1

SETTLEMENT OF LAND DISPUTES IN TOURISM SECTOR

Author: Ilham M. Rajab

DASAR HUKUM:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

REFERENSI: 

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

Pesatnya perkembangan pariwisata memunculkan persoalan baru di bidang pertanahan. Klaim kepemilikan tanah menjadi persoalan yang semakin menonjol sehingga menimbulkan konflik pertanahan antara pemerintah (sebagai regulator dan pihak yang mengeluarkan izin), pemodal (investor) dan masyarakat.[1]

Pemanfaatan tanah untuk kepentingan pembangunan, terutama di bidang pariwisata, telah mendorong terjadinya peralihan penggunaan dan kepemilikan tanah dalam skala besar.[2]

Sementara itu pemanfaatan tanah sendiri dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan:

                               “Pasal 3

  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Adapun peraturan turunan dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi:

“Pasal 2

  • Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
    dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
    didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
    seluruh rakyat.
    • Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
      bumi, air dan ruang angkasa tersebut;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
      dan ruang angkasa;menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
      perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
    • Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
      digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
      kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
      berdaulat, adil dan makmur.
    • Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
      daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
      bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Negara dengan hak menguasainya berkewajiban untuk mengatur dan menentukan peruntukan, penggunaan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya tanah, hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan:

“Pasal 14

  • Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2)
    serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
    suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
    ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:untuk keperluan Negara;untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan
    dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
    kesejahteraan;untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
    serta sejalan dengan itu;untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
  • Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-
    peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
    penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
    daerah masing-masing.
  • Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah
    mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari
    Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/
    Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan”.

Pemanfaatan tanah sebagai
bagian dari sumber daya alam Indonesia harus dilakukan secara bijaksana demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk sektor pariwisata.[3] Adapun dalam tujuan pariwisata sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi:

“Pasal 4

Kepariwisataan bertujuan untuk:

  1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
  2. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  3. menghapus kemiskinan;
  4. mengatasi pengangguran;
  5. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
  6. memajukan kebudayaan;
  7. mengangkat citra bangsa;
  8. memupuk rasa cinta tanah air;
  9. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
  10. mempererat persahabatan antarbangsa”.

Adanya pembangunan berskala besar terutama dalam bidang pariwisata tidak jarang menimbulkan pro dan kontra. Situasi dan kondisi ini muncul akibat salah satu pihak yang mengorbankan kepentingan pihak lainnya.[4] Akan tetapi persoalan hukum dan konflik pertanahan muncul ketika pemerintah tidak mampu menjadi pihak yang netral dalam menyelesaikan persoalan pertanahan dan terjadinya salah tafsir terhadap hak menguasai negara.[5]

Konflik pertanahan di berbagai daerah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tindakan pemerintah (badan pertanahan) yang lemah dalam melakukan penelitian dan mengidentifikasikan tanah terlantar.[6] Jika terjadi konflik pertanahan maka penyelesaian sengketa terdapat dua jenis yaitu jalur litigasi dan non litigasi, litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.[7] Sedangkan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution.[8] Salah satunya dengan cara mediasi, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, di mana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri.[9] Penyelesaian sengketa melalui mediasi pribadi, diatur oleh para pihak itu sendiri dibantu oleh mediator terkait atau mengikuti pendapat/pandangan para ahli yang tehnik dan caranya sangat bervariasi, tetapi tujuannya sama, yaitu membantu para pihak dalam rangka menegosiasikan persengketaan yang dihadapi dalam rangka mencapai kesepakatan bersama secara damai dan saling menguntungkan.[10]


[1] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[2] Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019 h 113

[3] Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018: 87-100, hal 88

[4] I gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018, hal 58

[5] Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok),Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 hal 240

[6] Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, hal 2.

[7] Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), hal 16.

[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 236.

[9] I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009, hlm. 2.

[10] Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014, hlm 60.

LEGAL BASIS:

  1. The 1945 State Constitution of the Republic of Indonesia
  2. Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles
  3. Law Number 10 of 2009 concerning Tourism;

REFERENCE:

  1. Zainal Asikin, Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014.
    1. Widya Kerta, Jurnal Hukum Agama Hindu Volume 2 Nomor 2 Nopember 2019.
    1. Wenda Hartanto Kewenangan Pengelolaan Tanah dan Kepariwisataan Oleh Pemerintah Untuk Mencapai Cita Negara Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 No. 01 – Maret 2018.
    1. I Gede Fanny Putra Jaya, Konflik Masyarakat Lokal dengan Pengusaha Pariwisata Terkait Akses Pura Batu Mejan dan Setra di Desa Canggu Kabupaten Badung, Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 6 No 1 2018.
    1. Dara Hapsari Hastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan di Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan dihubungan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar”, Jurnal Bina Mulia, Vol. 17 Oktober 2013, Bandung: FH UNPAD, 2013.
    1. Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta: Grafindo Persada, 2012.
    1. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
    1. I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT. Fikahati Aneska, Jakarta,2009.
    1. Asmawati, Mediasi Salah Satu cara dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jurnal Ilmu Hukum 2014.

The rapid development of tourism raises new problems in the land sector. Land ownership claims are becoming increasingly prominent issues, resulting with land conflicts between the government (as regulator and the party issuing permits), investors (that invests) and the community.

The use of land for development purposes, especially in the tourism sector, has led to a shift in land use and ownership on a large scale.

Meanwhile, the use of land itself is guaranteed in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, which states:

“Article 33

(3) Earth and water and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people”.

The derivative regulations from Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, namely Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, are emphasized in Article 2 of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations of Agrarian Principles, which reads:

“Article 2

  • On the basis of the provisions in Article 33 paragraph (3) of the Constitution and the matters referred to in Article 1, the earth, water and space, including the natural resources contained therein, are at the highest level. controlled by the State, as an organization of power for all the people.
  • The State’s right of control as referred to in paragraph (1) of this article authorizes to:
    • regulate and administer the designation, use, supply and maintenance of the said earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and the earth, water and space;
      • determine and regulate legal relations between people and legal actions concerning earth, water and space.

(3) The authority stemming from the state’s right to control as referred to in paragraph (2) of this article is used to achieve the greatest prosperity of the people in the sense of nationality, welfare and independence in society and an independent, sovereign, just and prosperous Indonesian legal state.

(4) The state’s control rights mentioned above can be exercised to autonomous regions and customary law communities, only as necessary and not in conflict with national interests, according to the provisions of Government Regulations”.

The state with the right to control is obliged to regulate and determine the allocation, use, control, supply and maintenance of land resources, this is described in Article 14 paragraph (1) of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, which states:

“Article 14

(1) With the stipulations in Article 2 paragraphs (2) and (3), Article 9 paragraph (2) and Article 10 paragraph (1) and (2) the Government in the context of Indonesian socialism draws up a general plan regarding the supply, designation and use of the earth, water and space as well as the natural resources contained therein:

a. for the needs of the State;

b. for the purposes of worship and other sacred purposes, in accordance with the basis of the One Godhead;

c. for the purposes of community, social, cultural and other welfare centers;

d. for the purpose of developing agricultural, animal husbandry and fishery production and in line with that;

e. for the purposes of developing industry, transmigration and mining.

(2) Based on the general plan as referred to in paragraph (1) of this article and in view ofthe relevant regulations, the Regional Government shall regulate the supply, designation and use of earth, water and space for their respective regions, in accordance with the conditions of their respective regions.

(3) The Regional Government Regulations referred to in paragraph (2) of this article shall come into force after obtaining ratification, concerning Level I Regions from the President, Level II Regions from the Governor/Head of the Region concerned and Level III Regions from the Regent/Mayor/Head of the Region concerned”.

Utilization of land as part of Indonesia’s natural resources must be done wisely for the prosperity and welfare of the Indonesian people, including the tourism sector. As for tourism destinations, as Article 4 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism, which reads:

“Article 4

Tourism aims to:

  1. increase economic growth;
  2. improve people’s welfare;
  3. eradicating poverty;
  4. overcoming unemployment
  5. conserving nature, environment, and resources;
  6. promote culture;
  7. raise the image of the nation;
  8. foster a sense of love for the homeland;
  9. strengthen national identity and unity; and
  10. strengthen friendship between nations.

The existence of large-scale development, especially in the field of tourism, often causes pros and cons. These situations and conditions arise as a result of one party sacrificing the interests of the other. However, legal issues and land conflicts arise when the government is unable to be a neutral party in resolving land issues and there is a misinterpretation of the right to control the state.

Land conflicts in various regions are caused by several factors, namely the actions of the government (land agency) which are weak in conducting research and in identifying abandoned land. If there is a land conflict, there are two types of dispute resolution, namely litigation and non-litigation, litigation is a dispute resolution process in court, where all disputing parties face each other to defend their rights before the court. The final result of a dispute resolution through litigation is a decision that states a win-lose solution. Meanwhile, dispute resolution through non-litigation is much more effective and efficient because in recent times, various methods of dispute settlement (settlement methods) outside the courts have been developed, known as Alternative Dispute Resolutions. One of them is by means of mediation, mediation is a dispute resolution process between the parties which is carried out with the help of a neutral and impartial third party (mediator) as a facilitator, where the decision to reach an agreement is still taken by the parties themselves. Settlement of disputes through private mediation, regulated by the parties themselves assisted by the relevant mediator or following the opinions/views of experts whose techniques and methods vary widely, but the goal is the same, namely to assist the parties in negotiating the disputes they face in order to reach mutual agreement collectively. peaceful and mutually beneficial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate