INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS: PROTECTION AND COMMERCIALIZATION OF BUSINESS
Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Natasya Oktavia
DASAR HUKUM:
- Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
REFERENSI:
- Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
- H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual
- Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis
- Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
- Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
- Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008)
- Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual , (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
- Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
- Gunawan Widjaya, 2001, Waralaba, Rajawali Press, Jakarta, 2001
- Endar Hidayati, 2014. Komersialisasi HKI melalui Lisensi.
Kekayaan Intelektual adalah terjemahan resmi dari Intellectual Property Rights (IPR) dan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai Intellectual Eigendom.[1] Kekayaan Intelektual (KI) atau yang sering disebut “Intellectual Property” adalah Hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa penemuan-penemuan penting di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari benda yang tidak berwujud (Benda Immateriil) benda dalam hukum perdata dapat di klasifikasikan kedalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu ialah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapat di lihat batasan benda yang terdapat pada pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi[2] :
“Pasal 499 KUHPerdata
Menurut Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.[3]
Rumusan lain dari pasal tersebut dapat diturunkan kalimat, yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Barang yang di maksudkan oleh Pasal 499 KUHPerdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan Pasal 503 KUHPerdata yaitu[4]:
“Pasal 503 KUHPerdata
Ada barang yang bertubuh (berwujud) dan ada barang yang tak bertubuh (tidak berwujud).[5]
Konsekuensi lebih lanjut dari batasan kekayaan intelektual adalah terpisahnya antara haknya sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Suatu contoh dapat di kemukakan misalnya hak cipta dalam bidang karya sinematografi (berupa kekayaan intelektual) dan hasil materil yang menjadi bentuk film. Jadi yang di lindungi dalam kerangka kekayaan intelktual adalah Haknya bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh Hukum Benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).[6]
Penggolongan Kekayaan Intelektual dapat digolongkan dalam dua lingkup[7]:
- Hak Cipta (Copy Rights)
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights).
Adapun dalam lingkup Hak Kekayaan Idnustri mencakup :
- Merek Dagang
- Paten
- Rahasia Dagang
- Desain Industri
- Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- Perlindungan Varietas Tanaman
Perlindungan hukum terhadap HaKI pada prinsipnya adalah perlindungan terhadap Pencipta. Dalam perkembangannya kemudian menjadi pranata hukum yang di kenal Intellectual Property Right (IPR). Perhatian-perhatian negara untuk mengadakan kerjasama mengenai masalah HaKI secara formal telah ada sejak akhir abad ke-19. Perjanjian-perjanjian ini secara kuantitatif sebagian besar mengatur mengenai perlindungan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Right) dan yang lainnya mengatur mengenai Hak Cipta. Organisasi yang menangani ini adalah WIPO (World Intellectual Property Organization).[8]
TRIPs hanyalah sebagian dari keseluruhan sistem perdagangan yang diatur WTO, dan keanggotaan Indonesia pada WTO menyiratkan bahwa Indonesia secara otomatis terkait pada TRIPs adalah tidak mungkin untuk hanya menjadi peserta dari TRIPs tanpa menjadi anggota dari WTO. Hak-hak dan kewajiban dari TRIPs hanya timbul bila suatu negara menjadi anggota WTO. Sebaliknya, tidak mungkin menjadi anggota WTO tanpa menjadi peserta TRIPs.[9]
Pengaturan Paten terhadap Material Biologis:
Di Australia, gen manusia dan proses biologis dilarang untuk dijadikan objek paten. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Paten tersebut menyatakan bahwa
“bahan biologis termasuk komponen dan turunannya, baik diisolasi atau dimurnikan atau tidak dan bagaimanapun dibuat, yang identic atau secara substansial indentik dengan bahan seperti yang ada di alam”
bukan merupakan bentuk penemuan yang dapat dipatenkan. Kemudian di ayat (3) disebutkan bahwa
“tanaman dan hewan, dan proses biologis untuk menghasilkan tumbuhan dan hewan juga dikecualikan untuk dilindungi paten”.
Namun menurut Pasal 18 ayat (4) pengecualian tidak berlaku jika invensi tersebut merupakan proses mikrobiologis atau produk dari proses tersebut. Selanjutnya, di Pasal 18 ayat (5) mendefinisikan “material biologis” adalah DNA, RNA, protein, cell, cairan, namun tidak mendeskripsikan kata “komponen dan turunannya” dan “identik substansial”.[10] Sementara di Indonesia sendiri pengaturan terkait paten terhadap mikrobiologi dapat dilihat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disebutkan,
“invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi: (d) makhluk hidup, kecuali jasad renik; (e) proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis”
Lain halnya di Malaysia, paten dapat diberikan terhadap invensi baru, memiliki langkah inventif, dapat diterapkan di industri, dan inovasi tersebut dalam bentuk produk dan proses. Sementara di Pasal 13 ayat 1(b) Undang-Undang Paten 1983 menyatakan bahwa mikroorganisme buatan manusia, proses mikrobiologis, dan produk dari proses tersebut dapat dipatenkan. Tidak ada pengaturan untuk pengecualian, namun pada pasal 3 ayat 1(a), suatu “discovery” tidak dapat dipatenkan.[11]
Terdapat Empat Teori yang menjadi landasan atas perlindungan HaKI, antara lain :
- Teori Hak Alami
Teori Hak Alami bersumber dari Teori hukum Alam. Penganut Teori hukum alam antara lain lain Thomas Aquinas, Jhon Locke, Hugo Grotius. Menurut Jhon Locke menyatakan bahwa: “secara alami manusia adalah agenda moral. Manusia merupakan substansi mental dan hak, tubuh manusia itu sendiri sebenarnya merupakan kekayaan manusia yang bersangkutan”.[12]
- Teori Karya
Teori karya merupakan kelanjutan dar teori hak alami. Jika pada teori hak alami titik tekannya pada kebebasan manusia bertindak dan melakukan sesuatu, pada teori karya titik tekannya pada aspek proses menghasilkan sesuatu dan sesuatu yang dihasilkan. Semua orang memiliki otak, namun tidak semua orang mampu mendayagunakan fungsi otaknya (intellectual) untuk menghasilkan sesuatu. Menurut Teori Motivasi yang di kemukakan oleh David Mc Clelland menyatakan bahwa :“seseorang menghasilkan sesuatu karena memang memiliki motivasi untuk berprestasi”.[13]
- Teori Pertukaran Sosial
Penganut Teori ini antara lain George C. Hotman dan Peter Blau. Teori pertukaran sosial dilandaskan pada prinsip transaksi ekonomi yang elementer. Orang yang menyediakan barang dan jasa tentu akan mengharapkan balasan berupa barang atau jasa yang di inginkannya. Hal yang penting dicatat, tidak semua transaksi sosial dapat di ukur secara nyata misalnya dengan uang, barang atau jasa, adakalanya justru yang lebih berharga adalah hal yang tidak nyata, seperti penghormatan dan persahabatan.[14]
- Teori Fungsional
Penganut teori ini antara lain Talcot Parsons dan Robert
K. Merton. Kajian Teori fungsional
atau fungsionalisme berangkat dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa seluruh
struktur sosial atau yang diprioritaskan mengarah kepada suatu integrasi dan
adaptasi sistem yang berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola
yang sudah ada di jelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang
penting dan bermanfaat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Para fungsionalis berusaha menunjukkan
suatu pola yang ada telah memenuhi kebutuhan sistem yang vital untuk
menjelaskan eksistensi pola tersebut, obyek kajiannya adalah masyarakat.[15]
[1] Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1956, hlm. 87.
[2] H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Hal. 34
[3] Pasal 499 KUHPerdata
[4] Ibid., 35
[5] Pasal 503 KUHPerdata
[6] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, hal 134.
[7] Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004), hal. 11-12.
[8] Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 7.
[9] Ibid., hlm. 25
[10] Sharifa Sayma Rahman, Patens and Genetic Engineering Technologies : A Review of Judicial Decisions, IIUM Law Journal, no.29(2), 2021, hal 150-151
[11] Ibid, hal 152
[12] Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HaKI, Hak Cipta, Paten, Merek dan seluk beluknya, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 49
[13] Ibid., hlm. 50
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hlm. 51
LEGAL BASIS:
- Law No. 28 of 2014 of Copyrights
- Civil Code
REFERENCE :
- Sophar Maru Hutagalung, Copyright Position and Its Role in Development, Sinar Grafika, Jakarta, 1956
- H. OK. Saidin 2, Aspects of Intellectual Property Rights Law
- Munir Fuady, Introduction to Business Law
- Pipin Syarifin, Intellectual Property Rights Regulations in Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004)
- Taryana Soenandar, Protection of Intellectual Property Rights in ASEAN Countries, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
- Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Getting to know Intellectual Property Rights, Copyrights, Patents, Brands and their ins and outs, (Jakarta: Erlangga, 2008)
- Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002, Commercialization of Intellectual Assets, (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2002.
- Affrilyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Indonesian Intellectual Property Rights Law, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
- Gunawan Widjaya, 2001, Franchise, Rajawali Press, Jakarta, 2001
- Endar Hidayati, 2014. Commercialization of intellectual property rights through licensing.
Intellectual Property Rights is the official translation of Intellectual Property Rights (IPR) and in Dutch is referred to as Intellectual Eigendom. Property Rights (PR) or often called “Intellectual Property” is a right related to wealth arising or born because of human intellectual abilities in the form of important discoveries in the fields of technology, science, art, and literature. Intellectual Property Rights are part of intangible objects (Immaterial Objects) objects in civil law can be classified into various categories, one of which is the grouping of objects into the classification of tangible objects and intangible objects. For this, you can see the limits of objects contained in article 499 of the Civil Code which reads :
“Article 499 of the Civil Code
According to the Law, goods are every object and every right that can be the object of property rights
Another formulation of the article can be derived from sentences, namely: what can be the object of property rights is an object and the object consists of goods and rights. The goods referred to by Article 499 of the Civil Code are material objects (stoffelijk voorwerp), while rights are immaterial objects. This description is in line with the classification of objects based on Article 503 of the Civil Code, namely :
“Article 503 of the Civil Code
Some items are bodied (tangible) and there are goods that are not diligent (intangible).
A further consequence of the limitation of intellectual property rights is the separation between that intellectual property rights and the material results that become their incarnation. An example can be put forward as copyright in the field of cinematographic work (in the form of intellectual property rights) and material results that become the form of film. So what is protected within the framework of intellectual property rights is the Right is not the incarnation of the right. The incarnation of this right is protected by the Law of Objects in the category of material objects (tangible objects).
Classification of Intellectual Property Rights can be classified in two scopes:
- Copyright (Copy Rights)
Based on Article 1 paragraph (1) of Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. That Copyright is the exclusive right of the creator that arises automatically based on the declarative principle after work is realized in real form without prejudice to restrictions following the provisions of laws and regulations.
- Industrial Property Rights.
The scope of Industri’s Wealth Rights includes:
- Trademark
- Patents
- Trade Secrets
- Industrial Design
- Integrated Circuit Layout Design (Layout Design Topographics of Integration Circuits)
- Plant Variety Protection
The legal protection of IPR is in principle a reflection of the Creator. In its development later became a legal institution known as Intellectual Property Rights (IPR). The attention of the state to establish cooperation on the issue of IPR has been in place since the late 19th century. These agreements quantitatively largely govern the protection of Industrial Property Rights and others govern copyright. The organization that handles this is WIPO (World Intellectual Property Organization).
TRIPs are only a part of the entire WTO-regulated trading system, and Indonesia’s membership of the WTO implies that Indonesia is automatically linked to TRIPs it is impossible to simply become a participant of TRIPs without being a member of the WTO. The rights and obligations of TRIPs only arise when a country is a member of the WTO. On the contrary, it is impossible to become a member of the WTO without being a participant in TRIPs.
Patent Regulations Regarding Biological Materials :
In Australia, the Australian Patent Act 1990 expressly prohibits human genes and biological processes from standard patents. Section 18(2) of the Patents Act 1990 states
“biological materials including their components and derivatives, whether isolated or purified or not and however made, which are identical or substantially identical to such materials as they exist in nature”
are not patentable inventions. Furthermore, under section 18(3)
“plants and animals, and the biological processes for the generation of plants and animals are also excluded from innovation patents”
However, according to section 18(4) exclusion does not apply if the invention is a microbiological process or the product of such a process. Additionally, section 18(5) defines the term ‘biological materials’ to include ‘DNA, RNA, proteins, cells, and fluids,’ but it does not describe the words “components and their derivatives” and “substantially identical.” Meanwhile in Indonesia Article 9 of Patent Act stated that,
“Inventions which cannot be granted Patent include: (d) all living organisms, except microorganism; (e) any biological process which is essential to produce plant or animal, except non-biological process or microbiological process”
In Malaysia, based on section 13 (1) (b) of the Patent Act 1983 simply states that man-made living microorganisms, microbiological processes, and the product of such processes are patentable. There is no clear mention of the exclusion of nature’s handiwork, nevertheless in section 3 (l) (a) of the Act, ‘discoveries’ is a bar to patentability.
Four theories are the basis for the protection of IPR, including:
- Natural Right Theory
The Theory of Natural Rights comes from the theory of natural law. Adherents of natural law theory include Thomas Aquinas, Jhon Locke, and Hugo Grotius. According to Jhon Locke stated that: “naturally man is a moral agenda. Man is a mental substance and a right, the human body itself is the wealth of the human being concerned.”
- Labor Theory
The theory of work is a continuation of the theory of natural rights. If in the theory of natural rights the point of pressure on the freedom of man to act and do something, in the theory of work his press point on the aspect of the process produces something and something is produced. Everyone has a brain, but not everyone can use their brain (intellectual) function to produce something. According to The Theory of Motivation, put forward by David Mc Clelland stated that “a person produces something because he has the motivation to achieve”.
- Social Exchange Theory
Proponents of this theory include George C. Hotman and Peter Blau. The theory of social exchange is based on the principle of elementary economic transactions. People who provide goods and services will certainly expect a reply in the form of goods or services that they want. The important thing is to note, that not all social transactions can be measured in real terms for example with money, goods, or services, sometimes even more valuable things are not real, such as respect and friendship.
- Functional Theory
Adherents of this theory include Talcott Parsons and Robert K. Merton. The functional theory of functionalism departs from the basic assumption that the entire social structure or prioritized leads to integration and adaptation of the prevailing system. The existence or continuity of existing structures or patterns is explained through consequences or effects that are important and useful in overcoming various problems that arise and develop in people’s lives. Functionalists try to show that an existing pattern has met the needs of a vital system to explain the existence of the pattern, the object of study in society.