0

KEWENANGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TERKAIT KEGAGALAN PEMENUHAN KEWAJIBAN BANK

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Robby Malaheksa

Salah satu unsur penting dalam memberikan jaminan adalah kecepatan menyelesaikan klaim nasabah atas simpanannya yang ada pada Bank. Cepat lambatnya penyelesaian simpanan tersebut mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Apabila Bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha Bank dimaksud tidak dapat di lanjutkan, maka bank tersebut menjadi gagal yang berakibat dicabut izin usahanya. Sistem jaminan tidak langsung seringkali mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat karena tidak tegasnya status simpanan mereka apabila suatu bank terpaksa dicabut izin usahanya oleh pemerintah atau bank pailit dan dilikuidasi. Oleh sebab itu, baik pemilik dan pengelola bank maupun berbagai otoritas yang terlibat dalam pengaturan dan/atau pengawasan bank, harus bekerja sama mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.[1]

Bentuk pemberian jaminan langsung kepada nasabah adalah dengan didirikannya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tujuan pendirian LPS adalah: pertama, menurunkan kemungkinan terjadinya rush; kedua, melindungi nasabah penyimpan kecil yang secara sosial dan politik tidak dapat menanggung beban kerugian akibat kebangkrutan bank; dan ketiga, menyediakan jalan agar biaya sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat diminimalkan[2]

Dengan di bentuknya LPS maka setiap Bank di wilayah Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS, sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 Undang-Undang No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang berbunyi ;

“Pasal 8

Setiap Bank yang melakukan kegiatan usahanya di wilayah negara republik indonesia wajib menjadi peserta pinjaman.[3]

LPS mempunyai fungsi, sebagaimana dimaksud dalam pasal  4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, yaitu ;

“Pasal 4

Fungsi LPS adalah ;

  1. Menjamin simpanan nasabah penyimpan
  2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.[4]

Keberadaan LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi penjaminan simpanan masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa salah satu tugas strategis  LPS diluar penjaminan simpanan adalah penanganan bank gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi bank.  Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun  terhadap kelancaran dan kelangsungan roda  perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas.[5]

Tindakan penanganan terhadap suatu Bank gagal berdampak sistemik akan dilakukan oleh LPS setelah adanya penetapan status bank gagal berdampak sistemik dan setelah dilakukannya penyerahan penanganan kepada LPS.[6] Terhadap Bank gagal berdampak sistemik dapat dilakukan dengan memilih satu diantara dua pilihan yakni; 1) tindakan penanganan dengan mengikutsertakan pemegang saham lama (open bank assistance) atau 2) tindakan penanganan tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.[7]

Penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak penyelamatan. Berdasarkan ketentuan pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, terdapat beberapa persyaratan yang harus di penuhi untuk menyelamatkan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, antara lain :

Pasal 24

  1. LPS menetapkan untuk menyelamatkan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik jika dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
  2. perkiraan biaya penyelamatan secara signifikan lebih rendah dari perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank dimaksud;
  3. setelah diselamatkan, bank masih menunjukkan prospek usaha yang baik;
  4. ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang- kurangnya memuat kesediaan untuk:
  5. menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS;
  6. menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS; dan
  7. tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila proses penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
  8. bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai:
  9. penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia;
  10. data keuangan Nasabah Debitur;
  11. struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir; dan
  12. informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban termasuk permodalan bank, yang dibutuhkan oleh LPS.[8]

Dalam menjalankan fungsi turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 menjelaskan bahwa LPS mempunyai tugas sebagai berikut ;

“Pasal 5 ayat (2)

  1. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan;
  2. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan
  3. melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.[9]

Sejak beroperasi tanggal 22 September 2005, LPS telah melakukan fungsi dan tugas pokoknya yaitu melakukan likuidasi beberapa bank, membayar klaim penjaminan, serta melakukan penyelamatan 1 (satu) bank umum.[10] Dalam menyelamatkan Bank gagal, apabila persyaratan penyelematan bank telah terpenuhi, maka RUPS bank menyerahkan segala hak dan wewenangnya kepada LPS. LPS diberikan tugas dan wewenang untuk dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu, yang diatur pada Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2011 tentang Likuidasi Bank, Lembaga Penjamin Simpanan mempunyai wewenang sebagai berikut:

“Pasal 9

Tim Likuidasi mempunyai tugas sebagai berikut :

  1. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pembuburan badan hukum Bank;
  2. menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja, penyelesaian gaji terutang, dan pesangon pegawai Bank;
  3. melakukan pemberesan aset dan kewajiban Bank;
  4. menyampaikan laporan kepada LPS;
  5. melakukan pertanggungjawaban pelaksanaan Likuidasi Bank;
  6.  melakukan penyelesaian atas kewajiban dari pihak-pihak yang melakukan kelalaian dan/atau perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha Bank;
  7. melakukan tugas lainnya yang dianggap perlu untuk pelaksanaan Likuidasi Bank; dan
  8. membantu kelancaran pelaksanaan penjamin simpanan.”

“Pasal 10

Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, tim Likuidasi berwenang:

  1. melakukan perundingan dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan asset dan/atau penagihan piutang terhadap para Debitur termasuk pemberian Potongan Hutang sesuai dengan kewenangan yang diberikam oleh RUPS dan peraturan yang berlaku;
  2. mempekerjakan Tenaga Pendukung Tim Likuidasi;
  3. menunjuk pihak lain untuk membantu pelaksanaan Likuidasi Bank, antara lain perusahaan penilai, konsultan hukum, dan atau/ advokat;
  4. melakukan pemanggilan kepada para Kreditur;
  5. melakukan perundingan dan pembayaran kewajiban kepada Kreditur;
  6. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Likuidasi Bank;
  7. mewakili Bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban Bank tersebut baik di dalam maupun di luar pengadilan;
  8. meminta pembatalan kepada pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum Bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban Bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha Bank kecuali perbuatan hukum Bank yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang.”

Sepanjang Tahun 2021 LPS telah menutup 8 (delapan) Bank Perkreditan Rakyat/Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR/BPRS). Terkait dengan penutupan itu, LPS juga telah membayarkan klaim pinjaman simpanan kepada 16.730 rekening dengan total nominal sebesar Rp. 71,46 miliar. Dengan penutupan itu, sejak berdiri, LPS telah melikuidasi 116 BPR/BPRS, dan menyelamatkan satu bank umum. Hingga 2021 nominal simpanan layak bayar yang di lunasi oleh LPS sebanyak Rp 1,7 triliun atau setara dengan 82,06 persen dari total simpanan pada bank yang di likuidasi.  Di sisi lain, LPS telah menjamin sebanyak 99,9 persen dari rekening simpanan di perbankan nasional atau setara dengan 399.866.365 rekening.[11]

Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya LPS bersama dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi, dalam kerangka mekanisme kerja terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan ketahan sektor keuangan Indonesia atau disebut Indonesia Financial Safety Net (IFSN).[12]

DASAR HUKUM

  1. Undang-Undang No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
  2. Peraturan LPS Nomor 5/PLPS/2006 tentang Penanganan Bank Gagal yang berdampak Sistemik
  3. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2011 tentang Likuidasi Bank

REFRENSI

  1. Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Books Terrace & Library, Bandung
  2. Penanganan Bank Gagal, https://lps.go.id/artikel/-/asset_publisher/0S8e/content/penanganan-bank-gagal, diakses tanggal 29 April 2022
  3. Halim Alamsyah, “Transformasi Organisasi LPS”, http://lps.go.id/news/-/asset_publisher/Ec5A/content/latar-belakang , diakses tanggal 29 April 2022
  4. LPS tutup 8 BPR dan BPRS sepanjang 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220426191320-78-790036/lps-tutup-8-bpr-dan-bprs-sepanjang-2021, diakses tanggal 29 April 2022

[1] Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Books Terrace & Library, Bandung, hlm. 312

[2] Ibid.,

[3] Pasal 8 Undang- Undang No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

[4] pasal  4 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS

[5] Penanganan Bank Gagal, https://lps.go.id/artikel/-/asset_publisher/0S8e/content/penanganan-bank-gagal, diakses tanggal 29 April 2022

[6] Pasal 3 Peraturan LPS Nomor 5/PLPS/2006 tentang Penanganan Bank Gagal yang berdampak Sistemik

[7] Ibid., pasal 4

[8] pasal 24 UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS

[9] pasal 5 ayat (2) UU 24 Tahun 2004 tentang LPS

[10] Halim Alamsyah, “Transformasi Organisasi LPS”, http://lps.go.id/news/-/asset_publisher/Ec5A/content/latar-belakang, diakses tanggal 29 April 2022

[11] LPS tutup 8 BPR dan BPRS sepanjang 2021, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220426191320-78-790036/lps-tutup-8-bpr-dan-bprs-sepanjang-2021, diakses tanggal 29 April 2022

[12] Penjelasan Umum atas UU 24/2004 Tentang LPS

0

Kebijakan Moneter Bank Indonesia terkait Peningkatan Suku Bunga

Author: Ilham M. Rajab, Co-Author: Atala Dewi Safitri & Shafa Atthiyyah Raihana

Kebijakan moneter adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang aktivitas ekonomi melalui berbagai hal yang berkaitan dengan penetapan jumlah peredaran uang di masyarakat. Kebijakan moneter mulai dinormalisasikan oleh Bank Indonesia sebagai upaya antisipasi menekan inflasi di tengah kenaikan harga. Salah satu Bank swasta menyebutkan langkah Bank Indonesia yaitu menetapkan kenaikan bertahap rasio Giro Wajib Minimum untuk mulai memperketat likuiditas. Selain itu, inflasi dipengaruhi oleh meningkatnya Input Cost dan harga-harga komoditas secara eksternal. Bank Indonesia sudah menunjukkan indikasi untuk melakukan normalisasi kebijakan moneter. Sejak bulan Maret sampai September, Bank Indonesia sudah mulai menaikkan Giro Wajib Minimum secara perlahan. Selain itu, Bank Indonesia juga berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator, Kementerian Keuangan, dan melakukan pemantauan harga di pasar yang diikuti dengan langkah antisipasi.[1]

Giro Wajib Minimum (GWM) merupakan dana atau simpanan minimum yang wajib dijaga oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di Bank Indonesia. Penetapan besarnya GWM ditentukan oleh Bank Indonesia berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan. GWM merupakan instrumen moneter atau makroprudensial sebagai pengatur uang yang beredar di masyarakat yang memberikan pengaruh secara langsung terhadap indeks inflasi. Kebijakan GWM dibuat sebagai tujuan mempengaruhi likuiditas agar dapat mempengaruhi suku bunga maupun kapasitas penyaluran kredit bank.[2]

Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan inflasi yang rendah dan stabil ialah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi agar mengacu kepada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Komitmen Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mewujudkan upaya tersebut telah ditetapkan melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Setelah adanya Undang-Undang tersebut, sebagai upaya meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia, maka sasaran inflasi mulai ditetapkan oleh Pemerintah.[3]

Untuk mengatasi inflasi tindakan yang harus diambil oleh Bank Indonesia adalah mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga, yang kemudian kebijakan moneter akan mengurangi investasi dan pengeluaran rumah tangga.[4] Tujuan kebijakan moneter Bank Indonesia ialah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 7

  • Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
  • Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian”

Tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia ialah antara lain mengendalikan jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektivitas pelaksanaannya diperlukan adanya dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal, yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi Bank. Kemudian, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan melalui sistem perbankan.[5]

Penetapan target atau sasaran inflasi merupakan hal yang harus Bank Indonesia capai, yang berkoordinasi dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 10

  •  Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a Bank Indonesia berwenang:
  • Menetapkan sasaran-sasaran dan moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya;
  • Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:
  • Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
  • Penetapan tingkat diskonto;
  • Penetapan cadangan wajib minimum;
  • Pengaturan kredit atau pembiayaan”.[6]

Sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan dijamin melalui Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK/2021 tentang Sasaran Inflasi Tahun 2022, Tahun 2023, dan Tahun 2024 yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 2

  • tingkat dan periode Sasaran Inflasi IHK ditetapkan sebagai berikut :
  • 3,0% (tiga persen) untuk Tahun 2022;
  • 3,0% (tiga persen) untuk Tahun 2023;
  • dan 2,5% (dua koma lima persen) untuk Tahun 2024, dengan deviasi sebesar 1,0%.”

Kenaikan suku bunga merupakan salah satu upaya untuk menekan inflasi sebab apabila suku bunga naik, maka perilaku konsumtif akan berkurang, begitu juga dengan investasi. Melemahnya konsumsi dan investasi akan memberikan dampak pada pengurangan permintaan agregat. Namun di sisi lain, dengan suku bunga yang tinggi, Bank Indonesia ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dollar AS sebab akan banyak pemilik dollar AS yang melakukan konversi ke rupiah yang kemudian akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Selain itu, berdasarkan sejarah, Bank Indonesia kerap menggunakan suku bunga tinggi untuk menyurutkan krisis ekonomi.[7] Kenaikan suku bunga memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah uang beredar di Bank begitu pun sebaliknya penurunan suku bunga bank akan mendorong peningkatan jumlah uang beredar.[8]

Instrumen Kebijakan Moneter

  1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)

Bank Indonesia dapat memengaruhi sasaran operasionalnya dengan Operasi Pasar Terbuka, yaitu suku bunga atau jumlah uang beredar secara lebih efektif sebab arah kebijakan moneter dapat disampaikan dari pasar terbuka dan membentuk suku bunga berdasarkan mekanisme pasar. Selain itu, Operasi Pasar Terbuka juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif Bank Indonesia sesuai dengan frekuensi dan kuantitas yang diinginkan. Bentuk kegiatan Operasi Pasar Terbuka antara lain, kegiatan jual beli surat berharga (Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang) oleh Bank Indonesia di pasar primer maupun pasar sekunder.

  • Fasilitas Diskonto (Discount Policy)

Fasilitas Diskonto merupakan fasilitas kredit yang diberikan kepada bank dengan jaminan surat berharga dan tingkat diskonto sesuai dengan arah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia menaikkan tingkat diskonto fasilitas, maka disitu Bank Indonesia menginginkan terjadinya kenaikan suku bunga. Fasilitas Diskonto berguna untuk alat pengaman dalam menjaga stabilitas di pasar uang, sehingga bank diharapkan untuk tidak sering menggunakan fasilitas ini.

  • Cadangan Wajib Minimum (Reserve Requirement)

Cadangan Wajib Minimum dibagi menjadi 2 yang sebagai berikut:

  1. Cadangan Primer

Cadangan primer merupakan ketentuan Bank Indonesia yang memberikan kewajiban kepada bank-bank memelihara sejumlah likuid sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya alat likuid tersebut yang berupa rekening gito dan uang kas di bank sentral.

  • Cadangan Sekunder

Cadangan sekunder merupakan fasilitas kredit yang diberikan kepada bank-bank dengan jaminan surat berharga dan tingkat diskonto yang diberikan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan arah kebijakan moneter.

  • Imbauan (Moral Suasion)

Imbauan untuk melakukan kebijakan tertentu kepada bank-bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Imbauan tersebut tidak bersifat mengikat tetapi memiliki dampak yang efektif dalam kebijakan moneter.[9]

Dalam hal ini Bank Indonesia juga melakukan upaya optimalisasi strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi dengan langkah-langkah berikut:

  1. Memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah;
  2. Melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK);
  3. Memastikan kecukupan dalam kebutuhan uang, layanan kas, dan distribusi uang dalam rangka menyambut bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 2022;
  4. Mendorong kesiapan Penyedia Jasa Pembayaran dalam mengimplementasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP);
  5. Memperkuat kebijakan internasional dengan melakukan perluasan kerja sama dengan bank sentral dan otoritas negara mitra lainnya.[10]

Wewenang Bank Indonesia juga sebagai upaya menanggulangi krisis ekonomi dalam waktu yang singkat dengan sasaran terkendalinya nilai kurs rupiah pada tingkat yang wajar. Hal ini sesuai sebagaimana diatur dalam BAB IV huruf A butir 1a Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter ditanggungkan keharusan untuk membangun sistem kelembagaan yang kuat dan independen dalam mengelola dan mendayagunakan devisa. Dalam hal pengelolaan keuangan nasional yang sehat, Bank Indonesia harus mandiri dalam artian bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain, yang kinerjanya juga perlu diawasi dan dipertanggungjawabkan.[11]

Sebab pada hakikatnya, tujuan kebijakan moneter adalah menjaga kestabilan jumlah uang yang beredar, sementara jumlah uang yang beredar tersebut berkaitan dengan tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan menaiknya tingkat suku bunga, jumlah uang beredar akan menurun begitu juga sebaliknya, sementara itu peningkatan harga-harga umum juga akan menaikan jumlah uang beredar, demikian juga kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional yang akan memberi dampak pada kenaikan jumlah uang yang beredar, sedangkan krisis finansial, politik, dan militer merupakan gangguan terhadap kinerja ekonomi nasional yang memberi dampak kepada kenaikan jumlah uang yang beredar.[12]

Kesimpulan

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satu caranya dengan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kestabilan nilai rupiah berkaitan dengan jumlah uang beredar, sementara jumlah uang beredar tersebut berkaitan dengan tingkat suku bunga. Dengan melakukan penaikan suku bunga, maka perilaku konsumtif akan berkurang, sehingga memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah uang beredar. Hal ini akan mewujudkan kestabilan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga kemudian menguatkan nilai tukar rupiah.

Dasar Hukum

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998;

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK/2021 tentang Sasaran Inflasi Tahun 2022, Tahun 2023, dan Tahun 2024.

Referensi

Bank Indonesia. (2022). Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2022.

CNBC Indonesia, Harga & Inflasi Mulai Menanjak, Kapan BI Naikkan Suku Bunga?, retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411142542-19-330618/harga-inflasi-mulai-menanjak-kapan-bi-naikkan-suku-bunga.

Maria, J. A., Sedana, I B. P., dan Artini, L. G. S. (2017). Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Pertumbuhan Gross Domestic Product terhadap Jumlah Uang Beredar di Timor-Leste, E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana No. 10(6).

Sikapi Uangmu OJK, Giro Wajib Minimum: Instrumen Moneter untuk Atur Uang Beredar, retrieved from https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/333

Safuridar. (2018). Peranan Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, Jurnal Samudra Ekonomika No. 1(2).

Silangit, P. K. H., Kebijakan Penaikan Suku Bunga Bank Indonesia, retrieved from https://bem.feb.ugm.ac.id/analisis-kebijakan-penaikan-suku-bunga-bank-indonesia/

Triwahyuni. (2021). Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6).


[1] CNBC Indonesia, Harga & Inflasi Mulai Menanjak, Kapan BI Naikkan Suku Bunga?, retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20220411142542-19-330618/harga-inflasi-mulai-menanjak-kapan-bi-naikkan-suku-bunga

[2] Sikapi Uangmu OJK, Giro Wajib Minimum: Instrumen Moneter untuk Atur Uang Beredar, retrieved from https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/333

[3] Triwahyuni, Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6). 2021. page 202

[4] Triwahyuni, Pengendalian Inflasi, Moneter, dan Fiskal dalam Perspektif Ekonomi Makro Islam, Ekonomica Sharia No. 2(6). 2021. page 203

[5] Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[6] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[7] Patrick Kuntara Harpranata Silangit, Analisis Kebijakan Penaikan Suku Bunga Bank Indonesia, retrieved from https://bem.feb.ugm.ac.id/analisis-kebijakan-penaikan-suku-bunga-bank-indonesia/

[8] José Augusto Maria, I B. Panji Sedana, dan Luh Gede Sri Artini, Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Pertumbuhan Gross Domestic Product terhadap Jumlah Uang Beredar di Timor-Leste, E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana No. 10(6). 2017. page 3490

[9] Safuridar, Peranan Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, Jurnal Samudra Ekonomika No. 1(2). 2018. page 45

[10] Bank Indonesia, Tinjauan Kebijakan Moneter Maret 2022. 2022. page 5

[11] Penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[12] José Augusto Maria, I B. Panji Sedana, dan Luh Gede Sri Artini, Op. Cit., page 3494

0

Pengambilalihan Bank Terhadap Bisnis Konsumer bank

Author: Alfredo Joshua Bernando

  Akuisisi merupakan hal yang lazim dilakukan baik oleh Bank maupun oleh Perusahaan lainnya yang melakukan kegiatan jasa keuangan pada berbagai sektor, terlebih pada Bisnis Konsumer yang dijalankan oleh Bank Konsumer atau Retail Banking, di mana Bank Konsumer adalah jenis bank yang layanannya ditujukan kepada publik, bukan kepada perusahaan ataupun pihak bank lain, yang biasanya disebut sebagai bank komersial, sehingga terhadap Bank yang melakukan bisnis konsumer sering terjadi pengambilalihan atau akuisisi oleh Pihak Bank lain.

Akuisisi merupakan bagian dari aksi korporasi / tindakan korporasi (Corporate Action), di mana aksi korporasi merupakan sebuah langkah atau tindakan yang diambil oleh perusahaan terbuka yang memiliki dampak langsung terhadap kepemilikan saham investor (pemegang saham). Akuisisi juga dikenal sebagai pengambilalihan, aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan membeli sebagian besar atau seluruh saham dari perusahaan lainnya untuk mendapatkan kontrol atas perusahaan tersebut.

Pada Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan menjelaskan bahwa Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu Bank. [1] Dalam hal bentuk hukum Bank Umum berupa Perseroan Terbatas, maka proses akuisisi akan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Pada Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan tentang definisi Pengambilalihan, yang berbunyi:

“ Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. “ [2]

Ketentuan Hukum mengenai Akuisisi atau Pengambilalihan terhadap Perseroan terbatas, diatur secara spesifik dalam Pasal 125 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, di mana Pada Pasal 125 ayat (1) UU a quo dijelaskan bahwa:

Pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perusahaan melalui direksi perusahaan atau langsung dari pemegang saham.[3]

          Terkait dengan peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),[4] maka Peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi bank telah diterbitkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum (yang selanjutnya disebut POJK 41/2019).

Secara khusus, POJK  mendefinisikan akuisisi / pengambilalihan sebagai berikut:

“  Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut .”[5]

Akuisisi, sebagaimana merger dan konsolidasi, integrasi dan konversi dapat dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan.[6] Jika hal tersebut terjadi, maka bank yang bersangkutan wajib terlebih dahulu menerima izin dari Otoritas Jasa Keuangan.[7] Dan dalam pelaksanaannya, bank pelaksana harus memperhatikan kepentingan bank, masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[8]

Akuisisi Bank dilaksanakan melalui cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan/atau akan dikeluarkan oleh Bank, yang karena pengambilalihan tersebut menyebabkan beralihnya pengendalian bank kepada akuisitor.[9] Akuisisi dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 9 PP 28/1999.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akuisitor harus memperhatikan kepentingan bank, kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank, rakyat banyak, dan persaingan sehat. Sebagaimana diketahui, akuisisi menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan, dan karena itu terdapat perubahan kebijakan yang terjadi di dalam bank sebagai akibat dari perubahan kepemilikan tersebut. Perubahan kebijakan tersebut tentunya sangat jelas berdampak bagi pihak yang terkait, yakni kreditor, pemegang saham minoritas, karyawan bank dan nasabah.

Secara prinsip, kreditor tidak dapat terkena dampak negatif dari akuisisi pada bank yang diambil alih. Oleh karena itu, dalam Pasal 31 POJK 41/2019 memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan keberatan kepada bank paling lambat 14 hari setelah pengumuman ringkasan rancangan  mengenai akuisisi, dan jika tidak ada keberatan, maka kreditor dianggap menyetujui akusisi. Jika ada keberatan, maka keberatan tersebut disampaikan dalam RUPS untuk mendapatkan penyelesaian, dan selama belum ada penyelesaian yang tercapai maka akuisisi tidak dapat dilaksanakan.[10]

POJK 41/2019 memberikan hak khusus kepada pemegang saham minoritas apabila tidak menyetujui keputusan RUPS mengenai akuisisi[11], Perlindungan hukum terhadap pemegang saham adalah dengan memberikan hak kepada pemegang saham untuk dapat meminta sahamnya dibeli Bank dengan harga wajar[12]. Hal ini juga disebutkan dalam perlindungan hukum bagi pemegang saham dalam UUPT[13], dan secara khusus dalam UU PT dijelaskan bahwa jika melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh perusahaan, perusahaan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.[14]

Karyawan bank merupakan pihak yang selanjutnya terkena dampak dari akuisisi. Pada dasarnya, karena akuisisi sejatinya merupakan pengambilalihan kepemilikan, maka akuisisi tidak mengubah status karyawan. Status karyawan akan berubah apabila pemilik yang baru melakukan restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan, yang mana hal tersebut dapat saja merubah status, hak dan kewajiban dari perusahaan maupun karyawan. Oleh karena itu, Dalam Pasal 26 huruf b Angka 7 POJK 41/2019 dijelaskan mengenai restrukturisasi dan perubahan managemen karyawan terkait dengan cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dewan pengawas syariah, dan karyawan Bank yang akan diambil alih merupakan bagian dari syarat dokumen yang harus dipenuhi dalam pengambilalihan atau akuisisi.[15]

Bank pada dasarnya merupakan badan usaha yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[16], maka bank dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, sehingga tunduk kepada ketentuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UU PK). Sebagai pelaku usaha, bank memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 7 UU PK dan ketentuan yang harus diperhatikan pelaku usaha dalam UU PK.[17] Oleh karena itu, perubahan kepemilikan bank tidak dapat menyangkal adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bank sebagai pelaku usaha, sehingga siapapun pemilik dari bank tersebut harus melaksanakan kewajiban dan ketentuan lain bagi pelaku usaha sebagaimana termuat dalam UU PK.

          Akuisisi atau pengambilalihan pada dasarnya harus dilakukan melalui Persetujuan RUPS, akibat hukum yang ditimbulkan terkait dengan aksi korporasi yang dilakukan tersebut adalah beralihnya pengendalian terhadap Bank tersebut, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan serta diperhatikan terkait dengan kepentingan Bank, Masyarakat, persaingan sehat dalam melakukan usaha, dan jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


DAFTAR REFERENSI :

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[1] Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan

[2] Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[3] Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[4] Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

[5] Pasal 1 angka 7 Peraturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[6] Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum            

[7] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[8] Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[9] Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[10] Pasal 31 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[11] Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[12] Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[13] Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[14] Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[15] Pasal 26 huruf b Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi, dan Konversi Bank Umum

[16] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

[17] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Translate