Perlindungan Hak Cipta dalam Penyelenggaraan Perpustakaan Daerah Berbasis Digital
author: Nirma Afianita; Co-author: Ilham M. Rajab, Bryan Hope Putra Benedictus, & Ratumas Amaraduhita Rengganingtyas Arham
Minat baca masyarakat Indonesia sejatinya masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) dan dipublikasikan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.[1] Salah satu faktor penyebab minimnya minat baca masyarakat ini ialah kurangnya sarana perpustakaan dan akses bahan bacaan bagi masyarakat. Berdasarkan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 2019, perpustakaan umum yang tersedia sejumlah 23.611 perpustakaan, sedangkan perpustakaan umum yang dibutuhkan sebanyak 91.191 perpustakaan. Dengan kata lain, tingkat ketersediaan perpustakaan umum hanya mencapai 26 persen. Sedangkan jumlah rasio ketercukupan koleksi pada masing-masing jenis perpustakaan masih di bawah standar rasio koleksi yang dibutuhkan, dimana satu koleksi untuk satu penduduk/pemustaka.[2] Kurangnya ketersediaan perpustakaan dan koleksi perpustakaan yang masih di bawah standar rasio yang dibutuhkan inilah yang membuat masyarakat kesulitan dalam mendapatkan akses untuk membaca. Oleh sebab itu untuk mengatasi problematika tersebut, pemerintah mengupayakan perpustakaan berbasis digital, khususnya perpustakaan daerah agar bahan bacaan mudah diakses oleh masyarakat dimana saja mereka berada.
Salah satu daerah di Indonesia tengah mendorong perpustakaan daerah setempat untuk meningkatkan layanan perpustakaan, khususnya dengan memanfaatkan kemajuan pada era digital saat ini.[3] Kemajuan teknologi dalam bidang informasi, penemuan jaringan internet, serta informasi digital telah memberikan dampak positif yang sangat besar dalam lingkup perpustakaan. Salah satu bentuk kemajuan perpustakaan di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi adalah perpustakaan dan koleksi perpustakaan berbasis digital.[4] Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan (“UU Perpustakaan”), perpustakaan dan koleksi perpustakaan didefinisikan sebagai berikut:
“Pasal 1
- Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
- Koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan”.[5]
Menilik dari pasal tersebut, perpustakaan digital dapat diartikan sebagai bentuk digitalisasi perpustakaan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi untuk menyelenggarakan dan mengelola koleksi perpustakaan berbasis digital. Digitalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses pemberian atau pemakaian sistem digital.[6]
Menurut Gatot Subrata ada beberapa hal yang mendasari pemikiran tentang perlunya dilakukan digitasi perpustakaan adalah sebagai berikut:
- Perkembangan teknologi informasi dikomputer semakin membuka peluang-peluang baru bagi pengembangan teknologi informasi perpustakaan yang murah dan mudah diimplementasikan oleh perpustakaan di Indonesia. Oleh karena itu, saat ini teknologi informasi sudah menjadi keharusan bagi perpustakaan di Indonesia, terlebih untuk mengahadapi tuntutan kebutuhan bangsa Indonesia sebuah masyarakat yang berbasis pengetahuan terhadap informasi di masa mendatang;
- Perpustakaan sebagai lembaga edukatif, informatif, preservatif dan rekreatif yang diterjemahkan sebagai bagian aktifitas ilmiah, tempat penelitian, tempat pencarian data/informasi yang otentik, tempat menyimpan, tempat penyelenggaraan seminar dan diskusi ilmiah, tempat rekreasi edukatif, dan kontemplatif bagi masyarakat luas. Maka perlu didukung dengan sistem teknologi informasi masa kini dan masa yang akan datang yang sesuai kebutuhan untuk mengakomodir aktifitas tersebut, sehingga informasi dari seluruh koleksi yang ada dapat diakses oleh berbagai pihak yang membutuhkannya dari dalam maupun luar negeri;
- Dengan fasilitas digitasi perpustakaan, maka koleksi-koleksi yang ada dapat dibaca/dimanfaatkan oleh masyarakat luas baik di Indonesia, maupun dunia internasional;
- Volume pekerjaan perpustakaan yang akan mengelola puluhan ribu hingga ratusan ribu, bahkan bisa jutaan koleksi, dengan layanan mencakup masyarakat sekolah (peserta didik, tenaga kependidikan, dan masyarakat luas), sehingga perlu didukung dengan sistem otomasi yang futuristik (punya jangkauan kedepan), sehingga selalu dapat mempertahanan layanan yang prima.[7]
Upaya digitalisasi koleksi buku perpustakaan sejatinya termasuk ke dalam kegiatan pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pelayanan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan (“PP Nomor 24/2014”). Pasal 21 PP Nomor 24/2014 menjelaskan:
“Pasal 21
- Perpustakaan yang telah memiliki sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dapat melengkapi sarana teknologi informasi dan komunikasi untuk:
- pengelolaan koleksi;
- penyelenggaraan pelayanan;
- pengembangan perpustakaan; dan
- kerja sama perpustakaan.
- Sarana teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi”.[8]
Dalam mengelola koleksi buku perpustakaan berbasis digital khusunya karya hasil penelitian dan jurnal, perpustakaan harus memperhatikan 4 (empat) prinsip digitalisasi, yakni:[9]
- Privasi. Prinsip ini berkenaan dengan kerahasiaan dan keamanan database koleksi digital. Maka dari itu, pada sistem jaringan perpustakaan digital perlu ditanamkan sistem keamanan (mosesax). Selain itu, perpustakaan juga harus memberikan batasan-batasan terhadap koleksi local content yang akan diakses. Misalnya, pengguna hanya dapat membaca namun tidak dapat mengunduh koleksi perpustakaan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pembajakan ciptaan digital;
- Properti. Prinsip ini berkenaan dengan kewajiban penyerahan karya cetak dan rekam, dimana karya cetak dan rekam yang sudah diserahkan ke perpustakaan tersebut merupakan milik perpustakaan sepenuhnya;
- Keaslian. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa: “Informasi manajemen hak cipta dan informasi elektronik hak cipta yang dimiliki pencipta dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak”.[10] Berdasarkan pasal tersebut, maka perpustakaan dalam mempublikasikan imformasi koleksi perpustakan dalam bentuk digital wajib mencantumkan identitas penulis asli;
- Hak akses. Jika prinsip keaslian digunakan untuk melindungi penulis asli atau pencipta karya, maka hak akses adalah hak bagi pengguna koleksi perpustakaan digital. Hak ini memiliki arti bahwa seluruh koleksi local content dapat diakses secara bebas dan dapat dibaca secara keseluruhan (full text) dengan syarat bahwa pengguna tidak dapat mengunduh koleksi perpustakan.
Perpustakaan digital ini dapat diselenggarakan oleh perpustakaan berdasarkan kepemilikannya dengan standar nasional perpustakaan sebagai acuannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 dan 17 UU Perpustakaan yang menjelaskan bahwa:
“Pasal 16
Penyelenggaraan perpustakaan berdasarkan kepemilikan terdiri atas:
- perpustakaan pemerintah;
- perpustakaan provinsi;
- perpustakaan kabupaten/kota;
- perpustakaan kecamatan;
- perpustakaan desa;
- perpustakaan masyarakat;
- perpustakaan keluarga; dan
- perpustakaan pribadi.
Pasal 17
Penyelenggaraan perpustakaan dilakukan sesuai dengan standar nasional perpustakaan”.[11]
Perpustakaan digital sejatinya merupakan bentuk perkembangan perpustakaan di era kemajuan teknologi dan informasi yang telah dicita-citakan dalam UU Perpustakaan, tidak terkecuali perpustakaan daerah berbasis digital. Selanjutnya, penyelenggaraan perpustakaan daerah berbasis digital berpedoman pada PP Nomor 24/2014 dan peraturan daerah (perda) di daerah terkait, dengan memperhatikan prinsip-prinsip digitalisasi agar tidak terjadi pelanggaran hak cipta.
Dalam suatu proses pengembangan perpustakaan digital, aspek hukum dan etika dalam informasi menjadi hal yang sangat penting pada era informasi saat ini. Aspek legalitas menyangkut etika dalam digitalisasi, transaksi elektronik, dan hak cipta (intellectual property). Sampai saat ini masih banyak perdebatan yang terjadi diberbagai kalangan masyarakat tentang bagaimana sebaiknya mengatur penggunaan teknologi digital agar tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan tentang hak serta kewajiban orang. Sebagai sebuah masyarakat modern, perpustakaan memerlukan pengaturan tentang hak dan kewajiban dalam cara menyajikan, menyimpan, menyebarkan dan menggunakan informasi dalam kegiatan pendidikan tinggi. Perpustakaan juga masih bekerja dengan prinsip-prinsip legal dan etika yang didasarkan pada tradisi cetak. Manakala teknologi digital membawa ciri-ciri baru kedunia kepustakawanan, maka adalah tugas pustakawan untuk memahami aturan-aturan baru yang diperlukan agar kegiatan perpustakaan tetap pada koridor hukum yang berlaku di sebuah masyarakat.[12]
Mengenai hak moral, pencipta dapat memiliki informasi elektronik hak cipta yang meliputi informasi tentang suatu ciptaan, yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan pengumuman ciptaan; nama pencipta, alias atau nama samarannya; pencipta sebagai pemegang hak cipta; masa dan kondisi penggunaan ciptaan; nomor; dan kode informasi. Informasi elektronik hak cipta yang dimiliki pencipta tersebut dilarang untuk dihilangkan, diubah dan dirusak. Adapun pasal 112 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjelaskan sanksi terhadap pelanggaran tersebut yang berbunyi:
“Pasal 112
Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk penggunaan secara komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.[13]
Perbuatan pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 112 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berbunyi:
“Pasal 44
- Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
- pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta;
- keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;
- ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
- pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta”.[14]
Meskipun demikian, perpustakaan daerah berbasis digital menjumpai beberapa masalah seperti minimnya jangkauan internet dan komputer yang memadai. Menanggapi hal tersebut, pemerintah daerah diharapkan mampu untuk menyediakan perpustakaan keliling untuk menjangkau daerah-daerah plosok maupun pesisir. Tujuannya agar masyarakat di daerah-daerah plosok dan pesisir tersebut juga bisa dengan mudah mangakses layanan perpustakaan sehingga akan berdampak pada peningkatan minat baca dan sumber daya manusia.[15]
Kompleksitas peran perpustakaan digital sebagai sarana pendidikan, informasi, budaya dan sarana mencerdaskan bangsa maka memandang perlu adanya upaya pemerintah untuk mengembangkan perpustakaan digital dalam membangun aksesibilitas informasi masyarakat berbasis pada budaya masyarakat. Dengan perpustakaan berbasis digital, informasi apapun yang dibutuhkan dapat dengan mudah dan cepat di dapat, sehingga prosesnya menjadi lebih efisien, efektif. Selain itu perpustakaan berbasis digital dalam menyelenggarakan jaringan kerja sama baik di dalam negeri maupun luar negeri dalam hal koleksi buku-buku, jurnal, penelitian, majalah, karya ilmiah yang lainnya. Penggunaan ciptaan dalam upaya menyelenggaraan perpustakaan daerah berbasis digital harus tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jangan sampai mencederai hak moral dari pencipta itu sendiri.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
Referensi:
- https://kalteng.antaranews.com/berita/580905/dprd-kotim-dorong-digitalisasi-perpustakaan-daerah
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukumnya-digitalisasi-buku-perpustakaan-lt5d887205556b2
- Wahdah Siti. (2020). Perpustakaan Digital, Koleksi Digital dan Undang-Undang Hak Cipta. Pustaka Karya: Jurnal Ilmiah Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 8(2).
- https://www.kemenkopmk.go.id/tingkat-literasi-indonesia-memprihatinkan-kemenko-pmk-siapkan-peta-jalan-pembudayaan-literasi
- https://satudata.perpusnas.go.id/index.php/2021/06/30/laporan-kinerja-instansi-pemerintah-lkip-perpustakaan-nasional-ri-tahun-2019/
- Subrata, Gatot, 2009. Perpustakaan Digital. Pustakawan Perpustakaan UM, Oktober 2009
- Hartono, Strategi Pengembangan Perpustakaan Digital Dalam Membangun Aksesibilitas Informasi: Sebuah Kajian Teoritis pada Perpustakaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, dalam Jurnal Perpustakaan Vol. 8, No. 1 Tahun 2017.
[1] https://www.kemenkopmk.go.id/tingkat-literasi-indonesia-memprihatinkan-kemenko-pmk-siapkan-peta-jalan-pembudayaan-literasi diakses pada 16 Agustus 2022
[2] https://satudata.perpusnas.go.id/index.php/2021/06/30/laporan-kinerja-instansi-pemerintah-lkip-perpustakaan-nasional-ri-tahun-2019/ diakses pada 16 Agustus 2022
[3] https://kalteng.antaranews.com/berita/580905/dprd-kotim-dorong-digitalisasi-perpustakaan-daerah diakses pada 8 Agustus 2022
[4] Wahdah Siti. (2020). Perpustakaan Digital, Koleksi Digital dan Undang-Undang Hak Cipta. Pustaka Karya: Jurnal Ilmiah Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 8(2). 27.
[5] Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[7] Subrata, Gatot, 2009. Perpustakaan Digital. Pustakawan Perpustakaan UM, Oktober 2009
[8] Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
[9] Wahdah Siti. (2020). Perpustakaan Digital, Koleksi Digital dan Undang-Undang Hak Cipta. Pustaka Karya: Jurnal Ilmiah Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 8(2). 30-31.
[10] Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
[11] Pasal 16 dan 17 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
[12] Hartono, Strategi Pengembangan Perpustakaan Digital Dalam Membangun Aksesibilitas Informasi: Sebuah Kajian Teoritis pada Perpustakaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, dalam Jurnal Perpustakaan Vol. 8, No. 1 Tahun 2017, hal. 76.
[13] Pasal 112 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
[14] Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
[15] https://kalteng.antaranews.com/berita/580905/dprd-kotim-dorong-digitalisasi-perpustakaan-daerah diakses pada 8 Agustus 2022