemudian istilah yang diperkenalkan oleh ahli bahasa Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu kongres. Menurutnya, terjemahan Auteursrecht adalah hak pencipta, tetapi untuk tujuan penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi Hak Cipta.[2]  
Adapun pengertian Hak Cipta Sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi: “Pasal 1  Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”  
Dalam hal ini perlindungan hak cipta ini memberikan perlindungan terhadap nilai ekonomis suatu ciptaan ketika dilakukan eksploitasi terhadap suatu ciptaan dengan cara menggandakan (copying), pertunjukan secara publik (public performance), pengumuman atau penggunaan lainnya. Hak cipta yang juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagai copyright juga meliputi sejumlah hak sebagaimana diatur dalam hukum yang berlaku.[3] Adapun perlindungan hak cipta sebagai berikut:[4] Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Salah satu prinsip paling mendasar dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya melindungi perwujudan suatu ciptaan misalnya karya tulis, lagu atau musik, dan tarian sehingga tidak terkait atau tidak berurusan dengan substansinya.Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis) Hak cipta timbul saat seorang pencipta mewujudkan idenya, misal, dalam bentuk tulisan, lukisan, lagu, dan bentuk-bentuk lainnya. Pendaftaran suatu ciptaan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu keharusan untuk suatu ciptaan mendapat perlindungan.Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta. Terhadap suatu ciptaan, baik diumumkan atau tidak diumumkan, keduanya dapat memperoleh perlindungan hak cipta. Contohnya, ketika seorang pelukis membuat suatu lukisan dan hanya disimpan di kamarnya tanpa dipertunjukkan atau dipamerkan, pelukis tersebut memegang hak cipta atas lukisan tersebut.  
Adapun sanksi bagi para pelanggar yang mana terdapat dalam Pasal 112 dan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yang berbunyi: “Pasal 112  Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
“Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).”Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak (1) (21 (3) Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 
Selain jaminan perlindungan dan pemberian sanksi terkait hak cipta itu sendiri terdapat beberapa penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara Arbitrase, Mediasi, Konsultasi, Negosiasi, Konsiliasi. Menurut R. Subekti arbitrase adalah penyelesaiain suatu perselisihan (perkara) oleh seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama sama di tunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak di selesaiakan lewat pengadilan.[5] Terkait arbitrase sendiri para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi akan diselesaikan melalui arbitrase, jika arbitrase diadakan tanpa kesepakatan kedua belah pihak maka itu bukan perjanjian arbitrase.[6]
Adapun pengertian dari Arbitrase terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi : “Pasal 1  Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”   Terkait dengan cara penyelesaian Arbitrase sendiri terdapat dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi: “Pasal 95 Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.
LEGAL BASIS:    
Law Number 28 of 2014 of Copyright;Law Number 30 of 1990 of Arbitration and Alternative Dispute Resolution.

REFERENCE :
Stephen Fishmen, The Copyright handbook: How to Protect and Use Written Works, dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002.
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, UndangUndang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002. J.A.L. Sterling, World Copyright Law: Protection of author’s works, Performance, Phonograms, Films, Videos, Broadcasts and Published Editions in National, international, and Regional Law, London: Sweet & Maxwell, 1998. Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga, Performing Right : Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnya. R. Subekti, kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan, Alumni, Bandung: 1980. Paustinus Siburian, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Djambatan, 2004    

At first, the known term for copyright was author rights in accordance with the literal translation of the Dutch language, namely Auteursrecht. It was only at the 2nd Indonesian Cultural Congress, October 1951 in Bandung, that the use of the term author rights was questioned because it was seen as narrowing the meaning of copyright. Then the term introduced by the linguist Soetan Moh. Shah in a paper at the congress. According to him, the translation of Auteursrecht is the right of the author, but for simplification and practical purposes it is shortened to Copyright. As for the definition of Copyright as Article 1 point 1 of Law Number 28 of 2014 of Copyright, which reads:                        
“Article 1 Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on declarative principles after a work is manifested in a tangible form without reducing restrictions in accordance with the provisions of laws and regulations.            
In this case, copyright protection provides protection for the economic value of a work when exploitation of a work is carried out by means of duplicating, public display, announcement or other uses. Copyright which is also known in English as copyright also includes a number of rights as stipulated in applicable law. The copyright protection is as follows: What is protected by copyright is an idea that has been tangible and original. One of the most basic principles of copyright protection is the concept that copyright only protects the embodiment of a work such as written works, songs or music, and dances so that they are not related or have nothing to do with their substance.Copyright arises by itself (automatically) Copyright arises when a creator realizes his idea, for example, in the form of writing, paintings, songs, and other forms. Registration of a work to the Directorate General of Intellectual Property Rights is not a requirement for a work to be protected.A work does not always need to be published to obtain copyright. Against a work, whether published or not published, both can get copyright protection. For example, when a painter makes a painting and only keeps it in his room without being shown or exhibited, the painter holds the copyright to the painting.  
The sanctions for violators are contained in Article 112 and Article 113 of Law Number 28 of 2014, which reads: “Article 112 Any person who unlawfully commits the act as referred to in Article 7 paragraph (3) and/or article 52 for Commercial Use, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 2 (two) years and/or a maximum fine of Rp.300,000,000.00 (three hundred million rupiah).”   “Article 113 (1)Any person who unlawfully violates the economic rights as referred to in Article 9 paragraph (1) letter i for Commercial Use shall be sentenced to a maximum imprisonment of 1 (one) year and/or a maximum fine of Rp. 100,000,000. (one hundred million rupiah).”  
(2) Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (1) letter c, letter d, letter f, and/or letter h for Commercial Use. Commercial shall be sentenced to a maximum imprisonment of 3 (three) years and/or a maximum fine of Rp. 500,000,000.00 (five hundred million rupiah).   (3) Any person who without rights and/or without permission of the Author or Copyright holder violates the economic rights of the Author as referred to in Article 9 paragraph (l) letter a, letter b, letter e, and/or letter g for Commercial Use. Commercial shall be sentenced to a maximum imprisonment of 4 (four) years and/or a maximum fine of (1) (21 (3) IDR 1,000,000,000.00 (one billion rupiah).   (4) Any person who fulfills the elements as referred to in paragraph (3) which is committed in the form of piracy, shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and/or a maximum fine of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiahs). In addition to guarantees of protection and sanctions related to copyright itself, there are several dispute resolutions out of court by means of Arbitration, Mediation, Consultation, Negotiation, Conciliation.  
According to R. Subekti, arbitration is the settlement of a dispute (case) by a person or several referees (arbitrators) who are jointly appointed by the parties to the litigation without being resolved through court. Regarding arbitration itself, the parties can agree that a dispute that occurs or will occur will be resolved through arbitration, if the arbitration is held without the agreement of both parties then it is not an arbitration agreement. The definition of Arbitration is contained in Article 1 point 1 of Law Number 30 of 1990 of Arbitration and Alternative Dispute Resolution, which reads: “Article 1 1. Arbitration is a method of settling a civil dispute outside the general court based on an arbitration agreement made in writing by the disputing parties.”  
Regarding the method of arbitration settlement itself, it is contained in Article 95 paragraph (1) of Law Number 28 of 2014 of Copyright, which reads: “Article 95 1. Copyright dispute resolution can be done through alternative dispute resolution, arbitration, or court.

[1] Stephen Fishmen, The Copyright handbook: How to Protect and Use Written Works, dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, Undang-Undang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002, hal. 111.

[2] Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa konvensi Internasional, UndangUndang Hak Cipta dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Alumni, 2002, hal. 15

[3] J.A.L. Sterling, World Copyright Law: Protection of author’s works, Performance, Phonograms, Films, Videos, Broadcasts and Published Editions in National, international, and Regional Law, London: Sweet & Maxwell, 1998, hal.15

[4] 4Hulman Panjaitan dan Wetmen Sinaga, Performing Right : Hak Cipta atas Karya Musik dan Lagu serta Aspek Hukumnya, hal. 105

[5] R. Subekti, kumpulan karangan hukum perakitan, Arbitrase, dan peradilan, Alumni, (Bandung: 1980), h. 1

[6] Paustinus Siburian, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, (Jakarta: Djambatan, 2004), Cet ke 3, h. 42

Translate